Hard Day #2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diana berlari menuju nurse station cathlab. Sesampainya, ruangan itu sudah penuh orang-orang. Diana disambut tatapan aneh dan skeptis para petinggi rumah sakit yang tidak suka keterlambatan Diana.

"Ya ampun Mbak Diana, dari mana saja? Farmasi enggak ada yang mewakili, loh. Tapi sambutannya sudah selesai," sapa Emi, perawat senior yang ditugaskan di cathlab.

"Eh ... maaf. Tadi sakit perut." Diana beralasan.

Dan orang-orang pun bubar menuju ruang tindakan. Diana malas mengikuti, dia berbalik dan akan ke ruang farmalkes . Saat dia berbalik, dan orang-orang bergerak meninggalkan ruangan, Diana merasakan aura yang tidak enak. Mendadak merinding seolah-olah ada orang jahat memperhatikannya dari belakang. Diana menyentuh tengkuknya yang terasa dingin lalu berbalik. Tapi nihil. Tidak seorang pun di belakangnya. Semua sudah berjalan menjauh dipandu oleh Emi. Diana geleng-geleng kepala lalu pergi.

***

"Argh! Kalau bukan karena bapakku, aku enggak mau jadi tenaga farmasi. Yang orang-orang tahu, di rumah sakit itu hanya ada dua profesi: dokter dan perawat. Apa itu farmasi? Seperti nama pabrik." Diana meraih beberapa dus besar berisi obat-obatan dalam kemasan. Lalu melirik lemari untuk menyusunnya.

Meski sebagian sudah disusun, tapi rasanya selalu saja masih ada obat dan alat kesehatan yang menyusul tiada usai.

"Aish ... mulai dari mana aku? Ini seperti membuka apotek baru. Mengelompokkan, mengatur tempat, menyusun dan memberi nama. Ahk, menjengkelkan. Baiklah, mari sibuk untuk melupakan si brengsek Nathan itu!"

Itulah Diana. Petugas farmasi yang judes dan payah dalam segala hal, setidaknya begitu menurut orang-orang. Dibuang ke Bagian Jantung untuk menghindari kesalahan mengerjakan resep di apotek lagi pasca mendapat surat teguran dan SP 1. Jadi sekarang, tugasnya hanya mengatur ketersediaan farmalkes di Unit Cathlab. Sendirian, karena tidak ada seorang pun yang mau berpartner dengannya. Kecuali Novi, sahabatnya yang berjilbab.

Novi sebetulnya adalah adik kelas Diana yang cenderung baper . Tapi dia terlalu ramah, cekatan, dan pandai, jadi disukai siapa pun. Dia tidak akan diijinkan menemani Diana sebagai partner shift karena kemampuannya sangat diandalkan di Instalasi Farmasi, khususnya apotek rawat jalan. Yah, mau tidak mau Diana sendirian di unit itu dengan jam kerja office hour sampai diterimanya tenaga farmasi yang baru sebagai partner shiftnya nanti.

Pembukaan poli jantung dan saraf sekaligus peresmian Unit Cathlab hari ini disambut meriah para petinggi rumah sakit karena poli dan unit ini sangat diharapkan menjadi pemasukan terbesar untuk rumah sakit.

Meski Diana tidak suka profesinya, tapi tanpa disadari justru di sana bakatnya. Mengatur dan menyusun. Dia sebenarnya menikmati itu, lebih nyaman sendirian dan merasa bebas. Bahkan sampai lupa waktu. Seharusnya dia pulang pukul 4 sore. Tapi hari ini, bahkan sudah hampir Magrib tapi Diana masih asik di ruangannya.

"Ahk, selesai!" Diana syok melihat jam di tangannya. "Ya ampun! Jam enam kurang sepuluh menit?! Rasanya baru tiga puluh menit dari salat Asar tadi deh."

Diana melirik sekitar. Sepi dan beberapa gelap. Dia merinding lagi seolah ada yang memperhatikan dari balik kaca pintunya. Diana mengambil tasnya dan bersiap pergi. Ketika di luar dan akan mengunci pintu, ponselnya berbunyi mengumandangkan azan Magrib.

Diana melihat ponselnya, "Kalau pulang sekarang, sampai rumah Isya saja sudah lewat. Hah, ya sudah. Salat di sini saja dulu deh." Diana membuka pintu dan masuk kembali untuk salat Magrib.

***

Hari pertama tindakan kateterisasi jantung di lantait 4, Unit Cathlab. Diana dibantu oleh Emi datang lebih awal untuk belajar beberapa alat khusus untuk tindakan di cathlab.

"Nah, ini alat-alat untuk tindakan CAG ." Emi selesai menyusun alat-alat yang dia butuhkan di meja.

"Sebentar, aku catat dulu." Diana menulis.

"Oke, sambil menulis. Aku siapkan alat lain untuk tindakan PCI , ya?"

"Siap!"

"O iya, ngomong-ngomong umurmu berapa sih, Mbak?"

"Ng ... hehheh." Diana tertawa meledek dirinya.

"Loh kok tertawa?"

"Umur itu sensitif ya Mbak. Tapi aku sudah tua loh."

"Wah, masa? Lebih muda aku, dong. Anakku dua. Umurku empat puluh tahun." Emi tertawa, Diana ikut tertawa. "Sudah menikah?"

Diana meringis nyeri di hati. "Belum, Mbak."

"Owh ya benar, pantas terlihat masih muda. Seperti baru lulus kuliah. Habis, Mbak Diana imut sih."

Diana tertawa lagi. "Alhamdulillah."

"Jadi, berapa umurnya Mbak?"

"Dua puluh sembilan tahun, Mbak. Empat bulan lagi, pas tiga puluh."

"Wah, mau kepala tiga, ya? Tapi pacar punya kan?"

Diana menekan pulpen sampai kertasnya bolong menahan sakit di hatinya. "Aku jomblo, Mbak."

"Owh, kenapa? Enggak pacaran?"

"I-iya, aku enggak pacaran. Kata temanku, pacaran itu haram. Aku sih, kalau bisa taaruf langsung nikah." Diana mengangkat alisnya dan membatin, "baiklah aku berdusta soal enggak pacaran. Tapi ya, semoga soal taaruf itu benar kelak."

"Hmh ... bagus itu Mbak. Zaman sekarang banyak yang rusak gara-gara pacaran. Anak-anakku tuh, aku wanti-wanti, jangan pacaran!"

"Benar. Rusak sudah mimpi indah akan masa depan cintaku. Pertama kalinya pacaran dan diselingkuhi. Pupus harapanku setelah lima tahun pacaran penuh pengorbanan, ternyata hanya dimanfaatkan. Rusak harapanku akan masa depan yang lebih baik, memiliki orang yang tulus mencintaiku apa adanya. Mungkin aku akan jadi perawan tua. Sudah tidak ada lagi laki-laki baik yang lajang. Ibu ... maafkan anakmu ini, yang bahkan tidak seorang pun pria tertarik padaku," batin Diana.

"Eh, Dokter! Sejak kapan Dok di situ?" kata Emi.

Diana terkejut dan berbalik. Dia makin syok, gemetar dan mendadak merinding. "Psikopat ...," gumam Diana tanpa sadar.

Emi melirik heran. "Mbak, psi ... psi ... apa Mbak?" Emi justru khawatir dengan ucapan Diana.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro