18. Satu Langkah Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah masa liburnya berakhir, aku seperti kembali pada dunia sebelum menikah. Kesepian. Dia hampir tak pernah di rumah. Ada dua hari libur, Jumat dan Minggu. Hari Jumat libur dari pondok dan hari Minggu libur dari kampus. Tapi dua hari libur itu tetap digunakan untuk bekerja, karena dia merangkap dua pekerjaan. Pukul enam pagi sudah berangkat, lalu pulang pada malam hari dan tak tentu jam pulangnya. Terkadang setelah Magrib sudah pulang, terkadang jam delapan baru pulang. Waktunya dihabiskan untuk bekerja, sedangkan tidak ada waktu untukku. Pulang hanya sebatas untuk tidur dan memastikan keadaanku baik-baik saja.

Lamunanku buyar saat mendengar suara pintu terbuka. Pintu lemari segera kututup, lalu meletakkan pakaian yang aku ambil ke atas ranjang. Setelah keperluannya terpenuhi, aku beranjak untuk keluar dari kamar karena harus menyiapkan sarapan untuknya. Sekarang adalah hari Jumat, jadi dia tidak terburu-buru untuk berangkat pagi, karena tugasnya hanya ke kampus. Biasanya, dia akan berangkap pukul sembilan.

"Sayang."

Apalagi, sih? Bukannya sudah disiapkan semuanya? Aku membalikkan tubuh dengan gerakan malas.

"Ada yang mau Abang omongin. Tadinya mau Abang omongin tadi malam, tapi kayaknya kurang pas," ungkapnya.

Aku mengayun langkah, mendekat ke arah ranjang, lalu duduk di tepi. Siap untuk mendengarkan. Dia pun duduk di sampingku.

"Abang mengundurkan diri dari kampus."

Seketika aku melempar pandangan ke arahnya. "Aku nggak salah dengar, kan? Alasannya apa?" tanyaku memastikan.

"Enggak. Emang udah lama Abang mau resign dari sana karena bentrok dengan tugas di pondok, apalagi sekarang Abang sudah punya Sayang, jadi Abang juga harus bagi waktu ke Sayang."

"Jadi sekarang gimana?"

"Hari ini Abang mau ke kampus, mau ambil barang-barang yang masih ada di sana. Ikut Abang, yuk, sekalian pulangnya main ke rumah Umi. Katanya beliau kangen sama menantunya."

"Naik motor?"

"Abang semalam bawa mobil, sengaja besoknya mau ajak Sayang ikut ke kampus, motornya Abang tinggal di pondok. Tadinya mau ngomongin masalah ini semalam, tapi Sayang sudah keburu tidur duluan, jadi Abang tunda sampai sekarang."

"Ya udah, aku siap-siap dulu." Aku beranjak dari ranjang untuk berganti pakaian.

"Abang tunggu di ruang makan, ya."

"Iya. Abang jangan lupa bilang sama Mama."

Aku segera berganti pakaian, menyiapkan barang apa saja yang akan aku bawa. Masih menjadi pertanyaan perihal dia mengundurkan diri jadi dosen, walaupun alasannya sudah diungkapkan. Kenapa dia baru bicara padaku sekarang mengenai hal ini?

Setelah selesai bersiap, aku keluar dari kamar. Keadaan rumah ini seperti biasa, sepi. Sebagian penghuni sudah berangkat untuk melakukan tugas masing-masing, kecuali dia. Suara obrolan Mama dan menantunya terdengar sampai ruang tengah, membuatku penasaran topik apa yang sedang mereka obrolkan.

"Mama nggak keberatan Kalau Anis mau diajak Nak Umar buat tinggal di pondok. Kemarin Anis bilang sama Mama masalah ini. Mama juga ngerti kalau Nak Umar di sini pasti sungkan karena laki-laki sendiri."

Langkahku terhenti saat beberapa langkah memasuki ruang makan, lalu berjalan mundur saat mendengar ungkapan Mama. Ini kesempatan yang aku tunggu, jangan sampai aku mengganggu obrolan serius mereka.

"Insyaa Allah, Ma." Dia hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Masih kurang apa? Barangkali Mama bisa bantu. Itu lemarin, kasur, dan lainnya juga bisa buat ngisi rumah daripada beli lagi. Biar kasur sama lemari yang lama di kamar Anis. Lagian nanti jarang dipakai kalau kalian sudah pindah." Mama menambahi.

"Tuh, kan, Bang. Anis sudah bilang kalau Mama pasti setuju, tapi Abang masih saja khawatir sama Mama." Aku menyambar sambil mendekati mereka.

"Insyaa Allah semuanya sudah siap, tinggal musyawarah waktu buat pindah, tinggal perbaiki dapur karena mau dipasang lemari."

"Ya udah, gimana kalau minggu ini?" Aku memastikan setelah duduk di salah satu kursi kosong.

"Sudah. Biarin Nak Umar sarapan dulu. Nanti dibahas lagi kalau sudah santai." Mama menengahi.

Ih, Mama nggak asyik. Padahal waktunya tepat buat bahas masalah ini, malah disuruh udahan.

Kami pun fokus sarapan diselingi obrolan santai. Lebih banyak Mama yang bertanya pada menantunya, sedangkan aku hanya jadi pendengar setia. Tapi aku suka melihat kedekatan Mama dan menantunya.

***

"Bang, nanti mampir lihat rumah di pondok, ya. Aku mau mastiin apa yang kurang, jadi nanti kita bisa beli kalau pas Abang libur atau nanti aku beli sendiri," pintaku setelah beberapa menit hening karena sebelumnya kami sudah membahas obrolan lain.

Saat ini, kami sedang dalam perjalanan untuk menuju kampus tempat dia mengajar, sekaligus memastikan kampus tersebut karena tempat itu menjadi rekomendasi darinya.

"Iya," balasnya singkat. Ekspresinya terlihat datar. Pun tak menoleh ke arahku.

"Abang nggak tersinggung sama ucapan Mama, kan?" Aku memastikan.

Dia menoleh singkat ke arahku, lalu kembali fokus pada kemudi. "Alasan apa yang bikin Abang tersinggung?"

"Barangkali. Aku takut aja Abang tersinggung."

Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Jangan mikir yang nggak-nggak. Abang nggak kayak gitu."

Apa dia merasa terbebani dengan permintaanku untuk pindah ke pondok? Aku baru sadar jika sejak kemarin selalu memaksanya untuk segera pindah.

Keadaan kembali tanpa obrolan karena kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Dia sibuk dengan kemudi, sedangkan aku sibuk dengan pikiran sendiri. Setiap hari rasanya tak tenang memikirkan dia dan keluargaku. Apa aku menyesal karena sudah menikah dengannya? Mungkin. Rasa takut pun ada. Takut kehilangan dia.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, kami tiba di tempat tujuan. Tempat dia bekerja. Ah, ralat. Sekarang dia sudah mengundurkan diri. Aku masih berpikir untuk ikut masuk bersamanya atau menunggu di dalam mobil.

"Sayang."

Aku terkesiap saat mendengar panggilannya. Dia sudah turun dari mobil dan menantiku untuk ikut bersamanya.

"Aku tunggu di mobil saja, ya?"

"Kenapa? Nggak jadi ikut Abang masuk?"

"Nggak apa-apa. Aku tunggu di sini saja."

Dia kembali masuk, duduk di kursi kemudi, lalu menutup pintu. "Katanya mau lihat-lihat kampus ini," ucapnya sambul menatapku.

"Aku malu mau ikut Abang. Pasti sudah pada tau kalau Abang sudah menikah."

"Emang kenapa?"

"Ya malu saja-"

Deringan ponsel membuat kalimatku terpotong. Suara itu bersumber darinya. Dia langsung meraih posel dari dalam saku, lalu menerima panggilang.

"Wa alaikumussalam. Iya, Bi."

Ah, ternyata abinya. Aku hanya bisa menjadi pendengar.

"Iya, ini Umar lagi di kampus. Sebentar lagi Umar jalan ke sana."

Aku tak ingin tahu apa yang mereka bicarakan karena sudah tentu masalah pondok.

"Kalau Sayang nggak mau ikut, Abang langsung masuk, ya. Cuma sebentar, habis itu kita langsung jalan ke pondok, karena Abi sudah nungguin Abang," katanya setelah obrolan dengan Abi selesai.

"Iya," balasku singkat.

Dia mengusap kepalaku sambil tersenyum, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil ini. Sekarang aku sendirian di sini, menatap kepergiannya yang semakin jauh, lalu menghilang saat memasuki bangunan tinggi di depan sana. Setelah kepergiannya, aku hanya menikmati pemandangan luar kampus dari dalam mobil. Beberapa mahasiswa silih berganti lewat di hadapan mobil ini. Ada yang sedang duduk di taman sambil bercengkrama dengan teman lain. Pemandangan yang tersaji mengingatkan aku saat masih kuliah. Rindu. Tak lama lagi aku akan kembali kuliah untuk mengobati rasa rindu sekaligus melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.

***

Rumah yang kupijak saat ini mengalami cukup banyak perubahan dari sebelumnya saat pertama kali datang ke sini. Hampir semua ruangan sudah terisi barang, termasuk dapur. Rumah ini sudah siap huni. Bersih. Bahkan sudah ada AC di kamar yang pernah aku tiduri yang sebelumnya hanya ada kipas angin. Aku tak masalah jika belum ada lemari dapur karena barang-barang saat ini sudah lebih dari cukup. Entah alasan apa yang membuatnya untuk menunda pindah ke rumah ini.

Kami tiba di pondok sekitar 30 menit yang lalu setelah dari kampus. Setelah bertemu Abi, aku langsung meminta untuk diantar ke sini karena penasaran. Rasa penasaranku terbayar setelah memastikan semua yang ada di dalam rumah ini. Aku kembali masuk ke dalam kamar, lalu duduk di tepi ranjang. Aroma kamar ini sangat khas dengan parfum yang biasa dia pakai. Suara pintu terbuka disertai salam membuatku menoleh pada sumber suara. Sudah tentu dia yang datang. Aku membalas salamnya, lalu tersenyum ramah.

"Gimana?" tanyanya sambil berjalan menghampiriku.

"Abang kenapa ngulur waktu buat pindah, sedangkan rumah ini sudah siap ditempati?" tanyaku balik.

"Nunggu Sayang siap." Dia merebahkan tubuh di atas ranjang.

Aku menoleh ke arahnya. "Aku sudah siap," jawabku mantap.

Dia terlihat memejamkan mata. "Abang ngantuk."

"Ih, aku lagi ngomong serius, loh." Aku menaikkan kedua kaki, lalu duduk menyilang di hadapannya.

Tak ada jawaban. Aku yakin dia belum tidur.

"Abang," panggilku dengan nada kesal.

"Sini tiduran." Dia menepuk bantal di hadapannya.

Tanpa bantahan aku menurut, merebahkan kepala di atas bantal itu. Posisi wajah kami saat ini berhadapan. Tatapan kami bertemu saat dia membuka mata. Senyum menghiasi wajahnya.

"Sudah mantap buat tinggal di sini? Nanti bakal Sayang bakal jarang ketemu Mama, Kanaya dan Mbak Isna. Abang khawatir Sayang nanti kesepian kalau sering ditinggal ke luar kota buat urusan pondok."

"Nanti kan Anis kuliah. Anis bisa cari kesibukan kalau Abang ke luar kota. Atau Anis pulang ke Bekasi kalau Abang mau ke luar kota."

Hanya gumaman yang dia berikan.

"Kok cuma hem doang? Abang masih ragu?"

"Peluk Abang biar ragunya ilang." Dia merentangkan tangan.

Peluk? Biasanya tanpa diminta juga peluk sendiri.

"Siapa yang sekarang ragu?"

"Ih, nggak." Aku segera menerima pelukannya.

"Alhamdulillah, sekarang sudah ada kemajuan."

Kemajuan? Apa?"

"Cinta."

Berulang kali dia mencium puncak kepalaku, sedangkan aku memilih untuk menikmati aroma parfumnya yang kini seakan menjadi candu. Rasa tenang dan nyaman selalu hadir saat dalam keadaan seperti ini.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro