20. Menjadi Lebih Baik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memang terasa berat untuk meninggalkan rumah Mama, karena rumah itu memiliki banyak kenangan, tapi keadaan memaksaku untuk mengambil keputusan ini. Keputusan terbaik untuk aku, Bang Umar, dan Kak Isna. Lagi pula aku masih bisa ke sana jika rindu dengan Mama, sama seperti saat aku masih bekerja. Sejak kemarin, aku dan Bang Umar sibuk mengurus barang-barang yang akan dibawa ke rumah pondok. Sejak mengungkapkan janji jika akan selalu percaya padanya, aku mulai menyebut namanya di dalam hati sebagai tanda rasa percaya.

Senyum kusungging saat melihat bulir keringat menghiasi wajahnya karena sibuk menata barang bawaan kami dari rumah Mama. Barang-barang yang kami bawa sebagian besar adalah barang seserahan darinya. Mama yang menyuruh kami untuk membawa barang-barang itu dengan alasan barang itu milik kami, jadi kami berhak membawanya. Memang, kami membutuhkan sebagian barang-barang itu untuk mengisi rumah baru kami daripada harus beli. Setelah barang turun dari mobil dan dibawa masuk, dia menata sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku pun tak diperbolehkan membantunya, hanya boleh memberi masukan.

"Bang." Aku mengulurkan gelas berisi air putih setelah aktivitasnya selesai.

Dia membalikkan tubuh, lalu tersenyum sambil menerima pemberian dariku. "Terima kasih," ucapnya sambil duduk di ujung tempat tidur.

"Lanjut nanti saja, Abang pasti cape. Lagian udah mau Zuhur, Abang harus siap-siap buat salat berjamaah." Aku mengingatkan.

"Iya, Sayang. Abang lanjut nanti setelah salat Zuhur," balasnya setelah meneguk air putih pemberianku sampai tandas.

Suara bel dari arah ruang tengah menggema sampai ke kamar ini. Siapakah gerangan seseorang yang datang?

"Sayang," panggilnya saat aku akan beranjak keluar.

"Kenapa?" tanyaku memastikan.

"Itu santri antar makan siang. Abang saja yang temui. Sayang tunggu di ruang makan saja, ya."

"Oh, ya sudah."

Aku bergegas menuju ruang makan, sedangkan Bang Umar menemui santri. Sebelum pindah ke sini dia memberikan dua syarat padaku, salah satunya dilarang keluar dari rumah ini tanpa izin darinya. Syarat utamanya adalah penampilan. Dia meminta agar aku mengenakan gamis saat akan keluar dari rumah. Aku langsung setuju karena memang tak ada pilihan lain. Sudah tidak ada waktu untuk memikirkan pilihan. Lagi pula dia menjelaskan alasannya secara logis dan detail. Anggap saja itu sebagai bukti bahwa aku percaya padanya.

"Sayang suka kambing nggak?"

Pertanyaan itu membuatku menoleh ke sumber suara. Dia meletakkan nampan berisi makanan di atas meja. Aku segera menutup pintu kulkas setelah meraih botol berisi air putih, lalu menghampirinya sambil menggeleng. Nampan itu berisi seperti nasi kuning dan daging di atasnya.

"Sayang coba ini, nanti pasti suka."

"Nggak mau." Aku menolak.

"Enak, kok. Coba, deh." Dia mendorong nampan agar berada di tengah dan memudahkan aku untuk menjangkau.

"Nggak mau, Bang."

"Ya sudah, Sayang makan ayamnya saja, ya."

"Abang udah cuci tangan?"

"Astagfirullah."

Aku hanya bisa menahan senyum. Bisa-bisanya kali ini aku yang mengingatkan, biasanya dia yang lebih teliti. Sambil menantinya cuci tangan, aku menuang air ke dalam gelas. Dia sudah kembali dan duduk di kursi sebelumnya, lalu kami menikmati makan siang bersama. Ternyata bukan nasi kuning seperti dugaanku, melainkan nasi kebuli. Rasanya enak dan aroma khas rempah-rempah.

***

Apa yang tidak pernah aku lakukan dalam seumur hidup perlahan kulakukan. Contohnya salat Tahajud dan Duha. Aku sama sekali tak pernah melakukan keduanya, dan akhir-akhir ini mulai menunaikan tanpa paksaan dari siapapun, termasuk Bang Umar. Kehadiran Bang Umar dalam hidupku menghadirkan hal positif. Aku jadi rajin ibadah. Jika aku bertanya, dia akan menjawab dengan detail sampai ke ayat dan hadits. Aku sangat beruntung bisa menikah dengan laki-laki pintar seperti Bang Umar. Ada banyak kebaikan dari dirinya yang tidak kuketahui sebelumnya.

Lamunanku buyar saat mendengar seruan Bang Umar memanggilku. Ternyata dia sudah kembali. Aku segera masuk ke dalam rumah setelah memastikan semua pakaian sudah dijemur. "Aku di sini, Bang," ucapku saat memasuki dapur.

"Abang kira belum bangun, makanya kaget waktu lihat Sayang nggak ada di kamar. Di kamar mandi juga nggak ada." Bang Umar duduk di kursi yang biasa dia duduki di ruang makan.

Sudah beberapa hari ini aku belajar ngaji lagi. Berawal dari pertanyaannya, lalu berakhir dengan permintaanku untuk diajari olehnya. Setiap pagi setelah Subuh aku harus setoran ayat dan pada malam hari harus ngaji tajwid. Antara menyesal dan tidak meminta diajari olehnya. Bang Umar sangat teliti dalam menyimak bacaan atau mengajar tajwid. Entah hanya padaku atau dengan santri-santrinya seperti itu.

"Jangan lupa, besok dobel hafalan karena tadi Sayang ketiduran," peringatnya sambil membuka bungkus nasi uduk.

Aku hanya tersenyum getir. Malu. Bisa-bisanya aku tertidur saat sedang berusaha menghafal sebelum setor. Sudah dua kali ini aku tertidur pulas karena tak bisa menahan kantuk saat menghafal. Jadi dobel lagi.

"Bang, ganti waktu aja, ya. Jangan sehabis Subuh," pintaku.

"Nggak bisa, Sayang. Abang maklumi kalau Sayang masih belum terbiasa. Memang seperti itu godaannya kalau lagi hafalan. Hari ini boleh nggak dobel, tapi tetap semangat buat hafalan, ya."

Jika sudah menyangkut waktu, aku memang kalah karena prinsip Bang Umar kuat. Jika sudah memilih A, maka tak akan berubah. Lagi pula memang waktu luangnya di jam itu.

"Bang," panggilku ragu.

Hanya gumaman yang dia berikan. Sibuk menyantap nasi uduk di hadapannya. Aku masih ragu untuk mengungkapkan, karena yakin jika Bang Umar akan menolak keras.

"Kenapa?" tanyanya sambil menatapku.

"Abang tau kan kalau aku mau kuliah dulu," ucapku takut.

Tiba-tiba gerakan mulutnya terhenti. Bang Umar meraih gelas, lalu mengisi dengan air putih dan meneguknya. Rasa takut langsung hinggap di hatiku. Takut jika Bang Umar marah dengan maksud kata-kataku tadi.

"Abang marah?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Nggak. Gimana nanti Allah kabulkan yang mana dulu."

Iya juga, sih. Kenapa aku jadi takut hamil? Kami baru melakukannya sekali, belum tentu langsung dikasih. Ada yang sudah melakukannya berulang kali, tapi masih belum hamil. Bukan berarti aku tak mau hamil, melainkan belum siap karena ingin fokus ke kuliah.

"Jadi karena masalah itu yang bikin Sayang sering melamun dan belum-"

"Ih, nggak, kok. Cuma baru kepikiran tadi malam aja." Aku memotong.

"Bukan berarti Sayang nggak mau punya anak, kan?"

"Nggak lah. Aku mau punya anak, kok, tapi untuk saat ini belum ada keinginan karena aku pingin kuliah dulu."

"Kalau Allah kabulin Sayang hamil sebelum kuliah gimana?"

"Aku bakal marah sama Abang."

"Kok Abang?"

"Iyalah. Kan Abang yang suka ceramahin aku masalah itu. Pahalanya banyak, loh. Apalagi kalau aku yang nawarin. Dan masih banyak lagi sampai aku pusing dan nyerah."

Kekehan terdengar dari arahnya. Menyebalkan. Tapi gimana kalau ucapan Bang Umar benar? Duh, galau jadinya. Intinya aku tetap ingin lulus kulaih terlebih dahulu. Titik.

***

Selama menikah, ini pertama kali Bang Umar menggantikan tugas Abi ke luar kota untuk menghadiri undangan salah satu pengasuh pondok pesantren. Abi tidak bisa hadir karena ada undangan lain di hari yang sama, jadi Bang Umar menjadi pengganti. Bang Umar mengajak aku untuk ikut sekaligus honeymoon dan kami akan menginap di vila dekat tempat acara. Setelah sarapan, kami langsung bertolak menuju kota tujuan karena sebelum Zuhur harus sudah tiba di tempat tujuan. Kota tujuan kami adalah Garut. Aku sudah tidak sabar untuk segera tiba di kota tersebut karena penasaran akan tempat wisatanya. Bang Umar sudah janji jika acara selesai akan mengajak aku untuk jalan-jalan ke salah satu tempat wisata yang terkenal di kota itu.

Setelah menempuh perjalanan tiga jam lebih, kami tiba di tempat tujuan. Aku disuguhi pemandangan hijau di sepanjang jalan saat akan tiba di tempat ini. Sungguh mengagumkan dan indah. Kedatangan kami langsung disambut banyak orang, terutama santri yang sangat menghormatinya. Setiap santri yang dia lewati selalu menundukkan kepala. Aku baru paham. Dia akan dihormati di tempat semestinya. Berbeda saat kami pergi ke temap di mana orang tidak tahu tentangnya. Kalaupun ada orang yang menatapnya itu karena Bang Umar good looking.

"Mari, Ustadzah."

Aku terkesiap saat mendengar kalimat itu. Ustazah? Sejak kapan aku jadi ustazah? Tatapanku beralih pada Bang Umar. Dia hanya mengangguk, menginstruksi agar ikut dengan beberapa wanita yang mengajakku. Kami akhirnya berpisah untuk masuk ke tempat masing-masing. Sebelumnya, Bang Umar memang sudah menjelaskan jika kita akan dijamu di tempat terpisah dan dia sudah meyakinkanku jika orang di sini ramah-ramah.

Seorang wanita paruh baya seumuran Mama menyapaku dengan kalimat salam saat tiba di dalam ruangan yang sudah dipenuhi tamu wanita. Beberapa orang menyusul menghampiriku. Balasan salam kuucapkan sambil mengangguk pada mereka.

"Ustazah Zahra, kan, menantunya Kiai Aji?" tanya seorang wanita paruh baya seumuran Mama.

Zahra? Sejak kapan namaku ganti?

"Huss ... bukan." Wanita lain menepuk lengan wanita yang bertanya.

Samar terdengar obrolan dua wanita paruh baya itu mengenai Bang Umar yang tak jadi taaruf dengan wanita bernama Zahra. Rasa penasaran seketika menyerang hatiku mengenai hubungan mereka.

"Mari masuk, Ustazah Anis." Wanita paruh baya pertama mengajakku untuk bergabung.

Semua orang sibuk mengobrol, sedangkan aku sibuk dengan pikiran sendiri mengenai hubungan Bang Umar dengan wanita itu, bahkan aku tak fokus dengan pertanyaan seseorang. Bang Umar memang pernah mengakui bertaaruf dengan beberapa wanita, tapi dia tak pernah menjelaskan wanita seperti apa yang bertaaruf dengannya. Setelah acara ini berakhir, aku akan bertanya langsung padanya. Aku penasaran akan sosok wanita bernama Zahra. Dia pasti cantik, berpendidikan, dan tentunya lebih baik dariku.

***

Bersambung ...

Lunas, ya. Jangan nanya lagi kapan MP.
Sengaja aku skip. Wkwkwk ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro