25. Skenario Terbaik dari Allah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Persiapan untuk kuliah sudah mulai kupikirkan dari universitas, biaya, dan keperluan lainnya. Insya Allah, Bang Umar akan mendukung dan siap membantu jika dibutuhkan. Aku sangat bersyukur bisa menikah dengannya yang tak pernah menuntut apa pun baik masalah rumah, keuangan, atau penampilan. Namun, aku sadar diri sebagaimana layaknya seorang istri yang harus membuatnya senang dan nyaman.

Setelah dari rumah mama, Bang Umar minta izin padaku untuk menemani Abi ke luar kota karena ada acara penting. Sudah tentu aku tak bisa menolak karena itu menyangkut pondok. Sekarang, aku sudah berada di rumah umi sampai dia kembali dari acara itu. Hanya dua atau tiga hari di sana. Jika umi tak sendirian di rumah ini, mungkin aku akan lebih memilih di rumah mama saja. Aku masih canggung jika di rumah ini.

Seharusnya hari ini aku ada janji dengan teman untuk memastikan universitas tempat dia kuliah, tetapi terpaksa dibatalkan karena permintaan Bang Umar yang menurutku dadakan. Sebagai gantinya, dia yang akan mengantarku setelah kembali dari luar kota untuk ke universitas itu. Lagian aku juga sepertinya butuh istirahat karena sejak pulang dari rumah mama badan terasa tak enak. Mungkin karena kelelahan seharian jalan-jalan.

Mukena segera kulepas, lalu melipatnya, meletakkan kembali di sandaran kursi. Aku tak mungkin berlama-lama di dalam kamar karena di jam seperti ini umi pasti sedang sibuk di dapur membantu bibi memasak. Setelah mengenajan jilbab, aku segera keluar dari kamar. Aku mengerjapkan mata saat merasa pusing. Tubuh rasanya seperti lemas untuk berjalan. Sejenak, aku menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Langkah kuayun untuk menuju tangga, lalu menuruninya dengan langkah perlahan karena tubuhku terasa lemas.

Setibanya di tangga paling bawah, aku menghentikan langkah lalu duduk sejenak. Rasanya pusing dan lemas. Suasana rumah ini terasa sepi. Jujur, aku merasa kasihan pada umi dan abi karena harus jauh dari anak-anak, padahal mereka belum menikah, masih mondok di daerah masing-masing. Demi anak-anaknya sukses di dunia dan akhirat, beliau rela jauh dari anak-anak.

Setelah cukup mengumpulkan tenaga, aku kembali melanjutkan langkah untuk menuju dapur. Rasa mual menyerang tubuhku saat aroma masakan tercium, padahal aku baru saja tiba di ruang makan. Aku akan kembali ke kamar karena rasanya tak tahan ingin muntah, tetapi niatku terurung karena rasa lemas itu kembali hadir. Yang ada dalam pikiranku adalah kamar mandi di samping rumah. Aku segera mengayun langkah menuju sana.

Napas masih terengah, keringat pun membasahi kening. Masih bertanya dalam hati mengenai sakit yang aku alami. Masuk angin? Tapi tak biasanya seperti ini. Aku segera keluar dari kamar mandi setelah puas mengeluarkan semua isi yang ada di perut. Lemas rasanya saat ini.

"Anis kenapa, Nak? Lagi nggak enak badan?"

Pertanyaan itu hampir saja membuat jantungku lepas dari tempatnya. Umi terlihat berdiri di dekat pintu ruang tengah, menatapku dengan tatapan khawatir. Sepertinya beliau mendengar aku mual-mual. Hanya senyum ramah dan gelengan yang kuberikan sambil menghampiri beliau.

"Kayaknya cuma masuk angin," balasku kemudian.

"Pasti kecapean, ya. Lebih baik Anis istirahat saja, ya. Kalau butuh apa-apa tinggal telepon dan minta ke Umi. Jangan sungkan."

"Nggak apa-apa, Umi. Udah biasa kayak gini, nanti juga baikan sendiri."

"Beneran? Jangan maksa, ya? Mau Umi buatkan teh? Atau Anis mau minuman anget yang lain?"

Pusing. Hampir saja aku terjatuh jika Umi tak cepat menopang tanganku. Beliau memapahku untuk masuk, lalu duduk di ruang tengah.

"Umi khawatir loh, Nis. Wajah kamu juga kelihatan pucat. Apa mau Umi antar ke klinik? Umar tahu nggak kalau kamu lagi sakit?" Umi masih saja khawatir.

"Nggak apa-apa, Umi. Umi jangan khawatir, ya."

"Ya udah, Anis istirahat saja, ya. Apa mau Umi bantu ke kamar?"

"Anis di sini saja, Mi. Maaf ya, Mi, kalau Anis jadi ngerepotin Umi."

"Anis nggak ngerepotin Umi sama sekali. Nggak ada istilahnya anak ngerepotin orangtua. Umi justru seneng karena Anis di sini."

Aku hanya bisa tersenyum ramah menanggapi ucapan umi. Beliau izin kembali ke belakang untuk membuatkanku teh hangat. Setelah kepergian beliau, aku kembali bertanya dalam hati. Apa aku salah makan? Atau memang karena kelelahan?

***

Sejak siang tadi Bang Umar susah dihubungi, padahal aku ingin izin untuk pergi ke klinik untuk berobat. Sakit yang aku rasa memang tidak biasa. Pusing, mual, lemas, bahkan tak selera makan. Aku tak mau membuat umi semakin khawatir, jadi aku menuruti keinginan beliau untuk berobat. Tetapi Bang Umar justru membuatku galau karena belum ada kabar.

Tadi siang aku terpaksa tidur di kamar umi karena tak kuat untuk naik ke kamarku di lantai dua. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, aku dibantu umi keluar dari kamar ini. Kami ke dokter tanpa izin dari Bang Umar. Semoga nanti dia mengerti jika ini demi kesehatanku. Umi sudah berusaha menenangkan aku agar tidak khawatir mengenai Bang Umar. Mungkin dia sibuk atau daya ponselnya habis, jadi belum sempat menghubungiku.

Pak Lukman langsung membukakan pintu mobil saat kami tiba di teras. Aku segera masuk ke dalam, lalu disusul umi. Mobil ini melaju menuju klinik terdekat. Aroma pengharum sangat menyengat, membuatku kembali mual. Padahal aku tak pernah merasa mual-mual seperti ini saat masuk angin atau sakit lainnya yang biasa menyerang.

Setibanya di klinik, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi karena rasa mual tidak bisa ditahan. Aku tak tahan dengan semua ini. Umi kembali membantuku saat keluar dari kamar mandi menuju ruang dokter. Syukurnya klinik tak terlalu ramai, jadi tak perlu menunggu lama. Dokter langsung melayangkan pertanyaan saat aku sudah duduk di hadapannya. Sedangkan umi izin untuk membeli air minum.

"Kapan terakhir haid?"

Haid? Aku langsung memutar ingatan. Terakhir aku datang bulan tanggal delapan. Sekarang tanggal tanggal lima belas. Aku sudah terlambat lima hari. Apa jangan-jangan aku hamil?

Dokter memberikan alat tes kehamilan setelah aku terus terang jika sudah terlambat datang bulan. Sekarang, aku justru bingung. Jik aku hamil, lalu bagaimana dengan kuliahku? Ya Allah, jangan sekarang, aku mohon. Semoga hasilnya negatif.

Dadaku berdegup kencang saat menanti garis-garis itu muncul. Satu. Semoga netaif. Aku memejamkan mata sesaat, lalu membukanya. Mengerjap. Dua garis merah terlihat di sana. Tubuhku kembali terasa lemas. Aku hamil?

Suara ketukan pintu membuatku terkesiap. Aku segera membuka pintu setelah memasukkan alat tes kehamilan ke dalam saku. Umi kembali menanyakan keadaanku dan kujawab seperti sebelumnya. Aku kembali masuk ke dalam ruang dokter, sedangkan umi menunggu di luar. Masih tak percaya jika aku benar-benar hamil.

Dokter itu tersenyum setelah memastikan hasil tes yang kuberikan. Obrolan kami berlanjut mengenai usia kehamilanku dan apa saja yanga tidak boleh aku lakukan atau perihal makanan. Aku bergegas keluar dari ruang dokter setelah selesai melakukan pemeriksaan dan pemberian resep obat. Sekarang, aku justru bingung jika umi bertanya mengenai keadaanku. Apa aku harus jujur? Atau menutupi sampai Bang Umar pulang?

"Gimana?" tanya Umi saat aku keluar.

"Nggak apa-apa, Umi." Aku berusaha tersenyum.

"Ya sudah, kita pulang biar Anis cepat istirahat. Kasih resepnya ke Umi biar minta tolong Pak Lukman yang ke apotik."

"Anis saja yang ke apotik biar nggak ngerepotin Pak Lukman. Sekalian aja di sini biar nggak bolak-balik."

"Oh ya sudah. Anis mau minum dulu?"

Aku menggeleng lemah. Rasanya tak enak hati harus menutupi ini dari Umi. Tapi aku ingin agar Bang Umar orang nomor satu yang tahu jika saat ini aku hamil anaknya. Selain itu, aku juga kesal dengannya karena susah dihubungi.

Setelah menebus obat, kami pun segera pulang agar aku bisa istirahat. Selama dalam perjalanan aku hanya diam, menatap ke luar kaca, sibuk dengan pikiran sendiri.

***

Bersambung ...

Kalau aku slow update mohon dimaklumi, ya.
Waktuku buat nulis itu tipis banget.
Yang punya batita bolehlah koment.
Gimana capeknya ngurus batita.
Belum lagi rumah dan kerjaan lain.
Tanpa bantuan orang lain.

Jadi, aku cuma minta pengertian aja buat pembaca.
Tolong sabar, ya. Aku juga udah usaha buat nulis.
Jangan bikin aku bad mood, karena akan mempengaruhi kelanjutan cerita ini di sini.

Thanks.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro