HAWA - Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gangika, Asha udah pulang, lho."

"Serius?" Cici mengangguk mantap. Akhirnya, si kebluk pulang juga. Aku kira dia bakalan terus-terusan terpuruk.

Aku berlari meninggalkan semangkuk bakso yang ku pesan di kantin. Melupakan susah nya antre-an untuk mendapatkan bakso ini. Asha terpenting. Aku harus memastikan anak itu kembali seutuh-utuhnya. Ngga boleh ada yang sengaja ia tinggalkan dirumahnya. Dia kembali harus dengan keceriaan utuh. Aku, memaksa untuk hal itu.

Saking terburu-burunya langkah ku, aku tidak terlalu memperhatikan sekitar, sampai dimana dahiku menabrak punggung kokoh seseorang.

"Aduh. Sakit banget." Dahiku ngilu banget ini. Itu punggung manusia apa besi beton sih.

"Misi, dong. Lagi buru-buru nih."

Saat mendongak, mati lah Gangika. Siapa itu? Aku tergagap bodoh sekarang. Menatap si objek yang ku tabrak tadi dengan wajah sebloon-bloonnya wajah Mahika Gangika. Malu banget.

"Bisa lebih hati-hati, ngga? Jalan tergesa itu ngga baik. Akhirnya nabrak orang juga, kan." Halus sih ngomongnya, cuma kental banget sindiran. Bagus.

"Ah--eh. Anu, Gus."

"Kenapa? Kepentok punggungku bikin kamu amnesia dadakan, hem?" Ya, kali Gus. Otak ku ngga sepayah itu.

"Maaf, Gus. Saya yang salah, tapi Gus juga ngapain berdiri ditengah jalan begini. Ini kan kawasan santriwati."

Eh, yang barusan ngomong siapa? Kok berani banget? Bukan, Mahika Gangika, kan? Bukan, lah. Masa sih aku seberani itu buat damprat putera kyiai ini.

Nyatanya mulutmu yang ngomong, Gan.

"Saya sedang ada keperluan disini. Jangan berpikir negatif dulu," balasnya sedikit ketus. Bagaimana ngga diketusin, mulut ngga tahu diri ini sudah lancang banget ngomong kayak gitu.

"Sekali lagi, maaf, Gus. Saya ngga bermaksud apa-apa. Itu spontanitas kok. Serius. Jangan laporin saya ke Ustazd Abu Bakar, ya."

Spontanitas ter-kurang ajarrr, ini tuh.

"Assalamualaikum." Yah, Gus. Gitu aja langsung marah. Mana matanya ngga barang sedikitpun liat muka ku lagi. Salam terakhir nya juga, datar banget.

Tapi suwerrr, hati ku ngga enak deh sama ucapan berbau menyinggung tadi. Ngga seharusnya mulutku selancang itu. Bagaimana pun, Gus Fawaz tetap lah sosok Ustadz yang patut disegani santri di pondok ini. Gangika, payah.

Tuh, kan. Lupa!

Niat mau samperin Asha, malah diem ngga jelas disini. Lain waktu ku pikirkan cara untuk mendapatkan maaf yang tulus dari Gus Fawaz, deh. Tadi kayaknya dia kesal banget atas ucapanku. Iyalah. Ngga sopan, gitu.

"Asha, yuhuuuu. Gangika, disini beradaaaa." Ibu Asha kemana? Mobilnya masih ada kok tadi dilapangan depan. Tapi si kebluk tengah membereskan lemari sendirian. Ck, kebluk ku yang malang.

"Woy, senang kek gitu, aku sapa sebegitu cerianya. Ngga ada antusias nya banget."

Dia diam. DI-AM, lho gengsss. Fix, aku dikacangin kalo begini.

"Sha, kok diem aja sih?" Dia menoleh--- ASTAGFIRULLAH! Wajahnya udah kayak zombie di film train to busan. Gila. Kantung matanya, pipinya yang udah tirus itu tinggal tulang doang. Jangan ditanya bibirnya yang pucat pasi, pecah-pecah itu. Siapa dia? Ini bukan Asha ku.

Masih belum ada jawaban selain senyuman lemah juga singkat itu. Ya karim, kok hati ku sakit ya, liat kondisi Asha sekarang. Aku kira, dia akan sembuh lahir dan batinnya. Tapi, ini apa? Apa waktu seminggu bisa merubah psikis dan fisik Asha sehancur ini?

"Are you, oke?"

"Aku terlampau baik untuk ukuran anak yang mengalami broken home, Gan." Senyumannya boleh saja tetap manis seperti biasa. Tapi binar dimata nya hilang. Dia sudah menghadap kearahku, menatap ku dalam diamnya dengan tatapan kosong.

"Ibu, kemana?" tanyaku karena mungkin sekarang aku harus lebih aktif menghadapi Asha yang berubah menjadi pasif dalam obrolan kami. Aku maklumi. Dia sedang hancur. "Ke supermarket depan, beli persediaan makanan buat aku." Aku mengangguk pelan.

Lama, hening menyapa. Aku harus apa? Seketika kosa kata yang aku rancang ketika Cici memberitahu kepulangan Asha, lenyap. Akhirnya, kami diam seperti manusia bodoh yang tenggelam dalam suasana canggung. Ralat, aku yang merasa canggung disini. Si kebluk ini, jangankan memikirkan rasa canggung, hatinya saja, harapannya saja, masih tercecer dimana-mana.

Kok aku sok tahu?

Iya, memang begitu dari analisa ekspresi yang kutangkap. Terkadang Mahika Gangika dilahirkan untuk mengenali ekspresi jenis-jenis manusia dengan begitu teliti. Kata, mamah. Tapi, aku mulai meyetujui kalimat mamah yang dulu terkadang tidak masuk akal dalam otakku.

Oke, tinggalkan aku barang sejenak.

Mari kita beralih pada seorang Asha Adira yang masih betah dalam diamnya yang ngga banget itu. Aku rindu kekonyolan recehnya.

"Udah makan, Sha?" Hanya kalimat ngga penting itu akhirnya yang bisa mulutku produksi. Cih, padahal maksudku dalam hati bukan begitu. "Belum, nanti ibu sekalian beli nasi padang buat kita."

Jika tidak dalam kondisi seperti ini, aku akan memeluknya girang dan mengucapkan beribu terimakasih. I love it, nasi Padang. Titik.

"Kamu kesini bareng ibu doang?" Baru, ini yang mau kupertanyakan sedari tadi. Ck, susahnya.

"Ngga, bareng ayah juga."

Oh, alam. Apa kau sedang menunjukkan eksistensi dan performa mu dalam mengguncang batin gadis beranjak dewasa dihadapan ku ini? Luka nya belum sembuh, woyyyy! Kenapa ngga ciptakan drama kayak sinetron di ftv yang bapaknya merasa bersalah lalu pergi.

Fyuhhh. Alam ngga serendah itu dalam menciptakan alur buat manusia-manusia penghuni bumi, Gan.

Oke, itu spekulasi paling buruk sepanjang peradaban manusia di muka bumi.

"Terus, ayah mu dimana?"

"Di tempat laknat itu, Gan." Matanya berkaca, Ya Allah aku harus apa? Nyesal dah kalo tahu begini akhirnya. Jangan lupakan fakta tempat satu itu.

"Kamu ngga mau peluk aku?"

Dia mengangguk cepat dan menubruk tubuhku tak sabar. Ini yang aku rindukan, Sha. Jangan diam-diaman kayak mahluk asing seperti tadi lagi. Aku ngga kenal Asha Adira yang begitu.

"Aku kuat kan, Gan?"

"Kamu kuat. Anggap aja jiwa wonder women lagi bereinkarnasi dalam tubuhmu, oke?!" balasku yang mendapat kekehan manja dari si kebluk ini. "Jangan menggoda ku, Sha."

"Dih, mau banget sih aku goda." Aku mencolek dagunya genit. Mari berakting demi mendapatkan tawa lepas sahabatku ini. Gangika selalu paripurna dalam segala hal, kan? Kita buktikan.

"Gan...."

"Apa, sayangggg. Kamu ngga kangen aku setelah tinggalin aku kapan lalu?" Dia memukul bahu ku kencang, diiringi tawanya yang ikut mengudara. Sudah ku bilang, setidaknya peran amatiran ku ini bisa membuat dia lupa akan masalah nya.

"Sha, ketawa lagi dong!"

Alisnya berkerut bingung. "Emang, harus ya?" katanya masih dengan alis-alis yang hampir menyatu itu.

"Harus, lah! Biar kamu tahu, kalo masih ada orang yang menunggu buat kamu ketawa selepas tadi."

"Jangan buat aku nangis, Gan."

"Kalo nangismu karena permintaan ku barusan. Aku ngga akan cegah, nangis aja." Benar. Dia cengeng sekali setelah kejadian itu. Lalu tubuhnya kembali menubruk tubuhku. Isakannya lirih, tak meraung-raung seperti kapan lalu.

Ya Allah, tuhan penyembuh segala kesakitan. Aku bersyukur perlahan-lahan dia akan sembuh. Iya, akan sembuh. Aku terus mensugestikan bahwa gadis cengeng yang tengah memelukku ini akan bangkit dengan sendirinya. Atas kemauannya. Dia ngga selemah itu, kan? Buat ngga bisa bangkit dengan mempertaruhkan kelangsungan hidupnya.

"Makasih, Gangika. Sekarang aku tahu, ternyata masih ada manusia ngga jelas kayak kamu yang memikirkan kondisiku." Aku memutar bola mata. Sabar, Gan. Sabar. Itu bukan hinaan, tapi sekadar candaan doang, kok. Sabar, ya!

"Kalo katamu begitu, maka Gangika kece ini cuma bisa anggukan kepala dengan senyum seikhlas mungkin. Begitu, kan harapan mu?"

Dia ketawa lagi. Kalo udah bagian hujat menghujat pasti ketawa. Heran sih, sama manusia di era pak jokowi-ma'ruf amin ini. Suka banget gitu, haha-hihi dengan entengnya. Untung Asha sedang butuh peran ibu peri dari ku. Mau tidak mau, memang harus mau melakukan apapun, sesuai apa yang ku bilang tadi. Demi mendapatkan senyum ter-kece dari Asha Adira. Oke.

***

To be continued
Minggu, 15 maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro