HAWA - BAB 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ya rabbii, wahai dzat yang maha membolak balikkan hati hamba-Nya. Hamba memohon kepada-mu jauhkanlah hamba dari sebuah kesakitan karena berharap selain kepada-mu. Ampuni hamba jika lancang menyebut perasaan yang kau titipkan ini sebagai sebuah mahabbah. Karena hamba sadar, bahwa hamba tidak bisa membedakan antara kesucian cinta yang engkau titipkan atau nafsu dalam diri semata."

Lagi-lagi disepertiga malam ini aku memohon do'a yang sama. Do'a yang aku yakini Allah mendengar seluruh jeritan hatiku. Tidak luput bahwa maksud dalam do'a ku hanya satu nama yang masih aku anggap sebagai fatamorgana. Gus Fawaz. Terlalu sukar untuk merubah nya menjadi realita.

Mungkin dari sebagian kalian ada yang bertanya-tanya, kok mau sih mencintai seseorang tanpa pengungkapan?

Selain aku sadar akan posisiku, aku pun masih awam dalam memaknai perasaan yang mendasar seperti ini. Terlepas dari itu semua, karena mencintai dalam diam itu memang indah. Nikmat. Karena hanya Allah lah yang mengetahui setiap pertumbuhan nya. Sampai mana proses itu berlanjut pun hanya Allah dengan kuasanya yang mengetahui.

Dan ikhlas akhirnya menjadi pilihan terakhir.

Karena Dia-lah yang berhak mengatur dan membolak-balikkan hati manusia.

"Rabbanaa aatina fiddunya hasanah wafilaakhirati hasanah waqina 'adza bannar. Subhanarabbika rabbii 'idzatii 'amma yasifun wasalamun 'alal mursalin walhamdulillahi rabbil'aalamin."

Kalian tahu bagaimana leganya saat kita bisa mencurahkan seluruh perasaan kepada yang maha memiliki perasaan. Masyaallah, rasanya terlampau lega, seluruh beban, gundah-gulana hilang dalam beberapa waktu yang begitu singkat. The power of DO'A. Ya, aku meyakini satu hal itu untuk segala urusan ku.

Saat aku melipat sajadah dan mukena yang kupakai aku menatap Asha yang mungkin baru selesai berwudhu, tumben. Karena hari ini aku bangun terlalu cepat, maka aku memilih melaksanakan sholat tahajud di kamar saja. Toh, gerbang pun masih dikunci sepertinya.

"Udah bangun, Sha? Kaget lho aku, aku kira bukan manusia." Bisa dikatakan ini adalah first time si kebluk bangun sepagi ini. "Ya, aku lah Gan. Kamu kira aku apa? Setan?"

Aku terkekeh geli, pukul satu dini hari itu terlalu pagi untuk seorang Asha bangun. Wajar bukan jika aku heran dengan keadaannya yang sudah segar begini.

"Aku tuh mau tahajud, sama kayak kamu. Biar Allah dengar semua permintaan ku tanpa hijab apapun. Bukankah para malaikat juga turun ke bumi untuk melihat siapa saja orang yang menengadahkan tangannya dan memohon dengan bersungguh-sungguh, disepertiga malam begini," lanjutnya yang seketika membuatku speechless bukan main.

Benarkah yang berbicara dihadapanku adalah Asha Adira? Aku dibuat takjub tak tanggung-tanggung. Dulu saja, jika diajak tahajud selalu ada alasan yang bisa mematahkan argumen ku. Tapi atas ijin Allah, dia akhirnya sadar bahwa tahajud bukan semata-mata sunnah yang bisa ditinggalkan begitu saja. Terlalu banyak keistimewaan didalamnya.

"Alhamdulillah, jangan hari ini doang tapi bangunnya. Istiqomah, ya."

"Aku usahakan, Gan. Insyaallah."

"Aku mau lanjut tidur, kalo kamu masih salat bangunin aku satu jam lagi, ya." Niat mau mandi tapi saat melihat jam ternyata masih pukul satu lewat. "Mau ngapain emang?"

"Mau mandi, lah Sha. Ntar rebutan lagi sama yang lain. Ogah."

Saat aku menarik selimut ku sebatas leher, Asha mengejutkan ku dengan pernyataannya.

"Ngga ada air kali. Tadi aja aku wudhu pake air  sisa yang tinggal setengah bak lagi." Bencana. "Beneran?" Mata yang tadi sudah siap untuk terlelap akhirnya terbuka lebar karena penuturan Asha. Waduh, ngga ada air. Ck, selalu saja.

Aku termasuk santri yang bakalan panik kalo air sudah tidak mengalir ke asrama-asrama puteri. Itu bencana bagiku. Biasanya perbaikannya tidak lama juga tapi oh yaallah, ngga ada air itu susah ngapa-ngapain. Mau buang air besar perlu ngambil air dibelakang asrama.  Belum lagi besok kan masih ada ujian pondok, masa ngga akan mandi lagi sebelum berangkat sih.

"Aku mandi sekarang deh, Sha."

"Gila, kamu. Ini masih tengah malem, Gan. Aku aja tadi cuma wudhu ngeri banget. Krik-krik ngga ada yang bersuara." Lagian kok bisa sih pipa airnya rusak lagi. Harus ganti deh kayaknya.

"Ya, kamu temenin aku makanya."

"Dih, gitu ya. Ogah, gan. Ogah. Tahajud ku belum mulai tapi kamu sudah mengacaukannya. Iya juga.

"Terus aku gimana?"

Tidak mandi pagi itu sama saja merusak kefokusanku dalam mengerjakan soal ujian. Big nooo! Harus mandi, tapi takut juga.

"Yaudahlah paling agak siangan juga ngalir lagi tuh air. Sabar aja, bukannya jadi santri tuh harus penuh kesabaran, kan?" Aku mengangguk menyetujui ucapannya. Menjadi santri adalah tanggung jawab dengan segala resiko yang harus kami hadapi.

Dari sebagian kalian mungkin pernah mendengar kalimat 'penjara suci. Aku setuju dengan analogi itu, karena disini kami di didik untuk menjadi pribadi yang disiplin dan kuat. Kami dijauhkan dari orang tua karena itu semua tidak lepas dari didikan agar kami bisa mandiri dalam situasi apapun.

Dalam syair imam syafi'i pun dikatakan, bahwa; bagi yang berakal dan terdidik, menetap bukanlah memberikan kenyamanan. Tinggalkan negerimu dan berkelanalah! Merantaulah, akan kau temukan ganti dari orang yang ditinggalkan.

Dalam isi syair itu aku memahami bahwa dibalik semua yang aku tinggalkan; orang tua, kenyamanan hidup dilayani, kini digantikan dengan indahnya hidup menjadi santriwati yang terdidik dalam segala hal.

"Masih mau mandi?" Eh, selama apa aku merenung hingga tak sadar bahwa Asha sudah selesai dengan tahajud nya.

"Ngga deh. Aku ikhlas kok, ngga mandi lagi."

"Nah, gitu duongggg. Kan enak. Tidur lagi yokk." Tapi mata ku terlanjur tidak bisa tidur. "Baca-baca materi buat besok aja gimana, malam besok bagian kelasku dengan Ustadz Abu Bakar soalnya."

Ya allah, betapa ciutnya nyali ku terhadap Ustadz paling beken seantero pondok itu. Terakhir kali di test beliau, aku tergagap bodoh dihadapannya. Maka dari itu aku menjadi kacau sendiri setiap memikirkan soal apalagi yang akan beliau lontarkan diujian keempat ku ini.

Sudah dikatakan bukan jika aku ini tidak pandai dalam hal kaji mengkaji kitab kuning. Aku minus dalam semua itu. Baik membaca atau memahami dan terakhir kali nyawa ku ditebas habis oleh kitab fathul qorib. Wakwaww. Ada yang tidak asing dengan kitab fiqih satu itu?

Sepertinya bagi kalian yang memahami lebih dalam kitab itu, bisa direct aku untuk sharing bersama. Biar momok menakutkan dari remedial itu segera enyah dari bayanganku.

"Kemarin, soalnya ngga melenceng jauh dari pembahasan yang pernah dibahas kok, Gan." Oh, iya. Kelas Asha kan sudah di test malam kemarin kenapa tidak aku tanyakan saja.

"Terus-terus sistemnya gimana? Baca kitab lagi dan disuruh ngejelasin kayak tahun kemarin?" Sumpah, aku penasaran. Lumayan bisa memperbaiki mental tempeku.

"Ini diluar dugaan lho, Gan. Ustadz Abu Bakar pakai sistem yang ngga pernah beliau pakai sebelumnya." Dari cerita Asha yang terdengar menggebu-gebu itu aku makin penasaran sistem baru apa yang beliau pakai. "Mau tahu?"

Pakai nanya, memang ekspresiku kurang meyakinkan untuk menunggu jawabannya?

"Iyalah."

"Beliau panggil lima orang kedepan diantara kita. Terus, masing-masing harus bisa menjelaskan satu bab dalam kitab yang kita baca."

"Astagfirullah. Itu sama aja, Asha Adira!" Menyebalkan. Aku sudah dibuat penasaran begini dan jawabannya sama sekali ngga mutu.

"Tapi kan seenggaknya kita maju kedepan berlima. Ngga sendiri-sendiri kayak dulu. Lagian kata beliau juga, sendiri tuh ngga enak."

Lho, serius itu Ustadz Abu Bakar yang bilang. Kok kesannya kayak nge-bucin. Eh, astagfirullah.

"Bukan sistem baru namanya kalo gitu, Sha. Kamu ngerti ngga sih kalo Ustadz tuh lagi meminimalisir waktu. Aku udah harap-harap cemas nunggu jawabanmu. Tahu gitu ngga aku dengerin dari awal." Kenapa sih, mengharapkan keseriusan Asha itu seperti menunggu buah bungur jatuh.

"Tapi katanya, kelasmu itu diganti kan Gus Fawaz lho, Gan."

Astagfirullah, ini lebih dari bencana, Kacau.

***

To be continued
Kamis, 13 februari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro