HAWA - Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tuhan-ku, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. Berikanlah kesembuhan karena kau adalah penyembuh. Tiada yang dapat menyembuhkan kecuali engkau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan nyeri.

---

"Gan, kamu kapan sembuhnya sih. Aku jadi khawatir, takut kamu kena tyfus."

Suhu tubuhku tidak normal setelah menjelani hukuman satu minggu lalu. Entahlah, ada sangkut pautnya atau tidak tapi tubuhku drop sehari setelah acara jemur menjemur itu. Panasnya juga naik turun, ngga menentu.

"Ke dokter ya, besok." Asha masih melanjutkan kecemasannya. Selain pihak pengurus hanya Asha lah yang stand by merawatku. Bikin aku terharu aja nih si kebluk. "Ngga ah, Sha. Aku ngeri kalo kedokter gitu. "

Karena memang aku jarang sakit, sekalinya sakit jadi begini. Agak ngeri aja kalo datang ke dokter.

"Lho, kok gitu sih. Ngeri-an mana kalo sampai masuk RS. Hayo lho."

"Mulutmu, Sha. Kalau tepat saat ucapan mu diijabah bagaimana? Mau tanggung jawab," gertakku tak suka. Iyalah, aturan tuh dido'ain biar sembuh, malah bawa-bawa RS segala.

"Bukan sengaja mendo'akan yang jelek, Mahika. Aku cuma takut kalo penyakit mu itu makin parah, gustiiiii. Ngerti kekhawatiran aku ngga sih, Gan kamu tuh?"

Aku mengulas senyum simpul. Perawat berjalan ku ini setiap harinya selalu saja berubah menjadi sosok yang sangat overprotect tapi aku suka. Gayanya mengungkapkan kecemasannya itu selalu membuatku merasa menjadi sosok yang diprioritaskan.

"Makasih ya, Sha. Aku sayang kamu tanpa cela." Dia mengernyit heran. Karena selama dua tahun kami kenal ini adalah pertama kalinya aku mengungkapkan secara langsung jika aku menyayangi nya. Bahkan teramat menyayangi si kebluk ini.

"Efek kamu sakit kok jadi gini sih, Gan. Aku ngga paham. "

"Kamu mana paham sih, perkataan orang dewasa," candaku mengundang tawa tersendiri untukku. Sedangkan Asha merengut tak suka. Umurku memang satu tahun dibawah Asha, ngga tahu deh itu karena aku yang kecepatan masuk sekolah atau Asha saja yang udah tua dari lahir. Haha. Sori, sha.

"Kualat ya kamu sama temen cantik mu ini, Gan. Udah sok menuakan diri lagi, iwhh."

Aku tergelak dengan ekspresinya yang berlebihan. Dasar, hiperbolis. Jago banget akting drama nya.

"Udah, ih Sha. Aku geli liat muka mu yang udah kayak pesitneron suara hati istri itu."

"Aaaa, Gangika. Ngga mau disamain sama pelakor begituan." Dih, kepedean nih anak. Ngga ada yang bilang juga kayak pelakor. Di film itu kan yang berperan bukan cuma pelakor.

"Tonton deh sampai tuntas. Bukan cuma fokus sama pelakornya doang." Aku menepuk pundaknya, membiarkan dia meringis lebay.

"Yang masih di kamar, jam istirahat udah selesai. Telat satu menit, gerbang ditutup dan dikunci. La uqobbil hujjah!" ¹

Aku dan Asha sama-sama tersentak kaget. Terlebih Asha yang langsung membenahi seragam sekolah nya dan mengambil buku dari lemarinya.

"Aku balik sekolah lagi ya, Gan. Jangan macam-macam. Obatnya juga diminum, bye." Setelah mengucapkan wejangan teratur selama satu minggu ini dia meninggalkan kecupan singkat dipipiku. Bikin aku terkekeh geli. Ada saja tingkah menggelikannya.

Hati-hati, Sha. Kalimat itu hanya bisa aku ucapkan dalam hati karena pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Asha...asha,  aku bersyukur bisa kenal kamu sejauh ini.

Terkadang nikmat sehat itu selalu luput dari rasa syukur kita atas rezeki yang allah beri. Setelah sakit baru kerasa kalau sehat itu nilainya lebih mahal dari apapun. Tapi kebanyakan diantara kita ya, salah satunya aku menganggap sepele nikmat sehat yang allah beri. Padahal jika kita tidak bisa kentut sehari saja itu perut sudah kembung ngga karuan. Sesepele hal seperti itu, bisa luput dari rasa syukur.

"Permisi."

Astagfirullah. Jantungku mencelos mendengar sapaan dibalik pintu yang sebelumnya tertutup itu. Kaget.

"Ah, iya dek. Kenapa?" Aku berusaha menormalkan detak jantungku yang sedikit memburu karena sapaan mendadak ditengah lamunan ku.

"Mau pinjem ember sama gayung, Teh. Ada?"

"Oh, itu. Dipojok situ, cari aja. Kayaknya ada kok."

Anehnya, kok aku ngga kenal siapa dia. Asing saja menurutku. Atau memang karena aku yang tidak terlalu suka bersilaturahmi ke kamar yang lain? Ahhh, maybe.

Setelah pintu ditutup kembali, aku mendudukkan diri yang sedari tadi hanya terbaring dengan berbagai posisi. Panasku sudah turun sih, tapi takut kayak kemarin. Aku mandi, eh tahunya malemnya panas tinggi lagi.

Membosankan.

Aku mengambil tasbih diatas lemari ku dan mulai membaca sholawat syifa' atau lebih sering kami sebut sholawat tibbil qulub. Semoga allah redakan rasa sakit yang mendera tubuhku melewati perantara sholawat ini.

Allohumma sholli 'ala sayyidina muhammadin tibbilquluubi wadaawa ihaa, wa'a fiyatil abda'i wasyifaaiha, wanuurilabshori wadiyaaiha wa'alaa aalihi washohbihi wasallim.

Setiap butir dari tasbih itu bergulir bersamaan dengan sholawat yang kuucap didalam hati. Rasanya tenang. Sejuk.

Setelah dirasa cukup, aku memilih mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat sunnah dhuha. Lumayan, banyak waktu ku yang tidak terpakai untuk beraktivitas lebih baik diisi sholat sunnah dhuha. Lagian akhir-akhir ini aku jarang sekali melaksanakan dhuha, selalu saja ada alasan yang dibuat-buat.

Saat aku melewati ruangan pengurus, terdengar suara gelak tawa yang cukup keras. Lho, itu siapa? Ngga mungkin selain pengurus bisa masuk ke ruangan itu. Karena tingkat ke-kepoan ku itu selalu tidak bisa dikendalikan, akhirnya aku mengintip dibalik jendela yang horden nya sedikit tersingkap.

Hape?

Kok, mereka bisa main hape diwaktu kegiatan belajar pula. Bukankah larangan membawa hape itu sudah masuk kedalam pelanggaran berat apalagi ini memainkan di jam kegiatan pesantren masih berlangsung. Ck, selalu timpang begini setiap tahunnya.

Pengurus akan lupa daratan dan seolah menyepelekan jabatan yang diembannya. Mereka terlena dan merasa bebas sendiri. Kejadian ini bergulir disetiap angkatan kepengurusan. Selalu. Aku memilih pergi dari kawasan yang malah membuatku emosi mendadak.

Dan aku hanya bisa berdo'a semoga angkatan ku tahun besok tidak mengikuti jejak buruk yang dilakukan angkatan tahun ini. Aku menyayangkan setiap kebobrokan beberapa 'oknum yang menganggap sepele peraturan dikarenakan merasa aman karena teman mereka yang akan menegur. Ketenangan itulah yang seringkali menjadi bom waktu di kemudian hari.

Aku memang tidak habis pikir, kenapa ada beberapa 'oknum yang berani mengelabui aturan hanya karena dorongan nafsu semata. Dan aku masih merasa janggal, kenapa diantara mereka yang melanggar hanya segelintir kecil yang akan merasakan teguran Ustadz Abu Bakar. Apa ada semacam konspirasi yang terjadi atau bagaimana?

Eh, Gangika. Kenapa malah mikir kemana-mana. Niatnya kan mau wudhu buat sholat dhuha, malah melipir urusin hidup orang. Lagian, kena atau tidaknya mereka sanksi pesantren, Allah sudah mengaturnya bukan? Ini hanya persoalan waktu dan keberanian melapor. Kebanyakan dari santri tidak ada yang berani melapor kasus-kasus yang bergulir setiap tahunnya ini kepada staff ke-pesantrenan. Semacam diskriminasi untuk pihak-pihak tertentu.

*¹ Saya tidak menerima alasan*.

*Ambil baiknya, buang yang sekiranya buruk untuk ditiru*.

*Bandung, 22 januari 2020*.

To be continued
Rabu, 26 februari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro