Bab 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab  22

Dalam beberapa detik, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut Marvin. Ujung jari-jari tangan kanannya yang hampir menyentuh pergelangan tangan Hazel ditarik kemudian dikatupkannya perlahan hingga mengepal kuat-kuat. Hazel melangkah mundur dengan cepat hingga tanpa sengaja punggungnya menabrak dinding. Beberapa detik berikutnya suara pintu dibuka dan ditutup dengan keras.

Marvin membalikkan badan, melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu menuju pintu, berusaha secepatnya menyusul Hazel.

Mulai detik ini, aku keluar dari hidupmu

Ucapan itu terdengar sarat kemarahan dan kebencian. Singkat namun maknanya sangat dalam.

Semudah itukah Hazel ingin keluar dari kehidupannya?

Lalu, apa yang akan dilakukannya jika Hazel benar-benar ingin keluar dari hidupnya?

Tidak. Tidak boleh begini. Hazel tidak boleh pergi dari hidupnya. Kalaupun Hazel menginginkannya akan dilakukannya segala macam cara untuk tetap menahan Hazel sekalipun harus memaksa dan sekalipun mungkin seumur hidupnya hanya akan menerima amarah dari Hazel, Marvin tidak peduli. Hazel hanya harus tahu bahwa Marvin masih membutuhkannya. Kejadian semalam diakuinya adalah kekeliruan paling fatal yang pernah dilakukannya terhadap Hazel tapi Hazel tidak boleh meninggalkannya secepat itu.

Hazel adalah istrinya, miliknya! Dan apapun yang menjadi miliknya, tetap harus berada di dekatnya, bersamanya, menjadi bagian dari hidupnya.

Mungkin belum terlambat untuk meminta maaf. Ya, mereka bisa membicarakan kekeliruan yang dilakukannya secara baik-baik. Hazel pasti mengerti. Hazel hanya terlalu menuruti kemarahannya. Perasaannya terlalu sensitif. Lagipula kejadian semalam hanya seks biasa. Rasanya sakit, tapi bukankah memang seperti itu yang dirasakan perempuan di seks pertama mereka?

Marvin menghentikan langkah di anak tangga terbawah di lobi hotel. Hazel masuk ke dalam kafe dan duduk di sebuah meja kosong di dekat dinding yang terbuat dari kaca. Duduk dengan napas terengah-engah, sesaat sebelum menyeka sudut mata kanannya dengan jari-jari tangannya. Ke dua bahunya bergetar, wajahnya menunduk dalam-dalam.

Bahasa tubuh yang menyiratkan kepedihan. Tapi tidak ada airmata yang menetes di ke dua pipinya. Hazel terlihat tegar. Dan ketegaran itu mulai membekaskan rasa bersalah dalam diri Marvin.  

                                                                                ***

 Ketika kembali ke kamar, Hazel mendapati Marvin yang sedang berdiri menghadap jendela sambil memasukkan tangan ke saku celana. Marvin berbalik dan menatapnya dengan ragu. Hazel menyeret langkahnya ke tempat tidur dan menutup koper yang tadi ditinggalkannya dalam keadaan terbuka.

Andai bisa memilih, Hazel ingin kembali ke Jakarta sendirian. Dia tidak tahu apakah akan sanggup menghabiskan beberapa jam bersama Marvin dalam perjalanan pulang nanti, menahan gejolak kemarahan dan sakit hati yang memenuhi perasaannya. Tapi dia sudah berhasil menahan airmata keluar dari ke dua kelopak matanya yang selalu terasa perih bila mengingat semua perlakuan Marvin padanya. Hazel tahu bahwa dia hanya punya dirinya sendiri untuk tetap tegar menghadapi semua kenyataan pahit dalam hidupnya.

Marvin harus tahu, bahwa Marvin tidak bisa membuat hidupnya menderita.  

                                                                                ***

Perjalanan pulang dirasakan Marvin menjadi perjalanan paling panjang, sunyi dan sulit. Hanya suara radio dan dengungan ban yang memenuhi pendengarannya. Hazel duduk diam tanpa pernah sekalipun melihatnya. Ke dua tangannya terlipat di depan dada. Tas tangannya diletakkan di pangkuan. Wajahnya terpancang lurus ke depan, dan andai Marvin bisa melihat dalam ke dua matanya, maka hanya kemarahan yang didapatkannya di sana. Hazel pantas marah. Sekalipun pengalaman bercinta dengan Hazel sangat memuaskan nafsunya, tetap saja yang dilakukannya adalah sebuah pemaksaan. Pelecehan. Pemerkosaan. Hazel menyerahkan diri kepadanya dengan terpaksa. Bagaimanapun Marvin mencari alasan pembenaran atas tindakannya, tetap saja dia seterusnya akan menjadi pihak yang bersalah.

Marvin menarik napas yang terasa mencekik di tenggorokannya.

Tidak ada kesempatan untuk meminta maaf. Bahkan kalaupun ada, Marvin sudah tahu jawabannya.

                                                                                ***

Ketika memasuki  halaman rumahnya, Karina sudah berdiri di teras, menunggu kedatangan Hazel. Mama Hazel keluar setelah mendengar teriakan antusias Karina.

“Waah…yang baru pulang bulan maduuu. Seger yaaa…”

Setelah turun dari mobil, Hazel langsung bergerak cepat menuju bagasi untuk menurunkan sendiri kopernya yang lumayan berat. Karina urung mengajak Hazel mengobrol di halaman, karena wajah Hazel tampak murung. Hazel hanya mengecup pipi kiri dan kanannya dan mengajaknya masuk tanpa menghiraukan Marvin.

                                                                                ***

 “Lo kayaknya capek banget deh,” ucap Karina yang duduk di sofa, memperhatikan aktivitas Hazel mengeluarkan pakaian dari dalam koper.

Marvin membuka pintu kemudian memasukkan satu koper lagi ke dalam kamar. Karina cepat-cepat berdiri.

“Mm, sori. Gue keluar dulu ya. Gue nunggu di bawah aja.”

Marvin mencegah. “Lo di sini aja. Bukannya lo kangen sama Hazel?”

Karina tersenyum tipis. “Hehe…siapa tau kalian masih mau mesra-mesraan gitu?”

Marvin hanya melemparkan senyum  sebelum berjalan menuju pintu, “Gue ke bawah dulu.”

Setelah Marvin berlalu, Karina kembali duduk, kali ini di tepi tempat tidur.

“Jadiiii…mau bagi cerita apaan nih? Ayo doong udah nggak sabar,” kata Karina setengah mendesak.

Hazel memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang pakaian.

“Kayaknya standar aja deh, kayak orang bulan madu, gimana sih?” Hazel memisahkan pakaian bersih yang kemudian disusunnya dalam satu baris lipatan rapi.

“Kan lo sama Marvin bulan madunya di villa. Gimana villanya?”

                “Bagus kok. Gue suka,” kata Hazel singkat.

                Karina tertawa kecil. “Pasti bawaannnya pengen deket mulu kan? Abisan dingin kan bisa saling menghangatkan gitu, hihi…”

                “Iih…lo pengen tau aja. Lagian kisah bulan madu kan privasi gue?”

                Karina manyun. “Ah lagak lo. Ehm. Tapi Marvin gimana? Oke nggak? soft apa hard player? Aaw…jadi pengen cepet nikah kan gue?”

                Hazel menelan ludah. He’s such an asshole, Kar. Dia udah nyakitin gue lahir dan batin. Dan gue nggak akan pernah bisa maafin dia.

                “Lumayan.” Hazel langsung mengalihkan topik pembicaraan. “Eh, bentar malam ngafe sama ngemall yuk?”

                “Marvin gimana?”

                “Dia nggak ikut. Gue cuma pengen berduaan sama lo. Kan gue kangen sama lo, Kar.”

                Karina memeluk sahabatnya. “Iya. Gue juga kangeeeen banget sama lo. Suami lo disimpen di rumah aja.”

                                                                                                ***

                “Sebelum pindah ke rumah kalian, Mama udah minta Marvin tinggal sama kita,”

                Hazel hanya mengangguk pelan sambil memulas lipbalm di bibirnya.

                “Berapa lama, Ma?”

                Mama tersenyum. “Ya sampai kalian pindah. Marvin udah setuju.  Kamu udah beresin kamar kan?”

                Hazel mengangguk,” Udah kok, Ma.”

                Mama menepuk bahu Hazel, “Buat Marvin betah di rumah kita ya? Layani dia dengan sebaik-baiknya.”

                “Iya, Ma.”

                Mama memandangi wajah Hazel yang muram. “Kamu kenapa, Zel? Sakit?”

                Hazel menggeleng, “Nggak. kenapa, Ma?”

                “Nggak. Soalnya sejak datang, kamu kayaknya nggak semangat gitu. Kalian baik-baik aja kan selama bulan madu?”

                Hazel merekahkan senyum. “Iya dong, Ma. Ini mungkin cuma karena kecapean aja.”

                “Ya sudah. Jadi kamu mau jalan sama Karina? Nanti dianter Marvin kan?”

                “Itu…”

                Ucapan Hazel terpotong dengan kehadiran Marvin yang kini sedang berdiri di ambang pintu kamarnya.

                “Udah siap?”

                Pakaiannya rapi.

                Melihat Hazel yang nampak ragu, Marvin menjelaskan, “Nanti biar aku anter kamu ke rumah Karina.”

                Hazel melirik mamanya dan mendapati mamanya tersenyum padanya, “Ayo berangkat sana.”

                Hazel mengambil tas di atas tempat tidur dan beranjak untuk mengecup pipi kanan dan kiri mamanya, “Hazel berangkat dulu ya?”

                “Hati-hati. Mama titip martabak ya?”

                                                                                ***

                Setelah mengantarkan Hazel dan Karina ke kafe di sebuah mall di kawasan Kuningan, Marvin berencana untuk menemui Aaron yang menunggu di kafe lain yang terletak sekitar 500 meter dari mall tempat Hazel dan Karina hang out. Sebenarnya Marvin bisa saja janjian dengan Aaron di kafe yang sama tapi Hazel kelihatannya hanya ingin jalan berdua saja dengan Karina. Jadi Marvin memilih tempat lain. Lagipula suasana hati mereka sama-sama tidak dalam keadaan baik.

                “SMS aja kalo kamu mau dijemput,” ucap Marvin sebelum mengecup dahi Hazel dengan cepat.

                Bahasa tubuh Hazel menolak, tapi Marvin tidak punya pilihan lain. Karina akan curiga jika mereka menunjukkan bahasa tubuh permusuhan. Kecupan singkat di dahi Hazel sepertinya cukup untuk membuat mereka terlihat mesra. Buktinya Karina langsung mengeluarkan komentar usil.

                “Aaw…romantis bingiiit,”

                Hazel hanya mengangguk dan memutus kontak mata dengan Marvin. Menggandeng Karina yang masih terkagum-kagum dengan kemesraan mereka berdua.

                                                                                                ***

                Sudah lama sejak Hazel mulai masuk ke dalam lingkaran kehidupan Triatomo, dia bisa merasakan lagi jalan-jalan berdua saja dengan Karina. Rasanya menyenangkan. Bebas karena mereka bisa gila-gilaan berdua. Seperti sekarang, mereka sibuk berputar-putar dari satu gerai ke gerai lainnya, mengomentari pakaian, makanan, produk kecantikan, sampai orang-orang yang lalu lalang. Cekikikan bersama-sama, sekalipun kadang mereka bingung sebenarnya apa yang sedang mereka tertawakan. Nongkrong bodo, istilah Karina.

                “Udahan ah, Kar. Capek gue ketawa melulu,” Hazel menyeka ke dua sudut matanya yang berair karena kebanyakan tertawa. Ternyata pilihannya untuk jalan dengan Karina malam itu cukup untuk mengembalikan semangat hidupnya.

                “Gue juga,” Karina tertawa pelan. “Yuk, cabut. Udah hampir jam 10 kan?”

                Setelah menghabiskan seloyang besar pizza dan cola di Pizza Hut, Hazel mengajak Karina ke mesin es krim untuk memesan 2 ice cream cone rasa cokelat untuk Hazel dan vanilla untuk Karina. Mereka mengantri di belakang dua ABG perempuan yang menunggu mbak penjaga stand membuatkan pesanan mereka.

                “Mm, Kar. Besok-besok kalo gue SMS lo buat jalan, lo mau ya?” tanya Hazel. Kalau besok-besok kondisi perasaannya mulai tidak nyaman lagi, dia tahu ke mana harus berkeluh kesah.

                “Ya iyalah, Zel. Kapan sih gue nggak available buat lo?” Karina mengerutkan kening. “Lho. Tapi kan lo udah nikah? Emangnya Marvin nggak bisa lo ajak jalan?”

                “Ya bedalah, Kar.” Hazel perlahan maju ketika dua ABG di depan mereka sudah berlalu dengan dua es krim di tangan masing-masing.

                “Kalo beda sih emang beda. Gue sahabat lo, Marvin suami lo.” Karina menjabarkan. Dan itu sungguh nggak penting di telinga Hazel.

                “Marvin sibuk di kantor. Mana ada waktu buat jalan?” Hazel membuat alasan sekenanya. Kalaupun Marvin punya waktu, haram baginya bepergian berdua dengan Marvin. Kecuali untuk keadaan darurat seperti tadi ketika Marvin mengantarnya ke rumah Karina dan ke mall tempat mereka berada sekarang.

                “Yang namanya suami, kalo memang niat, ya pastilah dia luangin waktu buat lo. Lagian, masak sih dia bakalan sibuk di kantor terus? Hello…udah ada lo ini. Pasti deh lo jadi prioritas dia. Number one priority.”

                “Ya kali kalo dia memang niat,” Hazel tertawa masam. “Lagian. Gue lebih nyaman jalan sama lo kok.”

                “Hei, jangan sampe suami lo jadi mikir kalo gue posesif sama lo ya?”

                “Udah ah, ngomongin dia. Nggak penting!” Hazel menggandeng Karina dengan lengan kirinya, mengajaknya ke pintu keluar mall.

                “Nggak penting?” Karina menjilat es krim vanillanya dan memandang Hazel dengan tidak mengerti. “Suami lo, nggak penting?”

                Hazel mengatur ekspresinya setenang mungkin. Tau-tau saja emosinya keluar tanpa diminta.

                “Mm,,maksud gue….ngapain ngomongin dia sih? Ntar lo cemburu.” Hazel tersenyum.

                “Iya tau yang udah nikah. Tapi kalo cemburu sih iya. Eh lo bisa kali cariin gue cowok kaya, ganteng dan mapan di kantor lo? Atau temannya klien lo gitu?”

                Hazel menggeleng-geleng, “Iih kriteria lo tuh bikin males deh. Kaya, ganteng, dan mapan. Nggak bisa ya kriteria kaya lo nggak disebut-sebut melulu? Kesannya lo matre banget,”

                “Ah kayak lo nggak aja. Marvin kan udah masuk kriteria kayak yang gue sebutin tadi?”

                “Kenapa lo nggak nyari tipe calon suami setia, penyabar, nggak suka selingkuh, nggak bakal nyakitin lo, duain lo, tigain lo…”

                Karina langsung mencubit pinggang Hazel dan berbisik dramatis, “Tuh. Marvin.”

                Hazel mengikuti ke mana arah pandangan Karina terhenti yang berarti sekitar tiga langkah dari tempatnya berdiri.

                “Gimana? Langsung pulang?” tanya Marvin dengan ekspresi wajah yang tidak terbaca.

                                                                                                ***

                Hazel berani bertaruh bahwa Marvin pasti mendengar semua perkataannya sesaat setelah dia dan Karina keluar dari pintu mall. Sesaat Hazel berpikir kalau ucapannya terlalu berapi-api. Emosional. Tapi memang benar adanya. Dia tidak ingin meralatnya untuk alasan ketidaknyamanan batin Marvin.

                Aneh. Bahkan sekalipun Marvin sudah menyakitinya, Hazel masih memikirkan perasaan Marvin.

                Mungkin hatinya menyimpan kemarahan mendalam atas kekasaran Marvin padanya. Tapi jauh di lubuk hatinya, di palung terdalam, Hazel masih berharap ada pencerahan. Ada hal baik dalam diri Marvin yang bisa membuatnya memaafkan Marvin.

Marvin memang sudah mengucapkan maaf. Sekali, sebelum mereka meninggalkan hotel pagi tadi. Sekali itu, dan Hazel langsung membungkamnya dengan penolakan. Kata maaf yang diucapkan Marvin waktu itu adalah kata yang paling tidak ingin didengarkan Hazel. Karena kata maaf itu datang di saat yang tidak tepat. Di saat kemarahan seseorang masih berada di titik tertinggi, kata maaf sekeras dan setulus apapun tidak akan mampu mendamaikan. Ibarat memaksakan memadamkan kobaran api dengan sedikit air, sedangkan api tersebut sudah terlanjur membakar dan menghanguskan segalanya.    

                Dalam hal ini api kemarahan sudah terlanjur merambati seluruh hati Hazel hingga ke sudut-sudut terdalam. Menyakitkan, menyisakan kekecewaan.

                                                                                                ***

                Tiba di rumah, hal pertama yang dilakukan Hazel setelah masuk ke dalam kamar adalah menyiapkan pakaian yang akan dipakainya kerja besok. Dibukanya lemari pakaian miliknya yang dipenuhi pakaian dalam lipatan rapi.

Mungkin butuh sesuatu yang tidak terlalu resmi. Pikirnya.

Pilihannya jatuh pada kemeja satin putih dengan aksen renda minimalis di bagian kancing teratas dan rok abu-abu yang jatuh tepat di atas lutut. Mungkin dia bisa memakai stiletto yang dihadiahkan Maya kepadanya. Kebetulan warnanya abu-abu jadi serasi dengan warna roknya. Handbag Bottega hitam yang  elegan dan simple dari Aaron akan  jadi pelengkap yang sempurna untuk tampilannya besok.

Hazel melihat plester yang melingkari telunjuk kirinya. Semoga saja orang-orang tidak akan terlalu memperhatikannya. 

Setelah menyiapkan pakaian yang akan dipakainya besok, Hazel beralih untuk melihat lagi agenda kegiatannya. Masuk kantor setelah cuti selama lebih dari seminggu tentunya menyisakan tumpukan pekerjaan untuknya. Hazel hanya bisa berharap Pak Danar menaruh rasa kasihan padanya.

Suara pintu ditutup membuat Hazel buru-buru melangkah menuju kamar mandi. Suara Marvin terdengar begitu datar dan dalam.

“Bisa kita bicara?”

Wokeehh....akhirnya bisa kepost juga. Yuk ditunggu komentarnya..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro