Bab 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 I'm back!!!!

Seperti biasa vote and commentnya ditunggu...

Ohkay...yg bab ini cuma buat 21 tahun ke atas yaa...

                                          

                                                         Bab 24

“Marvin ke mana?”

Hazel sedang membenahi pakaian Marvin yang berada di rak teratas ketika mamanya masuk ke dalam kamar dan bertanya.

“Sudah jam 11. Dia lembur ya?” lanjutnya lagi.

“Marvin nginap di rumahnya, Ma,” jawab Hazel yang masih harus merapikan lipatan baju Marvin. Seharusnya dia saja yang mengatur pakaian Marvin di dalam lemari. Jadinya berantakan begini.

“Oh gitu. Kok nggak bilang sama Mama?”

“Mungkin dia lupa.” Hazel terpaksa harus menurunkan lagi semua pakaian Marvin ke atas tempat tidur untuk dilipat kembali.

“Lupa? Yang namanya menantu kalau mau nginap di mana ya kasih tau dulu.” Mama terdengar mengomel. “Nanti kasih tau Marvin. Lain kali jangan lupa pamit kalau mau nginap di luar.”

“Lho. Nginapnya juga di rumah dia sendiri kan, Ma?”

Mama menyipitkan mata. “Kamu yakin dia nginap di rumahnya?”

Secara refleks, gerakan tangan Hazel melipat pakaian terhenti.

Mudah-mudahan saja begitu.

                                                            ***

Riana merasakan ada hantaman keras di ke dua telinganya. Marvin baru saja bilang kalau Marvin mencintai isterinya. Oh, tidak!

“Aku harap aku salah dengar.” Riana melilitkan handuk di tubuh polosnya dan mengambil sebatang rokok dari slof di atas nakas. Tidak berapa lama, mulutnya sudah ikut mengepulkan asap.

“Do not smoke,” Marvin bangun untuk merebut rokok yang sedang dihisap Riana.

Why not? Aku mau ngerokok,” Riana mendekatkan lagi rokok ke mulutnya. Belum sempat dihisapnya, Marvin sudah mengambilnya paksa, meremasnya dan memadamkan ujungnya pada asbak.

“Berani ngebantah lo ya?” Suara Marvin mengeras. “When you are in relationship with me, all you have to do is accept all of  my rules. Nggak ada bantahan.”

“What kind of relationship? Have sex with you and then listen you say that you love the other woman? Kamu bilang kamu cuma cinta sama aku. Tapi sekarang apa? You cheated on me! You felt in love with that bitch!” Riana berteriak sekeras-kerasnya.

“Dia isteri gue! Dan jangan sekali-kali lo nyebut dia cewek jalang di depan gue,” kata Marvin dengan tegas.

“So, what do you want?”

Marvin enggan menatap ke arah Riana.

“I want to break up.”

                                                            ***

Hazel berbaring dengan pikiran tidak menentu. Dibalikkannya badannya ke arah nakas, tempat jam meja menunjukkan waktu pukul 00.00 dinihari. Tepat. Dia tidak bisa tidur. Tidak sebelum dia jelas tentang keberadaan Marvin.

Tidak. Jangan sampai Marvin mutusin tinggal di rumahnya dan nggak balik lagi ke sini. Terlalu cepat untuk memberitahu semua orang tentang kerenggangan hubungan mereka. Tidak. Jangan begini, Marvin.

                                                ***

“What? You want to break up?” Riana menggeleng tidak percaya. “Nggak. Nggak mungkin.”

Marvin menghela napas. “Kita nggak bisa begini terus.”

“No. please. Aku nggak mau putus. Jangan tinggalin aku, Marvin. Aku masih sayang sama kamu.” Riana melangkah maju dan memeluk Marvin. “Ingat, aku rela jadi simpanan kamu. Aku rela jadi yang ke dua, asal jangan tinggalin aku. Please.

Dengan Riana yang menangis terisak di dadanya, Marvin perlahan luluh. Tidak bisa melanjutkan keinginannya untuk putus. Riana terlalu tergantung padanya. Jika dia memaksakan diri untuk meninggalkan Riana, itu sama saja membunuh Riana secara perlahan-lahan. Setelah semua pengabdian Riana selama ini padanya, apakah pantas dia membalasnya dengan kata putus?

Riana masih membutuhkannya.

“Aku bakal tetap menghormati hubungan kamu sama dia. Asal kamu mau tetap bersama aku, aku akan setia sama kamu. I gave you everything, Marv. Aku cuma butuh kasih sayang dari kamu.”

Riana memandangnya dengan tatapan permohonan. Marvin mengangguk pelan dan menunduk untuk mencium bibir sensual yang tengah terbuka untuknya. Diikuti gerakan tangan Riana yang menjatuhkan handuk yang dipakainya.

“Oke. Anggap aja gue nggak pernah ngomong soal ini,” Marvin membalas lagi ciuman panas Riana.

“Thanks. It means a lot for me.” Riana menekankan bibir sensualnya dengan semakin agresif. Aah, nggak jadi putus. Senangnyaaa…

“You’re mine.” Riana berbisik sambil menekankan payudaranya ke dada Marvin. Menyatukan gairahnya dan gairah Marvin, lelaki yang paling diinginkannya.

“Aah...Riana,” erang Marvin ketika Riana mendudukinya, menggigit daun telinga kanannya. Menciumnya, kemudian mendekatkan puting kanannya ke mulut Marvin. “C’mon. aku butuh keahlian mulut kamu di sini,”

“Sorry, gue lagi nggak pengen nyusu,”

Riana memutar bola matanya, “Udah deh, nggak usah sok nggak mau gitu,” Lalu diarahkannya lagi mulut Marvin yang so sekseeh itu ke dadanya. “Buat aku merintih dengan kenakalan kamu.”

Marvin tersenyum. “Tapi  ada syaratnya,”

Riana mengerang frustrasi, “Damn, Marvin! Jangan bikin aku tersiksa kayak gini.”

“Ya udah kalo nggak mau,” Marvin meniupkan udara ke bawah telinga kanan Riana. Membuat Riana semakin menginginkan sentuhannya.

“O…oke, tell me. Nggak pake lama,”

Marvin tertawa,” Well…”

“Oh My God, Marvin. Jangan jadi nggak asik gini dong,” Riana menyentuh dadanya sendiri dengan telunjuknya, lalu melakukan gerakan memutar dengan ibu jari dan telunjuk. “C’mon. cepetan bilang syaratnya,”

Dasar jalang.

“Satu menit aja ya?” Marvin meneruskan siksaannya dengan tetap bergeming sementara Riana semakin frustrasi digantung seperti itu. Marvin mulai membayangkan jika Hazel yang disiksanya dalam keadaan seperti sekarang. Owh, hanya membayangkan Hazel duduk di pangkuannya, naked, dan memohon, membuat gairahnya naik beberapa level. Ooohh… I need her.

Gosh, why? Kenapa gue masih juga mencintai perempuan yang sudah memutuskan keluar dari hidup gue? Kenapaaa???

“Marvin? You waste the time sama bengong nggak penting. Dan satu menit? Iih, hina banget,” Riana mulai mengomel.

She’s perfect in all the way. Bibirnya, matanya, hidungnya, keringatnya, erangan kesakitannya, airmatanya. She took my heart. She makes me believe, that is love. That is love. Even i made her cry, even i made my handprints in all over her body with all my stupid fucking sickness. Even I cheated on her. I’l still love her. Bloody in love with her.

Hell yeah. Selamanya dia bakal ngecap gue sebagai cowok paling brengsek yang cuma bisa menyakitinya.

See? Gue memang cowok brengsek! Gue nggak perlu perhatiannya lagi. Bukannya dia sudah nolak permintaan maaf gue? I have no idea. Ada Riana yang bisa menghibur dan bisa gue bang sekalian.

“So, can we start?”

Riana langsung menyambut dengan antusias, “Absolutely.”  

Ketika Marvin menurutinya, erangan kenikmatan terdengar dari mulut Riana. Digerakkan panggulnya, mencari posisi yang pas di bawah sana sambil tetap fokus menikmati gerakan lembut lidah Marvin di sekeliling putingnya yang sudah mengeras.

“Lovely,” sahut Riana di sela-sela desahannya. Dijambaknya rambut Marvin sebagai pelampiasan lonjakan gairahnya. “Baby, I think I’m dead nnn…ooowwh.”

Riana mulai gelisah tidak menemukan posisi yang pas, padahal ke dua pahanya sudah dilebarkan dengan maksimal.

“Sayang, I can’t find you,”

Marvin menyeringai menggoda. “Find what, Baby?”

“Yours.”

“Hmm, selalu ya kayak gini? Nggak sabaran,” ucap Marvin menghentikan aktivitas foreplaynya sejenak.

“Salah kamu sendiri,” Riana berhenti dan meringis. ”Akh, kamu lagi nyusu apa makan sandwich sih? Sakit tau,”

“Bayinya lagi rewel,” Marvin melepaskan puting Riana dari mulutnya.

“Siapa yang nyuruh kamu lepas?”

“Lho, katanya sakit?”

Riana menunduk untuk melihat ujung puting kiri dan kanannya yang menegak dan terasa berkedut-kedut. “Errr...tapi kan masih pengen?”

“Siniin deh,” Marvin lalu membuka mulutnya.

Riana dengan cekatan mengarahkan lagi putingnya ke mulut Marvin yang menyambutnya dengan gerakan pelan dan lembut.

“Aku udah nggak tahan,” rengek Riana.

Marvin paham. Dia lalu memegang panggul Riana, memundurkannya dari pangkuannya, mengatur posisi senyaman mungkin sementara kejantanannya bersiap menemukan pasangannya.

“I found you,” bisik Marvin sesaat sebelum menekan ke dalam diri Riana secara perlahan-lahan sambil menggerakkan panggulnya. Membiarkan Riana menikmati pertemuan panas itu sampai puas.

“Fuck!” Riana menyentakkan kepalanya. Menengadahkannya ke atas.

Marvin menggeram saat memasuki Riana semakin dalam. Sementara Riana terus mengeluarkan suara-suara sensual sebagai ekspresi kenikmatan tiada tara yang tengah dirasakannya lahir dan batin. “Don’t stop, Sayang. Just… don’t. Marviiin! Akh..aaaaakhh…”

“Wow, scream out loud?” bisik Marvin yang sangat puas dengan respon Riana.

“Yes, you… drive… me… crazy,” ucap Riana terbata-bata. “Ooohh…Marvin. Please. Do it again,”

Marvin menekan dengan cepat dan kuat dalam sekali sentakan.

“AKKHH!!” Riana mengerang kuat. Semakin terbakar dalam gairah.

Marvin benar-benar juara! Lelakinya. Cintanya. Miliknya.

“So, gimana sama yang ini?” Marvin menyerangnya lagi. Menyiksa dan terus menyiksanya dengan kenikmatan yang tiada bandingannya.

Semoga hanya dirinya yang dipuaskan Marvin seperti ini. Bukan isterinya.

“Akhh!”

“Sssh…”

 “Marvin…aaah…this…is…so…fan…tas…tic!!” erang  Riana ketika kembali menemukan pelepasannya entah untuk kesekian kalinya.

Damn. Bagaimana mungkin dia bisa lepas dari lelaki yang tahu bagaimana memuaskan hasrat seksnya dan membawanya hingga langit ke tujuh? All about Marvin is only about herself. Mereka sudah ditakdirkan menjadi satu. And who cares about marriage? Asalkan bisa bersama Marvin, menikah atau tidak, bukan masalah baginya.

Setelah sama-sama kehabisan tenaga, Riana bergerak turun dari pangkuan Marvin dan membaringkan tubuhnya yang bermandikan keringat. Sedangkan Marvin berbaring dengan posisi telentang. Menelengkan kepala melihatnya.  

“Wow, really excited, uh?” Suara Marvin terdengar masih cukup stabil.

“Yes, Baby. I’m so damn in love with you,” ucap Riana setelah menghempaskan punggungnya di atas tempat tidur. “Waw. I can’t believe this.”

“What?”

“Ada di dekat kamu. So close. Even kamu baru bulan madu sama dia.” Riana tertawa kecil. “You’re a beautiful sinner. Punya isteri tapi masih nyari aku buat sex. So. Kamu udah tidur sama dia? Taruhan. She was boring, right?”

“Not bad at all.”

“Hmm. Dia pasti kelabakan ngadepin kamu. So you teach her?”

Marvin tidak menjawab. Sebaliknya dia bertanya.

“Seks pertama lo kapan?”

Riana mengubah posisi menjadi tengkurap dan menopangkan tubuh di ke dua siku. “Tumben kamu nanya.”

“Jawab aja,”

“Kamu nggak bakal marah kan?”

Marvin menelengkan wajahnya hingga setengah menghadap ke wajah Riana. “Kenapa harus marah?”

“Rrr…kay. Kalo nggak salah ingat, waktu prom night SMA.”

“Masih ingat rasanya gimana? Sakit?”

Riana menggigit-gigit bibir bawahnya. “Like hell. Cowok aku waktu itu payah banget. Abis itu, aku mutusin dia dan nggak mau ketemu dia lagi,” Riana juga penasaran dengan Marvin. “Kalau kamu?”

Marvin diam.

“Gila ya? Kita udah hampir setahun, tapi baru sempat nanya-nanya soal gini. Ya, I know, ini nggak etis. Tapi…”

“Waktu kuliah. Abis Ospek. Sama senior cewek yang paling cantik,” Marvin menjawab lancar.

“Really? Aku ngeduluin kamu dong,” Riana menunjukkan wajah sedikit menyesal. “I was so sorry. Nggak bisa jadi yang pertama buat kamu.”

Marvin hanya nyengir, “I even don’t care about that.”

“She must be a lucky girl,” Riana tersenyum. Disentuhkannya telunjuknya di permukaan perut six packs milik Marvin, dan memutar-mutarnya hingga berhenti di dekat pusar Marvin yang tertutup selimut. “But now I’m the luckiest one. To have you in my life.”

And I’m the luckiest man on earth. Jadi laki-laki pertama untuk Hazel.

Karena Marvin bisa merasakannya. Dialah yang pertama untuk Hazel.

                                                            ***

  Hazel benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Lelah dengan rasa kantuk yang tidak kunjung datang membuatnya memilih untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur.

Tanpa sengaja, pandangannya terhenti pada ponsel Marvin yang tergeletak di atas nakas. Dia seharusnya tidak menyentuhnya. Tapi dorongan rasa penasaran membuatnya ingin segera melihat ponsel tersebut.

Marvin mengunci ponselnya sehingga Hazel tidak bisa melihat lebih jauh. Tapi ada satu hal yang membuatnya terkejut.

“Foto gue?” ucapnya setengah tidak percaya.

Marvin ternyata memasang fotonya sebagai wallpaper. Foto yang dijadikan wallpaper itu diambil Marvin ketika mereka makan siang bersama seusai bermain bowling dua minggu sebelum mereka menikah. Hazel susah payah menutup wajahnya dari jepretan foto Marvin, tapi akhirnya dia menyerah juga dan bersedia difoto. Sebuah foto dengan senyuman tipis bercampur bête.

  Ah, memasang fotonya di wallpaper apa hebatnya sih?

                                                            ***

Pagi-pagi sekali Marvin sudah muncul di rumah Hazel berpakaian rapi, dengan alasan bahwa dia menginap di rumahnya. Secara kebetulan alasannya klop dengan alasan Hazel.

 “Lain kali, kamu jangan lupa pamit kalau mau nginap.” Mama Hazel mengingatkan.

“Iya, Ma. Maaf.”

Di sampingnya, Hazel baru saja duduk setelah membuatkan secangkir kopi untuknya. Marvin menggumamkan terimakasih yang dibalas Hazel dengan senyum tipis yang dipaksakan.

Yeah, bukankah mereka sedang menjalani akting sebagai newly wed yang berbahagia, Saudara-saudara?

Marvin beralih menyesap kopinya. Rasanya pas.

“Ya sudah. Nanti kan sesekali juga Hazel bisa nginap di sana.” Papa Hazel menimpali. Beliau meneguk teh dengan hati-hati karena tehnya masih sangat panas.

“Yaah jangan dong, Pa. Mumpung belum pindah rumah, Hazel sama Marvin harus nginap di rumah ini.” Mama Hazel memandang sedih kepada Hazel. “Mama masih belum siap kalau kamu tinggal terpisah dari Mama sama papa, Zel.”

“Maaa,” Hazel mendesah, “Jangan sedih gitu. Nanti Hazel juga bakal sering-sering ke sini kok,”

Mama Hazel mengangguk, “Atau kalian tinggal aja terus di sini.”

Papa Hazel menimpali lagi, “Ma. Hazel kan udah nikah. Jadi memang sudah saatnya dia hidup mandiri, nggak tinggal bersama kita lagi.”

Vio ikut berkomentar, “Iya, mama jangan sedih gitu. Lagian kan masih ada Vio. Rumah nggak bakal Vio biarin sepi kok.”

“Tapi kan tetap aja beda…”

Marvin menoleh menatap Hazel, untuk mendengarkan pendapatnya. Hazel hanya menunduk dan melanjutkan makannya.

                                                            ***

 Malam harinya, Marvin pulang dari kantor lebih awal. Hazel memintanya untuk pulang cepat jadi Marvin bisa bergabung dengan mereka untuk makan malam. Tentu saja permintaan itu hanya sebagai upaya untuk menghargai kebiasaan keluarga Hazel yang selalu berusaha menyempatkan diri untuk makan malam bersama. Hazel yang walaupun super sibuk di kantor pasti selalu pulang sebelum jam makan malam.

“Tumis jamur, perkedel kentang sama ikan steamnya buatan Hazel. Mama cuma kebagian bikin kering tempe.” Mama Hazel memperkenalkan masakan yang terhidang di meja satu-persatu. Menatap bangga kepada putri sulungnya, “Hazel selalu yang paling heboh kalau sudah ada di dapur,”

Marvin memperhatikan Hazel yang sedang menyendokkan nasi untuknya. Pandangannya jatuh pada leher jenjang Hazel yang terpampang jelas. Rambutnya digelung seadanya, sedikit berantakan, sisa-sisa rambut yang tidak ikut tergelung jatuh di permukaan kulit lehernya. Setetes keringat menuruni lekuk lehernya. Terhenti di pundak kirinya.

“You’re sweating,” ucap Marvin ketika mengelap bulir keringat itu dengan jempolnya.

Hazel awalnya terlihat tidak nyaman tapi lalu mengabaikannya dan menyendokkan lauk ke piring Marvin. Marvin masih terus menatapnya. Hazel tahu karena dia sempat melirik dan mendapati Marvin tersenyum padanya.

Apa lagi mau  si asshole satu ini?

“Aku mau makan semua masakan kamu,” Marvin mengulurkan tangan. Sengaja meletakkannya di pegangan sendok yang juga sedang dipegang Hazel.

Hazel menunduk dan berusaha berkonsentrasi menusuk perkedel kentang tanpa terlihat gugup. Marvin sepertinya sengaja menggodanya di depan ke dua orangtua dan adiknya hingga tidak ada peluang baginya untuk menolak Marvin dan menamparnya kuat-kuat.

“Ok. Mari makaaaan,” ucap Hazel kepada semua orang.

Sepanjang makan malam, Hazel makan begitu lahap. Tanpa mempedulikan Marvin yang menatapnya penuh harap.

I love you, Hazel Andriana Azalea. So much.

                                                            ***

“Ngapain kamu?”

“Kamu pasti capek abis masak. I do something to help.”

“I don’t need help,”

Dengan bujukan, Marvin berhasil menghalau Vio dan mama Hazel untuk beres-beres sehabis makan. Hanya mencuci piring.

“Aku mau tetap bantu kamu,” Marvin sedikit bersikeras.

Hazel membalikkan badannya menghadap bak cuci piring, bersiap-siap mencuci piring. Lengkap dengan celemek yang sudah dipakainya. Dan ekspresi tidak ingin diganggu. Mata menatap tajam, dan wajah tanpa senyum. Tentu saja Hazel tidak punya alasan untuk tersenyum padanya.

Tidak ingin berdebat, Marvin memilih meninggalkan pantry.

She hates me damn much. And i deserve it.

                                                            ***

Hazel masuk ke dalam kamar, membanting pintu kamar mandi di belakangnya.

This is not fair, God,  desahnya.

Kenapa? Kenapa Marvin harus memperlakukannya seperti itu? Seperti seorang isteri yang benar-benar dikagumi oleh suaminya sendiri. Kenapa Marvin tidak bisa bersikap dingin, kasar, hingga Hazel punya alasan semakin kuat untuk membencinya?

Masih dengan kungkungan perasaan aneh, Hazel mengambil sikat gigi dan pasta gigi. Terlalu lama berada di dalam kamar mandi bisa-bisa membuat pikirannya semakin tidak karuan.

                                                            ***

Ketika keluar dari kamar mandi, tubuh Hazel hampir menabrak Marvin yang berdiri di depan pintu kamar mandi. Hazel kembali berjalan menuju tempat tidur ketika Marvin menggeser tubuhnya. Memberikan jalan.

                                                            ***

Hazel baru saja selesai meeting dengan klien dari The Royal Apartment III. Lelah tapi selalu menyenangkan. Bertemu klien dan membuat mereka puas dengan hasil kerjanya adalah hal luar biasa yang membuat mood-nya yang buruk kembali menjadi baik.

Ketika sedang mengecek kembali proyek apartemen yang akan menjadi fokus utama pekerjaannya selama setahun ini, ponsel yang diletakkan di atas meja tepat di dekat handbag Prada pinknya, bergetar.

Katrin.

Hazel tersenyum sebelum mengklik yes.

“Hei, Katrin. Biasa, working hard demi sesuap nasi dan sebongkah berlian,” canda Hazel diikuti tawa geli Katrin. Her second bestfriend after Karina. Aneh, sekarang dia bisa begitu akrab dengan Katrin yang di kesan pertama sangat interogatif dan judes.

“Astagaa. Mau lo apain rekening gendut sepupu gue? Lo bisa ambil semua buat beli yang lo mau dan bikin Marvin kere, oke?”

Ya ya. Belanja sampai muntah-muntah juga, uangnya nggak bakal habis. Income per jam dari pekerjaan sampingan Marvin sebagai pemegang saham di beberapa perusahaan tambang sudah cukup membuatnya kaya raya sekalipun dia cuma menghabiskan waktu di gym, tanpa bekerja.

Fine. Hazel tidak sudi menggunakan uang Marvin untuk biaya hidupnya sekalipun Marvin punya kewajiban menafkahinya.

“Oh. Gitu ya? Gue lupa.”

Katrin menanyakan soal surprise party untuk ulangtahun Marvin yang ke-30. Dengan entengnya Hazel mengatakan lupa. Tepatnya tidak mau tahu. Tapi sekali lagi, demi membuatnya terlihat sebagai isteri yang sangat berbahagia dengan suaminya di bulan pertama pernikahan mereka, Hazel harus mau terlibat dalam surprise party yang pasti semua idenya berasal dari Katrin.

Hazel hanya mengangguk-angguk malas mendengar detil pesta yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Besar kemungkinan ulangtahun Marvin bertepatan dengan waktu mereka pindah ke rumah baru mereka yang surprisingly, sudah tinggal bawa diri masuk ke dalamnya. Mertuanya yang super baik sudah berbaik hati memberikan rumah dan seluruh isinya sebagai kado pernikahan. So sad, karena Hazel ingin sekali menolaknya tapi tidak bisa.

“Oke, oke. Iyaaaa Katriiin. Bye.”

Satu lagi pesan Katrin tepatnya usulan kado x rated untuk Marvin karena Marvin jauh lebih butuh itu daripada kado dalam bentuk barang. Memberdayakan lingerie yang dihadiahkan Katrin sebulan lalu.

Nooooo waaaay.

Marvin pantasnya dikasih racun tikus.

                                                ***

“Wait, wait. Itu bukannya isterinya Marvin?” sahut Ajeng sambil cepat-cepat menarik Riana untuk bersembunyi di balik deretan pakaian di sebuah butik barang branded Italia.

“Hmm..lucky bitch. Bareng sama sepupu-sepupunya Marvin. Enak banget ya hidupnya?” Riana mengibaskan rambutnya yang kini sudah di highlight cokelat. Sesuai permintaan Marvin.

“Iya, dan elonya yang kasian banget. Yuk ah. Cabut. Gue haus nih,” Ajeng menarik Riana setengah paksa.

“Eh kalo gue ngenalin diri sama isteri begonya Marvin dan bilang apa aja yang udah gue lakuin sama suaminya…”

Ajeng meminta Riana menutup mulut. “Cukup ya, Ri. Lo udah dapet Marvin, nggak usahlah lo garuk bininya. Lo mau berantem di depan umum?”

“Cuma mau ngasih tau. Siapa tau aja dia langsung minta cerai sama Marvin.”

Ajeng menggeleng-geleng. “Gila lo ya? Kalo Marvin dengar, taruhan lo bakal berantem sama dia. Mau lo ditinggalin sama Marvin?”

Riana tersenyum. “Nggak mungkinlah dia ninggalin gue. Gue udah hamil gini.”

“Whaaat???”

Ayo, ayo gimana dong nih?  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro