BAB 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Huuuffft…akhirnya kebuka juga liftnya,”  kata sebuah suara cempreng dari rombongan orang yang sudah bernafsu menyerbu masuk ke dalam lift.

“Nggak tau apa kalo kita udah telat banget banget gilaak.” Satu komentar lebay menimpali dengan suara yang agak sedikit lebih halus dari komentar sebelumnya.

“Eh, eh tunggu. Aku mau keluar.”

Hazel yang masih berada di dalam lift langsung melangkah keluar dengan wajah ditundukkan. Tas hitamnya digunakan untuk menutup wajahnya. Perasaannya kacau balau. Dia tahu sebetulnya sudah terlambat untuk menutup wajah, karena toh semua mata di depan lift sudah melihat bahkan sebelum dia bisa mencegah. Rasa malu itu semakin merongrongnya langkah kakinya yang berusaha menjauh dari lift.

Sumpah ! Dia tidak pernah semalu ini sebelumnya ! Tidak untuk sebuah hal yang menjijikkan seperti ini.

Sentuhan jempol Marvin di beberapa bagian kulit wajahnya seperti sedang menggigit-gigit pori-porinya.

This is so scary.

Dan sepertinya belum cukup derita Hazel karena kepergok dan sudah pasti menimbulkan kesan buruk orang terhadapnya, deritanya saat itu masih ditambahkan lagi dengan komentar-komentar di bawah ini. Di sponsori oleh si pemilik suara cempreng yang sumpah mati dia tidak tahu namanya walau sudah pernah melihatnya. Mungkin papasan di kantin atau di mana.

Mana sempat-sempatnya bergosip di depan lift.

“Ya ampun. Gila nggak sih, make out sembarangan? Di lift pula. Yakin tuh nggak bakal kena teguran?”

“Udahlah. Bukan urusan kita, juga.”

“Tapi lo liat kan? Iuuh…mana belepotan lagi.”

“Pagi-pagi udah nafsuan gitu.”

“Eh tapi cowoknya ganteng juga ya? Gue juga mau kali…”

“Husss.”

“Ah lo. Kayak nggak pernah gituan aja.”

“Sst, bukannya dia yang jadi bawahannya Pak Danar? Dan cowoknya kayaknya gue tau deh. Marvin Triatomo. Tau nggak?”

“Err…yeah gue tau. Si player kelas kakap itu. Teman sekantor gue pernah tuh jalan sama dia.”

“Aaah, sumpeh lo? Pantes!”

“Dapet mangsa lagi kan dia. Ckck.”

“Ganteng-ganteng serigala.”

“Palingan abis gituan, tuh cewek didump lagi.”

“Kasian.”

Ting !

Pintu lift menutup lagi. 

Menyisakan Hazel dengan ke dua kuping memerah dan berasap.

I KILL YOU, MARVIIIIIN

                                                                                ***

Untuk beberapa saat, Hazel terdiam. Sambil menghapus make-upnya yang berantakan dengan tissue basah, Hazel mulai berpikir-pikir. Berpikir tindakan paling normal yang bisa dilakukannya sekarang dengan kondisinya yang sedang kacau. Sekacau pikirannya yang sudah pasti gara-gara cowok gila itu.

Oke. Tindakan normal pertama. Tarik napas dalam-dalam. Bernapas seanggun mungkin.

Tindakan normal ke dua. Menyingkirkan semua jejak yang sungguh bikin iuuh ini sampai habis.

Tissue. Ag, untung dia bawa.

“Kar, muka gue udah bersih gak?” tanya Hazel meminta Karina memeriksa wajahnya.

Karina mengambil tissue di tangan Hazel dan menyeka sedikit di bagian dagu dan pipi kanan Hazel dengan wajah penuh rasa tanda tanya. “Lo belum jawab pertanyaan gue, Zel.”

“Gue nggak ada waktu.”

“Yak, udah bersih.”

“Nanti aja gue jelasin,” ucap Hazel diikuti dengan langkah buru-buru meninggalkan pijakannya. Tasnya diserahkan ke Karina. “Tolong pegangin. Gue pergi dulu.”

“Hazel…lo…eh lo mau ke mana?” Karina bermaksud mengikuti Hazel keluar dari gedung, tapi mendadak telinganya yang so kepo tidak sengaja menguping percakapan entah dari arah mana, gosip tentang perselingkuhan seorang pengusaha dengan karyawan di kantor Hazel.

“HEIII!! KAMUUU!!! TUNGGUUU!!!”

Karina bisa mendengar teriakan Hazel, tapi sedang malas berlari-lari nggak jelas begitu karena ada gosip yang sayang banget untuk dilewatkan. Bukannya nggak solider juga, tapi sepertinya Hazel nggak pengen diganggu dan Karina juga nggak maksa pengen tahu. Jadi dia hanya mengibaskan tangan.

“Ah, nanti palingan Hazel cerita juga.”

Lalu berlari mendekat ke sumber gosip.

                                                                                ***

“BERHENTIII!!”

Suara teriakan dari arah lobi membuat beberapa orang yang sedang berada di sana menoleh ke arah si pemilik suara. Hazel yang sedang berteriak dengan suara yang tinggi dan nyaringnya maksimal itu, yang bisa bikin orang sakit gigi  bertambah sakit hati (eh?) bahkan sudah menanggalkan ke dua heelsnya yang sudah berpindah dari kaki ke tangannya, berlari kencang mengejar Marvin sebelum cowok itu kabur. Masa bodoh deh diliatin orang sekantor, yang penting dia harus menangkap Marvin dan menjebloskannya ke penjara.

“PAK ! PAK ! TANGKAP DIAAAA PAAAK!!!!TANGKAAAAP!!”

Teriakan nyaring bin melengking itu direspon dengan cepat oleh sekuriti yang segera mencari-cari siapa yang harus ditangkap. Maling, teroris, atau apa?

“Siapa, Bu? Siapa? Yang mana?”

Hazel menunjuk-nunjuk ke arah Marvin yang berjalan dengan santainya menuju tempat parkir, kontras dengan dirinya yang berlari seperti mengejar maling jemuran.  “Itu, Pak ! Ituuu yang pake jas hitam!”

“Yang mana, Bu? Ada tiga orang yang pake jas hitam.” Salah satu sekuriti mendadak bingung.

Hazel menggeram. “Ituuu  Pak. Yang belok ke mobil…itu..! Itu yang pakai kacamata hitam…”

“Lha, yang pake kacamata hitam ada empat orang. Yang mana sih? Yang pakai jas cokelat?”

Duh ! udah dibilangin yang pakai jas hitam? Si Bapaaaaaak

GRRRRRRRRR

Hazel megap-megap perpaduan antara gemas dan kesal.

“Ganteng nggak, Bu? Kulitnya putih? Tinggi apa pendek? Bule atau lokal?”

Hazel menggigit bibir bawahnya. Si bapak sekuriti kurang kerjaan apa sampai-sampai pertanyaannya sudah persis kuis tebak tokoh di televisi? Sekalian saja tanyain nama nenek moyangnya atau nomer sepatunya.

“Ganteng? Iih biasaaaa banget deh Pak. Standar. Cakepan juga Bapak? Tinggi, kulitnya putih. Rambutnya agak jabrik. Kalau Bapak nanya lagi dia single atau udah married…mending saya kejar sendiri deh, Pak !!” 

Ke dua sekuriti itu malah tertawa kompak. IISSSHHH

“Yang itu bukan, Bu?” sekuriti berkumis tipis menunjuk dengan pentungan tepat ke arah pandangan Hazel.

“Yaa! Bener ! Buruan ditangkap, Pak. Cepetaan. Ntar dia kabur lagi.” Hazel mengikuti langkah-langkah sekuriti di depannya. Ke dua kakinya asli sudah nggak ada cantik-cantiknya gara-gara dipaksa nyeker. Dan kemungkinan lecet pula.

                                                                                ***

“Maaf, Pak. Sepertinya Anda harus berhenti.”

Marvin mendengar penjaga portal parkiran menyuruhnya berhenti. Ada apa lagi sih?

“Itu penjahatnya, Pak. Tahan dia, Pak.”

Eeww…

Kayaknya dia marah besar nih sampai melibatkan sekuriti segala. Yep, panggil aja semuanya ke sini.

“Cepetan.”

Ya, ya, kayak lo bisa nangkep gue aja

                                                                                ***

“Iya? Ada perlu sama saya?”

Marvin melepaskan kacamata dan menunggu sekuriti menghampirinya untuk menjelaskan alasan sampai mereka harus mencegatnya di tempat parkir.

“Maaf, Pak. Ada yang mau kami tanyakan. Kata Ibu ini, Bapak baru saja melakukan tindak kejahatan.”

Penjahat kelamin, tambah Hazel.

“Oo.” Tampang kalem Marvin menghadapi ke dua sekuriti itu benar-benar bikin Hazel darting. Oouw…akting kamu, Boy! Sekelas Oscar..

“Bisa kami periksa identitas Bapak?”

“Oh, boleh.” Marvin mengeluarkan dompet dari saku belakang celana panjangnya. Dia benci harus melakukan ini. Tapi dia tidak punya banyak waktu berdebat dengan sekuriti. Apalagi kalau laporannya tentang insiden di dalam lift.

“Marvin Arkananta Triatomo. CEO Prestige Triatomo.” Marvin menyebutkan nama lengkap, jabatan serta nama perusahaan milik ayahnya yang kini ada di bawah kendalinya. “Apa ada yang aneh, Pak?”

Ke dua sekuriti tersebut saling bertatapan.

“Wah, kalo ini sih, saya nggak berani.” Salah satu dari dua sekuriti yang memegang kartu nama  segera mengembalikannya ke tangan Marvin yang tentu saja disambut dengan seringaian lebar dari pemiliknya.

“Saya juga.”

Hazel menyela dengan napas tersengal karena emosi dan tidak terima. Hanya karena Marvin itu punya jabatan tinggi di perusahaan besar, bukan berarti dia bisa kebal hukum begitu.

“Pak. Dia baru saja melakukan pelecehan seksual sama saya, Pak. Masak nggak ditangkap? Apa Bapak tega membiarkan pelaku pelecehan kayak dia ini berkeliaran di mana-mana? Saya korbannya, Paaak!!”

“Tapi Pak Marvin ini memang nggak bisa ditangkap.”

Hazel menggeleng frustrasi. “Kok bisa gitu? Nggak ada orang yang nggak bisa ditangkap kalo dia memang punya kejahatan. Ini kejahatan seksual, Pak. Bisa kena sanksi pidana.”

Marvin berdehem dan menunjukkan tatapan kita lihat apa yang bisa lo lakuin untuk nangkap gue.

“Jadi…” Marvin memasukkan dompet ke saku celananya dan menggosok-gosokkan ke dua telapak tangannya. “Sebenarnya…”

Hazel balas melemparkan tatapan jadi mau ngomong apa lagi lo sekarang, orang gila!

“Dia tunangan saya.”

Hazel mendengus sebal. What the…

“Tadi ada masalah dikit. Biasalah. Dia cemburu sama saya,” kata Marvin kalem. Saat menatap Hazel yang wajahnya sudah memerah seperti terpanggang matahari terik, Marvin melanjutkan dengan kualitas akting juara. “Tapi nanti aja kita ngomongin baik-baik, soalnya saya harus balik ke kantor sekarang. Gimana, Sayang?”

Nggak sudi dipanggil Sayang. Nggak sudiiiiiiiiiii

Ke dua sekuriti langsung ber OOH ria. Masalah asmara ternyata. Mereka sudah paham benar tanpa perlu penjelasan lebih lanjut dari ke dua belah pihak.

“Nggak usah akting deh! Pak…” Hazel memandangi ke dua sekuriti itu bergantian. “Kalau bapak nggak tangkap dia, saya bakal lapor polisi!”

Jadi, ceritanya mau memperpanjang masalah nih. Oke. Let’s play, Baby.

“Sayang, marahnya nanti saja oke?”

“Eh, nggak usah sayang-sayangan deh ya?”

Marvin yang berdiri hanya dua langkah di depan Hazel menarik pergelangan tangan Hazel dan memeluknya di pinggang.

“Sayang, gimana kalau kita ngobrolnya sambil nyari makan?” Tangan Marvin bahkan sudah turun ke pinggulnya.

“Nggak perlu! Arrgh ! Lepasin !”

“Ntar ya.”

“Lepas!!” Hampir deh bokongnya jadi korban.

“Aah kamu memang suka bikin aku tambah gemas sama kamu.” Marvin mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Hazel dan berbicara dengan nada mengancam. “Mau aku ulangin yang di lift tadi, atau mau versi yang lebih ganas?”

“…”

“Nice.”

“…”

“Ya sudah. Bapak selesaikan saja masalahnya, kami permisi dulu.” Ke dua sekuriti itu langsung berlalu perg seolah sudah menyelesaikan masalah.

Hazel tentu saja tidak akan mau mengulanginya (sumpah demi langit dan bumi). Satu kali saja sudah bikin malu, nggak usah deh dicukupkan jadi dua kali. Tapi, bukan berarti dia akan membiarkan apa yang dialaminya hari ini dan memberikan kepuasan untuk Marvin.

NEVER!

“Oke! Fine!” Hazel yang sudah gerah dengan tindakan Marvin tapi tidak bisa membalasnya sekarang, buru-buru melepaskan lengan Marvin yang melingkari pinggangnya dengan posesif.

“Fine for what, Baby?”

“Hari ini kamu bisa lolos. Tapi jangan harap aku bakal ngebiarin kamu pulang dengan rasa puas.”

Marvin terkekeh. “Kamu bisa apa?”

Hazel balas tersenyum. Tipis.

“Serius mau tau?”

Marvin mengangguk dan mengerling. “C’mon,”

Lalu tanpa pikir panjang, cewek itu melakukan serangan cepat.

“Rasakan ini!” Satu lesakan kuat lutut Hazel ke bagian vital Marvin yang hanya berselang sepersekian detik membuat Marvin kesakitan. Pelajaran itu yang diingatnya baik-baik di seminar tentang bagaimana melindungi diri dari pelecehan seksual.

He got it, right here right now!!

 “Auuuwww!!”

Marvin menunduk dan membungkukkan badan, menahan sakit yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Hanya satu serangan dan dia langsung mengibarkan bendera putih imajiner.

Hanya  dengan satu serangan yang demi langit dan bumi so so

Sakiiiiiit

“Bye. Enjoy it!”  Hazel berbalik dan tertawa puas.

“You’ll pay for this.” Marvin menatap Hazel yang sudah beranjak meninggalkan areal parkir.

Rasanya yang satu ini sudah cukup membuat keadaan menjadi imbang. Imbang dengan cara yang mengerikan.

                                                                                ***

Butuh waktu sekitar semenit bagi Marvin untuk menyadari bahwa bagian tubuhnya yang diserang Hazel tidak sampai lumpuh total. Cewek itu pasti sudah benar-benar murka sampai harus melakukan serangan pamungkasnya. Tepat sasaran. Dan kini meninggalkan kenang-kenangan berupa rasa sakit yang bisa membuatnya jatuh terguling-guling andai dia tidak sedang berada di tempat parkir.

“Shit! Sakit juga ya, ternyata.” Marvin menunduk sambil menahan sakit. Gila tuh cewek! Kalau gue sampai impoten gimana?

Ouch! Dan dia harus menyetir mobilnya dalam keadaan emergency begini. OH MY GAWWD! Dia bakal cekik leher tuh cewek kalau sampai nabrak gara-gara ini.

No. itu terlalu mudah. Dia nggak hanya akan mencekik leher cewek itu. Dia akan memberikan pelajaran yang tidak akan pernah dilupakan cewek itu seumur hidupnya.

Pelajaran di… atas ranjang.

Itu juga BIG NO NO. Siapa yang menjamin cewek itu tidak akan melakukan Shoot on target jilid II yang super telak kayak tadi? Bukan hanya ancaman impoten, tapi dia juga bisa mati.

Mati gara-gara “itu” ? Nggak macho banget, gila lu!

Oke, bukannya dia tidak jantan sama sekali sampai jadi semacam trauma begini. Tapi tuh cewek benar-benar bikin dia gila. Sumpah. 

iPhonenya berdering, dan sambil meringis, dikeluarkannya ponselnya dari dalam saku celana. “Halo? Hei, Sayang.”

Damn! Riana mau ngajak nginap di apartemennya lagi. This “his little” butuh penyembuhan paling nggak seminggu. Penyiksaan !

“Aku beli lingerie baru. Kamu pasti suka.”

Yeah, but not now, Baby. Not now.

“Honey, are you okay?”

“Ya, ya. Aku baik-baik aja.”

Baik-baik aja slash baru saja dapat jackpot bernama “sentilan kecil on your dick and you’re gonna die, Dude!”

Dia butuh ke dokter setelah ini. Nyut-nyut banget.

                                                                                ***

“Jadi lo tendang? Serius lo? Hahaha…”

“Yes. Itu pantes buat dia.”

Hazel masih tenggelam dalam tawanya. Padahal gerakan lututnya tidak terlalu keras tapi efeknya benar-benar dahsyat. Dia tertawa sampai-sampai ke dua matanya berair.

“Pasti sekarang tuh cowok kesal banget sama lo, Zel.”

Hazel menyeruput jus jeruknya. “Mm, rasanya gue puas banget deh.”

“So, tell me. Sebenarnya gimana ceritanya lo bisa kenal sama dia?”

Hazel menatap Karina dengan tidak yakin. Tapi biar semuanya jelas dan Karina tidak salah sangka, dia harus cerita.

                                                                                                ***

“Gitu ceritanya, Kar.”

Hazel menutup penjelasan tentang Marvin dan bagaimana kronologi kejadian memalukan di lift tadi pagi bisa terjadi. Mereka sekarang sedang berada di sebuah kafe di dekat kantor Karina. Karina bekerja di sebuah majalah wanita dan gedungnya tidak begitu jauh dari gedung kantor Hazel jadi mereka bisa saling mengunjungi (kalau sempat). Seperti pagi kemarin, yang sialnya bertepatan dengan kunjungan Karina ke kantor Hazel, dan tepat pula di saat-saat krusial.

Dimulai dari rencana pertunangan dengan Marvin yang dirancang oleh keluarganya tanpa sepengetahuannya sampai kepada sikap Marvin yang sepertinya “agak” terobsesi dengannya setelah blind date mereka yang gagal. Bukannya Hazel ge-er juga, cuma dia merasa tidak sespesial itu sampai-sampai Marvin sudi mengejarnya sampai ke kantornya segala. Sebenarnya Marvin bukan mengejarnya juga. cuma… aneh aja deh pokoknya.

“Tapi walaupun gue udah ngebales dia. Tetap aja kan dia udah bikin gue malu.”

“Iya juga sih.”

                                                                                ***

Akhirnya Hazel tahu juga si pemilik suara cempreng yang berkomentar pedas tentangnya bersama teman-temannya. Namanya Neta, karyawan perusahaan properti yang berkantor di gedung yang sama dengan Hazel. Hazel tidak begitu kenal, jadi tidak begitu tahu juga sepak terjang Neta dalam dunia pergosipan di gedung kantor itu. Tapi dari komentar nyinyirnya pagi itu ketika berpapasan dengan Hazel di depan lift lantai 5 sewaktu Neta kebetulan melintas, sepertinya sudah bisa disimpulkan kalau Neta itu termasuk biang gosip.

“Hei, kalo nggak salah, lo kan yang make-out di lift itu? Kabar apa lo sama Marvin?”

Hazel hanya tersenyum sopan dan mempercepat langkahnya menuju ruang kerja Pak Danar.

“Iih.. ditanya nggak jawab. Nggak sopan.”

Hazel berbalik dan memasang wajah ketus.  “Maaf ya. Gue nggak kenal sama lo.”

“Hoho…gitu aja marah. Kalo gitu kita kenalan dulu. Gue, Neta. Gue perlu kenal lo siapa tau lo beneran nikah sama Marvin jadi gue bisa masuk list undangan.” Neta menjabat tangan Hazel tanpa diminta. Dan Hazel lekas menarik tangannya. Dia sama sekali nggak punya waktu untuk bigos sejenis Neta ini.

Karena Hazel tidak menanggapinya, Neta malah berteriak kencang.

“Kalo jadi nikah, jangan lupa ngundang gue yaaa???”

                                                                ***

Begitu ketemu Karina, Hazel langsung curhat soal ketemunya dia dengan Neta tadi. Dan sepertinya berita tentang dirinya dan Marvin sudah menyebar di kantor karena kalau sudah dipegang oleh Neta, berita manapun pasti langsung jadi headline news, yang tanpa perlu orang pay attention, orang bakal tahu dengan sendirinya.

 “Udah. Makanya lo tenang dulu.”

“Gimana gue bisa tenang? Gara-gara Marvin, hidup gue kacau! Gue, gue malu banget tau nggak? Lo liat kan gimana sekarang orang-orang di kantor pada ngomongin gue?? Dan yang gue bisa lakuin cuma pura-pura nggak denger atau kalo pun gue denger, gue pura-pura nggak peduli. Gue bisa gila lama-lama kalo kayak gini.”

Sebagai sahabat yang mengenal Hazel sejak SMA, Karina tahu persis bagaimana kepribadian Hazel. Hazel itu adalah tipe cewek yang bisa dikatakan “bersih” dari yang namanya hingar bingar kehidupan anak muda. Pacaran saja hanya satu kali (kecuali kalau Hazel merahasiakannya. Tapi nggak mungkin karena Karina sama Hazel adalah sahabat yang nyaris sudah seperti saudara. Mereka tidak pernah punya rahasia sama sekali. Apalagi Hazel itu paling nggak tahan kalau nggak cerita soal cowok yang ditaksir/naksir dia), yaitu sama Rendi, senior Hazel di jurusan Arsitektur. Hubungan mereka cuma bertahan 1 tahun. Putus dengan alasan lebih baik berteman saja karena menurut Hazel pacaran itu bukan hal yang penting. Pacaran hanya buang-buang waktu. Jadi setelah putus dari Rendi, Hazel bertekad untuk tidak pacaran kecuali kalau sudah punya pekerjaan yang menjamin kehidupannya dari segi finansial. Walaupun orangtuanya secara ekonomi cukup mapan, namun Hazel tidak ingin mengandalkan orangtua untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hazel memang masih tinggal dengan papa mamanya tapi dia sudah membeli sebuah perumahan yang dibeli secara kredit dari gajinya selama bekerja di kantornya sekarang.

Hmm…cuma soal cowok yang bisa membuat Hazel yang biasanya kalem jadi bawel seperti sekarang.

“Duh, mana gue mesti ketemu dia besok.” Hazel membenamkan wajahnya di ke dua telapak tangan. “Sial banget kan hidup gue, Kar?”

Hmm…

“Lo kok diem aja, Kar? Tolongin gue dong.”

Jadi, sahabatnya yang sedang menggerutu gara-gara kelakuan cowok ganteng tapi gila bernama Marvin Arkananta Triatomo benar-benar butuh bantuan. Tapi gue bisa bantu apa? Batin Karina.

Kalau menolong buat bikin tuh cowok jadi perkedel, Karina sih agak-agak nggak tega. Secara wajah ganteng begitu. Ya walau kelakuannya minus, tapi kan tetap aja saaayaaang. Kalau wajahnya biasa-biasa aja atau kurang, tanpa disuruh pun Karina oke aja buat ngasih pelajaran.

“Iya, tapi lo mau pertolongan yang kayak gimana?”

Hazel menyandarkan punggungnya di sandaran sofa empuk yang mereka duduki sambil menikmati makan siang. Mereka sengaja memilih ruang tertutup. Kan biar enak curhatnya.

“Gue mau lo bantu gue buat…ngebatalin perjodohan gue.”

Dan Karina yang sedang menyeruput jus melonnya hampir menyemburkan semua cairan hijau di mulutnya ke wajah Hazel. Saking terpananya mendengar rencana Hazel.

“Serius lo?” Karina menelan jusnya dengan satu tegukan dalam-dalam. “Lo sadar kan lagi berurusan sama keluarganya siapa? Hellooo…Hazel Andriana Azalea Siswoyo. Keluarga Triatomo gitu lho, Zel.”

“So…?”

Hazel bukannya tidak tahu kenyataan itu. Cuma…Cuma dia sendiri heran, sebenarnya apa yang dilihat dari orang tua Marvin sampai mereka menjatuhkan pilihan padanya. Seharusnya keluarga sekaya Triatomo akan memilih calon menantu dan besan dari keluarga yang sepadan sama mereka. Minimal satu level di bawah mereka. Tapi keluarganya? Keluarga Siswoyo? Jangankan sepadan, satu level pun nggak nyampe. Dua level juga nggak. Mungkin berlevel-level di bawah keluarga Triatomo.

“Sooo… lupain aja rencana lo itu dan lo cukup duduk manis nunggu hari pertunangan lo jadi lo bisa fix jadi menantu keluarga Triatomo. Dan kalo gue jadi lo, Zel. Gue nggak peduli Marvin tuh mau sebrengsek apa. Asal latar belakang keluarganya oke, ya gue mau banget. Gue kan bisa ketularan kaya? Ya kan? Gue bisa minta dibeliin ini-itu. Apa aja yang gue mau. Asyik kan?”

“Ah, nyesel gue ngomong sama lo kalo ujung-ujungnya solusi yang lo kasih nggak jauh beda sama mama.” Hazel kembali menunjukkan tampang frustrasi.

Karina tertawa. “Sori, sori. Abis gue juga bingung mau ngasih solusi gimana.”

Lalu Hazel yang sudah terdesak melakukan sesuatu untuk membatalkan perjodohannya, mengemukakan gagasan yang menurut Karina tidak akan berhasil.

“Kar. Mmm, kira-kira lo bisa nyari cowok yang bisa jadi…pacar boongan gue?” tanya Hazel yang terlihat semakin hopeless.

“Nggak, nggak. Gue nggak bisa.” Karina mengangkat ke dua tangan tanda menyerah diikuti gelengan kepala berkali-kali

“Ayo dong, Kar. Lo tega ngeliat gue nikah sama cowok yang gue nggak suka? Di mana rasa solider loooo??”

Karina merengut. “iiih…Hazel bawel deh.”

Hazel meraih ke dua tangan sahabatnya itu dan memelas. “Yaaa?? Pleaseee…”

“Iya deh. Tapi gue nggak tanggungjawab ya kalo ada apa-apa.”

Untuk sejenak Hazel bisa bernapas lega. Tanpa perlu menunggu lama dipeluknya tubuh Karina sekuat-kuatnya seolah-olah rencananya ini sudah pasti berhasil.

Padahal tinggal menunggu waktu rencana “brilian” itu menjadi “bencana”.

                                                                ***

Dua orang SPG yang sedang berjaga di sebelah kanan kasir tersenyum-senyum melihat tingkah cowok yang sedang menatap  lingerie yang dipakaikan di manekin dengan tatapan memuja seakan-akan manekin itu adalah perwujudan nyata seorang perempuan. Lingerie warna merah darah. Seksi sekaligus menantang. Biasanya yang wara-wiri di sekitar area pakaian dalam itu adalah perempuan baik itu cewek-cewek, ibu-ibu muda usia kepala tiga , ibu-ibu menjelang kepala empat, atau kalau masih merasa badannya cukup oke, ibu-ibu menjelang usia kepala lima (kalau nenek-nenek impossible deh. Hihi). Tapi kali ini yang datang malah seorang cowok ganteng, tinggi didampingi seorang cewek yang hanya memasang senyum salah tingkah kepada mbak-mbak SPG yang ramah dan cantik.

“Sissy, coba kamu ke sini.”

“Saya, Pak?”

Marvin menaikkan satu alisnya karena Sissy, asistennya, berjalan ke arahnya dengan salah tingkah. Tadinya Marvin ingin melakukannya sendiri (hunting underwear, maksudnya), tapi dia tidak yakin dengan ukurannya (ukuran cewek yang mau diberi hadiah, maksudnya), jadi dia berinisiatif mengajak Sissy untuk dimintai pendapat. Dan mungkin mencocokkan ukuran badan, karena sepertinya badan Sissy dan cewek itu kurang lebih seperti itu. Tinggi sedang, dan kurang berisi. Selain itu, Sissy cukup update soal fashion dan pembawaannya juga kalem. Marvin paling alergi jika harus meminta pendapat dari cewek yang terlalu banyak ngoceh nggak penting.

“Menurut kamu, bagusan yang mana? Yang merah atau yang peach? No, no. Kayaknya yang satu itu shocking pink.”

“Yang mau pake, kulitnya gimana Pak?”

“Putih. Pucat gitu kayak vampire.”

Sissy mengatupkan mulut dan tertawa pelan. “Shocking pink oke tuh, Pak.”

“Tapi saya kok lebih  prefer yang merah?”

Sissy mengangguk kalem. “Ya kalo gitu, beli dua-duanya aja, Pak.”

“Ya sudah. Sekarang kamu cariin juga perangkat yang lain.”

Sissy mengerti tanpa perlu dijelaskan karena tatapan bosnya sekilas mengarah ke deretan bra dan underwear yang ditata apik dalam warna-warna lembut.

“Modelnya, Pak?”

“Pilih yang paling seksi. Victoria’s Secret ya? Biar serasi sama lingerienya. Nanti bawa ke kasir aja.”

“Oke, Pak.”

Sissy mulai memilih-milih dengan wajah serius. Dia berpikir-pikir kira-kira untuk siapa sang bos membelikan barang-barang mahal itu. Bukan soal harganya, tapi ini soal rupa barang yang dibeli. Underwear dan kawan-kawan. Si bosnya memang ajaib. Ganteng tapi kelakuan unik. Sissy sampai tidak berhenti tersenyum-senyum hingga semua barang pilihannya dibawa ke kasir.

Ck! Beruntungnya cewek yang dapat perhatian sebesar itu, sampe-sampe bosnya bela-belain meninggalkan meeting untuk berbelanja underwear untuk kado.

“Thanks ya, Sissy.”

Anytime, Pak.”

                                                                                ***

Tangan kanan Hazel mendorong grendel pintu rumahnya setelah Violet membukakan pintu dan menguaknya sedikit. Hazel sudah menghafalkan apa yang akan dikatakannya tentang cowok yang datang bersamanya kali ini. Bram, sepupu Karina yang setuju menjadi pacar bohongannya berjalan dengan tenang di sampingnya. Ketika Bram menanyakan kalau Hazel bisa membatalkan rencana ini kalau dia mau, Hazel malah menggeleng dan menjawab kalau dia bisa mengatasi masalah yang mungkin timbul karena rencana dadakannya itu.

“Eh ada tamu.”

Papa Hazel menyalami Bram diikuti mama yang menyalaminya kemudian mempersilahkan duduk.

“Pa, Ma. Kenalin ini Bram. Pacar aku.”

Oom Rangga, Papa Hazel mendadak berubah ekspresi menjadi dingin.

“Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?”

Hazel memandang Bram. Dan Bram tersenyum kecut dan berbisik. “Serius lo mau lanjutin ini?”

Hazel mengangguk. Otaknya tidak lagi bisa memikirkan cara lain. Hanya satu cara itu yang diharapkannya bisa membuat orangtuanya membatalkan niat mereka.

“Mm, sebenarnya Hazel udah lama kenal sama Bram. Kami udah dua tahun pacaran, Pa,” kata Hazel dengan wajah tersenyum.

“Jadi, untuk apa kamu bawa pacar kamu ke sini?”

Hazel menahan napas. “Pa, aku…aku cinta sama Bram. Dan aku mau nikah sama dia.”

Mama Hazel lekas memegangi pundak suaminya. “Pa, tenang dulu.” Walau wajahnya pun menunjukkan sikap terkejut dan tidak menerima.

“Hazel  sudah kami jodohkan sama Marvin.” Papa menatap Bram dengan tatapan permusuhan.

“Tapi, Pa. aku nggak cinta sama Marvin. Aku cintanya sama Bram.”

Papa Hazel  bergeming dan menepis tangan istrinya.

“Hazel. Lebih baik kamu suruh pulang aja dia.”

“Tapi, Pa…aku…”

“HAZEL ! KAMU DENGAR NGGAK? SURUH DIA PULANG !!”

“Pa, Papa. Jangan emosi dulu.”

Hazel berbalik menuju ke arah pintu, setengah mendorong Bram keluar dari ruang tamu, namun belum lagi dia melangkah jauh, suara histeris mamanya memaksanya berbalik arah.

“Pa. Papaaaaa.”

Hazel berteriak ketika melihat papanya jatuh tersungkur ke atas lantai sambil memegangi dadanya yang sebelah kiri. Serangan jantung.

“Pa…Papa.” Hazel mengguncang-guncang tubuh papanya, meledakkan tangis karena kecerobohannya.

Rencananya berubah menjadi bencana.

                                                                                ***

“Acara makan malamnya batal.”

Marvin sedang memasang dasi begitu mamanya masuk ke dalam kamarnya. Dandanan mamanya sudah super heboh dengan sanggul dan gaun malam lengan panjang berwarna hitam.

“Kok batal, Ma? Aku udah ganteng begini.” Masih sempatnya Marvin bernarsis ria.

Mama mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas bulu padahal udara di dalam kamar Marvin sudah sejuk dengan AC yang disetel di suhu 18 C.

“Oom Rangga, papanya Hazel masuk rumahsakit.” Mama memasukkan kipas ke dalam tas.

“Kenapa mereka nggak konfirmasi sebelumnya?”

“Mana Mama tau? Tau-tau ada telepon katanya ya begitu.” Mama menjinjing lagi tasnya keluar dari kamar. “Mama mau ganti baju dulu. Abis itu kita ke rumahsakit.”

Marvin melonggarkan dasinya dan membuka sabuknya yang juga telah terlilit sempurna. Ya, dia juga harus ikut.

                                                                                ***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro