Bab 30 : This Two Lines

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Super dadakan!

tetap ditunggu komen2nya ya. Maafkan daku kalau kurang panjang, kurang ngefeel, kurang seksi *eh

Bab 29

This Two Lines

Tapi ini…

Tubuh Hazel bergeming. Masih dengan napas tertahan, diamatinya dengan seksama penunjukan garis pada test pack.

Dua garis.

Dd…du-a?

Untuk beberapa saat dia tidak mempercayai penglihatannya.

Tidak. Ini tidak mungkin.

Sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya kini terjadi, dan dengan jelas tertera di sana.

“Tidak,” gumamnya lemah.

Dua garis.

Yang berarti Positif.

“Gue nggak mungkin hamil,” ucap Hazel, menggeleng semakin kuat ketika lagi-lagi memandangi dua garis pink yang menjadi indikator kehamilan. “Ini pasti ada yang salah,”

Salah.

Ya. Test pack bisa saja salah. Keliru. Beberapa orang dalam beberapa kasus pernah salah mendiagnosa kehamilan melalui  benda kecil itu. Dan untuk kasusnya kali ini bisa jadi juga keliru.

Siapa yang tahu?

Baiklah. Tidak ada lagi kesempatan untuk membuang-buang waktu. Secepatnya dia harus ke dokter untuk memastikan hasil tesnya.

Hazel bergegas mengambil handuk dan menutup pintu kamar mandi di belakangnya.

Dan tanpa diminta, setetes airmata mengalir di pipi kanannya.

                                                            ***

Tidak dijawab lagi!

Marvin meletakkan ponsel yang baru saja digunakannya untuk menghubungi Hazel di atas coffee table. Menyandarkan punggungnya ke sofa, sekedar melepaskan lelah yang menderanya sejak beberapa jam lalu di lokasi proyek resor.

Sudah lebih dari 20 panggilan dan satupun tidak ada yang diangkat. Dua jam lalu, dia pun sudah mengirimkan sebuah SMS untuk sekedar menanyakan kabar Hazel hari itu.

Tapi nihil. Tidak ada balasan.

Lalu, Marvin terpikir untuk menghubungi Katrin. Mungkin Katrin bisa membantunya mengecek Hazel.

“Kat, bisa tolong lo cek Hazel ada di rumah atau nggak.”

“Kenapa?”

“Gue udah coba telepon dia tapi nggak diangkat.”

“Tapi gue lagi ada kerjaan nih, tanggung.”

“Kat, please. Gue khawatir dia kenapa-napa. Apapun yang lo lagi kerjain sekarang, tinggalin.”

“Hmm,,, iya deh. Nanti gue coba hubungi lagi sebelum ke sana. Gue masih di kantor, soalnya.”

“Oke. Kirim kabar secepatnya ya?”

“Iya, Iya.”

                                                            ***

Hazel duduk meringkuk di sudut kamar sambil memeluk ke dua lututnya. Ponselnya terus saja berdering tapi dia memilih mengabaikannya. Dia tidak sedang ingin berbicara dengan siapapun. Dia hanya ingin sendiri meratapi nasibnya yang malang.  Tidak ingin berbagi, karena kabar ini bukan kabar bahagia yang patut dibagi dengan orang lain. Kabar ini adalah kabar buruk yang jika mampu, ingin dimusnahkannya detik itu juga dari hidupnya.

Sepulang dari klinik tadi, airmata Hazel tidak berhenti mengalir. Semakin dikuatkan dirinya, semakin kuat pula desakan airmata dari ke dua kelopak matanya. Meluruh jatuh bersama rasa perih yang menggerogoti setiap sel di dalam tubuhnya.

Mengapa? Mengapa begini?

Mengapa dia harus mengandung benih dari laki-laki bejat seperti Marvin? Mengapa bukan Riana, atau perempuan lain? Mengapa dari sekian banyak perempuan di muka bumi ini, Tuhan memilihnya untuk menjadi calon ibu dari anak yang tidak diharapkan kehadirannya?

Dia tahu bahwa kehadiran seorang anak adalah anugerah. Rezeki. Amanah. Titipan dari Tuhan yang harus disyukuri. Tapi dia tidak pernah menginginkannya. Anak itu adalah kejadian buruk yang tidak terencana. Anak itu adalah bencana. Musibah, yang kelak akan membuat hidupnya menderita.

Dan sebelum keadaan semakin kacau, dia harus segera melenyapkan makhluk mungil itu sebelum tumbuh semakin besar dan menyusahkan hidupnya.

Semoga keputusannya kali ini benar, karena dia tidak punya pilihan lain. Bertindak cepat sebelum terlambat.

………………………………………………………………………………………..

Kemudian, terdengar bunyi bel panjang sebanyak satu kali.

                                                            ***

“Hazeeeel!! Are you in?”

Hazel buru-buru menyeka airmatanya di ke dua sudut matanya yang terlihat begitu bengkak setelah menangis berjam-jam. Tidak mungkin dia bisa menyembunyikannya dari Katrin.

Dia bisa saja tetap diam di dalam rumah dan tidak membukakan pintu untuk Katrin. Tapi Hazel tidak menjamin Katrin akan pergi dari rumah itu sampai meyakini bahwa memang rumah itu benar-benar kosong.

Jadi, sambil berjalan ke pintu depan untuk membukakan pintu, Hazel mulai mengarang-ngarang alasan kenapa dia menangis sampai matanya bengkak.

“Hey,” ucap Hazel setelah membuka pintu. Merapikan anak-anak rambut yang jatuh di pelipisnya.

Katrin langsung heran melihat wajah, terlebih ke dua mata Hazel.

“Lo abis nangis?”

Hazel mengangguk ragu. “Biasalah.”

Katrin menggeser tubuhnya dari pintu setelah masuk ke dalam rumah.

“Biasa gimana?” tanya Katrin, langsung memasang wajah interogatif.

“Lagi kangen sama Marvin,” Hazel berbohong.

“Duh. Segitu rindunya. Marvin malah udah nelepon lo, tapi nggak lo jawab. Hape lo dikemanain sih?”

Hazel memaksakan diri tersenyum.

“Kayaknya keselip deh. Nanti biar gue cari.”

Katrin langsung menyodorkan ponselnya. “Nih, lo hubungin Marvin. Dia panik banget karena lo nggak jawab telepon sama SMSnya. Makanya dia nyuruh gue ke sini buat ngecek lo.”

“Nanti aja deh.”

Katrin masih mengacungkan ponselnya. “Idih, ntar lo lupa lagi. Buruan, kasih tau kalo lo baik-baik aja. Sebelum Marvin neror gue lagi, ngira gue belum nyampe ke sini. Lo nggak kasian sama gue?”

Hazel menerima ponsel Katrin dengan ragu. Katrin balik menatapnya.

“Lho katanya kangen?”

Hazel mengangguk kemudian menekan nomer Marvin yang masih tersimpan pada register panggilan.

Baru berdering sekali, Marvin langsung mengangkat panggilannya.

“Hey, Kat. Gimana? Lo udah di rumah? Hazel ada kan?”

Hazel menggumam. “Ini aku, Marvin.”

Marvin langsung mengenali suaranya. “Aku hubungi kamu tadi, tapi…”

“Aku baik-baik aja,” potong Hazel cepat. “Udah ya?”

Klik.

Setelah menekan tombol merah, Hazel langsung mengembalikan ponsel Katrin. Katrin melongo dalam beberapa detik sebelum akhirnya mengambil ponsel android miliknya dan memasukkan ke dalam hand bag Gucci favoritnya.

“Lo ada cake atau semacam puding gitu di kulkas?” tanya Katrin mengikuti langkah Hazel menuju pantry.

“Ada. Kemarin aku beli cheese cake sama Cherry Crumble. Kamu mau minum apa?”

“Air putih dingin aja.” Katrin ikut melongok ke dalam kulkas. “Wow, lo beli banyak ya? Crumblenya sampe seloyang gitu.”

Katrin harus mengakui isi kulkas itu sangat tertata dengan rapi. Dia menarik keluar tempat penyimpanan buah yang penuh berisi beberapa macam buah-buahan.

“Mangga muda, belimbing, jeruk Bali. Lo lagi ngidam ya?”

“Hah?”

Katrin mengulangi. “Lo lagi ngidam ya?”

“Nggak kok.” Hazel meletakkan botol berisi air dingin di atas meja pantry dan beralih ke rak untuk mengambil dua buah gelas putih berkaki yang diisinya dengan air dingin.

“Beneran?” Katrin tersenyum penuh arti.

“Iya beneran.” Hazel kemudian mengambil lagi dua buah piring kecil untuk wadah Cherry Crumble yang siap mereka santap bersama.

“Yaaah. Padahal gue pengen punya keponakan lagi.” Katrin mulai menyendok Crumble yang dihidangkan dengan krim. “Kenapa? Nggak diplanning dulu? Karena alasan sibuk?”

Dicecar dengan pertanyaan oleh Katrin, membuat Hazel sedikit terintimidasi.

“Aku nggak suka bayi,” jawab Hazel sekenanya.

Katrin langsung berhenti mengunyah. “Kok…”

“Kenapa? Heran?” Hazel balik bertanya dengan cukup ketus.

Katrin menyendok lagi sepotong kecil Crumble. Menatap Hazel dengan kesal. “Lo kayaknya lagi badmood gitu.”

Maybe,” Hazel balas menatap Katrin. Masih berkata dengan ketus. “Aku cuma lagi pengen sendiri. Kalo kamu mau pulang, kasih tau ya.”

“Lo ngusir gue?”

Hazel bangkit dari kursi dan membawa serta piring kue yang tadi dipakainya memakan sepotong Crumble.

I’m so sorry, Kat. Aku lagi nggak enak badan.”

“Ya udah. Gue temenin. Gue nginap aja kalo gitu.” Katrin menggeleng-geleng tidak percaya. Hampir setengah tahun mengenal Hazel, baru sekali ini Hazel bersikap ketus seperti itu. Dan hal itu membuatnya cukup syok.

“Aku lagi pengen sendiri.”

Mengingat bahwa Hazel sendiri dan Marvin pasti khawatir, Katrin memutuskan tidak menggubris Hazel.

“Gue mau nginap nemenin lo. Oke?”

“Kat, aku rasa ucapanku udah cukup jelas. Just leave me alone!”

Katrin balik membentak. “Lo tuh kenapa sih? Dari tadi jutek melulu ke gue???”

“Kamu nggak bakal ngerti!”

“Ya makanya. Lo ngomong yang jelas doooong??” Katrin menggeram. Nada suaranya melengking.

Hazel mengatur napasnya yang tidak beraturan. Dia tahu bahwa tidak seharusnya dia mengasari Katrin. Katrin tidak tahu apa-apa. Tapi dia butuh pelampiasan dan buntutnya, Katrin yang menjadi sasaran.

“Maaf ya, Kat. Aku marah-marah nggak jelas ke kamu.”

Katrin mengiyakan. “Hmm. It’s ok. Gue juga biasa gitu kalo lagi unmood. Asal jangan keseringan aja.”

Dengan satu pelukan dari Katrin, membuat Hazel merasa sedikit lebih nyaman. Untung saja Katrin bisa memakluminya.

“Nah. Kalo gitu, lo harus ceritain apa yang bikin lo jadi cranky gitu. Kali aja gue bisa bantu lo mikir.”

Ternyata Katrin tidak begitu saja melepaskannya. Katrin tetap seperti itu. Selalu ingin tahu. Cara menghadapinya bukan dengan diam, tapi dengan berkelit dengan mengarang jawaban.

“Lagi hectic sama urusan kantor.” Hazel berpikir jawaban itulah yang paling masuk akal.

“Ooo.”

                                                            ***

“Wedangnya, Kang.”

Suara pelayan yang datang membawakan semangkuk wedang ronde, menyentakkan lamunan Marvin.

“Makasih, Neng.”

Pelayan yang berusia sekitar belasan tahun, mungkin masih duduk di bangku SMA itu tersenyum lebar. Terpesona dengan senyum yang ditujukan Marvin kepadanya.

 “Nuhun, Kang. Selamat menikmati.”

Marvin lagi-lagi tersenyum sampai pelayan tadi kembali melayani pesanan pelanggan lainnya.

Warung kecil dan sederhana yang didatanginya malam itu lumayan ramai. Dari lima meja yang tersedia, hanya satu yang kosong. Satu meja yang bisa diisi sampai empat orang rata-rata sudah ditempati. Dia mendapati sepasang remaja berlawanan jenis tengah berbincang sambil memakan wedang. Saling menggenggam tangan. Tersenyum-senyum bahagia seolah dunia hanya milik berdua.

Marvin membayangkan andai Hazel juga ada di sana bersamanya. Menikmati semangkuk wedang ronde yang hangat, mengobrol, menggenggam tangannya, menciumnya. Lalu sepulang dari sana, mereka bisa menghabiskan waktu semalaman dalam kehangatan dengan Hazel dalam pelukannya hingga pagi.

Marvin termenung, masih belum menyentuh mangkuk wedang.

Malam-malam di Lembang selalu seperti ini.  Dingin, sunyi dan bisu. Dan mala mini adalah malam ke tiga dia berada di sana.

Tiga malam tanpa teman. Tanpa belaian, pelukan, kemesraan…

This is crazy. Batinnya.

I need a woman.

Sesungguhnya kebutuhannya itu bukanlah hal yang sulit. Riana yang semakin gencar meneleponnya bisa jadi pilihan. Dia hanya tinggal bilang ya, dan Riana dengan senang hati menyusulnya ke sana. Dia tidak akan merasa kesepian dan kedinginan lagi di malam hari. Dengan Riana, dia bisa dengan bebas melampiaskan gairah seksual yang semakin menjadi-jadi di tengah hawa dingin Lembang yang menggila.

Tapi jika begitu, berarti dia kembali mengkhianati Hazel. Hazel memang sedang membencinya, tapi itu bukan alasan untuk berpaling kepada Riana. Melanjutkan perselingkuhan mereka dan membuat Hazel semakin terpuruk ke jurang terdalam.

He loves Hazel so much. His wife. The real wife. Tidak peduli Hazel akan membunuhnya dengan kebencian, Marvin akan tetap mencintainya. Because he still loves her to death. No one but her. Only her.

Hazel Andriana Azalea.

Cinta yang begitu besar hingga bahkan mengalahkan cintanya kepada Riana yang semakin lama semakin terkikis.

Jika saja dia cukup gentle untuk meninggalkan Riana apapun resikonya, mungkin saat ini Hazel tidak akan menderita karenanya. Hidup Hazel akan bahagia, sejahtera, damai sentosa. Tidak terkhianati dan tersakiti olehnya.

Arggghh…

Bego. Bego. Bego.

Mengabaikan wedang ronde yang sudah mulai dingin, Marvin mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket. Ditekannya nomer Katrin dan menunggu dengan tidak sabaran sampai suara Katrin terdengar di seberang.

“Halo, dengan Katrin yang paling cantik, baik, dan eksotik.”

“Hazel mana?”

“Huu…pake intro kek.” Katrin terdengar sewot. “Lagi sama guelah. Nonton.”

“Lo kasih ponsel lo ke dia. Gue mau ngomong.”

“Ih, kenapa nggak lo hubungin ke ponselnya sih? Pake transit di ponsel gue.”

“Bawel deh lo. Cepetan!”

Hazel lebih banyak diam, sehingga Marvin dengan cepat memutuskan sambungan.

Sebenarnya Hazel yang menyudahi pembicaraan mereka.

Untuk seseorang yang tengah merindu, balasan seperti itu sungguh menyakitkan.

Gue cinta dia, tapi dia benci gue.

Gue perhatian sama dia, tapi dia mengabaikan perhatian gue.

Apa yang harus gue lakukan?

                                                            ***

“Halo, Sayang? Aku lagi di jalan nih. Sekitar lima menit lagi nyampe di hotel kamu. Aku tau kamu kangen kan sama aku?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro