Bab 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 35

Ucapan cinta tidak hanya sekedar ucapan belaka. Yang tercetus dari mulut tanpa diikuti dengan tindakan. Semua orang mudah berucap cinta, namun tidak semua orang mampu bertanggungjawab penuh terhadapnya.

Pertanggungjawaban terhadap cinta yang telah terucap. Mampukah Marvin melakukannya?

                                                            ***

“Kamu ngapain?”

Hazel mendapati Marvin tengah berada di dalam dapur, entah sedang memasak apa.

“Udah bangun?” Marvin membalasnya dengan pertanyaan balik. Dia bergegas memutari meja untuk menghampiri Hazel yang masih berdiri di ambang pintu. Membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi.

“Hmm. Masak apa?” Hazel bertanya lagi. Dia melarikan tatapannya ke kompor dan sekitarnya. Tapi sejauh memandang, semuanya terlihat bersih. Tidak ada tanda-tanda Marvin sedang membuat kekacauan.

“Nggak. Cuma manasin makanan. Tadi Kak Meryl bikin Lasagna. And I know that’s one of the best Lasagnas. Mau coba? Aku cek dulu ya?” Marvin terlihat salah tingkah ketika kembali memutari meja dan menghampiri microwave

Hazel tersenyum tipis, tidak menjawab. Dia hanya memperhatikan sampai Marvin menghidangkan Lasagna dengan meletakkan loyangnya pada sebuah piring. Kemudian mengambil dua piring dan dua sendok.

“Aku nggak yakin bisa makan.” Tapi Hazel membiarkan Marvin menyendokkan sedikit lasagna ke piringnya.

“Aku harap anak kita nggak nyusahin kamu terlalu lama. Jadi kamu bisa makan dengan tenang.”

“Aku udah baikan.”

Marvin tersenyum. “Good.” Kemudian memotong lasagna dalam potongan kecil. “Aku suapin ya?”

“Nggak. Aku bisa sendiri kok.” Hazel mengambil sendok yang dipegang Marvin. “Kamu makan juga.”

“Oke.” Marvin mengangguk. Lalu dengan tangan yang terulur, dielusnya pipi kiri Hazel beberapa saat sebelum mengambil piring dan menyuapkan makanan ke mulutnya.

“Marv.”

“Hmm, ya?”

Hazel menunduk. Ingin mengatakan sesuatu yang selama ini mengganjal di hatinya. Setelah semalam mendengar ungkapan perasaan Marvin, dia merasa harus memperjelas. Jika memang Marvin sungguh-sungguh mencintainya, berarti Marvin seharusnya sudah meninggalkan masa lalunya bersama Riana.

“Aku dengar ucapan kamu semalam,” ucap Hazel pelan.

Marvin berhenti mengunyah. “Yang mana?”

“Waktu aku sedang tidur.”

Marvin tersenyum. “Jadi kamu nggak tidur?”

Hazel mengiyakan. “Iya.”

Mereka lalu terdiam sejenak. Dalam masa diam itu, mereka saling bertatapan dalam tanya sebelum kembali menyusun ucapan yang akan diucapkan masing-masing.

“Is that true? About your feeling?” Hazel mengucapkannya penuh keraguan. Ragu jika yang semalam hanya halusinasinya saja.

“So true, Zel. So true. I love you.”

“Why? Why do you say you love me?”

Marvin meletakkan sendok di tangannya. Jadi, Hazel menanyakan alasannya?

Tentu saja karena dia mencintai dan menyayangi Hazel. Bukankah itu alasan seseorang mengucapkan kata cinta?

Because i love you.” Marvin meraih tangan Hazel, menggenggamnya. “I said I love you, karena aku cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu.”

Hazel menatapnya. Masih diam dengan bibir terkatup rapat. Tidak ada tarikan garis yang membentuk lengkungan senyum di wajahnya. Tidak juga secuilpun ekspresi bahagia. Tidak ada sama sekali. Sebaliknya, Marvin mulai merasakan aura yang berlawanan dari apa yang diharapkan. Aura kelam, dan mendung yang menggelayut di atas kepala, tatkala dilihatnya kristal-kristal bening menitik di ke dua belah pipi Hazel, sambil mendengarnya berucap.

Why, Marvin? Why?”

                                                            ***

-Marvin-

Pagi itu, gue sama Hazel duduk di kursi pantry sambil menyantap lasagna.  

Gue bahagia melihat dia datang, menghampiri gue, bertanya apa yang gue lakukan sepagi itu di sana. Gue jawab dengan antusias karena melihatnya ada di sini.

She’s coming. And my life still alive.

                                                            ***

-Hazel-

Aku merasakan tubuhku masih sulit untuk digerakkan. Tidak terdengar suara Mbak Meryl di sekitarku. Tidak juga Marvin yang kini entah di mana. Aku hanya sempat mendengar Marvin mengatakan bahwa dia harus bangun karena merasa lapar. Dia sempat mengecup keningku sebelum bangkit dari tempat tidur. Mengulangi ucapannya, bahwa dia mencintaiku. Ucapan yang membuatku ragu dan bahagia dalam waktu bersamaan. Dia mengucapkannya dengan nada suara yang rendah, sebanyak tiga kali seperti sebuah mantra sakti, sebelum mengecup keningku lagi.

Aku senang menjadi perempuan yang dicintai. Tapi bukankah kesenangan itu bisa saja semu belaka?

Seharusnya aku tidak mempertanyakan alasan mengapa Marvin mencintaiku. Seharusnya aku bisa seperti perempuan lain yang menerimanya tanpa banyak pertimbangan. Mengatakan aku juga mencintainya dengan perasaan bahagia, sebab dulu aku pernah begitu mengharapkannya.

Nyatanya, kini aku masih ragu. Aku takut kecewa.

                                                            ***

 “Zel. I swear I love you.” 

“Kenapa? Apa karena kamu menyesali semua yang kamu lakukan sama aku?” Kali ini Hazel mengusap airmata. “Apa hanya karena alasan itu?”

Marvin menelan ludah. Tidak pernah mudah mengatakan sesuatu walau itu hanya sebuah kalimat sederhana tentang cinta kepada Hazel. “Tentu saja bukan karena itu. aku mencintaimu bukan hanya karena aku udah nyakitin kamu. Rasa cintaku bukan karena penyesalan. Aku cinta sama kamu karena hatiku mengatakan aku cuma mau kamu.”

“Lalu bagaimana dengan Riana? Bagaimana perasaan kamu sama dia?” Hazel mengucapkan nama Riana dengan nada suara tertekan. Seakan hanya dengan menyebut nama itu saja, sudah cukup membuatnya merasa terintimidasi.

“Aku nggak sama dia lagi. Hubungan kami…” Marvin tidak tahu apakah kali ini harus berbohong. Tapi berbohong demi kebaikan lebih baik daripada jujur yang menyakitkan. Setidaknya untuk memperbaiki hubungan mereka. “Hubungan kami, sudah berakhir.”

“Apa aku harus percaya?”

Hazel menegakkan wajah. Dia tidak lagi mudah mempercayai apa yang diucapkan Marvin.

Hatinya ibarat kaca rapuh, yang di saat lalu telah hancur berkeping-keping. Ucapan cinta saja tidak akan cukup merekatkan kepingannya lagi.

Marvin merasakan hatinya tercabik-cabik. “Aku nggak bisa memaksamu untuk percaya. Tapi, ya. Hubunganku dengan dia sudah berakhir. Karena aku sudah memutuskan untuk terus bersama kamu. Aku cinta sama kamu. Percayalah.”

Hazel mendengarkan hatinya berbicara.

Jika suatu saat nanti apa yang diucapkan Marvin memang sungguh-sungguh, dengan sendirinya hatinya akan pulih. Kembali mencintai Marvin juga dengan sepenuh hati.

Tapi untuk sekarang, dia belum mampu.

I wish one day I could say I love you too, Marv. But for now, I only need time to myself.”

                                                            ***

-Marvin-

Dengan mengucapkan kata cinta, gue harap gue sudah cukup membuatnya percaya. Tapi ternyata gue salah. Gue tertolak.

Apakah pernyataan cinta gue sudah terlambat?

                                                            ***

“Hazel nggak percaya sama gue, Ron.”

Marvin mengempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga di rumah Aaron. Bukan tubuhnya yang lelah, namun pikirannya. Perasaannya. Semua yang tidak bisa terlihat dari luar.

“Gue bisa ngerti kenapa reaksinya begitu. You have tons of mistakes. Ya gue tau lo udah insyaf. Tapi kan nggak mudah buat Hazel percaya.”

Marvin mengusap wajah. “Ron. Satu hal yang gue takutkan.”

Aaron ikut menegakkan duduk. “Apaan?”

“Hazel minta cerai dari gue.” Marvin menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dulu, dia menganggap santai soal perceraian. Tapi sekarang? Perceraian adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Dia tidak akan pernah siap jika dihadapkan pada hal itu.

“Heh, lo jangan ngawurlah. Hazel cuma butuh waktu buat maafin lo. Kenapa lo langsung mikir soal cerai?” Aaron menepuk-nepuk bahu Marvin. “Lo sabar aja. Jangan ngedesak-desak. Apalagi Hazel lagi hamil kan? Lo bakal jadi seorang ayah. Itu berita bahagia kan?”

Marvin tertawa getir. Berita bahagia buatnya, tapi tidak buat Hazel. Aaron belum tahu saja kenapa Hazel bisa sampai hamil. Jika Aaron sampai tahu, dia yakin, sepupunya itu akan mengutuknya langit dan bumi.

“Lo kenapa Marv?” Aaron menangkap raut wajah getir Marvin.

Apa dia jujur saja ke Aaron? Kenapa jujur selalu menyakitkan?

“Ron.” Marvin menggantung ucapannya dengan dramatis. “Hazel hamil karena…gue perkosa.”

“HAH???”

Marvin menegaskan. “Gue udah gagal jadi suami yang baik buat dia.”

                                                            ***

  Setelah menerima makian dan umpatan tentang betapa bodohnya tindakannya, Aaron akhirnya membiarkannya pulang dalam keadaan hidup-hidup. Marvin sudah menduga dan mengakui kalau dia memang laki-laki bodoh.

Laki-laki bodoh dengan tons of mistakes seperti yang dikatakan Aaron.

Sampai di rumah, Marvin langsung mengarahkan langkahnya ke kamar. Tadinya, dia meninggalkan Hazel bersama Meryl. Di dalam kamar, Hazel dan Meryl menonton TV bersama. Kesempatan itu digunakannya untuk menghampiri Hazel dan mengecup keningnya. Hazel pasti tidak bisa menolak.

“Aku dari rumah Aaron. Aaron titip salam buat kamu,” ucapnya.

Hazel hanya mengangguk.

Sesaat mereka berpandangan, sampai kemudian Hazel menggumam. “Marv. Aku mau jalan-jalan.”

“Oh ya? Mau ke mana?”

“Ke bioskop.”

“Kamu udah sehat?” tanya Marvin.

“Udah.”

Marvin beralih melihat Meryl. “Bisa, Kak?”

“Bisa. Tapi jaga Hazel baik-baik.”

                                                            ***

 Marvin masih tidak mengerti mengapa Hazel yang mengajaknya keluar untuk berjalan-jalan. Hazel seperti mendahuluinya, padahal dia juga ingin melakukan hal yang sama asalkan Hazel sudah merasa sehat. Tapi bukan masalah siapa yang mengajak lebih dulu. Dia terlalu bahagia bisa bepergian dengan Hazel hanya berdua saja di tempat umum. Bukan dalam rangka pesta, atau acara yang berhubungan dengan bisnis.

“Kamu mau nonton film apa?” tanya Marvin setelah mereka telah berada di depan gedung bioskop. Malam ini bukan malam Minggu, tidak banyak orang jadi mereka bisa mudah mendapatkan tiket.

“Aku tertarik mau nonton film itu.” Hazel menunjuk gambar studio 2 yang memampang angka dan nama pemeran utamanya. “Aku senang dia main film lagi.”

“Dian Sastro?”

Hazel mengangguk. “Kamu mau nonton yang mana?”

“Aku ikut kamu. Masak kita nonton pisah-pisah?”

Hazel tersenyum. “Suatu hari juga bakal begitu.”

Marvin mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

Hazel membuyarkan senyum. “Nggak. Lupain aja. Kita ngantri sekarang?”

                                                ***

Sambil mengantri, sesekali Marvin melihat ke arah Hazel yang sedang duduk bersama beberapa pengunjung, sambil memegang segelas cappuccino dingin.

Mengapa dia merasa ada yang ganjil dari sikap Hazel?

“Mas. Giliran Mas tuh.” Seorang cewek yang mengantri di belakang, menepuk lembut lengan Marvin.

Marvin melangkah maju, menolehkan wajahnya sekali lagi kepada Hazel.

Kita nggak akan pernah pisah, Zel. Aku akan tetap berusaha mempertahankan kamu di sisiku.

                                                ***

Sepanjang menonton film, bisa dibilang Marvin tidak berkonsentrasi sedikitpun dengan tayangan di layar. Pikirannya juga pandangannya selalu tentang dan tertuju kepada Hazel. dia merasa perlu meraih tangan Hazel yang diam di pangkuannya.

Mereka harus lebih sering seperti ini. Bepergian jika ada waktu luang.

Tidak. Untuk Hazel pasti dia akan selalu meluangkan waktu. Bahkan jika setelah malam ini Hazel mau ikut bersamanya ke Lembang, hidup mereka akan jauh lebih sempurna.

Hazel masih begitu fokus memandang ke layar. Marvin tidak ingin mengganggu konsentrasinya. Hazel menyukai film tersebut. sejenak, Marvin mencoba ikut menikmati film. Dia memang bukan pengagum film, tapi demi Hazel, dia akan mulai belajar menyukainya.

Hazel berbalik ke arahnya. Dalam keremangan ruang bioskop, wajah itu begitu mencerahkan batinnya.

                                                            ***

Dua jam kemudian, mereka keluar dari studio 2. Raut wajah Hazel terlihat senang. sebelum keluar dari studio tadi, dia sempat mengatakan bahwa filmnya menarik. Akting Dian Sastro diakuinya sangat bagus.

Marvin menggunakan kesempatan itu untuk meraih tangannya, menggenggamnya begitu erat. Hazel menurut, hingga mereka pun bergandengan tangan keluar dari bioskop.

Sepanjang menonton tadi, Hazel sempat menyodorkan popcorn padanya. Tapi makan popcorn saja tidak membuat kenyang.

“Kita makan yuk?” Marvin lalu mengusulkan sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari bioskop.

“Boleh.”

Senyuman tersungging di bibir Marvin.

                                                            ***

Dalam perjalanan menuju restoran, ponsel miliknya berdering. Monitor memunculkan nama Ajeng membuat Marvin ragu antara akan menjawab atau mendiamkan. Tapi sepertinya ada sesuatu, karena Ajeng sudah sangat lama tidak pernah menelepon. Kalaupun nomer Ajeng tersimpan, karena suatu waktu Ajeng pernah menghubunginya dan Marvin langsung men-save di phonebook.

“Halo. Iya. Gue lagi di jalan.”

Ternyata Ajeng mengabari tentang Riana.

“Riana lagi di rumahsakit, Marv. Dia barusan coba bunuh diri. Gue sebetulnya nggak mau nelepon lo, tapi gue bingung, nggak tau harus ngasih tau siapa.”

“Oke. Nanti gue ke sana.”

“Sori ya, Marv.”

“Iya, nggak pa-pa.”

Klik.

Dengan begitu, Marvin terpaksa harus membatalkan makan malam mereka.

“Zel. Aku langsung nganter kamu pulang ya? Aku ada urusan bentar. Barusan temanku nelepon. Nggak pa-pa kan?”

Hazel tidak protes apalagi marah. Hazel hanya mengiyakan, namun Marvin bisa merasakan kehampaan dalam batinnya.

Tidak seharusnya Hazel berada dalam masalahnya, apalagi menjadi pihak yang menderita. 

                                                            ***

Setelah memarkir mobil, Marvin mengirimkan SMS kepada Hazel bahwa dia tidak akan lama. Hazel mungkin tidak akan repot mengkhawatirkannya. Namun beban morilnya mengharuskan Marvin memberikan kabar.

Sambil merapatkan jaket, dilangkahkannya kaki meninggalkan parkiran. Hujan gerimis mulai turun ke bumi. Menitikkan air dingin dari langit.

                                                            ***

-Riana-

Aku baru saja mengambil sebuah keputusan ekstrim. Dan bodoh. Ya, aku baru saja melakukan percobaan bunuh diri. Sebuah tindakan yang nyaris mencelakakanku dan bayi yang ada dalam kandunganku.

Tidak ada pilihan lain. Otakku sudah buntu memikirkan jalan lain. Semua ini kulakukan demi Marvin. Demi mendapatkan perhatiannya. Mendapatkan hatinya yang aku tahu telah berubah haluan, memilih perempuan lain yang sialnya adalah isterinya sendiri.

Wanita jalang itu. Sainganku. Heh. Dia mungkin berpikir sudah menang, sudah berada di atas angin. Tapi dia salah, karena pada akhirnya akulah yang akan menang. Aku selalu tahu bagaimana membuat Marvin datang padaku.

See? Dia akhirnya datang. Lebih cepat dari yang kukira.

                                                            ***

-Marvin-

Gue berjalan secepat mungkin mencari ruang tempat Riana dirawat pasca percobaan bunuh diri. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan sesal di hati gue. Sambil terus berjalan, gue terus berpikir, bagaimana mungkin Riana sampai nekat melakukan hal ini? Gue tahu persis, alasannya melakukan percobaan bunuh diri, karena dia nggak mau pisah dari gue. Perpisahan kami terlalu mendadak.

Tapi apa gue punya pilihan lain? Gue rasa ini pilihan terbaik yang bisa gue ambil untuk mempertahankan Hazel di sisi gue.

“Halo. Jeng. Gue sudah di koridor. Lo bisa keluar bentar? Gue tunggu ya.”

Gue menghela napas pendek. Memandang berkeliling.

Gue tahu setiap keputusan akan ada konsekuensinya. Terhadap semua yang gue lakukan kepada Riana dan Hazel.  Gue cuma berharap Tuhan menunjukkan jalan terbaik buat gue.

Gue hanya ingin melakukan yang benar. Mencintai isteri gue. Kembali padanya.

Itu saja.

                                                            ***

-Riana-

Kita bertemu lagi, Marv. Aku menebak-nebak, apa yang sedang kamu lakukan bersama isteri kamu setelah memutuskan aku. Memadu kasih di atas peraduan, yang dulu sering kita lakukan, bahkan setelah kamu menikahinya? Atau sekedar saling berbagi ciuman hangat yang memabukkan, seperti yang sering kita lakukan, bahkan setelah kamu terikat komitmen dengannya.

Kalian berbahagia, bukan? Berbahagia di atas penderitaanku?

Tapi sekarang, aku hanya ingin menunjukkan satu hal penting buatmu, Marv. Seperti yang pernah kukatakan. Bahwa aku tidak akan mempermudah pemutusan hubungan kita.

Bukan karena aku tidak mencintaimu, dan bermaksud membuatmu menderita. Aku hanya ingin kamu tahu, betapa besar rasa cintaku. Aku hanya ingin terus berada di sisimu, tanpa kamu harus meninggalkan isterimu. Karena aku selalu siap menjadi yang ke dua. Terus menjadi bagian gelap dalam spotlight kehidupanmu dan isterimu yang sangat beruntung itu. Walau seharusnya aku yang lebih pantas berada di posisinya. Karena aku yang paling mencintaimu, dan jika kamu menanyakan kembali pada hatimu, sesungguhnya akulah yang paling kamu cintai dan kamu butuhkan dalam hidupmu.

Bukan dia.

                                                            ***

-Marvin-

“Hei, Ri.”

Hal  itu yang pertama gue lakukan setibanya di ruang perawatan Riana. Menyapanya dengan sedikit tersenyum. Bukan senyum bahagia, apalagi cinta, karena sekarang gue tidak lagi merasakan apa-apa untuk Riana. Karena hati gue telah diisi sepenuhnya oleh Hazel.

“Marv. Kamu datang?”

Gue mengangguk pelan. Gue melihat kondisinya masih tampak lemah. Gue tidak berniat menghakiminya tindakannya. As you see. Gue juga punya andil atas semua ini. Yang bisa gue lakukan selanjutnya adalah menuntaskan hubungan kami. Nggak ada penawaran lain.

“Kenapa lo ngelakuin ini? Kenapa, Ri?” tanya gue.

Riana tidak menjawab. Dia diam, namun kemudian gue bisa mendengar apa yang gue kenali sebagai bentuk pertahanan diri.

“Aku nggak mau pisah Marv.” Tatapannya kosong.

“Trus, lo mau gue gimana?”

“Tetap sama aku. Apa itu sulit buat kamu?”

“Kita bicarakan masalah ini lagi setelah lo sehat.” Gue melihat kondisinya masih lemah. Pikirannya pun masih belum stabil. Gue nggak mau mengambil risiko dengan memaksakan berbicara lebih banyak.

“Sekarang atau nanti jawabanku akan tetap sama. Aku nggak mau pisah.”

“Ri, please.”

“Aku bisa mati buat kamu, Marv. Kalau itu yang kamu mau!” Riana berkeras.

Gue beranjak dari kursi. Tidak ada gunanya berbicara dengan Riana. Gue bisa saja menyuruhnya mati jika memang dia memilih untuk mati. Dia tidak bisa menggoyahkan pendirian gue.

“Jangan pergi, Marv. Jangan tinggalin aku,” Riana menatap gue dengan tatapan menghiba.

“Gue nggak bisa sama lo lagi, Ri. Gue nggak bisa. Maafin gue,”

Lalu yang gue dengar berikutnya adalah teriakan histeris sekaligus memilukan. Ajeng berlari ke arah pintu, berteriak meminta pertolongan. Situasinya sangat kacau.

Gue masih berdiri diam sampai Ajeng menarik gue keluar dari ruangan itu. Dokter dan dua orang perawat menangani Riana yang masih meracau.

“Jangan tinggalin aku, Marviiiin. Jangaaan,”

                                                            ***

-Hazel-

            Aku nggak tau pulang jam berapa, tapi aku usahain pulang cepat.

            I Love you.

Aku tersenyum membaca SMS yang dikirimkan Marvin. Makan malam kami batal, tapi bukan masalah besar buatku. Aku terlalu lelah untuk menghabiskan waktu lebih lama di luar rumah. Beristirahat akan lebih baik. Dua bantal telah kususun sejajar. Selimut telah kubentangkan. Lampu tidur sudah kunyalakan. Jika Marvin pulang nanti, dia bisa langsung tidur di sampingku. Aku tidak akan keberatan dia memelukku. Dengan atau tanpa kata cinta. Just hug me. Untuk membuatku hangat, membuatku aman.

It’s time for me to thinking about love

It’s time for me to thinking about future

Cinta dan masa depanku. Benarkah dia adalah Marvin?

I’ll be waiting for you tonight, Marv. I will.

                                                            ***

-Marvin-

Jam tangan gue sudah menunjukkan pukul 2 dinihari dan gue masih duduk di depan ruang perawatan Riana. Menunggu sampai Riana tertidur kembali setelah sebelumnya berteriak-teriak.

Gue memijit-mijit kening dan tengkukku. Masalah ini semakin rumit saja.

Ajeng yang ikut menunggu bersama gue, sesekali menghibur gue. Menurutnya, Riana pasti mengerti. Riana hanya butuh waktu untuk melepas gue.

“Semuanya salah gue, Jeng.”

“Udahlah, Marv. Lo jangan nyalahin diri lo terus. Riana bakal baik-baik aja. Untuk sementara, lo jangan cemasin apapun. Lo pulang aja ya, istirahat. Nanti lagi lo pikirin gimana jalan keluarnya. Gue juga mau masuk ke dalam, nemenin Riana.”

“Oke. Kalau ada apa-apa, lo telepon gue.”

Tidak ada jawaban lain yang bisa gue katakan saat itu. Melihat keadaan Riana yang begitu terpukul karena gue, gue nggak bisa lepas tanggungjawab begitu saja.

“Iya. Hati-hati di jalan.”

                                                            ***

 Hazel sudah tertidur nyenyak ketika gue datang.

Pikiran gue terlalu berat bahkan hanya untuk sekedar tersenyum padanya.

Gue beranikan diri menghampirinya. Berbaring di sebelahnya. Memeluknya dari belakang seperti biasa, tapi kali ini penuh dengan rasa sesal dan seakan takut kehilangan dia. Gue hanya ingin bahagia dengannya, tapi kenapa harus sesulit ini?

“Zel. Apapun yang terjadi. Jangan pernah meninggalkanku.”

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro