Hazel's Wedding Story (Second Impression)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

                                                                                Bab 1

 

            “Kamu gimana kabarnya, Zel?”

                “Baik. Ly. Aku harap kamu juga begitu,”

                Early tersenyum sambil mengangkat Amel yang kini menggelayut manja di gendongannya. “Masuk, yuk?”

                Hazel mengangguk. Pilihannya untuk datang ke rumah Oom Harun dan Tante Erina diambilnya setelah meyakini jika rumah mungil itu bisa jadi tempat yang cocok untuk bersembunyi sekaligus menenangkan diri. Jakarta apalagi Lembang kini jadi dua tempat menakutkan baginya.

                Dia belum tahu tentang keputusan apalagi yang akan diambil. Harapannya, dengan pikiran tenang, keputusan terbaik akan didapatkan.

                Semoga Marvin bisa menerima kepergiannya yang begitu mendadak.

                Rumah terasa sejuk oleh pendingin udara yang diletakkan di salah satu sudut ruang tamu.

                “Bundaa, Amel mau duduk dipangku Tante Zel,” rengek Amel setelah Hazel menghadiahi sebuah boneka Barbie untuknya. Dalam waktu terdesak sebelum memutuskan ke Bandung, Hazel masih menyempatkan membeli oleh-oleh untuk Amel.

                “Sama Bunda aja ya? Tante Zel masih capek,”

                “Nggak pa-pa kok. Sini Amel sama Tante,” Hazel meletakkan tubuh Amel di pangkuan, Berhati-hati, jangan sampai Amel menekan makhluk mungil yang masih sangat lemah di dalam perutnya.

                Diusap-usapnya rambut Amel yang duduk tenang di pangkuannya.

                “Bentar ya. Aku ambil es krim dulu.”

                                                                        ***

“Mau es krim?” Early meletakkan dua wadah es krim rasa durian dan vanilla di atas meja.

“Boleh. Makasih, Ly,” jawab Hazel sambil menggeser duduknya.

“Bun, Amel mau juga,” Amelia yang tadinya duduk di pangkuan Hazel melompat ke pangkuan sang bunda dan bermaksud mencungkil es krim dengan telunjuknya.

“Sayang, makannya pakai sendok dong. Kamu sama Bunda aja ya. Es krim yang rasa duren.”

“Mau es klim dulen,” Amelia langsung membuka mulutnya minta disuapi.

Hazel tertawa melihat tingkah polah anak sepupunya itu. Dia pun ingin ikut menyuapi Amel, “Amel mau Tante suapin juga?”

“Mauuu,”

“Anakku antusias banget sama kedatangan kamu ya, Zel.” Early tersenyum. “Hmm, gimana nggak? Rajin disogok Barbie sih,”

 Sewaktu ulangtahun pertama Amelia, Hazel menyempatkan datang dan memberikan kado boneka Barbie beserta rumah-rumahannya. Di ulangtahun ke-dua, lagi-lagi Hazel mengirimkan kado bertema sama, tapi dengan jenis pakaian yang berbeda. Sampai ketika dia datang sekarang pun, dia tidak lupa membelikan Amelia mainan yang disukainya. Malah kata Early, putri satu-satunya ini jadi terobsesi setiap melihat Barbie di toko mainan.

“Aku gemes banget sama Amel makanya aku pengen ngasih hadiah terus ke dia,” Hazel mengecup dan mencubit pipi Amel yang duduk di antara dia dan Early.

“Makanya cepetan program punya baby,” Early meledek. “Atau jangan-jangan udah isi?”

Hazel ragu untuk mengakui, tapi dia akhirnya mengaku juga. “Kebetulan udah, Ly. Tapi baru sepuluh minggu. Belum kelihatan kan?” Hazel mengelus perutnya.

“Waah selamat ya. Berarti nggak pake acara nunda dong. Suami kamu jago juga ya? Aku malah harus nunggu ampir setahun baru bisa hamil si Amel,”

Suara histeris Amel terdengar ketika balita itu menonton kartun.

“Aku juga nggak nyangka bisa cepet hamil,” Hazel membalas dengan tersipu. Walau berarti dengan begitu, dia jadi kepikiran Marvin lagi.

Ah, jangan sampai pikirannya tentang Marvin mengacaukan aksi minggatnya.

                                                                                ***

Marvin merasakan tepukan halus terasa di bahu kanannya. Lupa bahwa Aaron juga berada di sana.

“Lo istirahat aja, Marv. Udah jam 12.” Aaron menguap dan mengucek matanya. “Udara sedingin gini bikin ngantuk mulu,”

“Duluan aja, Ron.” Marvin menjawab sambil menoleh sebentar kepada Aaron.

Mata Aaron semakin memerah karena kantuk, namun dia juga tidak tega membiarkan Marvin sendirian dengan pikiran penat. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Marvin begitu terpukul dengan kepergian Hazel. Menghabiskan waktu berjam-jam dengan bengong, lama-kelamaan jam-jam berikutnya habis hanya untuk mendengarkan curhatan Marvin.

“Sampai sekarang gue nggak ngerti kenapa Hazel ninggalin gue,” Marvin berjalan melewati pintu yang terhubung ke balkon. Udara dingin semakin menusuk tulang, bahkan sweater hijau yang dikenakannya tidak cukup menghangatkan. Tapi Marvin mengabaikan rasa dingin yang tidak ada apa-apanya dibandingkan kerisauan hatinya.

“Hazel pasti punya alasan.” Aaron mengikuti Marvin, berpijak di atas permukaan lantai kayu yang terasa lembab karena dingin. “Tapi, alasan apa ya?”

Menurut Marvin, Hazel yang dikenalnya selalu memiliki argumen untuk hal sekecil apapun. Hazel salah satu perempuan paling memiliki pemikiran rasional yang dikenalnya selama ini selain Meryl, kakaknya. Juga Katrin. Kepergian Hazel juga seharusnya dilandasi pemikiran rasional. Hanya saja dia masih tidak tahu apa-apa, alih-alih menemukan alasan.

“Marv,” Aaron menatapnya lekat. Suasana dramatis dimunculkan Aaron dengan kalimat menggantung. Sesaat setelah mencetuskan nama Riana.

“Maksud lo. Mungkin saja Riana penyebab Hazel pergi?”

Aaron mengangguk mantap. “Ya. Gue rasa sih begitu.”

“Coba lo jelasin,”

Aaron sebaliknya, meminta Marvin melakukan satu hal. “Lo kan nggak mungkin nanya Riana. Tapi lo bisa tanya Hazel.” Aaron menggaruk telinganya. “Masalahnya lo kan belum pulih benar, Marv buat nyusul dia?”

Kepala Marvin tidak bergerak. Pandangannya masih terpancang lurus pada batang pohon pinus yang tumbuh di halaman. Terlalu penuh pikirannya oleh tanya yang tidak kunjung terjawab.

“Besok. Gue harus tau Hazel di mana.”

Ide Marvin terdengar bagus juga. Hanya saja, bagaimana caranya?

“Lo siap-siap aja besok,”

Aaron masih kebingungan. Jujur saja, dia belum tahu apa rencana Marvin.

“Trus lo mau nanya ke siapa?”

“Nanya ke orang yang tau Hazel di mana,”

“Tante Helena?”

Marvin tidak langsung mengangguk. Kemungkinan orangtua Hazel tidak akan langsung memberitahunya. Namun tidak ada salahnya mencoba.

                                                                                ***

Mama menghubungi ketika Marvin dan Aaron bersiap-siap ke Jakarta keesokan pagi. Dari nada suara mama, terasa sekali bagaimana beliau pun memiliki tekad yang sama untuk mempertemukan Marvin dengan Hazel.

“Marv. Mama udah tanya ke Mbak Helena. Besar kemungkinan Hazel ada di Bandung sekarang.”

“Bandung?” Marvin menoleh kepada Aaron yang sedang menghabiskan kopinya dalam tegukan terakhir. Aaron mengangkat alis.

“Iya, Marv. Sekarang Pak Rori udah Mama suruh ke Bandung.“ Mama berhenti sesaat. “Dari cerita Mbak Helena, katanya kamu sudah tau Hazel mau ke Bandung untuk urusan kerjaan,”

Rupanya mama mengambil langkah cepat juga.

Dahi Marvin berkerut-kerut tanda berpikir keras.

Hazel tidak pernah bilang mau ke Bandung. Hazel cuma pamit ke Jakarta untuk urusan pekerjaan dan berjanji akan kembali sebelum Marvin keluar dari rumahsakit. Firasatnya waktu itu memang tidak nyaman ketika Hazel pamit, dia pun sudah mencegah namun Hazel tetap pergi.

Tapi kenapa Hazel harus…berbohong?

“Trus kenapa mama nyuruh Pak Rori ke Bandung?”

“Ya, buat nyusulin Hazel, Sayang.”

Tanpa aba-aba Marvin langsung menaikkan nada suaranya. “Nggak boleh! Yang berhak jemput Hazel cuma aku, Ma. Bisa-bisanya mama ngasih amanat sepenting itu ke Pak Rori.”

Nafas Marvin mendadak tidak beraturan. Bahkan Pak Rori pun bisa jadi orang yang paling dibencinya saat ini hanya karena amanat mama kepada Pak Rori untuk membawa Hazel pulang kembali ke Jakarta. Sekalipun Pak Rori tidak tahu apa-apa.

“Duh. Marvin. Kamu kan belum pulih benar. Ntar kalau kamu kenapa-napa, gimana?”

“Aku udah sehat, Ma.”

“Ya sudah, biar Aaron aja yang nemenin Pak Rori.”

“Ma. Aku udah sehat. Harus aku sendiri yang jemput Hazel. Bukan orang lain.” Marvin mengulangnya dengan penekanan.

Mama terdengar terintimidasi. “Ya sudah. Kamu jangan emosional gitu, Sayang. Nanti Mama kasih tau Pak Rori buat singgah dan nganterin kamu ya?”

Marvin tentu saja tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu menunggu Pak Rori sampai di Lembang. Jauh lebih baik jika mereka langsung bergerak ke Bandung, karena setiap detik sangat berarti. Dan jika mengulur waktu, bukan tidak mungkin jika hal ini sampai ke telinga Hazel, isterinya itu akan minggat lagi entah ke mana.

“Kelamaan, Ma. Mama SMS-in alamatnya. Biar aku sama Aaron yang ke sana.”

Mama berbalik marah. “Nggak bisa, Marv. Pak Rori udah dalam perjalanan.”

Marvin menahan geraman. Pak Rori lagi dimanapun, lagi ngapain,  bukan urusannya.

“Pak Rori, dihubungi aja Ma. Kasih tau balik aja ke Jakarta.”

Tidak ada jawaban, namun telepon masih tersambung.

“Ma? Mama?” Suara Marvin semakin terdengar tidak sabaran.

“Marv, sabar dikit. Mama lagi nyari kertasnya di mana. Mama tadi nulisnya di situ.”

Marvin menahan diri untuk tidak memaksa mamanya mempercepat proses mengirimkan SMS. Dia menunggu sekitar semenit lebih sampai suara mama terdengar lagi.

“Dicatat aja, Marv. Mama lupa cara kirim SMS.”

Mendengar jawaban mama yang luar biasa menjengkelkan itu, Marvin langsung meneriaki Aaron yang selalu sigap di sampingnya kalau dibutuhkan. “Ron. Kasih gue kertas sama pulpen.”

“Biar gue yang catat,” kata Aaron. Beberapa lafal  yang diucapkan Marvin sudah tertulis dengan rapi di secarik kertas dalam waktu singkat.

Alamat yang diberikan mama sepertinya tidak sulit untuk dilacak. Marvin sudah sering bolak-balik ke Bandung untuk urusan pekerjaan atau sekedar jalan-jalan. Beruntung, Hazel tidak minggat hingga ke Timbuktu atau Kutub Utara.

“Kita berangkat sekarang, Ron.”

Aaron langsung mengiyakan dan menyambar kunci mobil sedannya. Marvin segera menyusul Aaron menuju halaman tempat mobil terparkir.

Dalam hati dia berharap, Hazel akan segera ditemukan.

                                                                                ***

Perjalanan ke Bandung menjadi perjalanan menyeramkan untuk Aaron. Bagaimana tidak. Marvin yang duduk di sampingnya berkali-kali menyuruhnya menaikkan kecepatan mobil. Padahal dia merasa sudah memacu mobil dengan kecepatan maksimal.

“Cepat sih cepat, Marv. Tapi gue masih sayang sama nyawa gue. Lo sih enak udah nikah. Nah gue?” Aaron tidak mengindahkan Marvin yang menyuruhnya menyalip sebuah truk tronton ketika mobilnya berada di tikungan. “Hazel bakal ketemu. Oke? Tenangin diri lo. Gue bakal lakuin yang terbaik semampu gue. Lagian lo kan tau kemampuan nyetir gue dibanding  semua sepupu lo yang laki?”

Dari semua sepupu, memang Aaron yang paling fasih mengemudikan mobil. Seharusnya Marvin tidak meragukan kemampuan Aaron. Sepupunya itu sangat bisa diandalkan, khususnya pada saat segenting ini.  

Mungkin benar kata Aaron. Menenangkan diri dan menunggu sampai Aaron berhenti pada alamat yang dimaksud akan lebih baik daripada memaksakan diri terlalu keras.

Marvin pun mengalah.

“Sorry, Ron.”

Ketika berhasil menyalip truk tronton dan dua minibus pada jalanan lurus, Aaron tersenyum. Di depan mereka, perbatasan wilayah kota Bandung semakin dekat.

So close, Man! Nggak lama lagi,”

Thanks,

Marvin kembali merogoh sakunya  untuk mengambil kertas berisi alamat yang mereka tuju. Tidak lama lagi, kata Aaron.

Dan mereka akan membawa Hazel kembali.

                                                                                                ***

                Berhubung udah janji bakal update HWS minggu ini, jadi aku update sekarang. Tapi nextnya jangan tanya kapan yaa... nunggu versi book 1 diproses :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro