Pengharapan Yang Putus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Permohonan Meryl tidak begitu saja menggoyahkan pendirian Hazel. Rencana hidup telah dirancang Hazel dengan matang. Tidak ada seorangpun yang bisa mengubahnya.

                "Maaf, Mbak. Aku udah mutusin akan membawa Marvel ikut bersama aku." Hazel berhenti sampai di situ.

                Meryl, yang walaupun tidak setuju, tidak bisa melakukan upaya apapun untuk mencegah Hazel pergi.

                "Baik kalau memang itu udah jadi keputusan kamu. Mbak bisa bilang apa?" Meryl terdengar pasrah.

                Dalam hati, Hazel yakin Meryl kecewa. Hazel merasa sudah mengecewakan banyak orang. Tapi dia selalu berharap hal terbaik pada setiap keputusan yang diambilnya.

                Hazel mengusap lembut pipi gembul Marvel sebelum mengecupnya. "Mbak mau gendong Marvel?"

                Anggukan Meryl terlihat. Ketika Marvel berada dalam dekapannya, Meryl tidak berhenti memujinya. "Ganteng ya. Kulitnya putih bersih. Jagoan kecil kesayangan Bunda."

                Hazel merasakan ujung-ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman.

                Marvel. Jagoan kecil yang akan menemani hari-harinya kelak.

                                                                                                ***

                "Pak Marvin?"

                Marvin tengah berdiri di halaman rumah ketika suara Riska yang lincah menyapanya.

                "Hei, Riska." Marvin memutus lamunannya, dan melihat Riska sedang berjalan cepat memasuki pagar yang tadinya ditutup.

                "Saya kira bapak nggak mau ke sini lagi. Bapak darimana aja kok baru keliatan? Udah pindah rumah ya?" Riska bertanya penuh rasa penasaran.

                "Iya. Sekarang saya tinggal di apartemen di Kuningan,"

                "Bu Hazelnya mana, Pak?" tanya Riska lagi. "Saya lupa ngembaliin buku resep puding yang saya pinjam. Udah lama sih, Pak. Udah sekitar empat bulan lalu. Abis rumah ini kosong terus."

                Empat bulan lalu. Marvin sulit mengingat apa yang terjadi empat bulan lalu. Terlalu banyak masalah yang membuatnya sejenak lupa akan pergiliran waktu.

                "Ada kok. Nggak ikut ke sini," jawab Marvin singkat.

                "Udah lahiran kan, Pak? Saya pengen jenguk. Bu Hazelnya diajak aja ke sini."

                "Iya udah."

                "Cewek apa cowok, Pak?"

                "Cowok." Marvin menjawab dengan jawaban semakin singkat. Lehernya seketika tercekat, hingga dia merasakan jantungnya berdegup semakin cepat.

                Dia tidak pernah melihat seperti apa rupa anaknya. Karena ketika Hazel melahirkan, dia tidak ada di dekat Hazel untuk mendampinginya.

                Hazel tidak ingin menemuinya lagi dan memberikan ultimatum untuk tidak berusaha mendekati anaknya. Jadi yang bisa dilakukan Marvin saat itu hanya menunggu kabar bahwa anaknya sudah lahir. Hanya itu.

                "Namanya siapa, Pak? Mirip siapa?"

                Saya nggak tau, Ris. Saya nggak pernah bisa melihat anak saya. Bahkan sekedar memandangi fotonya. Saya sudah tidak punya hak lagi atas anak saya, termasuk melihatnya.

                "Marvel. Mirip saya."

                "Pasti ganteng. Ya iyalah ganteng kan mirip sama bapak?" Riska tersenyum-senyum sendiri tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam rumahtangga Marvin dan Hazel.

                 "Iya, Ris." Marvin kembali mengarahkan pandangan pada rumah yang sudah berbulan-bulan dibiarkan kosong.

                Dia tidak berniat menjualnya. Karena rumah itu adalah satu dari beberapa kenangan. Tempat yang bisa dikunjunginya jika kerinduannya kembali memuncak. Meskipun selalu berakhir dengan matanya yang berkaca-kaca penuh keharuan. Betapa waktu yang berlalu telah mengambil dua hal paling berharga dalam hidupnya.

                Belahan jiwa dan jagoan kecil yang dirindukan namun tidak bisa ditemuinya lagi.

                "Pak. Pak. Bapak nangis?"

                Tepukan Riska tidak dihiraukan Marvin.

                Helaan napas Marvin terasa semakin berat. "Saya rindu mereka, Ris."

                                                                                                ***

                Marvin memelankan mobil ketika melintas di jalanan kecil di depan rumah Hazel. Dia tahu, dia tidak punya hak lagi bahkan untuk sekedar menginjakkan kakinya lagi di sana. Dia harus menghormati perjanjiannya dengan Hazel. Namun hatinya mengatakan, dia harus ke sana.

                Sekalipun hanya memandangi rumah itu dari kejauhan dan membayangkan memeluk Marvel. Mengatakan betapa dia sangat merindukannya.

                Namun hari ini, ada dorongan kuat untuk memasuki rumah itu.

                Jadi diputuskannya untuk turun.

                Suasana rumah nampak lengang. Sebuah mobil Swift merah terparkir begitu dekat dengan teras rumah.

                Diperhatikannya lebih dekat lagi. Dua buah koper besar diletakkan di atas paving block antara teras dan pintu mobil.

                Kemudian suara orang bercakap-cakap terdengar dari arah ruang tamu.

                "Mama udah siap, Zel. Marvel biar mama yang gendong."

                "Iya, Ma. Aku ambil tasnya dulu."

                Mereka mau pergi?

                Marvin berhenti di dekat mobil Swift tersebut.

                "Marvin?"

                                                                                                ***

                Marvin mendekat ke arah teras. Mantan mertua perempuannya berbalik ke arah rumah dengan tatapan waspada.

                "Maaf, Ma. Saya lancang datang ke sini." Marvin menapaki dua anak tangga sebelum menginjakkan kaki di atas lantai marmer hitam di teras.

                Mama kembali melongok ke dalam rumah. "Iya, nggak pa-pa."

                Marvin semakin mendekat hingga bisa melihat bayi dalam gendongan mantan mertuanya. Hingga kini, hubungan mereka sebenarnya masih baik. Hanya saja, Hazel tidak pernah mengizinkannya untuk bertemu Marvel.

                Dan sekarang, dia berada dekat dengan Marvel. Tangannya terulur untuk menggendongnya.

                "Ma? Ayo berang...kat."

                Suara Hazel membuat baik Marvin maupun mamanya menoleh kepadanya.

                "Mau ngapain kamu ke sini?" Hazel menurunkan tasnya dengan asal dan cepat-cepat mengambil Marvel yang baru genap beberapa detik digendong Marvin.

                Marvin tidak menyahut.

                "Zel. Marvin cuma mau jenguk Marvel. Biar dia gendong Marvel sebentar."

                "Ayo kita berangkat, Ma." Tidak nampak sedikitpun senyum di wajah Hazel. Untuk Marvin, hatinya telah mati. Perasaannya, apalagi cintanya sudah lama menghilang sejak Riana kembali mengguncang kehidupan rumahtangga mereka.

                "Mau ke mana, Zel?"

                "Bukan urusan kamu,"

                "Kamu mau bawa Marvel pergi?"

                Hazel enggan menjawab. Serasa ada rasa panas yang membakar dadanya. Dia tidak sanggup bertemu dengan Marvin tanpa merasakan dendam.

                Supir yang akan mengantar mereka membukakan pintu untuk Hazel.

                "Hazel." Marvin menundukkan kepalanya. Mencoba berbicara dengan Hazel yang sudah  duduk di jok belakang sambil memangku Marvel.

                "Pergi dari sini, Marvin." Hazel mengusirnya dengan suara yang begitu samar.

                "Jangan bawa Marvel."

                "Aku bilang pergi dari sini, Marvin!"

                "Kamu mau ke mana?"

                Mesin mobil sudah mulai dinyalakan. Namun Marvin meminta supir yang kini sudah duduk di belakang kemudi untuk mematikan mesin.

                "Aku menunggu berbulan-bulan untuk bisa ketemu sama Marvel. Apa maksud kamu melarang aku ketemu sama anakku sendiri?"

                "Kita sudah buat kesepakatan. Kamu nggak punya hak lagi atas Marvel."

                "Aku nggak peduli dengan kesepakatan itu," jawab Marvin. "Kamu nggak bisa menjauhkan Marvel dari aku, Zel."

                Hazel meminta supir untuk segera berangkat, tapi lagi-lagi Marvin melarangnya. Kali ini dengan nada yang lebih keras.

                "Jalan, Pak."

                "Jangan dulu. Aku belum selesai." Marvin menelan ludah. "Kita nggak harus berakhir seperti ini kan?"

                Hazel bergeming. Tapi kemudian suara lirihnya terdengar. "Kita udah berakhir, Marv. Jangan temui aku dan Marvel lagi."

                Marvin hanya bisa tertunduk. Di dalam mobil, Marvel tertidur begitu pulas. Suara pertengkarannya dengan Hazel hanya akan membangunkan tidurnya.

                "Jaga Marvel baik-baik. Tolong kasih tau dia, aku sayang sama dia."

                Hazel menoleh kepada Marvin yang kini tengah memandangi Marvel dengan tatapan sendu. Dia tidak pernah membayangkan akan berada dalam posisi seperti ini. Perpisahan, menjadi orangtua tunggal. Padahal dia bisa terus berjuang untuk bertahan di sisi Marvin. Bukannya mengajukan gugatan cerai.

                Namun dia terlalu cepat mengalah pada keadaan hingga sampai pada titik ini. Di mana tidak ada lagi kami, namun hanya ada aku dan kamu. Menyisakan perpisahan dan kenangan buruk untuk dikenang.

                Marvin tidak menghalanginya lagi.

                Mobil bergerak pelan meninggalkan halaman. Ketika Hazel berbalik, Marvin masih berdiri memandangi dari kejauhan.

                Nggak cuma kamu yang hancur Marv. Tapi aku juga.

                                                                                                ***

                "Janji. Apapun yang terjadi jangan pernah pergi."

                Hazel menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.

                Janjinya untuk tidak pergi meninggalkan Marvin apapun yang terjadi, sudah dilanggarnya. Menurutnya setimpal, sekedar membalas pelanggaran Marvin terhadap komitmen pernikahan mereka. Kini mereka seperti musuh, seolah saling mengingkari bahwa dulu mereka adalah dua orang yang saling mencintai sama lain.

                Mungkin, Marvin mencintainya hanya di bibir saja.

                Hazel mencoba meyakinkan dirinya akan hal itu. Walau terselip sedikit keyakinan bahwa Marvin sungguh-sungguh mencintainya.

                Namun biarlah cinta yang dulu pernah ada tertinggal di belakang. Menjadi masa lalu pahit yang tidak ingin diulang kembali.

                Walau tidak mudah. Namun dia harus terus mencoba.

                                                                                                ***

                Marvin pulang ke apartemen dalam keadaan setengah mabuk. Tadinya dia berencana menghabiskan lebih banyak lagi minuman beralkohol. Paling tidak sampai otaknya lumpuh dari segala ingatan tentang Hazel.

                Tapi tidak. Dia berhenti karena mengingat janjinya dulu untuk tidak lagi menjadikan alkohol sebagai pelampiasan akan tekanan hidup. Dia berhenti karena dia menyadari satu hal. Seberapa banyak pun dia minum, Hazel dan Marvel tidak akan kembali.

                Riana yang tadi sedang berada di dalam kamar, keluar untuk melihat keadaan Marvin.

                "Kamu darimana, Marv. Baru pulang jam segini."

                Waktu yang bergulir sejak siang menuju malam tidak dihiraukan Marvin. Barulah ketika dilihatnya kembali jam tangan di tangan kiri, kesadarannya pulih. Sudah tengah malam ternyata.

                "Ke rumah Hazel," jawab Marvin dengan enteng.

                Riana tidak menyahut lagi. Dia mendekat kepada Marvin, menawarkan makan malam.

                "Aku siapkan ya. Kamu mau makan?"

                "Nggak lapar." Marvin mengempaskan tubuhnya lebih dalam di sofa. "Buatkan saja teh."

                Riana tanpa pikir panjang segera masuk ke pantry, meninggalkan Marvin yang masih larut dalam lamunan.

                Tidak berapa lama, Riana kembali membawa secangkir teh melati dan satu sachet gula jagung yang diletakkannya di sisi cangkir di atas piring alas.

                "Logan nggak rewel kan?" tanya Marvin yang selalu perhatian kepada Logan.

                "Nggak," jawab Riana singkat. Didekatkannya posisi duduk ke dekat Marvin. "Mau dipijitin? Kamu pasti capek seharian di luar."

                Dengan cepat, Marvin menolak. Riana selalu mencoba mendekatkan diri dengannya, namun yang dilakukannya adalah terus melakukan penolakan. Mereka memang sudah resmi menikah, namun hatinya tidak lantas menjadi dekat dengan Riana.

                Bayangan rasa bersalah kepada Hazel membuat Marvin selalu menjaga jarak dengan Riana.

                Hazel pernah menyuruhnya hidup berbahagia dengan Riana. Ketika itu, Hazel terlalu marah untuk mendengarkan penjelasannya. Keinginan untuk berpisah, kemarahannya tentang ketidakjelasan nasib pernikahan mereka karena kehamilan Riana, membuyarkan mimpi-mimpi indah yang pernah direguk bersama Hazel.

                Harapan mereka untuk terus bersama putus sudah dengan ketuk palu hakim yang mengesahkan perceraian. Mengambil tidak hanya Hazel, namun Marvel. Jauh dan kini tidak terjangkau lagi olehnya.

                "Aku mau ke Lembang besok."

                Riana hanya mengangguk pelan. Tidak menanyakan kapan Marvin akan kembali ke Jakarta.

                "Oke."

                                                                                                ***

                "Sayang, kita sudah sampai di rumah baru."

               

-TBC-

Next.

                Kehidupan baru Hazel dimulai lagi di Bandung.  Sementara Marvin melanjutkan proyek resor di Lembang, melarikan pikirannya kepada pekerjaan. Dan perlahan, Aldric mulai masuk dalam kehidupan Hazel. Menawarkan persahabatan, lalu perlahan melangkah menjadi hubungan yang lebih serius.  



 Ayeeee....aku postnya udah sering dan banyakan. Iya kaaan? Dear all, sedikit demi sedikit aku akan menceritakan kehidupan Marvin dan Hazel setelah tidak lagi bersama. Jatuh bangunnya mereka menata hidup mereka kembali, juga harapan mereka untuk kembali menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya (ihiiy)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro