7. Chili

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

7. Chili

Alga sedikit bersenandung riang saat dirinya melangkahkan kaki kedalam mansion keluarga Hartigan. Ia menyapa Elena sebelum hendak berjalan menuju lantai dua, kamar Algun.

"Alga."

Alga yang merasa dipanggil tentunya mendongak kearah suara yang memanggilnya barusan, ia sedikit mengernyitkan alis saat dirinya melihat sosok Athena yang sedang berdiri 5 tangga diatas Alga, menatap intens dirinya dengan penuh penekanan.

"Kenapa, bun? Mau marahin Alga lagi?" Tanya Alga acuh tak acuh, ia memilih kembali berjalan menaiki tangga berkarpet merah disertai ungu itu.

Wajah Athena sempat sendu, sebelum pertanyaan yang dilontarkan Alga membuat dirinya membuang wajah marah. "Kemana kamu kemarin?"

"Ngapain peduli? Yang ada didepan bunda sekarang itu Alga, bukan Algun."

Alga sangat malas untuk sekedar berbincang dengan Athena, bukannya ia ingin menjadi anak yang durhaka. Namun, kejadian kemarin membuatnya sedikit ragu untuk bertemu dengan sang ibu.

Dan sekali lagi, benang kedekatan mereka kembali terputus.

Athena menunduk, tak pernah terpikirkan olehnya jawaban yang diberikan Alga padanya akan sangat menyakitkan.

Memang benar, ia pilih kasih dengan Alga dan Algun. Memang benar, ia lebih mementingkan Alga daripada Algun. Semuanya benar, ia bahkan mengakui hal itu.

Karena hal itu, ia ingin menjalin hubungan yang lebih baik pada Alga. Ia ingin menjadi ibu yang lebih baik dan menyayangi Alga seperti seharusnya.

Namun, sejak awal. Kaca kepercayaan Alga sudah dihancurkan oleh Athena maupun Andreas. Mau ia perbaiki beratus kali pun, kaca itu tetap menampilkan retakan yang tak akan pernah hilang. Sekali saja ia hancurkan kepercayaan Alga, maka sudah sedari dulu Alga bukanlah anak Athena lagi.

Sebelum anak itu menghilang di balik koridor lantai dua, Athena sudah berlari mengejar anak sulung keluarga Hartigan itu. Memeluk anak itu ke dalam dekapan hangatnya.

Haha, itu semua hanya ada didalam kepala Athena.

Karena meskipun Alga sudah menghilang di koridor, ia belum menggerakkan seincipun tubuhnya. Dirinya hanya membatu dengan kedua tangan yang terkepal erat dan bahu yang sedikit bergetar.

Bunyi pintu yang dibuka membuat Algun panik seketika. Mana dia lagi makan es krim, apa nggak ngamuk lagi tuh macan.

"Noh, pop mie dower puny--

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, ia terdiam melihat Algun yang kini sedang nyengir diatas kasur bersama dengan es krim Viennetta yang membuat wajahnya sedikit celemotan.

"Lo makan es krim?!"

Algun seketika terkelonjak kaget mendengarnya, ia hanya membalas dengan cengiran dan wajah bodo amat.

Alga mendekat, mendorong-dorong kepala Algun dengan telunjuknya. "Lo itu baru sembuh! Udah makan es krim aja! Kalo sakit lagi gimana?!" Dumelnya. "Siapa yang beliin?"

"Derick yang beliin,"Cicitnya pelan, tak lupa dirinya kembali menyendok satu suapan kedalam mulutnya.

Hendak kembali melayangkan dumelan yang tertahan, jari telunjuk Algun sudah sampai duluan kearah bibirnya. "Sttt.. Lo itu bisa nggak sih ngga ngedumel sehari aja?" Tanya Algun dengan wajah malasnya.

"Ya gimana gue nggak ngedumel, punya adek sifat kek monyet lepas kandang," Jawab Alga dengan wajah capeknya, ia mengambil tisu yang tersedia dinakas dan membersihkan es krim diwajah Algun dengan sedikit kasar.

Malas mendengar ceramah dan nasehat dari Alga, ia segera menyodorkan sendok kedepan tangan Alga. "Lo mau?"

Alga ragu, pasalnya sang adik sangat jarang mau berbagi makanan dengan dirinya. Kesambet jin apa dia?

"Boleh?" Tanyanya dengan sedikit ragu, tentu saja dibalas dengan anggukan dua kali oleh Algun.

Alga mengambil sendok itu dari tangan Algun, tangan lainnya mengambil selembar tisu. Ia segera mengelap sisa es krim disendok tadi. Melihat hal itu, pupil Algun melebar. Rautnya berubah marah.

"Gajadi gajadi, sini balikin!" Ia segera meraih sendok itu dari tangan Alga, menyendok es krim dan memasukkannya kedalam mulut.

"Udah ah, capek gua ama lo. Entar dikasih, entar diambil." Alga melempar kantong pop mie yang tadi ia beli di Indomaret kekasur Algun, menaikkan kepala hoodienya dengan wajah jengkel.

Mendengar jawaban Alga, Algun mendecih pelan. "Alah, lagian waktu kecil gue makan permen aja lu emut, padahal udah masuk dalam mulut."

Alga seketika menoleh dengan mata melotot tajam, "Ya kan itu dulu, tolol!"

Algun tertawa lebar melihat reaksi Alga, Alga sendiri memalingkan wajahnya malas. Lebih tepatnya karena malu. Melihat ada celah untuk dirinya berbuat jahil, Algun membuka salah satu bungkus pop mie dower dengan senyum jahil yang terukir diwajahnya.

Untungnya, Alga membeli dua pop mie. Ia sangat hapal dengan sifat Algun yang tak puas hanya dengan satu saja. Segera, ia merobek salah satu bumbu pop mie dower dan meletakkan serbuk bumbu disendok berisi es krim.

"Alga," Panggilnya, ia tak bisa berhenti tersenyum jahil.

Yang dipanggil malas menyahut, menoleh pun tidak. Setelah tiga kali dipanggil, baru dirinya menoleh.

Namun, hal yang ia dapat jauh diluar ekspektasinya. Sebuah sendok yang berisi es krim dibumbui bumbu pedas berada tepat didepannya, melaju secepat kilat kedalam mulutnya.

"Ohgg!! Uhuk.. Uhuk...!!"

Alga tentu saja segera melempar sendok itu dan memuntahkan hal yang barusan masuk kedalam mulutnya. Ia terbatuk, rasa pedas menjalari langit-langit kerongkongannya dan rasa manis yang teramat sangat terkecap oleh lidahnya.

Sedangkan Algun? Ia tertawa lebar, merasa senang akan penderitaan kakaknya. Ia sungguh tak bisa berhenti tertawa karena wajah lucu yang dibuat oleh Alga yang kini sedang kepedasan setengah mati.

Ia bahkan menitikkan air mata. Kapan lagi coba dirinya bisa mengerjai Alga? Ini balasan atas Alga yang selalu mengerjainya! Dimana ponsel? Ia harus memotret kejadian ini!

Namun sedetik kemudian, air wajahnya seketika berubah kala Alga tak berhenti terbatuk. Malah, batuknya semakin parah. "E-eh, lo gapapa?" Tanya Alga khawatir.

Alga mengumpat dalam hati kala tenggorokkannya terasa panas dan sangat pedas. Kini, kedua tangannya sudah menutup mulutnya dengan erat. Mencegah cairan kental berwarna merah itu merembes turun dari tangannya.

Ia tak menghiraukan panggilan khawatir Algun yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Ia lebih memilih menggerakkan kedua kakinya untuk berlari menjauhi kamar Algun.

Berlari ketempat dimana Algun tak akan bisa menemukannya. Kemana pun untuk bersembunyi dari sang adik.

Alga merosot turun, mendudukkan dirinya dilantai dingin kamar mandinya. Keramik yang sangat dingin bahkan tak terasa oleh bokongnya, rasa sakit didada dan panas ditenggorokan lebih menyita pikirannya.

Ada banyak tisu yang ternodai dengan warna merah, berserakan dilantai kamar mandi. Bercak cairan kental berwarna merah di wastafel itu belum benar-benar bersih meskipun air dari keran sudah turun dengan sangat kencang.

Dadanya naik turun, mencoba meredam rasa sakit di dadanya. Tulang rusuknya seakan patah dan menembus daging paru-parunya, menciptakan rasa sakit diluar nalar yang tak dapat dibendung oleh Alga.

Tangannya bergerak meraba saku celana, mengambil ponsel pintal miliknya. Dengan cepat, ia membuka ponsel lipatnya.

Hanya satu nomor yang teringat olehnya sekarang, nomor om Yoga.

Setelah panggilan tersambung, ia segera meletakkan ponsel pintarnya kedekat telinganya. Tangan kirinya ia gunakan untuk menekan dadanya, memberikan efek meredam rasa sakit meskipun ia tahu itu usaha yang sia-sia.

"Halo?" Yang disana menjawab, Alga seketika mengerutkan alis.

Suara yang menjawab teleponnya bukanlah suara lembut sedikit serak milik om Yoga, melainkan suara dengan nada yang lembut namun sedikit cempreng dari seorang gadis.

"Halo?"

Alga kembali tersadar setelah suara disana memanggilnya lagi, ia segera menjawab dengan suara parau, "O-om Yoga.. ada di-- Ughh, Coughh!! Dimana?" Tanya Alga sedikit tersendat karena dirinya kembali terbatuk memuntahkan darah.

Mendengar suara yang parau seperti menahan kesakitan itu membuat Yina yang menjawab telepon barusan seketika panik. Ia langsung mengenali suara itu, sosok yang ia temui di Indomaret yang secara kebetulan juga pasien dari ayahnya.

"Alga? Bentar-bentar, tahan dulu!" Suruhnya panik, ia segera berlari menuju klinik ayahnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya sambil membawa ponsel pintarnya. 

Tutt...!

Yina segera menoleh pada ponselnya, bunyi telepon yang dimatikan secara sepihak membuat Yina semakin kalang kabut.

Sedangkan disana, Alga mengumpat saat ponselnya kehabisan baterai. Ia membuka pintu kamar mandi yang sempat menjadi sandaran tubuhnya dengan kasar. Ia tertatih kearah rak-rak bukunya, melemparkan beberapa buku ke lantai dengan cepat.

Setelah rak 3 dari atas dan 4 dari bawah itu sudah cukup kosong, terlihat laci kecil dengan bahan kayu yang mengkilap dibaliknya.

Tanpa basa-basi, ia menarik gagang laci itu. Laci itu pun dengan malu-malu menampakkan isinya, berisi beberapa botol obat dan pil serta kotak suntikan obat tidur dan anestasi yang tersimpan disana.

Ia mengambil salah satu botol obat, mengeluarkan isinya ketelapak tangannya yang masih penuh dengan darah akibat batuknya tadi.

Sebelum memasukkan ke dalam mulut, ucapan Yoga kemarin kembali terputar dikepalanya tanpa alasan.

"Alga, obat yang ini nggak boleh kamu minum lebih dari dua pil sehari. Dosisnya sangat tinggi, ada kemungkinan kamu bakal mengalami kejang-kejang dan kerusakan syaraf otak. Cukup minum jika memang dalam keadaan mendesak, oke?"

Ia menggertakkan giginya, ragu untuk meminum pil yang sudah ada didepan matanya sekarang. Ia dilanda pilihan yang sulit, antara meminum obat untuk meredakan sakit atau tidak meminum obat karena resikonya yang cukup fatal.

Pasalnya, ia sudah meminum obat ini tadi pagi karena gejala penyakitnya tiba-tiba terjadi saat dirinya baru saja bangun tidur.

'Sialan!'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro