第二十六章 Bab 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Little Star 小星星 by Silence Wang

Saat jam makan siang, Chen Ai kembali pada rutinitas awalnya untuk makan siang bersama Luo Wang, Yun Xiang, Liu Nian, dan kawan-kawan lainnya. Zhao Nan tidak mengajaknya makan siang bersama lagi, tentu saja. Namun, yang paling meresahkan adalah pria itu masih belum mau berkirim pesan dengan Chen Ai sejak hari Minggu kemarin.

Sambil makan siang, Chen Ai membuka WeChat untuk mengecek pesan-pesan penting seperti biasa. Notifikasi dari grup alumni SMA yang mendadak ramai tiba-tiba menarik perhatiannya. Ini situasi khusus. Biasanya, grup itu hanya berisi pesan-pesan siaran, foto informasi, dan sebagainya. Hal yang paling mungkin membuat grup itu ramai adalah undangan pernikahan, atau mungkin ... sesuatu yang lebih menghebohkan daripada itu.

Sembari menikmati menu makan siang dari kantin kantor, Chen Ai menggulir pesan-pesan di grup WeChat.

Hong Ma: Hai. Kudengar kau bercerai. Apakah itu benar? @Lu Biao

Chen Ai tertawa dalam hati. Orang tidak menikah digosipkan, orang menikah digosipkan, orang bercerai digosipkan. Hidup orang zaman sekarang memang tidak bisa terhindar dari gosip. Ia pun lanjut membaca chat.

Meng Dao: Hah? Benarkah?

Qing Yi: Masa benar, sih? Bukankah @Lu Biao baru saja menikah dua tahun lalu?

Hong Ma: Tidak tahu kepastiannya. Aku mendengar dari temanku yang bekerja di kantor yang sama dengan Lu Biao.

Orang-orang itu terus mendiskusikan kebenaran gosip, membuat spekulasi pribadi, dan semacamnya. Sampai beberapa saat kemudian, Lu Biao sendiri muncul.

Lu Biao: Iya, aku baru saja bercerai @Hong Ma.

Hong Ma: Ah, begitu, ya. Kalau boleh tahu, mengapa?

Lu Biao: Kami tidak cocok, jadi kami sering bertengkar, lalu perasaan yang kami miliki saat pertama kali menikah perlahan-lahan menghilang. Saat itu sepertinya aku masih terlalu naif untuk memulai sebuah pernikahan.

"Chen Ai, kau sedang melihat apa? Waktu istirahat sebentar lagi habis." Yun Xiang memperingatkan.

"Bukan apa-apa," jawab Chen Ai cepat. Ia menoleh menatap makanannya yang masih belum banyak berkurang, lalu meletakkan handphone-nya. Ia pun segera melahap makan siangnya. Namun, hati dan pikirannya dipenuhi berbagai macam kepingan pikiran yang berantakan.

Bagaimana cara mengetahui sepasang orang saling cocok atau tidak? Apa saja yang harus diperhatikan? Di kehidupan Chen Ai sendiri, suatu hubungan akan bisa bertahan berapa lama? Jika nantinya sesuatu tidak berjalan sesuai kenyataan, apakah pilihan terbaik memang mengakhirnya begitu saja?

Chen Ai tahu, berjalannya sebuah hubungan membutuhkan keseimbangan dalam banyak hal. Tak hanya karena cinta, tetapi juga membutuhkan kemapanan untuk mengembangkan keluarga dan kehidupan. Setelah semua yang terjadi akhir-akhir ini, Chen Ai mulai menyadari Luo Wang mempunyai kemapanan yang diimpikan semua wanita. Namun, bersama dengan Luo Wang tidak bisa memberikan rasa berbunga-bunga yang Chen Ai harapkan dari sebuah hubungan. Andaikan hati dan otaknya sejalan, Chen Ai pasti tidak akan pernah meminta putus dari Luo Wang, dan hubungan mereka pasti sudah lebih intens daripada pacar biasa.

Sekarang, Chen Ai tahu hatinya sepenuhnya untuk Zhao Nan. Pria itu pernah menyakitinya saat ia masih SMA dulu, tetapi dari pria itu pula Chen Ai bisa merasakan rasa cinta monyet di masa SMA yang penuh kenangan. Ia belajar memaafkan kesalahan dan melihat perubahan sikap seseorang. Pria itu masih dalam tahap merintis karier, tidak seperti Luo Wang yang sudah mapan dan mempunyai jabatan tinggi. Namun, dari situ Chen Ai belajar menghargai setiap momen yang mereka miliki untuk membangun semuanya bersama.

Chen Ai jatuh cinta pada Zhao Nan. Hatinya tahu itu. Masalahnya, apakah pria itu masih menginginkannya?

Chen Ai ingin menyahut perkataan Zhao Nan saat malam Cap Go Meh di Wuhan beberapa waktu lalu dengan berkata, "Aku juga menyukaimu. Ayo, kita bersama." Namun, setelah Chen Ai mengingkari janji dan membuat Zhao Nan melepaskan peluangnya yang berharga, ia takut pria itu malah membencinya sekarang.

***

Chen Ai pulang kembali ke apartemennya pukul 08.30 p.m. Setelah membersihkan diri, ia langsung merebahkan diri di kasur dan menarik selimut. Kemudian, ia pun mengecek handphone.

Chen Ai melihat foto profil WeChat Zhao Nan yang kini terpendam di antara kontak-kontak lainnya. Meskipun baru beberapa hari sejak terakhir kali berbicara dengan Zhao Nan, tetapi rasanya sudah lama sekali. Ia menekan kontak Zhao Nan beberapa detik, lalu menyentuh tulisan "Menempel di atas", supaya jika pria mengirim pesan, ia akan langsung melihatnya.

Terakhir kali, ketika Chen Ai mengirim pesan singkat, Zhao Nan tidak membaca sama sekali. Sepertinya pria itu membisukan kontaknya. Chen Ai menghela napas. Setelah itu, Chen Ai menelepon ibunya melalui panggilan WeChat. Ia sudah memutuskan sesuatu sejak memikirkan segalanya matang-matang tadi siang.

"Halo?" sahut ibu Chen Ai pada nada dering ketiga.

"Halo, Ma," sapa Chen Ai.

"Halo, Ai Ai. Mengapa hari begini kau sudah menelepon? Bukankah baru minggu kemarin kembali ke Shanghai?" tanya ibunya.

"Apa tidak boleh kalau aku sering-sering menelepon?" ucap Chen Ai manja.

"Aish ... kau ini! Sudah besar, tapi masih berlaku seperti anak-anak," sahut ibunya sambil tertawa.

"Di hadapan Mama dan Papa aku tetap menjadi anak-anak, kan?"

"Iya, iya. Jadi, mengapa kau menelepon malam-malam begini?"

"Ma ...."

"Hmm?"

"Kau sedang apa?"

"Aku sedang memasak sambil bersenang-senang. Ada tetangga yang datang berkunjung sambil membawa anak kecil. Anak itu imut sekali," tutur ibu Chen Ai.

Chen Ai tersenyum simpul. Ibunya memang sangat suka bersenang-senang, bahkan ketika umurnya hampir menginjak kepala enam. Ia juga pasti akan semakin senang jika Chen Ai bisa cepat menikah. Itu adalah harapannya sejak ayah Chen Ai operasi ginjal beberapa tahun lalu.

Chen Ai menghela napas sambil meyakinkan diri. Setelah itu, ia berkata, "Ma, aku sudah punya seseorang yang kusukai. Tapi masih ada banyak pertimbangan yang membuatku bingung."

"Ya, Tuhan. Chen Ai, kau ini bukan anak kecil lagi, ya. Kalau kau masih kecil dan sudah menyukai seseorang, Mama pasti tidak akan mengizinkanmu. Tapi kau sudah besar sekarang. Kalau kau menyukai seseorang, jangan terlalu takut ini itu. Jalani dulu saja," tanggap ibu Chen Ai antusias.

Chen Ai tersenyum. "Aku tahu. Ia juga sudah pernah menyatakan perasaannya padaku. Hanya saja, kemudian aku—"

"Ya, ampun. Sudah berjalan sejauh itu, tapi kau masih membingungkan ini itu," gerutu ibu Chen Ai. Wanita itu menjepit handphone di antara telinga dan bahu, lalu mematikan kompor listriknya sebentar. Setelah itu, ia berbicara lagi. "Omong-omong, pria itu siapa? Luo Wang saja kautolak. Siapa pria yang berhasil menaklukkan hatimu?"

"Sebenarnya, aku sudah pernah mengajaknya ke rumah kita saat tahun baru Imlek," jawab Chen Ai sambil menarik ujung selimutnya.

"Ah, begitu, ya? Yang mana?"

Chen Ai tahu ibunya tidak terlalu menaruh minat pada Zhao Nan. Dengan kemampuan mengingat yang sudah pas-pasan, ibu Chen Ai pasti tidak akan menghapalkan orang-orang yang tidak menarik. Namun, Chen Ai sudah menaruh hati pada Zhao Nan. Ia harap orang tuanya tidak menentang.

"Zhao Nan, yang baru saja kuajak saat Imlek terakhir," jawab Chen Ai berhati-hati.

Hening sejenak di seberang telepon. Chen Ai menahan napas sembari menunggu ibunya lanjut berbicara. "Sebentar."

Chen Ai tersedak kecil. Ia menarik napas dalam-dalam. Dari bunyi-bunyian yang terdengar dari seberang telepon, ibu Chen Ai sepertinya sedang masuk ke kamar dan bergabung dengan ayah. Beberapa detik kemudian, ibunya kembali berbicara.

"Ai Ai, kalau kau menyukainya, aku dan Papamu tentu saja tidak akan menentangmu. Zhao Nan, anak itu tidak buruk. Tapi ia tidak terlihat lebih baik dari Luo Wang, terutama dari segi kemapanan. Mengapa kau menyukainya?"

Chen Ai mengerucutkan bibir. "Ma, kau tidak bisa membandingkan mereka sekarang. Mereka bekerja di dua profesi yang berbeda. Zhao Nan juga lebih muda daripada Luo Wang. Zhao Nan kurang lebih seumuran denganku, lebih tua beberapa bulan saja. Kami ...." Chen Ai menggantungkan perkataannya sambil menyusun kalimat.

Tiba-tiba, suara ibunya terdengar tegas. "Kalian sudah melakukan apa?"

Chen Ai refleks memukul selimutnya. "Bukan sesuatu yang seperti itu, Ma. Kami ... sebenarnya sudah mengenal sejak lama sekali. Kami pernah sekelas saat SMA. Meskipun hubungan kami saat SMA tidak bisa dibilang baik, tetapi ia sekarang sangat baik padaku. Ia pernah membantuku dalam pekerjaan, sering mengantarkanku pulang, lalu ...."

Chen Ai menceritakan rentetan kebaikan Zhao Nan yang pernah dirasakannya selama ini. Sampai akhirnya, ia sampai pada poin yang meresahkannya. "Namun, sekarang hubunganku dengannya sedikit tidak baik. Ini kesalahanku."

"Kau bukannya berkata dulu saat SMA ia juga pernah berbuat salah padamu? Anggap impas saja," celetuk ibu Chen Ai sederhana.

"Aiya ... masalahnya, persoalan kali ini jauh lebih rumit daripada saat SMA. Aku ... melupakan janjiku dengannya, padahal ia sudah berkorban dengan melepaskan sebuah proyek besar untuk bertemu denganku." Chen Ai mengakhiri kalimatnya dengan lirih.

"Tuhanku, sampai kapan kau akan bertahan dengan sikap cerobohmu itu, Ai Ai? Bisa-bisanya kau melupakan janji. Astaga! Sepertinya aku gagal mendidikmu!" cecar ibunya.

Chen Ai mengernyitkan alis dan menjauhkan handphone dari telinga. Jika ia berada di Wuhan, ia bisa membayangkan ibunya akan memukuli kepalanya dengan buku tebal atau pemukul serangga. "Ma, aku sudah tahu salah," ujarnya sambil mengerucutkan bibir.

"Sudah, sudah. Lebih baik membicarakan hal yang bermutu sedikit." Terdengar suara ayah Chen Ai. Beberapa detik kemudian, handphone sudah berada di tangan ayahnya. Chen Ai menelan ludah, menunggu tanggapan ayahnya.

"Ai Ai, kalau kau suka, jangan ragu mengejarnya. Ia sudah menyatakan perasaan padamu, ini giliranmu menanggapinya. Kalau memang kau salah, jangan takut meminta maaf. Papa dan Mama sudah menanamkan sikap ini dari kecil padamu." Chen Ai mengangguk-angguk mengerti. "Kejarlah kebahagiaanmu. Kami hanya berharap kau bahagia. Oh, ya. Omong-omong, alat pijat yang diberikan Zhao Nan nyaman sekali. Kami sudah mencobanya beberapa kali."

Perasaan Chen Ai langsung menjadi damai saat itu. Meskipun orang tuanya tidak banyak memberikan solusi yang membantu, tetapi dengan dukungan mereka, Chen Ai merasa hatinya jauh lebih yakin. Hubungannya dengan orang tua selalu memberikan rasa seperti ini.

"Terimakasih, Ma, Pa. Kalau kalian sudah mendukungku, aku tidak akan ragu lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro