29. Friends-4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BRENDAN

Biru itu orangnya aneh.

Aku mematung, mencermati deretan kaleng-kaleng pada mesin minum di lorong luar gedung sekolah. Jari merunut dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri, tetapi tak kunjung stop. Maka kuhela napas seraya menarik tangan. Terik siang hari memang memanggang, tetapi jika tidak ada jus Sitrus Berry, sama saja. Dasi kulonggarkan, kemudian aku mengibas kerah kemeja. Gerah sekali, rasanya banjir peluh di kepala seakan tidak berhenti.  

Saat berbalik dan mengerjap mata, aku melihat rombongan laki-laki sebaya dari arah depan. Seragam mereka sama sepertiku, tetapi aku tidak mengenali wajah-wajahnya. Sesampai di persimpangan, mereka berjeda. Sambil mengawai dan tertawa, satu orang memisah, sedang lainnya berbelok. 

Aku melirik ketika remaja yang memisah berpapasan di hadapan. Tubuhnya tampak kurus bagaikan lidi. Baru kusadari dia juga balas mencerling.

Euy!”

Hm?”

Heh!”

Hah?”

Tangannya melembai lebar, bibir menyeringai. Dia pasang kacamata hitam, mengangkat dagu seraya lengan masuk ke saku celana. Lalu dia melengos begitu saja.

Aku melongo. Tak paham atas sikapnya barusan. Dari tingkah yang sok kenal sok dekat, sepertinya kita pernah bertemu sebelum ini. Namun, aku tidak teringat satu orang pun. Memang aku itu sulit membedakan wajah, tetapi jika ada satu ciri pembeda, aku bisa tahu. Apalagi rambut cokelat madu yang tinggi berduri seperti rumput miliknya tadi.

Ah, memang membuat orang kepikiran saja dia!

Dan, begitulah pertemuan pertamaku dengan Biru.

Tahu-tahu kami menjadi sahabat permanen laksana perihal tak terduga. Ditambah Lyra dan May, terwujudlah Geng Biru, beranggotakan empat orang. Kami bertiga mengikuti Biru tanpa alasan yang jelas, hanya kebetulan bertemu pada awalnya.

Aku ingat saat itu kami berada di lorong sekolah yang sama, belum saling kenal, belum bertegur sapa. Tiba-tiba dari antah-berantah si Biru datang dan meneriakkan nama kami. "Hei! Kalian harus berteman denganku!" Tiada angin tiada hujan, terjadi dalam sekejap. Kami pun terima-terima saja, toh tidak keberatan bak lidah tergalang. Sampai akhirnya kami dekat sampai sekelas sekarang, seperti menandatangani kontrak seumur hidup.

Pada momen yang lain, aku dan dua lainnya duduk pada tiga kursi yang dijejerkan. Di seberang meja ialah Sensei yang nyata mengadakan sesi konsultasi. Sementara Biru memperhatikan dari depan papan tulis kelas. Kami bersenang-senang, santai membahas tentang sekolah dan pertemanan.

“Memang apa pentingnya konsultasi rencana masa depan? Apa sebegitu masalah jika kita tidak mengisi formulirnya?” celetukku, sengaja memancing Biru.

“Penting sekali, lah. Pasti kita punya rencana di masa depan nanti, dan itu ditentukan dari hal yang kita ingin lakukan sekarang. Setidaknya ada satu-dua hal, bukan?”

Semua orang masih belum menemukan, tetapi kurang lebih paham. Maka serentak kami fokus ke pengisian formulir.

Di akhir sesi, kami semua berfoto bersama. Aku memasang kamera pada tripod, lalu bergerak cepat ke pinggir barisan dan membuat pose. Hasilnya, potret terlihat lumayan. Aku bersilang lengan, Lyra--yang paling tinggi--gaya dua jari, Sensei berkacak pinggang, May mengulur kepalan tangan, Biru tersenyum, memamerkan barisan gigi mengilatnya.

Senyum akrab paling ekspresif yang pernah dia berikan.

LYRA

Terkadang, pendapat orang lain diperlukan untuk becermin terhadap diri sendiri.

Ibu dan Ayah berkata aku berbakat menjadi model kelas, maka aku menjabat idol sekolah. Kala teman-teman membujuk bergabung ekstrakurikuler olahraga, aku berada di klub bola voli. Masa paman dan bibiku mengajak masuk sekolah PokéTrainer, aku terkurung di sini.

Memiliki tinggi badan di atas rata-rata perempuan seumuranku kadang kala membuat aku tidak percaya diri. Masalahnya, sering kali aku dikira bergender laki-laki, atau ketomboian, paling parah ketika adik kelas menembakku padahal sama-sama perempuan. Tentu banyak juga laki-laki yang mendekatiku, membuat teman-teman menjauh karena takut pacar dan gebetannya dicuri.

Benar-benar memuakkan, bukan? Jati diriku ini sebenarnya apa?

Dari sekian pengalaman aneh yang kuperoleh, ada satu orang yang sama sekali tidak masalah dengan fisikku. Kami sudah saling kenal saat itu. Di lorong kelas, aku pernah menanyainya, apa dia merasa tak nyaman berada di dekatku.

Laki-laki itu pun berbalik, menatap heran. “Hah? Kenapa aku harus tidak nyaman bersamamu? Kamu ‘kan cantik apa adanya.”

Aku lantas terbeliak mendengar itu. Pipiku terasa panas dan refleks kutendang dia sampai terpental.

“Bo-bodoh … !” Mega Kick!

"Biru ... !" Brendan dan May menjerit melihatnya.

Semoga dia tidak absen di esok hari.

MAY

Setiap pagi May terbangun awal benar bersama kicauan Pokémon burung di luar. May tersenyum lebar dan berterima kasih, berdoa akan kebaikan hari ini agar menyebar. Mandi, berdandan, mengenakan seragam. Semangat berangkat ke sekolah pun berkobar hebat.

May yang sudah siap dengan tas dan jaket jambon pun keluar dari kamar asrama, menyapa setiap orang yang ditemui di jalanan. Ramai sekali kerumunan lalu-lalang, May harus menembus padatnya remaja berseragam yang kian dekat gerbang kian sesak. Pada akhirnya May berhasil lewat berkat bantuan orang-orang baik yang menyilakan.

Lari terus penuh spirit seolah dikejar waktu. Sesampai di pintu belakang kelas, May berhenti mendadak, membuat kaki bergeser tak diduga. May pun masuk sekaligus memperluas aura positif.

“Selamat pagi, semuanya!”

Geng Biru yang disapa menoleh, semua membalas ramah. Mereka sedang serius, duduk mengelilingi sebuah menara kecil yang disusun dari balok-balok kayu. Brendan pelan-pelan mendorong salah satu balok, dalam sekejap menariknya. May minta bergabung dan langsung dibolehkan. Sebuah permainan yang tidak May ketahui, tetapi tampak asyik.

Di saat-saat begini, May merasakan kehangatan mengalir di sekeliling kawan-kawan. Pada buah-buah yang lahir dari pohon harapan, May berdoa semoga keseruan ini dapat berlangsung selama-lamanya.

***

Biru memandangi tiga temannya--senang, mungkin. Mereka duduk bersebelahan dan mengobrol. Kemudian Sensei berdeham, satu per satu orang dipanggil mulai dari Brendan. Laki-laki berambut putih itu duduk berseberangan dengan Sensei. Dia tampak leluasa menceritakan kesenangannya. Lanjut ke Lyra, sama curahan hatinya dan momen menendang Biru membuat yang dengar tergelak. Saat giliran May, tentu aura kehangatan menular ke hati semua orang di ruangan.

“Yang kusukai dari Biru? Hm? Apa maksud Sensei? Aku ini laki-laki normal, lo. Yah, kalau ditanyai itu, mungkin dari sifat percaya dirinya? Maksudku, tahu ‘kan? Biru itu suka menyombongkan diri dan berakhir dijauhi. Haha! Tentu yang tadi itu bercanda, Sensei!”

“Bukan berarti aku suka Biru atau apa. Aku hanya merasa lebih tenang ketika bersama dia dan Brendan dan May. Sensei, sudah berapa kali kubilang aku tidak ada perasaan ke lelaki itu. Benar, Sensei. Hanya … aku merasa sedikit kasihan melihatnya sering melamun saat sendiri. Yang begitu, bukankah lebih baik jika ditemani?”

“Entahlah, Biru di mata May terlihat lebih dewasa dan baik hati. Ada aura yang membelenggunya. Eh? Saat berada di dekatnya? Iya, memang terasa lebih kuat. Kenapa, Sensei? Ah, May mengerti ….”

Biru mengamati dari depan pojok kelas. Namanya tidak kunjung dipanggil. Memang tak akan dipanggil. Sensei lesap. Begitu pun teman-temannya. Semua visual memburam. Dan, saat dia membuka mata, mereka tertawa riang, suaranya menembus dinding.

Apa hal yang berlangsung tak dia ketahui. Biru menemukan dirinya sendirian berbaring di ranjang kasur. Tangan kanan yang terulur menggenggam kalung koin perak, talinya meluncur dan menggantung di atas lantai keramik. Ingin dia memejam mata lagi, tetapi di luar cukup berisik. Biru bisa mendengar obrolan mereka.

“Tidak! Tidak! Kita harus membelikannya es krim Sitrus Berry karena katanya manjur untuk orang sakit!” Itu suara Brendan.

“Es krim? Kau tidak diajari di sekolah, ya? Kalau demam itu diberi kompres air dingin!” Itu suara Lyra.

“Tapi, posenya ketika tidur itu, lo. Imut dan menggemaskan. May jadi ingin memfotonya!” Yang terakhir jangan dipikir.

Lalu, mereka bergaduh.

“Aduh, es krim saja!”

“Tidak, Brendan. Kompres!”

“Es!”

“Kompres!”

“Es!”

“Kompres!”

Mereka malah ujungnya berdebat mempertahankan pendapat masing-masing. Biru pun bangkit sempoyongan, menggeser pintu. Teman-temannya memutar badan selagi berlesehan.

“Mending kalian belikan obat.”

###

Kudus, 4 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro