33. Friends-8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gemuruh awan kelabu menggumpal dari seberang langit. Laju pergerakannya mengalahkan kecepatan kilat mencapai mata pengamat.

Biru memiliki alasan tersendiri saat tengkuk meremang, tangan memeluk badan seakan mengantisipasi mala. Mematung di koridor luar sekolah sesaat lingkungan senyap dan remang-remang mungkin jadi pilihan nomor dua setelah pulang. Lagi pula, seragamnya tidak perlu kuyup untuk tetap dipakai.

Turunlah titik-titik air segelap jelaga yang berbondong-bondong menghunjam bumi bagai rentetan peluru berduri. Yang ini segera pecah menjadi cairan, membasahi tiap permukaan tempat jatuh. Dan, mereka semua bersorak-sorai gembira telah menguasai daratan yang penguasanya mengibarkan bendera putih, mirip Biru saat ini.

Mata beriris cokelat madu redup itu memicing, dekapan lengan yang bersilang makin erat. Air muka yang senada angkasa bersimbah percikan rintik-rintik, air yang membawa aroma pembangkit ingatan lampau.

Telapak tangan yang pucat menengadah, memainkan rinai, menampung dan membuangnya. Lalu dia terbeliak tatkala melihat Biru yang lebih muda di halaman sekolah, membungkuk dengan meletakkan dahi ke tanah dan bertelekan dengan kedua belah tangan, berteriak menyaingi bisingnya udara.

Kala itu badai lebat bersama hujan petir, angin ribut berlarian memutari kota. Selagi menanti reda di lobi utama yang ramai, Biru duduk menunggu hal lain.

“Kau pulang saja dulu. Aku masih mau di sini,” ucap Biru kepada Daisy yang lengkap memakai mantel hujan.

Kakak perempuan itu berkacak pinggang jengkel, tetapi menghela napas karena tahu Biru remaja yang mandiri. Maka dia hanya bisa mendoakan semoga betah, peluk sebentar tidak masalah.

Selepas Daisy pergi bersama rombongan asing, Biru yang tersipu tetap ingin tinggal di tempat duduk lobi. Di genggamannya ada selembar kertas yang agak basah teremas. Namun, kemudian perhatiannya tercuri ketika siluet hitam yang akrab lewat dari belakang. Remaja laki-laki itu bergegas bangkit dan bersiah, insting yang membawa sampai kelas. Dia geser pintu agak dibanting, menyadari buket bunga gladiol merah kehitaman tergeletak di kursi milik seseorang yang dikenalnya.

Biru pun keluar menembus badai hujan, menerjang segala rintangan. Sepatu sempat menginjak lumpur dan terbenam banjir, tetapi lelaki itu terus berlari. Tak peduli rambut serta pakaian basah kuyup, dia sinambung berlari.

Sampai di depan suatu deretan rumah, Biru menemukannya. Sulur-sulur air meluncur dari dahan pepohonan. Sepasang sayap kulit membentang, seorang remaja menumpang di punggung Pokémon reptilia api-terbang. Ingin dia mencegahnya berangkat ke tempat yang tidak semestinya bagi Biru.

“Kenapa? Padahal kita ‘kan sudah janji!”

Sayap mengepak, tubuh terangkat menerobos ranting dan daun. Penunggangnya menatap ke bawah dengan ekspresi sulit diartikan. Lantas perpisahan pun dimulai. Biru meneriaki namanya berulang-ulang, tetapi tak diindahkan.

“Pembohong! Pengkhianat! Jangan pernah kembali ke sini lagi!”

Detik itu juga, Biru membencinya.

Ingatan tentang anak itu, dia berkata akan mendaftar. Entahlah? Kalau dipikir-pikir, memori tersebut tidak jelas. Yang pasti Biru telah dikhianati. Pada hari hujan, pada saat alam seharusnya bisa dinikmati, tetapi justru sesak di dada dan perih di mata. Jika pelupuk berlinang pun sekarang tak akan ketahuan.

Kecuali oleh perempuan satu yang berhawa positif.

Biru bertinggung di teras koridor, setengah sol sepatu memijak tepi lantai keramik sedang setengah lagi bebas di udara. Kepalanya sedikit tertunduk dengan wajah datar dan bibir terkatup.

“Apa ada bagian yang sakit?”

Lelaki yang diam seribu basa tampak tak acuh, tetapi sebenarnya mendengar. “Hatiku … terkena penyakit.”

Maka perempuan berambut cokelat dan jaket jambon itu, May, dengan ekspresi ceria menepuk-nepuk rambut Biru lalu mengangkat telapak tangan. “Sakit, sakit, terbanglah! Sakit, sakit, pergilah!”

Laksana mantra magis, suasana sanubari Biru kembali cerah. Sedari awal May berniat baik untuk menenangkannya. Mendung di kepala reda, meski di luar belum ada tanda-tanda. Memang hujan mengingatkan akan orang itu, tetapi kini Biru tidak merenung tentangnya.

Remaja itu menarik napas.

“Ketika mendengar kabar seseorang terdekat meninggal, bagaimana perasaanmu? Meski bukan kau yang mengalami, tapi rasanya sangat sakit. Mengingat kenangan semasa orang itu hidup, tertawa bersamamu, tapi sekarang semuanya hilang dan tak akan kembali lagi. Rasa-rasanya ingin ikut mati saja.”

May yang mendapat tatapan penuh teka-teki pun berpikir. “May tidak terlalu paham, tapi setelah Biru sudah tidak ada, May tahu bagaimana rasanya kehilangan. Yang terpenting, sekarang kita doakan yang terbaik untuknya, ya, Biru?”

Mulut pun refleks membuka.

Namun, tak ada suara.

“Kau benar juga.”

Kejadian pria muda yang hampir tidak bisa diidentifikasi kecuali rambut keriting dan bandana ungu. Tubuh masih tersangkut di roda katrol pada mesin dalam lubang gua yang dibangun. Ketika rantai bergerak, daging hancur bersama tulang remuk, darah memuncrat lebih banyak. Pakaian pekerjanya bersimbah cairan merah dan terkoyak-koyak. Sangkar rusuk penyok dengan ujung mencuat, juga tulang pipa lengan serta tungkai.

Wanita muda di kamar rumah selalu sendirian, meratap tanpa dan dengan tangisan selang-seling, terus-menerus dari pagi sampai malam. Hingga gumpalan seukuran beri ungu di dalam perutnya berhenti tumbuh dan berkembang.

Semua itu tinggal didoakan. Sesederhana begitu, bukan?

Dia tergelitik, tergelak tanpa tawa.

***

Orang-orang boleh bersukacita seharian ini.

Kerumunan berbaju glamor bergerak dari tempat parkir ke gedung beraula luas dengan kayu silang di bagian jendela atap. Kaca-kaca mosaik yang menggambarkan pengampunan pada dinding-dinding terlihat berkilau. Permadani merah terbentang dari depan hingga panggung, dengan pelengkung setengah lingkaran yang dihiasi bunga-bunga imitasi juga balutan kain beledu.

Biru tentu tak ingin kalah keren dari tamu-tamu lain. Lelaki itu mengenakan kemeja putih berbalut jas hitam dengan dasi kupu-kupu, celana rapi, dan sepatu pantofel mengilat. Tak lupa rambut dibuat klimis walau tak ada bedanya. Dia berdiri bersama anggota keluarga di barisan pintu masuk, menyambut setiap tamu dengan senyum dan salam jabat tangan.

Sementara di atas panggung, kedua mempelai tampak begitu bahagia. Pengantin wanita amat menawan dengan gaun putih yang ekornya menyapu lantai, model rambut tertata rapi beserta rupa yang jelita, terlebih ketika senyuman menunjukkan barisan gigi mengilat. Pengantin pria memakai jas hitam, riasan pada wajah jadi lebih cerah lagi mengagumkan, kali ini tiada ikat kepala, terlihat natural. Mereka saling rangkul pinggang, memamerkan kemesraan kepada tamu dan kamera.

Pengantin wanita, setelah upacara janji suci dan pemotongan kue, membawa buket bunga segar, melemparnya ke kerumunan di aula. Orang-orang heboh berebut sampai seseorang berhasil menangkap. Biru tidak kenal siapa itu, mungkin teman kakaknya, jadi dia bubar setelahnya.

Pihak keluarga masih berbincang santai sembari menikmati hidangan dan minuman. Biru bakal menyelinap keluar kalau tidak dipanggil seorang pria berambut putih dan raut muka tegas.

Lelaki itu mendengkus. “Ada apa, Pak Tua?”

Pria yang dipanggil Pak Tua beralih dari lingkaran yang berdiri. “Hei, Biru! Lama tidak bertemu. Kau sudah besar rupanya? Maaf tidak pernah menjengukmu di sekolah PokéTrainer. Katamu tidak usah, bukan?”

Masam mukanya tatkala mendengar setiap kata dari Pak Tua. Maka Biru berbalik pergi. Tidak sebelum pengantin wanita memanggilnya. Dia dan yang lain berjejer di atas panggung berhias bunga serta kain beledu. Ketika foto bersama, senyum lebar Biru tampak congkak.

###

Kudus, 10 Februari 2022

BONUS:

Mari overthinking bersama 🤝🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro