4. Biru-4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pidgeot mengepakkan sayap gagahnya, menembus awan-awan, membelah angkasa. Ia memelesat amat laju mengikuti arah Pokémon burung kecil pergi.

"Bagus! Seperti itu! Terus kejar ia, Pidgeot!" Aku yang menumpang di punggung berseru kencang seraya menunjuk target. Pokémon berjambul panjang pun memekik hingga suaranya melengking.

Pokémon yang kami kejar, Pidgey, tak kalah cepatnya. Burung kecil yang membawa sobekan kain merah di paruhnya itu terus terbang sangat gesit, melalui pepohonan, menyusup celah ngarai, menyeberangi lautan. Mau tak mau, aku harus pandai-pandai mengambil jalur mengingat ukuran Pidgeot yang raksasa.

Sebelum ini saat di tebing, Pidgey yang keluar dari kotak hitam sempat diam di tempat, mengamati aku dan Blastoise. Aku berteriak mengejar, membuatnya tersentak, di detik berikutnya ia terbang melompati jurang dan menggepit benda yang tahu-tahu tampak. Aku langsung menyadari benda apa itu, segera mengeluarkan PokéBall, menarik masuk Blastoise, lalu mengulurkan PokéBall lain dan memanggil keluar Pidgeot.

Kini kami bertiga terlibat aksi kejar-kejaran di udara lepas. Pidgey tersebut tampaknya menggunakan jurus Angin Ekor hingga kecepatannya berkali lipat. "Tapi, Pokémon-ku tak akan kalah kalau hanya sebatas itu!"

Aku mengangguk percaya diri kepada Pidgeot yang melirikku. Ia merentangkan kepak, lalu terpelesat memotong angin. Kami pun sukses menyusul Pidgey.

Namun, di saat terlalu fokus memburu, tongkat bantu jalan lepas dari genggaman, terjun menuju daratan nan jauh di bawah. Aku mengaduh sesal. Pidgeot hendak berbelok mengikuti, tetapi kuhentikan.

"Tidak apa-apa, terus kejar saja ia, Pidgeot!" Pidgeot pun bersuara nyaring, terbang lebih lekas.

Sudah banyak pulau yang terlewati, daratan serta lautan berganti-ganti. Beberapa Pokémon tipe terbang sempat menemani, meski kami melewati mereka begitu saja. Mungkin di sini sudah bukan lagi wilayah Sinnoh, terlihat dari jenis Pokémon yang tertangkap visual dari kejauhan. Aku tetap berkonsentrasi mengejar Pidgey, tetapi saat ini tampak ia memperlambat laju.

Perhatianku tertuju pada pemandangan gunung tinggi dengan puncak yang menembus awan. Seketika hawa dingin menyerang, hampir mendekati titik beku. Aku menggigil, menggertak gigi, menyipitkan mata, rahang menegas.

Pidgey kecil memelesat turun, Pidgeot pun mengikuti. Angin ribut bertiup kencang, aku melindungi wajah dari terpaan hawa beku. Tangan dan betisku hampir mati rasa. Kulirik kaki kanan yang terbalut gips, lalu kembali fokus.

Kami hampir menyentuh tanah. Pidgeot pun berhenti di udara, menyeimbangkan tubuh dengan kepakan sayapnya, menciptakan angin puyuh kecil, kemudian berhasil mendarat, memijak rerumputan.

Aku pun turun, sempat terhuyung, tangan memegang tubuh si burung raksasa. Kuperhatikan sekeliling, ada pepohonan yang dihuni Pokémon tertentu—kebanyakan tipe serangga, serta Pokémon liar dengan kecepatan tinggi yang melarikan diri di antara rerumputan. Di hadapan, menjulang mulut gua pada kaki gunung, didominasi bebatuan abu-abu keperakan.

"Daerah ini ... bukannya perbatasan antara Kanto dan Johto?"

Aku celingukan, menoleh kiri-kanan. Kutemukan Pidgey ada di semacam rumah burung dekat mulut gua, ia menempelkan kain merah ke atap rumah kecil itu, lalu beralih membersihkan bulu-bulunya. Aku akhirnya paham ini di mana.

"Gunung Silver."

Kutepuk dahi, kuusap muka. Aku menggeleng-geleng, tersenyum kaku, tertawa ganjil. Pidgeot pun bereaksi, menggoyangkan sayap besarnya terhadapku.

"Tidak kuduga di tempat seperti ini ... ! Yah, aku sedikit terkejut, tapi jika dipikir-pikir masuk akal juga, karena tempat ini ditinggali oleh Pokémon yang kuat, cocok untuk melatih Pokémon partner. Ah, mengapa aku tidak terpikirkan tempat ini!"

Aku berlutut, kukeluarkan PokéBall, menarik masuk Pidgeot. Kemudian kupanggil Machamp keluar, kuminta ia membantuku berdiri, membawa ke punggungnya, alias menggendongku. Aku agak segan, tetapi tidak apa lah, 'kan tak ada orang lain melihat. Lagi pula, menurutku medan di dalam gua gunung terlalu berbahaya jika Pokémon besar seperti Pidgeot atau Arcanine bergerak acak. Bisa saja terjadi longsoran batu, atau jatuh saat melalui jalan terjal, begitulah.

"Ayo pergi, Bung!" Tekad telah bulat, keputusan pun mantap. Segala persiapan sudah kupikirkan selama perjalanan. Kami mulai memasuki gua Gunung Silver.

Bagian dalam serupa liang kaki gunung umumnya. Dinding yang menjulang tinggi, susunan batu kapur kerucut yang berdiri tegak di lantai, batu besar yang bisa digeser, bebatuan yang dapat didaki, dan sungai bawah tanah mengalir dari lantai atas ke bawah, juga terdapat air terjun kecil. Pokémon-ku menggunakan gerakan tertentu guna melalui berbagai rintangan.

Memang benar Pokémon liar di sini betul-betul tangguh. Jika salah taktik sedikit saja, habislah aku. Huh, tetapi, kan, ini aku; sang pelatih Pokémon terkuat! Para partnerku jauh lebih unggul, jadi tidak ada masalah sama sekali. Kami menjelajahi isi gua dengan mulus tanpa hambatan.

Perjalanan pun berlanjut. Machamp yang menggendongku beberapa kali keluar masuk lubang, melalui tepi jurang terjal. Kami melihat pemandangan bertabur kabut tebal di luar gua, sesekali mengumpulkan beberapa barang berguna. Sampai ketika tanah terselimuti salju, aku pun menyuruh Machamp berhati-hati.

Makin ke atas, jalur pendakian makin menantang. Banyak aral melintang, Pokémon liar pun kuat-kuat. Aku menikmati ini semua, hingga tahu-tahu hampir sampai di puncak. Salju di tempat ini terbilang ekstrem. Terjadi hujan es disertai angin ribut. Para Pokémon bersembunyi, di sekeliling tampak putih kabur dan gelap gulita.

"Bung, turunkan aku." Machamp menepi, kuamati situasi sekitar. Seketika mataku awas, bersikap waspada.

Sesosok makhluk keluar menembus badai, teriakannya melengking ke udara. Aku terperanjat sampai punggung menubruk dinding batu.

"Ah, ternyata manusia! Kukira tadi hantu atau apa ...."

Aku bangkit, dibantu Machamp. "Harusnya aku yang bilang begitu, Pak!"

Rupanya itu seorang pria pendaki gunung. Dia bertubuh sintal dengan bauk tebal, mengenakan topi dan menggendong tas yang cukup besar. Pendaki tersebut meminta maaf seraya tertawa canggung.

Namun, sebentar. Aku merasa aneh. Dari tadi tak kujumpai orang lain, dan sekarang di hadapanku ada satu.

"Apa yang Bapak lakukan di tempat ini?" tanyaku. Dia menatap kaki kananku, baru menyahut.

"Uh-uh. Maaf mengejutkanmu, Nak. Aku datang ke Gunung Silver ini karena tertarik dengan legenda urban di sini."

Aku mengernyit. "Legenda urban?"

Pendaki itu malah kaget. "Eh, Nak tidak tahu? Kukira Nak juga kemari karena itu." Aku menggeleng. "Oke, jadi menurut rumor yang beredar, katanya di puncak gunung ini ada seseorang bernama Bogey Mask yang bisa mengabulkan permintaan. Dia adalah seorang PokéTrainer (pelatih Pokémon), jadi syaratnya adalah kau harus mengalahkannya dulu dalam pertarungan. Tapi, kudengar dia sangatlah kuat, sehingga sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil menang darinya."

Aku mengangguk kecil, menempel ujung jari ke dagu sembari memandangi es yang berjatuhan.

"Begitulah tujuanku datang ke sini, tapi saat hampir sampai di puncak, semua Pokémon-ku hilang kesadaran dan aku telah kehabisan item penyembuhan. Ah, jika boleh, aku akan membeli obat yang kaubawa. Bagaimana, Nak?"

Kutatap pendaki itu, lalu aku berpikir beberapa lama, sampai dia kebingungan. "Baik, terima kasih informasinya. Aku tidak bisa membantu lebih dari ini."

Setelah memberikan sejumlah hiper-obat, aku kembali naik ke punggung Machamp, lanjut berjalan. Namun, si pendaki malah kelimpungan, dia berlari kecil menghampiri, bersikeras menolak, tetapi aku keras kepala. Jadilah dia mengikutiku sampai puncak. Biar, lah, abaikan saja. Aku pun sedang terburu-buru, punya urusan tersendiri.

Sehabis mendaki tanjakan yang terjal, aku dan Machamp sampai di puncak. Hujan es makin ganas, sedikit menggores kulit, aku pun turun dan berlindung di balik tubuh si Pokémon petarung. Tampak tebing memanjang sejauh mata memandang, dengan kiri-kanan terpampang jurang curam yang dalamnya jangan ditanya lagi.

Aura intimidatif terasa amat kuat, bersumber dari ujung sana. Ada sesuatu yang berbahaya, dan baru pertama kali ini kurasakan. Pria pendaki gunung berseru takut, berbalik kabur sampai hilang dari pandangan.

Muncul siluet hitam merupa figur seseorang yang berdiri tegap di atas bongkah batu bersalju. Dia tak goyah meski hujan batu serta angin beku mengamuk. Aku mendekat dibantu Machamp, dan seketika dapat menebak siapa di baliknya.

Sosok berperawakan pria dewasa tersebut mengenakan jubah gelap panjang sampai menutupi mata kaki. Sepatu bot dengan ujung runcingnya seakan menancap pada batu. Topeng berwujud Pokémon paruh hitam tampak seram dikenakannya. Sikap sosok itu bersedekap, seakan telah menanti kedatanganku.

"Selamat telah berjuang hingga berhasil sampai sini, PokéTrainer. Orang-orang menyebutku Bogey Mask. Ketika aku melihat PokéTrainer yang kuat, aku merasa harus melawannya. Bagaimana denganmu?"

Suara yang keluar ini, agak serak dan diakhiri koak. Mirip Pokémon burung gagak.

Aku menyeringai. "Huh. Kuterima tantanganmu itu. Dengan satu syarat, jika aku berhasil mengalahkanmu, kau harus berjanji kepadaku."

Ketika mengatakan apa isinya, dia agak terkejut, terjadi jeda beberapa detik. Kupikir tidak ada pilihan baginya untuk menolak ajakan bertarung. Dia pun akhirnya mengiakan.

"Sepertinya kau sudah sadar siapa aku, ya?" Aku memasang pose narsistik. "Yes, my name is Blue!"

Sikap sosok itu tampak jelas berpola, merentangkan kedua tangan. "Baiklah, penantang! Akan kuingat namamu itu di saat kemenangan telah berpihak kepadaku!"

Tunggu, barusan yang kukatakan itu seperti judul lagu, ya? Ya sudah, lah. Aku memasang kuda-kuda, berkial menantang lawan. Machamp pun maju, telah siap bertarung.

"Lakukan sekarang!"

###

Pojokan Story #1
"Suara Pikachu"

Bill: Menurut kalian, bagaimana suara Pokémon tipe-listrik Pikachu itu terdengar?

Gold: Seperti listrik statis, 'ngit-dtrottotowr'.

Brendan: Bukan begitu. Menurutku lebih ke 'tiic-tretatdowr'.

May: Bukannya 'tretettewrer'?

Bill: ... Hah?

NB: jawaban yang benar ada di bab selanjutnya ><

###

Klaten, 25 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro