40. Peanutbutter-2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Redo terheran hanya menatap pada satu titik: sosok tinggi besar itu. Siapa sebenarnya dia dan mengapa Rusty baru saja dia panggil ‘Father’? Redo tidak bisa berpikir jernih saat ini.

Mereka masih saling tatap dalam keheningan suasana tegang, manik cokelat hazel yang bersirobok dengan mata hitam bulat itu, pandang-memandang yang intens seakan pihak yang lepas dahulu akan dijatuhi kerugian.

Sementara Rusty yang baru datang, ikut bingung memperhatikan mereka. Saat dia bertanya ada apa, tidak diindahkan. “Hei, cukup, ini bukan kontes tatap-menatap!” sergahnya. Mungkin dia juga ingin ikut, tetapi tidak bisa.

Maka setelah bermaaf-maafan seandainya sedang hari raya, Rusty menjelaskan situasinya, Redo bisa mengerti barang seperempat situasi, dan si sosok tidak lagi menguarkan aura supresif.

“Ini Peanut Butter, Rusty memanggilnya PB. Dia adalah Pokémon yang dapat berbicara,” tukas Rusty menjadi orang ketiga dalam perkenalan, atau empat karena bayi Biru masuk.

“Salam kenal, Aa Redo,” sapa PB.

Redo tak peduli dengan nama yang mirip makanan itu, tetapi reaksi tercengangnya diakibatkan dari fakta kedua. Jarum kewaspadaan pun menyimpang ke kanan.

Rusty yang tidak menyadarinya lanjut introduksi, “Jadi simpelnya, Rusty dan PB bekerja di lab ini--meminjam, tepatnya. PB profesornya! Sementara Rusty yang hebat ini, jadi … kurir. Benar-benar pembagian yang adil, bukan?” Atas sarkas itu, PB yang dituju pura-pura tertawa, saking jelek aktingnya sampai terasa hambar.

Takiya, Father.”

Mata melirik.

“Ngomong-ngomong, Rusty ‘Father’-nya karena Rusty yang membiakkannya,” ungkap Rusty. Angguk tidak paham adalah balasan.

Seterusnya perihal membuat erat hubungan pun berlanjut dengan Rusty sebagai juru bicara, yang menceritakan segala macam kesuksesan dan keunggulan Redo sebagai PokéTrainer, yang bahkan orangnya sendiri tidak tahu, dan, pada beberapa bagian tersipu karena sanjungan hiperbolanya tepat, apalagi PB seperti percaya begitu saja.

Selesai basa-basi, Rusty membeberkan tujuan sebenarnya dari mengajak Redo beserta si bayi, yang dia tampak tidak terlalu memprioritaskan. Intinya, mereka hendak minta bantuan PB yang bertubuh besar itu untuk membukakan pintu rumah.

Redo meliriknya dengan alis bertaut dan sorot membulat. Rusty malah gagap. Ketika PB menyuruh serius, baru dia mau cerita.

Yang ini membosankan, aku Rusty, ada bola hitam dan Redo bersikeras untuk memeriksanya. PB memastikan perkataan tersebut, si peminta mengangguk. Pokémon bertubuh manusia emas itu menepuk dahi dengan tapak tangan besar, mengeluhkan kapan Father-nya berhenti main-main dan mulai serius dengan kerasnya hidup.

Redo kemudian mengeluarkan benda hitam misterius dari saku jaketnya, seukuran telapak tangan, yang tak mau berhenti berdesing dan berpendar.

“Dari tadi bergetar di saku Aa?” Redo mengangguk, agak buang muka. “Pasti tidak nyaman, takiya.”

Sementara Rusty yang sudah tidak simpatik lebih-lebih menjorokkan bertutur, “Bukankah bagus? Itu bisa membakar lemak di perut. Yang lebih penting lagi, dengar ini, PB!”

PB tidak mendengarkan, karena memang dibandingkan Father-nya dia tahu mana yang lebih penting. Mata tajamnya memperhatikan secara cermat, tangan yang awalnya mengelus dagu kini terulur mengambil benda setelah minta permisi kepada Redo. Segenap indra yang bekerja seolah memproses maksimal saat benda itu diangkat, mulutnya berdeham, menyipitkan mata dengan ekspresi serius. Semuanya demi memperoleh jalan keluar.

Lantas jawaban yang diharapkan ketemu juga. Tombol diklik, benda hitam pun diam.

“Akhirnya mati juga, takiya.”

Semua bernapas lega.

“Ah! Ini produk dari bisnis kami, takiya. Jika tidak salah, Prof. Oak pernah pesan juga--kami turut berdukacita atas kabar mengenai beliau, takiya. Tapi, produk yang kami produksi berbentuk kubus. Untuk bentuk bola ini, hmm … ? Ah! Ana pernah dengar ada bisnis sejenis yang mirip dengan gaya kami, takiya. Ah, iya, kalau tidak salah nama pendirinya adalah Prof. Billy. Tempatnya ada di ….

“Eh? Ana seperti tahu, tapi lupa persisnya yang mana. Nanti akan ana beri tahu jika sudah ingat, setelah urusan ana dengan Father beres, takiya.”

Akhirnya Redo mendapatkan pencerahan. Tentang benda hitam misterius yang selalu menghantui dan muncul tiba-tiba itu, yang mengisap tubuhnya ke dunia lain tempat Tuan Hoothoot berada. Apalagi ketidakjelasan yang bertumpuk-tumpuk makin menimbun letak jawaban berada.

Namun, tidak juga. Lantaran dari uraian tadi, justru timbul pertanyaan-pertanyaan lagi.

Ya sudah, kesampingkan dahulu, orang yang ingin diajak bicara sudah hampir hilang minat. PB pun memanggilnya.

“Father, tadi saat masuk, Father seperti bilang sesuatu?”

Oh-ho, Rusty mau mengembalikan majalah dewasa ini.”

“Majalah dewasa? Father, tidak ada benda itu di sini, takiya. Sungguh, dari mana Father mendapatkannya?”

“Benarkah? Pasti terselip di ruang antardimensi saat Rusty melakukan time loop.”

“Ini pertama kalinya ana mendengar hal semacam itu, takiya ….”

“Kau harus lebih banyak belajar lagi dari Rusty, PB!”

Percakapan yang absurd. Soal pemikiran sebelumnya bahwa Redo yang lebih baik belajar dari Rusty, ‘lebih baik’-nya itu jadi berbalik arah. Tidak sekarang. Pemikiran tersebut dia tarik kembali.

Lantas saat melihat tingkah Rusty yang hiperaktif berlarian memutari ruangan, melebihi bayi Biru, Redo kian bingung. Rasa ingin tahunya membuat kepala mendongak ke PB, kode lirikannya disambut sehingga kini keduanya saling kerling.

“Ah, begini. Father, bukan, Rusty itu … amnesia, takiya.” Pembahasannya makin bias. “Ana dan Rusty adalah entitas multiversal yang mengelilingi berbagai macam dunia paralel untuk mengantarkan piza delivery. Tunggu, itu evil Rusty. Ya, intinya kami bukan berasal dari dunia ini, takiya.

“Dan, malangnya, pada pengembaraan kami yang ke-666, Rusty tertabrak debu kosmik dan terpisah dari pengawasan ana. Ana harus mencari ke mana-mana hingga akhirnya bertemu dengannya, tapi Rusty sudah melupakan siapa jati dirinya dan apa tujuannya. Ya, mungkin akibat debu kosmik itu ingatannya menjadi terhapuskan, takiya. Untuk itulah ana meminjam Lab di tiap wilayah untuk mencari cara mengembalikan memori Rusty. Ya, salah satunya dengan memproduksi kubus hitam itu, takiya.

“Untuk sekarang ana tinggal di Kanto dan ana suka tempat ini, takiya. Kadang kami berdua mampir, menghipnosis semua orang yang punya Lab sampai tidak sadar. Yah, kami yang nomaden di dunia ini, berpindah-pindah lokasi dengan menyewa dan meminjam banyak tempat.”

Redo mengangguk dan beralih duduk di sofa. Kisah PB dan Rusty benar-benar problematis. Sang pencerita berjeda, menuju bagian belakang guna menyiapkan kopi, menuang ke dua cangkir, satu untuk diri sendiri, satu untuk Redo. PB kembali berceloteh setelah bersandar di kursi seberang, sementara dua orang lainnya (yang secara mental anak-anak) bermain kejar-kejaran di antara rak buku.

PB menduga Rusty selama ini belaka pahamnya bentuk produk yang mereka ciptakan adalah kubus, sehingga remaja itu tidak sadar jika yang bentuk bola juga satu jenis produk. Tentang kubus hitam dan bola hitam--tidak, dodekagon hitam--keduanya memiliki prinsip kerja kantung empat dimensi yang memanipulasi ruang. 

PB menjelaskan kepada Redo seraya mencermati tiap detail benda di genggaman. "Disebut dodekagon hitam karena mempunyai dua belas sisi berbentuk segi lima."

Tiap sisinya tercetak pola bintang dengan garis-garis pemisah bagai memecahnya menjadi sebelas keping. Dia agak kurang yakin, tetapi mungkin saja jumlah-jumlah tersebut menyimpan makna tertentu.

“Pada akhirnya, kebenaran mengenai dodekagon hitam ini belum terjawab sepenuhnya, takiya. Ana minta maaf yang sebesar-besarnya, Aa Redo. Ana harap bisa membantu Aa sebisa mungkin, tetapi cuma sejauh ini yang ana bisa.”

Redo menggeleng rendah hati, merasa tidak enak dengan PB. Justru dia berterima kasih, dari sorot mata dan anggukannya, karena telah memberikan keterangan yang tidak pernah Redo pikirkan. Mereka pun saling angguk lega.

Sementara itu, dua orang yang capai kejar-kejaran, akhirnya kembali ke ribaan pengasuh masing-masing seraya mengatur napas dan tawa. Untuk si bayi Biru tidak masalah, tetapi Rusty yang sudah besar tidak tahu malu memang. Maka secara halus, remaja bermental anak-anak itu diusir memakai gestur tangan oleh PB.

###

Klaten, 15 Maret 2022

Catatan penulis:

Di versi saluran Youtube Dorkly, Peanut Butter berdialog menggunakan bahasa klasik dengan diksi indah dan pronoun (kata ganti) yang sudah tidak lazim dipakai zaman sekarang, seperti thou (you, subjek), thee (you, objek), thy (your), dan lainnya. Di cerita ini karena mendapatkan naturalisasi, PB memakai bahasa Sunda E̶m̶p̶i̶r̶e̶.

● ana dibaca ané

● anta dibaca énté

takiya dibaca tak-iyê (sebenarnya ini bahasa Madura?)


.
.
.
Keringé

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro