105 - "Take me with you, Mom."

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semuanya hitam.

Seluruh warna di hidupku ditarik paksa dengan begitu kejam. Tidak berperasaan. Aku tidak melihat apa pun meski hanya setitik cahaya. Dunia adalah panggung sandiwara, tetapi tidak semua pemain akan mendapat peran yang bagus. Setidaknya para pemain, sehina apa pun peran yang dia dapatkan, akan tetap mendapat sorotan. Namun, tidak ada satu untukku. Aku takut, di sini terlalu gelap. Aku takut bergerak karena tidak tahu apakah di depanku masih ada pijakan, atau aku justru tenggelam di kegelapan lebih dalam lagi. Akhirnya aku meringkuk dan memeluk erat tubuhku, posisi paling aman sambil berharap seseorang menemukanku. Aku tersesat di tempat tak berujung, dengan lantai menyerupai keramik yang dingin, diselimuti udara lembap yang menyesakkan pula.

Tempat apa ini?

Ke mana semua orang pergi?

Di mana tangan yang biasa terulur untuk menenangkanku melalui sentuhannya?

Kesunyian ini benar-benar menyiksa. Aku tidak tahu apakah suara-suara itu nyata, tetapi telingaku dipenuhi oleh ujaran-ujaran yang menyatakan aku hanya sendirian di sini, tidak akan ada yang datang. Beberapa kali aku mengerjap demi membiasakan mata dengan ketiadaan cahaya, agar setidaknya mampu melihat meski samar-samar apa yang ada di hadapanku. Namun, tidak ada yang berubah.

"Kau sendirian. Kau sendirian. Kau sendirian."

Tidak bisakah mereka diam? Aku tahu tanpa harus diberi tahu berkali-kali. Aku tidak punya siapa pun sekarang. Semua yang kucintai pergi. Hal terburuk yang pernah kubayangkan akan terjadi, sudah terjadi sungguhan padaku. Kenapa aku harus tetap bertahan? Untuk apa aku dibiarkan melanjutkan hidup seperti ini jika pada akhirnya akan mati juga?

Isakanku sendiri mulai memenuhi telinga. Suara-suara itu mulai terdengar samar-samar, makin pelan hingga akhirnya digantikan oleh raunganku sendiri. Aku tidak ingin berada di sini sendirian, aku tidak ingin melanjutkan omong kosong ini. Harapanku pupus sudah. Takada lagi yang ingin kulakukan selain menyusul mereka. Hidup sudah tidak ada artinya bagiku. Bernapas saja rasanya menyiksa.

Aku mengenali sentuhan ini, aku mulai merasakannya di bahuku. Hangat dan lembut. Aku lantas duduk, mencari-cari di kegelapan dan tidak menemukan apa pun. Tangan itu berpindah untuk menutup mataku, meski percuma karena aku memang tidak bisa melihat apa-apa sebelumnya. Namun, aku pun tidak merasakan tangan kecil itu oleh tanganku sendiri, padahal aku berusaha ingin menangkap tangannya.

"Psst, kau jaga, Ava. Kau harus mencariku." Dia tertawa setelah berbisik di telingaku. Embusan napasnya di sana adalah satu-satunya kehangatan yang kudapat. Tangannya sudah melepaskan mataku dan yang terdengar selanjutnya adalah suara langkahnya, berlari menjauhiku.

Mataku terbelalak dan aku segera berdiri, bermaksud ingin menyusulnya. Namun, cahaya menusuk mataku. Perbedaan yang kontras membuatku kesulitan untuk melihat dengan baik, yang semula gelap menjadi terang semuanya. Aku tidak ingat pernah punya satu, tetapi aku memakai gaun putih selutut yang cantik dan berlengan panjang.

Ini tempat apa lagi? Apa masih sama seperti tadi, tetapi lebih terang? Sekali lagi aku berada di ruangan tak berujung. Lantai putih, langit-langit putih, tidak ada dinding.

"Nate! Kau di mana?" Aku menyerukan namanya sembari melihat sekeliling. Kenapa dia tidak ada di mana pun padahal tempat ini tidak memiliki sekat?

"Aku di sini, Ava." Dia tertawa lagi. Itu suara Nate saat masih kecil, mungkin tujuh atau delapan tahun. Nate dewasa tidak akan senang diajak bermain lagi. Derap langkahnya terdengar di belakangku, dan aku berbalik hanya untuk menemukan ruang hampa lagi.

Kurasa aku mulai gila, mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak ada. Sekali lagi aku berharap agar dimatikan saja di saat seperti ini. Ini penyiksaan, sungguh. Aku pernah membayangkan siksaan terburuk dan tidak sampai seperti ini. Semua ketakutanku ada di sini.

"Ava, aku di belakangmu."

Aku lekas-lekas berbalik dan kali ini benar-benar melihatnya. Nate kecil yang waktu itu masih ompong gigi bawah depannya, tersenyum lebar padaku. Tidak ada yang lebih baik dari menemukannya ada di sini juga. Semuanya akan baik-baik saja kalau kami masih bersama. Aku tersenyum padanya, tetapi air mataku juga mengalir.

"Ayo, tangkap aku." Nate menjulurkan lidah dan berlari lagi. Kali ini aku mengejarnya.

"Nate, kau berlari terlalu cepat. Tunggu aku!"

Napasku sudah tersengal. Tekanan udara yang kuhantam selama berlari membuat perut mulai keram. Aku tidak tahu sudah seberapa jauh kami berlari, rasanya melelahkan sekali. Bagaimana mungkin dia bisa berlari secepat itu dengan kaki-kaki yang kecil?

"Mom, Dad!"

Aku langsung berhenti. Tidak jauh di depanku, Nate menggandeng tangan kedua orangtuanya, yang tentu saja ayahnya juga ayahku. Dua orang dewasa itu memandangku dengan senyum di wajah mereka. Aku benci diriku yang harus menyaksikan kebahagiaan mereka. Dad bersikap seolah-olah sedang memamerkan keluarganya yang utuh, padahal aku masih di sini. Aku juga bagian dari hidupnya, tetapi dia tidak berusaha meraih tanganku. Untuk apa dia membiarkan aku lahir kalau pada akhirnya diabaikan. Kebencianku padanya makin menjadi-jadi.

"Ava, kami pulang dulu. Kapan-kapan kita main lagi, ya!" Dengan mengatakan itu, mereka bertiga berjalan menjauh.

Bolehkah satu kali saja aku melayangkan kepalan tangan ini ke wajah Dad? Aku ingin setidaknya satu kali saja menyadarkannya apa yang sudah dia tinggalkan. Aku ingin mengingatkan kalau kehadiranku berasal darinya. Aku juga ingin dia tahu sakit yang Mom rasakan, meski satu kepalan tangan tidak akan cukup untuk itu semua. Setidaknya aku akan merasa puas setelah melakukan apa yang kumau sejak lama.

Aku harus mengejar mereka sebelum berjalan makin jauh. Tawa Nate yang biasanya menyenangkan untuk didengar, kali ini aku membuatku makin berapi-api. Bukan salah Nate, tetapi salah Dad yang membuatnya terhibur seperti itu. Namun, apa dia pernah melakukannya untukku ketika aku sibuk berdoa agar Mom bisa sehat kembali? Tidak.

"Ava."

Aku siap berlari kencang menghampiri mereka, tetapi suara itu mengalun lembut di telingaku, membuat perasaanku menghangat, seketika memadamkan api emosi yang mulai menguasai diriku. Aku tidak berani berbalik, memastikan suara itu memang berasal darinya. Rasa takut menguasaiku, kalau-kalau ternyata tidak ada siapa pun di sana dan suara itu hanya ada di dalam kepalaku.

"Ava, Sayang." Kali ini dia memanggilku disertai dengan sentuhan di bahu. Dia ada di belakangku, tersenyum begitu lembut. Mom sama sekali tidak menua, dia masih sama seperti yang terakhir kali kulihat saat di rumah sakit, bedanya kali ini tampak jauh lebih sehat. Rambutnya yang bergelombang, yang menurun kepadaku, diikat satu. Meski dengan gaun yang sederhana, dia tetap sangat cantik. Di tangan kanannya terdapat sebuah keranjang berisi buket bunga mawar. Aku mengingat buket itu, buket yang dibeli Alby saat kami bersama berkunjung ke makam Mom. Mom sungguh menerima buket tersebut.

"Mom." Aku memeluknya erat sekali, sampai hampir kehilangan keseimbangan dan bisa saja membuatnya jatuh. Aroma bunga-bungaan yang menguar dari tubuhnya sungguh menenangkan. Aku menghirup aroma itu kuat-kuat seolah-olah hidupku bergantung padanya. "Aku merindukanmu, Mom. Sangat." Air mataku mengalir dengan sendirinya.

Mom melepas pelukan demi menyapu air mataku. "Jangan menangis, Sayang. Ava gadis yang kuat, ingat?"

Aku menggeleng kuat. "Tidak. Aku tidak sanggup lagi, Mom. Semuanya pergi. Aku sendirian sekarang. Kenapa harus orang-orang yang kusayangi? Aku ingin ikut Mom, ke mana saja asal bersama Mom. Kumohon bawa aku, Mom." Kuraih tangannya yang berada di pipiku untuk kemudian kuhujani dengan kecupan-kecupan ringan.

"Ava, kehidupan adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Dia masih memberi kesempatan untuk melakukan hal-hal yang Ava inginkan. Ada kebahagiaan yang sedang menanti Ava di depan sana."

Aku selalu menuruti kata-kata Mom, selalu mengingat nasehatnya, selalu menjadikan pesannya sebagai pegangan dalam menjalani hidup, tetapi aku tidak bisa menerimanya kali ini. Kata-kata itu hanya cara lain dari menepuk punggung seseorang ketika sedang merasa kesulitan dan tentu saja bukan itu yang kubutuhkan. Aku tidak butuh ditenangkan, aku hanya ingin semuanya kembali seperti sedia kala.

"Tapi hidup sudah berlaku tidak adil padamu, Mom. Kebahagiaanmu, belum terpenuhi. Impianmu belum tercapai, dan diberi sakit selama bertahun-tahun. Setelah semua itu, Mom masih menyebutnya anugerah? Benarkah?"

Decihan keras kukeluarkan, dan saat melakukannya, aku melihat ke arah lain. Betapa frustrasinya aku saat ini.

"Kehadiran Ava adalah kebahagiaan terbesar bagi Mom. Ava sangat berharga bagi Mom." Mom tersenyum ketika mengatakannya, matanya berbinar. "Saat Ava menangis, tertawa, kesal, rasanya benar-benar menakjubkan. Rasanya Mom sudah berhasil membesarkan Ava dengan baik. Menyedihkan memang, tidak bisa selalu mendampingi Ava tumbuh sampai sedewasa ini, tapi Mom percaya pada janji Tuhan, kalau Dia akan membahagiakan Ava."

Tangan Mom terlalu dingin untuk kulitku yang hangat. Namun, aku tidak keberatan dia menyentuh wajahku. Aku merindukan sentuhannya, melebihi apa pun. Tidak masalah seperti ini selamanya, tetapi Mom sudah lebih dulu menjauhkan tangannya.

"Bunga ini." Mom mengangkat buket dari keranjang yang dibawanya untuk diberikan padaku. "Mom rasa seharusnya ini untuk Ava. Bunga Mawar melambangkan cinta, dia sangat mencintai Ava. Untuk bahagia, selalu ada harga yang dibayarkan. Mom rasa, sudah cukup menahan diri dari meraih apa yang Ava inginkan. Bersedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Bersedih lama-lama tidak akan mengembalikan semuanya seperti semula. Ava punya hidup untuk dilanjutkan. Masih ada orang-orang yang peduli dan sayang pada Ava. Mereka akan ikut sedih kalau Ava seperti ini."

Aku tidak berani menatap Mom dan buket ini juga bukan objek yang tepat untuk dipandangi. Ini mengingatkanku pada Alby, yang seharusnya kulupakan, tetapi malah menghantui pikiran. Bahkan sampai detik ini, aku tidak peduli apa-apa lagi, aku hanya ingin berada di dekat Mom.

Perasaanku saja, atau bunga di buket ini memang perlahan-lahan layu di tanganku. Warna merahnya yang tadi segar di tangan Mom mulai memudar.

"Dia menunggumu di sana." Mom menunjuk sesuatu di belakangku. Aku mengikuti arah tunjuknya, tidak lagi memedulikan buket bunga di tanganku.

"Siapa, Mom?" Tidak ada siapa pun di belakangku. Tidak hanya itu, Mom juga menghilang. Aku melihat ke sekeliling dan tidak ada siapa pun.

Ini terjadi lagi. Aku sendirian.

Aku menerima tepukan di bahu sekali lagi. Kali ini agak kuat, sampai-sampai aku tersentak dan cahaya yang terang menyambutku. Aku berpejam agak lama demi membiasakan cahaya yang masuk ke mata, hingga akhirnya langit-langit berwarna cokelat muda menyambutku.

Itu mimpi yang aneh, meski meninggalkan kesan yang nyata bagiku. Aku memindai seisi ruangan, semampu yang bisa kulakukan dengan masih berbaring. Kamar ini asing, tetapi aromanya cukup familier. Meski tidak pernah berada di sini, tetapi aku ingat seseorang yang suka wewangian seperti ini. Aroma kayu manis dengan mint, perpaduan yang aneh. Kuharap tebakanku salah dan bukan dia yang sedang kurepotkan lagi, tetapi hanya dia yang tersisa bersamaku ketika orang-orang kembali dengan dunia mereka.

Sedangkan aku? Duniaku sudah hancur, tidak ada tempat untuk kembali. Semuanya terasa asing, termasuk kehampaan yang menggerogotiku saat ini. Aku tidak yakin akan mampu meneruskan hidup tanpa Nate sebagai tempat pulang. Dia satu-satunya rumah yang kupunya.

Kepalaku berdenyut ketika mencoba duduk, aku tidak tahu apakah ini karena terlalu tiba-tiba, atau karena terlalu lama tidur. Yang jelas, rasanya sangat sakit sampai aku tidak bisa menahan rintihan keluar dari mulutku.

"Ava, akhirnya kau bangun." Benar dugaanku, tempat ini milik Jeff. Aku tidak menyadari dia berada di sini dan baru saja muncul di sisi kananku. "Bagaimana perasaanmu?"

Aku menatapnya sebentar, meminta waktu untuk membiasakan diri dengan sakit di kepalaku. "Buruk. Kenapa kau membawaku ke sini? Aku punya tempatku sendiri untuk tidur."

Jeff menggeleng. Dia menuangkan air putih dari sebotol air untuk diberikan padaku. Dua benda itu sudah ada di atas nakas. Aku menerima sodoran segelas air putih darinya karena kerongkonganku terasa kering, bahkan suaraku tadi terdengar serak.

"Aku tidak bisa membiarkanmu sendiri. Saat tidur saja kau mengigau ingin mati. Siapa yang akan mengawasimu di sana?"

"Apa untungnya bagimu kalau aku terus hidup?"

Jeff mendesah frustrasi. Rambutnya yang aku baru sadar sangat berantakan disugar dengan cepat. Kekacauan terlihat jelas di wajahnya. Sayangnya, aku tidak merasakan sedikit pun kenyamanan dari rasa khawatirnya, tidak ada lagi yang kurasakan seperti dulu. Jeff tidak lebih dari orang asing yang pernah menjadi bagian dalam hidupku. Itu saja.

"Hidupmu terlalu berharga dan keseluruhan dirimu berharga bagiku. Sangat."

Aku tersenyum miris. "Akan sangat tidak adil bagiku kalau kau tidak kehilangan sesuatu yang berharga. Aku sudah mengalaminya berkali-kali, Jeff. Aku hancur, seharusnya sudah tidak memiliki nilai lagi."

"Jangan bicara seperti itu, Ava. Masih ada banyak orang di luar sana yang begitu menyayangimu. Seharusnya kau juga memikirkan mereka. Kehilanganmu akan membuat mereka sedih."

"Hanya sesaat, Jeff. Aku tidak ingin ditangisi saat kepergianku, aku tidak ingin peduli pada perasaan orang lain. Aku hanya ingin diriku berada di tempat yang seharusnya. Dan itu bukan di sini." Aku memangku kedua tangan saat Jeff berusaha menyentuhku.

Kata-kata Mom masih terngiang di kepalaku, seolah-olah kami memang benar-benar bertemu. Seandainya aku tidak bangun dari mimpi itu, pasti aku sangat bahagia bukan? Bersama Mom di sana, menceritakan masa kecil yang menyenangkan bersamanya, dan tidak ada yang lebih baik dari menghabiskan waktu dengannya. Aku juga akan menjemput Nate, merebutnya seperti ibunya merebut Dad dari Mom. Itu rencana yang baik, terlalu baik sampai aku menangis membayangkannya.

"Ava."

Perhatianku dan Jeff teralihkan oleh suara teriakan dari luar. Jeff buru-buru beranjak dari tempatnya dan keluar dari kamar. Sebelum itu, dia masih sempat-sempatnya memintaku agar tidak keluar dari sini, bahkan ketika menutup pintu, aku juga mendengar suara putaran kunci. Dia mengurungku di sini.

Tidak ada kenyamanan sama sekali di sini, meskipun kasur yang mahal ini benar-benar menarikku untuk kembali tidur. Namun, aku tidak ingin mendapati mimpi seperti itu lagi meski di sana aku bertemu Mom. Rasanya seperti diterbangkan untuk kemudian dientakkan dengan keras menghantam tanah. Aku sempat mengira kalau aku sudah menyusul Nate dan kami akan tinggal di sana selamanya.

Di tempat ini, apa yang akan kulakukan? Kamarku yang sempit dan sesak rasanya jauh lebih nyaman daripada ini. Tidak peduli kasurnya dua kali lebih luas dan jendelanya yang tinggi memenuhi satu sisi dinding ruangan. Aku beranjak dari kasur hanya untuk tahu apa yang ada di luar jendela, sekalian memikirkan cara lain untuk pergi dari sini jika Jeff memang bermaksud mengurungku. Langkahku sempoyongan karena merasa lemas dan kurasakan lapar setelahnya.

Aku baru menyibak tirai jendela, tetapi sudah dikagetkan oleh keberadaan seseorang yang sedang ditarik paksa oleh dua orang pria berbadan besar untuk pergi. Mungkin orang itu yang menyebabkan keributan di luar tadi, tetapi siapa? Aku tidak bisa mengenali orang itu karena hanya melihat punggungnya. Cukup lama aku memperhatikan, sampai ketika pria itu berusaha kembali dan dua pria itu kewalahan menahan pergerakannya, baju pria itu tersingkap setengah badan dan menampilkan apa yang terdapat di punggungnya.

Itu Alby.

•••

:)

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
12 Maret 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro