17 - Some alone time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️
Warning
Bab ini mungkin saja berisi pemahaman yang tidak cukup menyenangkan untuk dibaca, mengingat cerita ini berlatar luar negeri. Please be wise.
⚠️

🎶

Kepalaku mulai pusing sejak aku kembali menghampiri Alby. Entah itu pengaruh sampanye, atau kehadiran Jeff yang tidak pernah kuharapkan, atau mungkin gabungan keduanya. Apa yang kupikirkan saat menandaskan sampanye tadi di hadapan Jeff? Ingin membuktikan bahwa aku keren dan baik-baik saja meski meminum anggur putih itu?

Aku hanya tidak senang dengan bagaimana Jeff membicarakan tentang aku dan Alby. Setelah membuatku mengakhiri hubungan kami, lalu Jeff merenggut karier yang sudah kutekuni selama bertahun-tahun, sekarang dia datang dengan rasa peduli. Dia bahkan tidak memiliki keharusan untuk memperhatikan apa saja yang kulakukan. Dia hanya mantan. Dammit!

Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Sebenarnya aku suka saja seperti ini. Satu-satunya yang tidak ingin kulakukan sekarang adalah berdebat dengan Alby. Kurasa dia mengerti kondisiku, bahkan mobilnya melaju lambat. Dan, ya, dia cukup baik mengantarku pulang, bukan ke penthouse mewah miliknya. Aku hafal jalan yang kami lalui, dan ini menuju ke rumahku.

Sayangnya, aku harus menarik kembali kata-kataku tadi ketika dia memberhentikan mobil di Jembatan Williamsburg. Tentu saja mobilnya sudah menepi, di dekat pagar pembatas. Alby tidak mengatakan apa pun dan keluar begitu saja setelah mematikan mesin mobilnya. Tidak ada yang dia lakukan selain berdiri di sana, menghadap sungai yang memantulkan cahaya kota di malam hari.

Aku tahu di luar dingin, tetapi aku tetap menyusulnya, meninggalkan tas beserta ponselku tetap di dalam mobil. Setidaknya agar aku tahu apa alasannya berhenti di jembatan seperti ini. Dia bukan ingin terjun ke sungai, bukan? Karena itu kedengarannya mustahil bagi orang yang hidupnya nyaris sempurna tanpa kesulitan.

"Kau oke?" Aku bertanya setelah tiba di sebelahnya. Angin berembus lumayan kencang, aku sampai memeluk diriku sendiri.

Dia tidak segera menjawab, tetapi melepas jasnya untuk kemudian disampirkan ke pundakku. Alby sepeka itu. Manis sekali perlakuannya kepadaku. Aku mencicitkan terima kasih setelahnya.

"Harusnya aku yang bertanya begitu."

Aku mengernyit, dari sekian banyaknya reaksi yang bisa kuberikan kepadanya, hanya itu yang bisa kulakukan. Rasanya aneh melihatnya tampak setulus itu saat mengatakannya.

"Tidak ada apa-apa," jawabku, kecuali pertemuan dengan Jeff tadi bisa jadi sesuatu yang menarik untuk diceritakan.

"Aku melihatmu bicara dengan Jeffrey." Dia bicara dengan tenang, sembari meletakkan lipatan tangannya ke atas besi pembatas jembatan. "Apa dia mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan? Kau meminum sampanye sampai dua gelas, walau aku tidak tahu sebesar apa kadar alkoholnya. Bagaimana kalau kau pingsan di sana?"

Aku menatap Alby dengan dahi berkerut. Rasanya sulit untuk percaya, tetapi dia tahu aku sempat bertemu Jeff. Aku tidak mengira kalau dia akan mengikutiku berjalan ke balkon.

"Aku sengaja pulang cepat sebelum terjadi apa-apa padamu. Tapi sepertinya sampanye itu tidak berefek apa-apa." Dia bicara lagi dan kali ini membalas tatapanku dengan sorot yang sarat akan kepedulian.

Ada apa dengan Alby? Pertanyaan itu yang terus berkejaran di kepalaku, mencari-cari jawaban.

Alby yang kulihat saat ini terasa asing, tetapi menghangatkan. Perhatian kecilnya mampu membuat darahku berdesir. Apa dia memang mampu membuatku seperti ini, atau aku hanya sedang terbawa suasana? Maksudku, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali seseorang sepeduli ini kepadaku.

"Kau baik-baik saja?" Dia bertanya lagi, aku jadi tidak enak kalau tidak menjawabnya.

"Sedikit pusing, tapi masih bisa kutahan." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. "Tentang Jeffrey, tak perlu dipikirkan. Dia hanya suka mengganggu," lanjutku sembari mengeratkan jas Alby di tubuhku.

"Ingat di kesepakatan kalau kita adalah teman? Kau bisa ceritakan apa saja kepadaku, Ava. Apa Jeffrey membuatmu tidak nyaman?"

Pada akhirnya Alby berhasil membujukku. Walau secara teknis dia tidak melakukan apa-apa agar aku mau bercerita. Namun, apa yang Jeffrey katakan juga berkaitan dengan dirinya, memang seharusnya kuberi tahu Alby.

"Jeff tampaknya tahu sandiwara kita. Lebih seperti menebak-nebak sebenarnya. Tapi dia sangat yakin, aku khawatir dia akan merencanakan sesuatu yang akan menggagalkan misimu."

Ada sedikit rasa bersalah yang mencuat dalam diriku, apalagi ketika dia tidak langsung menjawab dan hanya meneŕawang pada pemandangan di depannya. Aku sudah membuka mulut, ingin bicara lagi, tetapi dia sudah lebih dulu melakukannya.

"Aku tidak heran kalau dia menduga seperti itu, mungkin kita masih tampak kaku. Walau sebenarnya kita melakukan ini bukan untuknya, tapi kau benar, Ava, dia bisa menjadi ancaman." Alby mengangkat kepalanya, memandang langit bertabur bintang dan bulan tampak lebih besar dari biasanya. Keindahan malam ini terasa sia-sia karena kami habiskan tanpa melakukan apa-apa.

"Maaf, mungkin karena sikapku."

Alby kaget karena ucapanku, dan aku pun tidak menyangka akan mengatakan itu kepadanya. Namun, aku sadar kalau hubungan kami adalah sesuatu yang seharusnya saling menguntungkan satu sama lain, sedangkan aku belum benar-benar membalas keuntungan yang kudapat darinya.

"Ini bukan salahmu."

"Tentu saja salahku, Alby. Aku terlalu defensif pada setiap sentuhanmu. Aku tidak mampu mengatasinya dan aku tidak tahu caranya. Setiap kali kau menyentuhku, memandangku dengan tatapan lapar, aku selalu teringat pada tragedi itu. Aku seperti seorang pecundang dan merasa kotor." Aku berucap frustrasi.

Kalau diingat-ingat, selama ini aku memang tidak pernah mencobanya. Namun, apa yang kurasakan saat menari bersama Alby tadi, adalah sesuatu yang baru; sesuatu yang menimbulkan rasa ingin tahu dalam diriku; sesuatu yang membuatku merasakan euforia meski hanya menantikan apa yang akan terjadi setelahnya. Aku sadar ini seperti bukan diriku, tetapi aku tidak bisa menahannya.

Alby mendekat dan meraih lenganku. Dia memandangku dengan sorot yang lembut dan penuh perhatian. Sekali lagi aku merasa asing pada sosok Alby yang seperti ini. Aku lebih terbiasa ketika dia sangat menyebalkan.

"Aku penasaran apa yang membuatmu takut. Kalau kau mau bercerita, aku akan mendengar semuanya. Tak peduli sepanjang apa itu."

Alby mengangguk mantap ketika aku mencari-cari kepastian di wajahnya. Caranya menatapku seperti sedang menguatkan keyakinanku kalau dia bisa dipercaya.

"Kau yakin mau mendengarnya?" Jujur saja, aku agak skeptis dengan reaksinya nanti. Bisa saja dia akan menganggapku berlebihan atau semacamnya.

"Ya Tuhan, Ava. Kau mau aku berlutut di sini? Sebenarnya aku tidak memaksa kalau kau belum siap membaginya, tapi aku sudah penasaran. Kita harus memainkan peran sebaik mungkin dan kau tentu tahu harus bagaimana, 'kan? Chemistry kita kurang kuat."

Aku tahu betul, bahkan itulah alasanku meringis sekarang. "Kau terlalu banyak bicara."

Alby mengangkat bahunya dan berceletuk, "Mungkin aku pria yang cerewet."

Pada akhirnya, aku melanjutkan cerita itu. Dia sudah tahu kalau Mom meninggal karena kanker. Jadi aku hanya perlu melanjutkan kisah tentang perselingkuhan Dad dan bagaimana aku bisa bertemu Nate. Alby tak banyak memberikan reaksi, tetapi beberapa kali anggukan membuatku merasa dihargai. Itu artinya dia tidak menganggap aku terlalu berlebihan, bukan?

"Mom selalu bilang, aku harus menemukan pria yang tepat, jadi aku menunggu sampai saat itu tiba dan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang berisiko."

Aku mengakhiri ceritaku. Entah berapa lama kami berdiri di jembatan ini. Aku sampai bergidik karena kedinginan. Kuraih jas yang tersampir di bahuku dan mengenakannya dengan benar. Aroma Alby memenuhi penciumanku dan itu membuat jas ini semakin terasa hangat.

"Lalu kau yakin akan siap melakukannya setelah menemui orang yang tepat itu?" Alby bertanya hati-hati sembari memberi tanda kutip dengan dua jarinya pada kata tepat.

"Aku ... belum pernah membayangkannya." Entah kenapa rasanya sulit untuk mengakui itu.

"Bagaimana dengan Jeffrey dulu?"

Dahiku berkerut ketika mengingat seperti apa hubungan kami dulu. Jeff pria yang lumayan sibuk, kami tak banyak menghabiskan waktu bersama selain makan siang atau makan malam. Sesekali, jika dia sedang ada dinas ke luar kota atau luar negeri, dia akan mengajakku dan membawaku ke tempat-tempat terkenal di sana. Dia tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk melakukan itu, sekalipun aku tidak pernah memberi tahunya apa yang terjadi padaku di masa lalu.

Jeff pun tidak memaksa ketika kubilang, "Maaf, aku belum siap dan tidak nyaman dengan interaksi fisik seperti itu." Dan dia mengerti.

"Kupikir dia mengerti." Aku menyahut asal-asalan.

"Making love adalah hasrat manusiawi yang muncul dengan sendirinya saat bersama orang yang kaucintai. Harusnya kau bisa merasakan itu. Semuanya akan baik-baik saja kalau keduanya sama-sama siap, takada unsur paksaan. Lagi pula, itu juga memberi dampak baik untuk hubungan dan kesehatan-dari yang pernah kubaca. Ya ... aku bisa mengerti pengalamanmu, dan ibumu mengajarkan hal baik. Orang yang sudah berkomitmen dengan pasangan tidak sepantasnya melakukan itu dengan orang lain lagi, aku setuju."

Alby memberi jeda sebentar untuk menyugar rambutnya yang baru saja tertiup oleh embusan angin kencang.

"Hal seperti itu tidak akan menjijikkan bagi siapa pun, itu tidak seburuk yang kaubayangkan. Rasa jijik itu hanya ada di pikiranmu, kau bahkan belum pernah melakukannya. Sekarang aku paham kenapa kau tidak tampak menyedihkan saat berpisah dengan Jeffrey. Dan aku punya buku tentang itu kalau kau mau mempelajarinya. Ada di ruang kerjaku. Atau kau mau aku yang mengajarkannya? Aku siap 24/7."

Lihatlah wajah Alby ketika menawarkan itu kepadaku, menyeringai dan matanya berbinar. Aku makin yakin kalau dia orang mesum. Maksudku, untuk apa dia berbaik hati meminjamkan buku tentang itu kepadaku, dan lagi, apa dia benar-benar sengaja membeli itu untuk dipelajari?

"Aku akan berusaha sendiri." Aku berucap demikian pada akhirnya.

"Hei." Dia meraih kedua lenganku dan menghapus jarak kami. Aku kaget, tetapi tidak juga berusaha menghindar. "Masih ada sebelas bulan kebersamaan kita, dan selama itu—" wajahnya mendekat, "—akan kutunjukkan padamu hal-hal yang menyenangkan."

Embusan napasnya menggelitik telinga kananku. Kata-katanya yang sensual membuatku merinding dan dia mengakhiri dengan kecupan di pipi kananku. Aku melotot tentu saja, bersamaan dengan itu, jantungku juga berdegup kencang sekali. Bibirnya cukup lama di sana, sampai kurasakan benda kenyal itu membentuk senyuman.

Alby sialan, sekarang apa lagi yang dia perbuat padaku.

"Itu bahkan bukan permulaan, Ava. Reaksimu menarik, ini akan jadi kencan palsu yang menyenangkan," ujar Alby setelah menarik wajahnya dariku, seolah-olah aku setuju dengan ide yang menurutnya cemerlang itu.

Senyum menyebalkan itu lagi yang dia pamerkan. Bisakah sebentar saja dia tidak terlihat tampan? Aku mulai kesulitan mencari-cari alasan untuk terus membencinya.

"Are you planning on getting under my pants?" Tentu saja aku tetap berpegang teguh pada akal sehatku. Alby saja sampai kaget mendengar pertanyaanku.

"Hei, aku hanya ingin membantu mengatasi traumamu-aku akan menyebutnya begitu. Anggap saja bonus, kapan lagi kau bisa mendapat perlakuan spesial itu?"

Ini dia Alby yang menyebalkan dan penuh percaya diri, dia kembali lagi dan aku justru lebih lega daripada menghadapi sosoknya yang penuh perhatian seperti tadi.

"Aku tidak membutuhkannya." Aku menegaskan itu sembari mendorong tubuhnya menjauh. Karena tak cukup kuat dan dia tak bergerak sedikit pun, aku yang melangkah mundur.

"Kau tidak ingin berubah? Anggap saja trial, Ava, sebelum kau menemukan the special one." Dia berkata sembari melangkah mendekatiku.

"Apa yang mau kaulakukan?" tanyaku, bersikap defensif.

"Hanya memelukmu." Dan dia benar-benar melakukannya. Hangat.

Alby membuatku merindukan masa-masa itu, masa di mana kasih sayang masih membanjiriku; masa di mana aku masih punya tempat untuk mengadukan segala keluh kesahku; dan masa di mana aku yakin masih ada orang yang peduli kepadaku. Mataku mulai memanas dan perlahan air mata meluap dari sarangnya. Ini adalah kali pertama aku menangis di depan pria selain Dad dan Nate.

Aku tidak ingin Alby melihat wajah yang memalukan ini. Jadi, ketika dia ingin menjauh, aku justru membalas pelukannya jauh lebih erat. Rasanya melegakan bisa menangis seperti ini, seluruh emosiku, rasa sedihku, meluap begitu saja. Malam ini sungguh kacau, aku merasakan banyak hal baru. Aku tidak benar-benar menyesal ikut pergi bersama Alby malam ini.

"Ava, kau menangis?"

Aku langsung menghentikan isakan tanpa suaraku. "Sebaiknya jangan lihat," balasku dengan suara serak.

"Mau sampai kapan memelukku seperti ini? Kita harus pulang, ini sudah terlalu malam."

Aku bergeming selama beberapa saat. Alby berkata seperti itu tetapi tangannya masih tertaut di punggungku.

"Sebentar kupinjam dadamu."

"Bagaimana kalau kita pulang dulu? Akan kupinjamkan seluruh tubuhku padamu." Lagi-lagi dengan nada bicara yang sensual dan menyebalkan. Namun, aku masih enggan memamerkan wajah sembapku, jadi aku hanya memukul punggungnya dengan kepalan tangan.

"Aku tidak sedang bercanda sekarang," sahutku, agak kesal.

"Aku juga serius, Ava. Ayolah, di sini semakin dingin."

Tak jadi dingin karena dia mengeratkan pelukannya kepadaku. Alby benar-benar tidak biasa hari ini, tetapi aku menikmati waktu bersama versi lain dari dirinya. Jika Alby yang seperti ini yang biasanya dihadapi Claudia, maka aku tidak heran kalau wanita itu masih mencintainya.

Aku sadar tidak boleh terpengaruh oleh sikapnya yang seperti ini dulu. Sebab ada kemungkinan besok dia kembali lagi dengan sikap menyebalkannya dan menganggap malam ini hanya sesuatu yang biasa. Aku bisa jadi bodoh kalau menaruh harapan kecil padanya seperti ini.

"Hei, Alby." Suaraku memecah keheningan, dan dia hanya membalas dengan gumaman. "Kurasa efek sampanye itu mulai bekerja sekarang."

"Ava, tung-"

Sayang sekali, aku sudah kehilangan kesadaran sebelum mendengar kalimatnya sepenuhnya.

🎶

Happy Tuesday again, fellas.
Jadi, ini satu bab absurd lainnya dari cerita yang absurd ini. That trigger warning is there for nothing. Aku hanya berjaga-jaga, mungkin pembaca akan merasa tidak nyaman dengan konten dari bab ini. Haha.
Ya sudah, sih, itu aja.

See you next Tuesday~
Lots of Love,
Tuteyoo
24 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro