29 - Blurry

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Paula tidak menyisakan selembar pakaianku selain underwear. Isi koperku benar-benar asing. Terlalu banyak gaun pendek yang belum pernah kupakai sebelumnya. Semuanya terlalu feminin, bahkan jika aku pergi ke toko pakaian, aku tidak akan melirik pakaian-pakaian tersebut.

Aku menghabiskan waktu cukup lama untuk memilih baju apa yang akan kupakai, sampai-sampai Paula menegurku. Pada akhirnya, aku mengambil asal satu gaun panjang tanpa lengan. Warnanya biru malam, dengan motif bunga--sama sekali bukan gayaku. Awalnya kupikir aku tidak salah memilih gaun, tetapi ketika aku memutar badan dan menemukan belahan yang cukup tinggi di bagian kanan rok gaun ini, aku membeku dengan mulut menganga. Sayangnya, aku sudah tidak punya waktu cukup lama untuk menggantinya. Mereka sudah menunggu.

Aku hanya mengenakan sandal rendah dengan lilitan tali sampai batas mata kaki. Kurasa itu yang akan cocok untuk gaun ini. Anggap saja aku sedang memberi waktu istirahat untuk sepatu-sepatuku.

Aku berjalan keluar kamar dengan langkah-langkah sempit, hanya agar belahan gaun ini tidak terbuka. Walau bukan kali pertama memakai yang seperti ini, tetapi aku masih tidak merasa nyaman.

Alby menunggu di sofa sambil fokus memainkan ponselnya. Kupikir itu efek dari komunikasi terakhir kami, sebelum aku mandi, suasana hatinya masih tidak baik. Sebelumnya aku tidak akan merasa terganggu dengan itu, justru bagus kalau dia tidak memiliki hasrat untuk menggangguku, tetapi sekarang aku merasa tidak tenang dan merasa ragu untuk menghampirinya. Rasa bersalah menahan kakiku agar tidak melangkah. Ini sungguh perasaan yang menyebalkan.

"Kau sudah siap?" Alby menatapku sembari menyimpan ponselnya di saku celana. Dia berdiri, membuat penampilannya tampak jauh lebih jelas. Celana pendek warna putih dipasangkan dengan kaus putih yang dilapisi kemeja biru muda bermotif abstrak di luarnya. Dia benar-benar mewakili musim panas dengan penampilan yang seperti itu.

"Ya. Maaf lama," sahutku dan seketika mendapat keberanian untuk menghampirinya. Langkah demi langkah yang kuambil berhasil memompa laju detak jantungku. Aneh. Apalagi kami hanya berdua saat ini, aku memeriksa sekitar, mencari keberadaan Paula, dan hasilnya tidak tampak keberadaannya di mana pun.

"Paula di mana?"

"Dia sudah pergi ke rumah makan." Jawaban Alby bahkan sangat datar. Seperti orang enggan bicara denganku. Aneh rasanya kalau dia benar-benar merajuk.

Namun, aku tidak akan membicarakannya sekarang. Perutku meminta lebih banyak perhatianku daripada kekesalan Alby.

"Sebaiknya kita segera menyusul, 'kan?"

"Hm. Ayo."

Alby berjalan di depan, membiarkan aku mengikuti. Penginapan ini tidak jauh dari pantai-aku ingat sempat mendengar suara ombak saat mandi tadi-jadi, kami berangkat ke sana dengan berjalan kaki.

Kami berada di jalanan sempit yang menurun, sisi kiri dan kanan kami berjejer rumah-rumah warga dan beberapa toko suvenir. Semuanya bercat putih, dengan beberapa pot tanaman di depannya. Jalanan ini persis seperti di foto yang dikirimkan Paula kepadaku. Udara Santorini benar-benar sejuk di malam hari, meski sudah memasuki musim panas. Aku tidak tahu apakah karena posisinya berada di lereng gunung, atau karena kami sudah makin dekat dengan pantai.

Pandanganku kembali pada punggung Alby. Dia sama sekali tidak peduli apakah aku masih mengikutinya atau tidak, seperti berjalan di dunianya sendiri. Namun, aku tidak akan repot-repot mencoba meminta maaf. Otakku menemukan cara untuk memanfaatkan situasi ini secepat Valentino Rossi. Dengan membuatnya kesal dalam waktu lama, mungkin Alby akan muak denganku, merasa kesepakatan ini takada artinya lagi, hingga memutuskan mengakhiri kesepakatan kami.

Aku tersenyum pada pemikiran itu sendiri. Maksudku, kebebasanku kembali, aku tidak perlu dibuat pusing dengan keberadaannya. Sungguh impian yang melebihi cita-citaku saat ini.

Aku terlalu tenggelam dalam rencanaku sampai tidak sadar kalau Alby berhenti melangkah. Aku sampai menabrak punggungnya. Detik berikutnya aku mundur selangkah, menjaga jarak darinya, Alby mungkin tidak akan senang kalau aku menabraknya lagi saat dia ingin melakukan sesuatu.

"Apa yang kaulakukan?" tanyanya, tanpa membalikkan badan.

"Tidak ada," sahutku, agak kebingungan. Tidak sedikit pun berbalik untuk melihatku, tetapi sudah menduga aku melakukan sesuatu. Itu membuatku ingin meluapkan kekesalanku kepadanya.

"Seharusnya kau berjalan di sebelahku, bukan di belakang." Kemudian dia berbalik, memandangku dengan alis yang nyaris tertaut. Itu wajah kesal tentu saja, dan aku yakin penyebabnya bukan hanya karena obrolan kami tadi.

"Aku bebas memilih berjalan di mana saja."

"Tapi aku kekasihmu, seharusnya kau berjalan di sebelahku."

Aku hanya diam. Dalam hati tertawa geli pada status yang dia kumandangkan. Aku benci sekaligus mengasihaninya. Tidak kusangka dia akan menanggapi status itu dengan serius.

"Kau hanya akan memanfaatkan itu di saat perlu, ya? Kalau kau memang merasa sebagai kekasihku, bisakah sedikit mengerti perasaanku juga? Oh, dan kau juga sedang merajuk, mana mungkin aku akan nyaman berada di sebelahmu?"

Sebenarnya, itu sama seperti aku setuju menjadi kekasihnya, tetapi dia sudah berkali-kali mengungkitnya. Jadi, sekalian saja kumanfaatkan untuk menyerangnya. Aku lelah terus-terusan menjadi si penurut--ya ... walau aku yakin sudah sering memberontak.

Sekali lagi, kesepakatan ini sudah sangat jauh keluar jalur. Beberapa kali Alby tidak akan membicarakan tentang Claudia, jika bukan aku yang memancingnya. Dia bukan sudah melupakan wanita itu, 'kan?

"Aku ... merajuk?"

Aku menyugar rambutku yang baru saja tertiup angin ketika Alby mendadak seperti orang bingung. Atau dia hanya pura-pura, tidak ingin mengaku. Merajuk adalah satu sifat kekanak-kanakan, tentu saja dia akan mengelak.

"Itu tergambar jelas di wajahmu, Alby. Mungkin aku sudah membuatmu kesal karena mengingatkanmu tentang Claudia, tapi apa aku salah? Kesepakatan ini untuk mendapatkannya lagi, 'kan? Kau membuat semua ini keluar garis batas."

Aku mulai kesal, sampai-sampai menepis tangannya ketika hendak meraih tanganku. Pria ini perlu disadarkan sesekali kalau dunia tidak hanya berporos padanya. Ada banyak hal yang tidak akan terjadi sesuai harapannya, tetapi apa Alby akan paham soal itu? Tidak.

"Tapi kau menjadi kekasihku bukan karena Claudia, Ava. Begini saja," ujarnya sembari berjalan mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Dia lancang, tetapi harinya cukup dingin, jadi aku membiarkan dia melakukannya. "Selama liburan ini saja, biarkan hanya tentang kita, jangan ada Claudia dulu."

Itu sama sekali bukan solusi, aku tentu saja dibuat bingung akan hal itu. "Kenapa?" Dari sekian banyaknya kata-kata untuk mengungkapkan bahwa dia aneh, atau keputusannya sama sekali tidak berdasar, hanya itu yang mampu kukatakan.

"Agar aku bisa fokus denganmu? Jujur saja, penampilanmu menarik perhatianku malam ini. Aku menyesali kesepakatan yang berlaku di antara kita dan aku tidak bisa berbuat apa-apa padamu. Lagi pula, kita harus tampak sungguhan di depan orangtuaku nanti."

Dia menarikku mendekat, sampai dada kami bertemu. Sedangkan aku tidak dapat berkutik karena tatapannya. Hanya dengan menatap, dia sudah menjeratku hingga kesulitan untuk berkedip. Alby makin mengerikan, dari hari ke hari aku makin kesulitan melakukan perlawanan, seolah-olah dia menyedot seluruh keberanianku. Bahkan ketika dia mendaratkan kecupan di dahiku pun, aku bergeming.

Pada akhirnya, dia memutuskan sendirian lagi. Dia bahkan tidak menanyakan pendapatku tentang itu. Rasanya seperti aku hanyalah mainan yang bisa diaturnya sesuka hati; robot yang hanya dia yang mampu mengontrol apa yang harus kulakukan.

Jujur saja, aku benci diriku yang makin tak berdaya. Bahkan perlu waktu yang lama untuk mengumpulkan kekuatan dan mendorong tubuhnya menjauh. Sekarang kami bisa melihat satu sama lain dengan jelas.

"Aku tidak mengerti apa tujuannya. Memangnya kau mau berbuat apa padaku? Ya Tuhan, Alby, sekarang aku punya alasan kalau kau tidak sesempurna yang orang-orang bayangkan. Kau mesum." Aku berucap frustrasi, seraya memutar badanku hingga mengarah ke hamparan laut di sisi kanan.

"Kau sendiri yang mengeluh kalau aku tidak mengerti perasaanmu. Sekarang aku akan menjadi kekasih yang baik, jadi bersiaplah."

Alby berjalan mendahuluiku lagi, membiarkan aku tenggelam dalam kebingungan. Pria itu, sebenarnya bagaimana yang dia rasakan kepada Claudia? Dan apa peranku yang sebenarnya? Sekali lagi, semuanya benar-benar tampak buram. Aku tidak bisa melihat dengan jelas tujuan dari hubungan kami sekarang.

🎶

Malam ini aku belum bisa tidur, tetapi duduk di balkon yang memperlihatkan laut Caldera yang sangat biru. Semua aspek di Santorini, meski baru sebagian kecil yang kulihat, sangatlah indah. Namun, di malam yang bermandikan bintang ini, aku tidak melakukan sesuatu yang menyenangkan. Kendati ada sofa yang besar di sini, aku justru memilih bersandar pada tralis dan sibuk memikirkan bagaimana besok.

Orangtua Alby dan Paula sudah berangkat dua jam yang lalu, yang berarti mereka akan bersama kami saat makan malam. Dua bersaudara itu terlalu yakin mereka akan menyukaiku, tetapi tidak memberi tahu aku harus bersikap seperti apa.

Aku tahu, aku tidak akan berbohong lagi soal menjadi kekasih Alby, tetapi apa aku mampu mengakui itu meski tidak merasakan apa-apa?

Ponselku berdering, menampilkan kontak Claudia di layarnya. Aku sempat mengernyit dulu sebelum memutuskan untuk menerimanya, tentunya juga setelah memastikan tidak ada Paula atau Alby di dekatku. Mereka tidak boleh tahu apa yang akan kami bicarakan.

"Halo?"

Aku sengaja membiarkan agar Claudia menyapa lebih dulu.

"Aku terkejut kau menelepon," sahutku dengan tenang.

"Kau benar, tentang profesionalitasku. Aku sudah memikirkannya dan kau pasti sudah tahu kalau aku tidak jadi membatalkannya, 'kan?"

"Ya, aku sudah mendengarnya dari Alby."

Namun, yang kudengar adalah helaan napas di seberang sana, sangat berbanding terbalik dengan bicaranya yang terdengar ceria.

"Apa kau merencanakan sesuatu?"

"Baru memikirkannya. Mungkin tidak sepantasnya aku menceritakan ini kepadamu, sebagai kekasihnya. Tapi, apa boleh buat? Kau sudah memberiku kesempatan, Ava. Apa kau yakin tidak apa-apa?"

"Kau bebas, Claudia. Aku tidak peduli apa yang kaulakukan. Kalau dia juga menginginkanmu, memangnya aku bisa apa?"

Bahkan kalau bisa lakukan saja secepatnya, agar aku bisa segera terbebas dari Alby.

"Aku berencana ingin menemuinya besok. Mungkin membuat pertemuan kami jadi lebih sering dan intens. Apa kau ada janji dengannya?"

Aku mendengkuskan tawa. Claudia benar-benar tidak membuang waktu dan bergerak cepat. Baguslah.

"Sayang sekali, kami pergi sampai dua minggu ke depan, Claudia. Aku akan mengabarimu kalau sudah pulang."

Ada jeda cukup lama sebelum Claudia berucap, "Kalian ... pergi?"

Dan aku mendengar ada nada kecemburuan di sana.

"Liburan keluarga. Aku harus ikut mendampinginya, 'kan?"

"Kami tidak pernah melakukan itu. Berarti kau sudah bertemu orangtuanya?"

Aku baru ingat, Claudia belum pernah diperkenalkan kepada Paula, dengan itu saja, kurasa dia juga belum pernah bertemu orangtuanya. Baru kali ini aku merasa lebih unggul darinya.

"Ya, begitulah," jawabku asal-asalan. Aku enggan bicara terlalu banyak, jadi kubiarkan saja dia menduga-duga.

"Sekarang aku kehilangan rasa percaya diriku."

"Kau jadi lebih mudah menyerah, ya, aku nyaris tidak mengenali dirimu."

Claudia terkekeh di seberang sana, padahal aku sangat serius mengucapkannya.

"Fakta tentangku yang tidak diketahui orang-orang, adalah aku selalu iri padamu, Ava. Kau sering kali lebih unggul dariku."

Aku tidak tahu harus tersanjung atau bagaimana. Aku bahkan tidak memiliki reaksi untuk itu. Apa pun alasan yang membuatnya iri kepadaku, tidak akan bisa kupercaya.

"Oke, itu dulu. Selamat berlibur, Ava. Semoga hari-harimu menyenangkan."

Sambungan telepon terputus setelahnya. Mood-ku sedikit membaik setelah bicara dengan Claudia. Bukan karena dia pernah menjadi sahabatku dan ikatan yang kuat itu masih tersisa sampai sekarang, tetapi karena rencana Claudia. Aku cukup senang mendengarnya. Kesepakatanku dengan Alby akan berakhir tidak lama lagi.

Aku tidak bisa berhenti tersenyum meski baru memikirkannya.

"Ava?"

Aku tersentak ketika Paula memanggilku. Saat berbalik, aku sudah menemukannya sedang duduk di sofa. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia berada di sana, kuharap dia tidak mendengar apa-apa yang kubicarakan dengan Claudia tadi. Sebab, air mukanya sekarang terlalu serius untuk sebuah obrolan santai.

"Ya?"

"Kenapa masih di sini?" tanyanya, dengan tatapan yang setajam gunting baru.

"Aku belum mengantuk," sahutku dan itu jujur.

Namun, itu justru membuat Paula memandangku penuh curiga, seperti dia sedang berusaha menerjemahkan gerak-gerikku yang mencurigakan. Padahal makan malam kami berlangsung dengan tenang, nyaman, dan dengan obrolan santai tentang rencana berenang di pantai besok. Berbanding terbalik sekali dengan sekarang.

"Jujur padaku, Ava, apa kalian sedang bertengkar?"

Aku tidak perlu bertanya lagi kalian ini merujuk pada aku dan siapa.

"Tidak. Kenapa?"

"Alby meminta kamar kosong padaku. Sayangnya vila ini hanya punya tiga, jadi dia meminta bertukar kamar denganku, tentu saja aku menolak. Kau yakin itu baik-baik saja?"

Ya, Tuhan. Sekarang aku merasa seperti seorang bocah yang habis mengganggu bocah lain, dan bocah itu mengadu ke orangtuanya.

***

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
3 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro