3 - An Offer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🎶
I don't know what you're looking for
But I don't think it's me
I wish I could give you my all
Not caught in make believe
🎶

Dia pria yang menabrakku tadi. Apa yang dia lakukan di sini? Tiba-tiba datang dan menciptakan sandiwara sepihak seolah-olah mengenalku, bahkan dengan seenak jidat mendaratkan tangannya di bahuku. Aku saja tidak tahu apa dia membasuh tangan atau tidak. Dan lagi, apa maksudnya roti bakar dengan lelehan keju yang aromanya membuat perutku lapar ini?-hingga sejenak berhasil membuatku lupa bahwa aku sedang kesal. Aku ingin protes, tetapi reaksi dua sejoli di hadapanku saat ini ternyata jauh lebih menarik.

Claudia, yang tadi sempat menggumamkan satu nama, kini tak mampu mengalihkan pandangan dari tangan yang tengah memijat pelan bahu kananku. Matanya kehilangan cahaya, seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, atau entahlah, yang jelas itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku sampai berpikir ada sesuatu di antara Claudia dan si pria yang tak kukenal ini. Yang sebenarnya kuharap tidak benar, karena demi apa pun, aku sudah bosan selalu terlibat banyak hal dengan model yang satu itu. Kehidupan SMA-ku tidak pernah bagus ketika dia mulai dekat denganku, makanya kubilang bahwa aku mengenal baik dirinya.

Namun, ekspresi Jeff lebih menarik lagi. Kedua belah bibir tipisnya terkatup rapat dan alisnya nyaris bertaut. Aku bisa bilang kalau dia tidak menyukai situasi ini--bahkan aku sangat yakin. Sebentar saja, aku seperti berhasil melawan sindirannya tadi. Dia bungkam, hal terbaik yang terjadi saat ini. Mungkin aku juga harus berterima kasih pada siapa pun pria pemilik roti bakar di tanganku ini--setelah memarahinya yang bersikap kurang ajar, tentu saja.

"Hai, aku tidak melihat kalian ada di sana." Pria ini berucap ramah dan agak kaku. Aku tidak tahu apakah dia tersenyum atau tidak. Yang pasti, aku bisa merasakan embusan napasnya yang berat di telingaku. Lengan kiriku menempel dengan dadanya yang bidang dan keras-aku mengira itu karena tubuhnya berotot-dan membuktikan bahwa jarak kami sangatlah dekat.

Aku merasa tidak nyaman, tetapi juga menyukai bagaimana reaksi yang diberikan oleh dua orang di hadapan kami. So, I decided to play along with him.

"Kalian ... cocok berdua." Claudia memaksakan seulas senyum, tetapi matanya masih menatap kami dengan sendu. Seperti badai baru saja menghantam isi kepalanya, sorotnya mengabur dan kuharap itu bukan air mata yang menggenang. Kupikir pria di sampingku juga merasakan hal yang sama dengannya, sebab ia meremas bahuku semakin kuat hingga aku nyaris meringis.

Agak lucu juga saat menemukan Claudia salah memahami hubungan kami.

"Thanks. Apakah dia Jeffrey? Pria yang ... dijodohkan denganmu?" Pria ini menurunkan tangan dari bahuku dan diulurkan ke arah Jeff, berharap Jeff menyambutnya dalam sebuah jabat tangan. Kuharap dia tidak kembali menyentuhku setelah tangannya terkena bakteri dari tangan Jeff.

"Ya. Dan aku beruntung memiliki gadis secantik dirinya." Jeff membalas uluran tangannya. Sial.

Mataku tak luput memandang tangan Jeff lainnya yang melingkar di pinggang Claudia. Aku heran kenapa dia harus berusaha keras untuk memamerkan bahwa mereka pasangan yang sempurna, sementara wanita di sampingnya saja tampak risi karena itu.

"Dan terima kasih sudah melepaskan wanita ini. Dia jauh lebih bahagia daripada bersamamu."

Aku terkejut ketika pria ini mendaratkan telapak tangan di atas kepalaku dan mengacaknya seperti seorang kakak laki-laki kepada sang adik. Germs! Aku harus ingat untuk keramas pulang nanti. Dan apa maksudnya dengan lebih bahagia? Aku justru sengsara karena menganggur.

"Ya ... hidup itu penuh misteri, tak ada yang bisa menduga akhirnya kita akan bersama siapa." Jeff tersenyum puas, seolah-olah telah berhasil membuat kami iri. Nyatanya? Tidak sama sekali.

Namun, lihatlah wanita berambut pendek ikal itu, semakin merasa tak nyaman ketika tubuhnya harus ditarik mendekat dengan Jeff. Sekarang aku mulai mempertanyakan tentang perjodohan mereka, sudah jelas ada salah satu pihak yang merasa terpaksa. Yang pasti itu bukan Jeff, dia senang-senang saja dijodohkan dengan model cantik yang sedang naik daun itu.

"Semua orang tahu itu, kau tak perlu sok bijaksana," sindirku dan tersenyum lebar tanpa menunjukkan sederet gigiku. Jeff harus dibungkam sekarang atau dia akan terus bicara omong kosong. "Lihat pacarmu, dia sudah tidak nyaman mendengarkan ocehanmu. Dan ini sudah masuk waktu makan siang," ujarku sembari menatap arloji di tangan kiri.

Jeff menyusul-mengangkat pergelangan tangan kirinya sendiri dan seketika aku sadar bahwa model arloji kami sama; bertali rantai warna perak, tetapi millikku berukuran lebih kecil darinya. Maksudku, itu memang jam couple yang Jeff beli sewaktu liburan ke Swiss bersama keluarganya. Aku cukup menghargai pemberian Jeff dan tidak sebodoh itu sampai membuang barang-barang darinya. Jeff cukup baik tidak menagih untuk dikembalikan. Namun, setelah ini mungkin aku akan berpikir dua kali untuk memakai barang-barangnya. Aku segera menyembunyikan arloji itu dalam lengan jaket yang memang lebih panjang dari tanganku sebelum ada yang menyadari.

"Maafkan aku, Sayang." Jeff mengecup mesra kening Claudia, dan aku spontan mengalihkan pandangan. Adegan itu betul-betul menjijikkan.

"Hei, Ava, karena kita sudah bertemu di sini, we'd like to invite you to our engagement party next month at the hotel. And ask him to be your plus one." Jeff bicara lagi, kali ini hanya padaku, tetapi tangannya tertuju pada si pria asing.

Plus one? Mana kukenal pria yang dianggapnya sebagai pasanganku ini. Dan lagi, aku tidak ingin membuang waktuku dengan menghadiri acaranya-apalagi sampai melibatkan pria tak kukenal, lebih baik aku duduk manis di depan laptop dan menonton film.

"Maaf, aku agak sibuk hari itu, dan dia bukan siapa-siapa," ujarku lugas, tanpa keraguan, sembari menunjuk pria di sebelahku ini dengan jempol.

"Belum, tapi akan jadi siapa-siapamu," sahutnya dengan jenaka. Ya Tuhan, bisakah orang ini dilenyapkan saja?

Aku mengernyit gara-gara itu, tetapi segera tersenyum agar Jeff tidak mencium sesuatu yang aneh dari kami berdua. Setelah berakhir dengannya, satu-satunya hal yang tidak kuinginkan adalah terlihat memalukan. Harga diriku akan jatuh dan aku semakin rendah di matanya.

"Kami pastikan datang untuk kalian." Pria asing ini berucap lagi.

"Bagus. Kalau begitu, sampai jumpa lagi." Jeff kemudian menjatuhkan pandangannya pada Claudia. "Ayo, Sayang."

Sebelum mereka berbalik, aku sempat-sempatnya menangkap ekspresi wanita itu, dan tatapannya masih tertuju pada pria di sebelahku, seperti dunianya berporos di sana. Aku curiga jika sepanjang momen menyebalkan tadi, Claudia tak kunjung mengalihkan pandangan darinya.

Pasangan itu sudah menghilang di antara padatnya pengunjung, menyisakan aku dengan si pria asing. Tak ada lagi aroma campuran parfum mereka yang menyesakkan selain dari milik pria asing. Segera saja aku menarik diri dan berbalik menghadapnya.

"Siapa kau? Dan apa maksudnya tadi?" Kemudian aku meletakkan roti bakar ke sebelah tangannya yang sudah kutarik lebih dulu. "Aku tidak perlu ini."

"Alby Mateo. Bukankah seharusnya kau berterima kasih? I saved you."

"Aku tidak memerlukannya. Kau menjebakku untuk datang ke acara pertunangannya."

Alis pria itu terangkat sesaat, seperti ada yang membuatnya menyadari sesuatu sebelum sebelah sudut bibir menyusul, dia menyeringai. Bisakah dia tidak setampan ini? Aku sedang marah padanya dan tidak ingin terpesona dulu.

"Jadi, kau cemburu."

"Hell no!" Aku nyaris berteriak untuk mengelak. Festival sudah sangat ramai, aku sampai khawatir kalau-kalau suaraku akan menarik perhatian orang-orang.

Pria asing ini hanya diam memandangku. Kami bertatapan selama beberapa waktu sampai aku lebih dulu membuang muka. Ya ampun, Ava, berhentilah tersedot oleh rupanya. Kau tidak mengenalnya, dan dia bisa saja seorang peminum yang kebetulan kautemui dalam kondisi sadar. Dan lagi, penampilanmu yang tak berwarna ini tidak akan pernah menarik perhatiannya. Jadi, mundurlah sebelum kecewa pada akhirnya.

"Aku masih ingin bertanggung jawab atas popcorn-mu. Mau mampir ke 48th Street untuk secangkir kopi?"

🎶

Kopi. Mana bisa kutolak. Terlebih ditemani dengan pria setampan dirinya. Aku duduk di teras sebuah kafe kecil bertema modern, di meja bundar kecil yang hanya memiliki dua kursi. Satu sudah kududuki, satunya lagi tentu saja untuk si pria asing. Samar-samar aku bisa mendengar musik pop yang dimainkan dari kafe ini dan pengeras suaranya ada di atas kepalaku, menempel di dinding. Namun, tidak bisa dinikmati karena berhasil dikalahkan oleh riuhnya suara transaksi di festival.

Dari posisiku, aku bisa melihat bagaimana para pengunjung memenuhi jalanan. Gerakan mereka bagaikan dua arus air yang berlawanan. Jam makan siang juga bisa dibilang puncak awal festival. Orang-orang yang malas memasak tentu memilih untuk pergi ke festival dan memakan makanan enak, tanpa peduli bahwa mereka harus menyelami lautan manusia terlebih dahulu.

Aroma kopi yang kuat berhasil membuatku menoleh hanya untuk menemukan si pria asing datang dengan nampan di tangannya. Karena aku sedang kesal padanya, aku lekas-lekas menunduk dengan ponsel di tangan dan bersikap seolah-olah tidak menyadari bahwa dia sudah kembali. Aku bukan bermaksud merajuk dan meminta dibujuknya, tetapi aku memang benar-benar kesal dan tidak ingin dia mengira semuanya selesai dengan secangkir kopi.

Tunggu, apa bedanya?

Dia sudah duduk di hadapanku. Alasan lain aku setuju ikut ke sini adalah untuk meluruskan situasi menyebalkan yang tadi, dan ingin tahu kenapa dia sampai mengiakan undangan Jeff.

Dia-aku ingat dia sudah menyebutkan namanya, tetapi aku juga sudah melupakannya-mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket dan meletakkannya di atas nampan, di sebelah gelas miliknya. Itu adalah sebuah gelas kecil seukuran tutup obat, dan sebuah termometer kecil. Keningku berkerut kala menunggu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia bukan ingin mengukur suhu kopinya, 'kan? Karena itu sangatlah konyol.

"Sekarang kau menunjukkan bahwa dirimu adalah orang aneh." Aku refleks berceletuk ketika dia benar-benar melakukannya; menuangkan sedikit cairan hitam pekat itu ke gelas kecil dan mencelupkan termometer di sana. Maksudku, mana ada orang yang akan melakukan hal sepele itu sebelum meminumnya? Hanya dia, tentunya.

Dia mengabaikanku, mengangkat termometer itu dan menyipitkan mata ketika membaca angkanya. Gesturnya persis seperti seorang laboran yang memastikan derajat suhu bahan dasar untuk penelitiannya sudah sesuai prosedur atau belum. Dan dia melakukannya seperti tidak ada aku. Bodohnya, aku masih duduk di sini padahal bisa pergi meninggalkannya kapan saja.

Dia menatapku setelah menyimpan kembali dua benda yang sudah disapunya dengan tisu itu. "Pasti ada banyak pertanyaan di benakmu sekarang," ujarnya dengan suara yang merdu. Oh, God ... .

"Aku perlu penjelasan atas sikapmu di hadapan mereka tadi. Kau mungkin berniat baik membantuku, tapi aku sungguh tidak memerlukannya." Aku menarik napas dalam-dalam setelah bicara cepat. "Tapi aku lebih penasaran denganmu yang mengukur suhu kopi pakai termometer. Was that necessary?"

"Sekarang kau mulai ingin tahu tentangku, ini menarik." Dia menyunggingkan seringai yang tampan dan menyesap kopinya.

"Jangan membual," tegurku sekaligus merotasikan mata. "Kau-sekali lagi, siapa namamu?"

"Alby Mateo. Dan aku tadi tidak sedang menolongmu. Bisa dibilang ... memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan." Dia tersenyum, dan dengan angkuhnya memamerkan lesung pipit samar yang kuharap aku juga memilikinya.

"Oke, Alby, jadi kesempatan apa yang kaumaksud itu? Dan kukira kau tidak sedang dalam situasi terjepit. Jeff akan benar-benar mengira kalau kita ada sesuatu!"

Dia menyesap kopinya lagi sebelum mengangguk ringan. Pembawaannya sangat tenang. Hanya aku yang panik seolah-olah hidupku akan berubah. Tidak, statusku yang akan berubah di mata orang-orang. Aku bahkan tidak tahu apakah setelah ini akan ada pertemuan lainnya?

Ujung jari-jariku mulai berdenyut, kumohon jangan tremor dulu.

"Baguslah. Toh kita tidak akan bertemu dengannya lagi."

Dia yakin sekali. Belum tahu saja Jeff orang yang seperti apa. Terkadang aku merasa dia ada di mana-mana; salah satu alasan yang membuatku enggan bepergian. Sebelum bertemu dengannya hari ini, aku pernah menemuinya di mal, dia keluar dari toko yang ingin kudatangi. Tidak hanya itu, aku juga beberapa kali berselisih dengannya di jalan, hingga membuatku harus bersembunyi agar tidak terlihat olehnya. Semakin aku ingin menghindari, semakin sering pula dia muncul.

"Dia sudah mengundang kita untuk menghadiri acara pertunangan mereka."

"Bukan berarti kita wajib datang, walau sebenarnya aku ingin." Lagi, dia menyesap kopinya hingga tersisa setengah.

"Kau tidak mengenal Jeff," sahutku putus asa.

"Tentu saja kaukenal dia, your ex, right?"

Aku tidak merespons, hanya diam memandanginya dengan api di balik mataku. Benar Jeff adalah mantan kekasihku, tetapi aku tidak bisa berhenti tersulut emosi jika seseorang menyebutnya. Rasanya seperti harga diriku tercoreng meski dengan ukiran yang indah-dalam artian, aku tidak bisa menampik kalau bersama Jeff juga menyisakan kenangan yang indah, salah satunya ketika dia mengajakku ke California untuk menghadiri Coachella Valley Music and Arts Festival. I love arts.

"And claudia was my girlfriend."

Aku nyaris tersedak oleh minumanku ketika dia mengatakan itu tanpa diminta. Sekarang aku ingat Claudia melirihkan satu nama, dan rupanya itu adalah nama pria ini. Pantas saja wanita itu mendadak hampa ketika Alby—aku akan membiasakan menyebut namanya—tiba-tiba datang dan bersikap terlalu akrab denganku.

"Aku tahu, aku pun terkejut saat tahu bahwa keduanya pernah bersama kita." Dia tersenyum getir seolah berhasil membaca reaksiku, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengasihaninya. Jadi, aku juga ikut tersenyum lemah.

Pasangan kami tertukar. Bisakah dunia lebih sempit lagi dari ini? Ini New York, wilayah seluas hampir 790 kilometer persegi, dan diisi oleh kurang lebih 19 juta penduduk. Apa tidak ada pilihan lain selain bekas pasangan kami?

Aku masih menatapnya iba, dan dia berusaha menghindari tatapanku dengan membuang muka. Mendadak seluruh atensinya tertuju pada segerombol remaja yang berbondong-bondong menghampiri stan permen kapas. Entah apa yang menarik di sana, tetapi dia tersenyum tipis. Mungkin mengingatkannya pada sesuatu yang indah?

"Jadi, malam itu benar kau yang kulihat di bar? Baru berakhir dengan Claudia? Wah, kuharap kau tidak kehilangan pekerjaan juga." Aku tersenyum pahit kala mengingat bagaimana karierku berakhir. Sebenarnya aku tidak ingin bertanya, tetapi aku tidak bisa menahan rasa penasaranku.

"Siapa namamu?" sahutnya setelah dua manik bak laut berlumut itu kembali mendarat di wajahku. Alis tebalnya terangkat sebelah, membuatnya jadi berkali-kali lipat lebih menarik.

"Apa itu penting?" Aku tidak tahu apa dia sedang mengalihkan pembicaraan atau apa.

"Mengingat topik yang akan kubicarakan denganmu ini lumayan penting, kurasa aku perlu tahu."

Aku memicing, membiarkan dia tahu kalau aku mencurigainya. Orang asing yang baru kutemui beberapa saat lalu-genapkan saja setengah jam-ingin membicarakan hal penting padaku. Bagaimana bisa dia semudah itu percaya dengan orang lain? Bagaimana jika aku orang jahat?

Aku enggan merespons, tetapi tidak bisa berbohong kalau aku mulai penasaran dengan apa pun yang ingin dia katakan kepadaku.

"Ava," balasku sekenanya.

"Jadi, Ava," ujarnya sembari menautkan jari-jarinya yang kurus dan indah itu di atas meja. Aku refleks membandingkannya dengan milikku sendiri yang agak berisi. Bikin iri saja. "Kita terjebak di situasi yang sama-ditinggalkan oleh pasangan kita. Dan aku punya rencana yang bagus agar bisa kembali dengan pasangan masing-masing."

Ah, aku kecewa mendengarnya. Sungguh. Wajahku mungkin sudah berubah masam dengan mata yang menyipit. Bukan hanya karena sinar matahari yang terik, tetapi sebuah reaksi penolakan atas usulan baiknya itu. Hanya orang-orang bodoh yang mau kembali dengan mantan kekasihnya-kecuali jika alasan mereka berakhir masih bisa termaafkan.

Memandang hubunganku dengan Jeff, kami baik-baik saja sampai dia dijodohkan. Alasan itu bisa termaafkan andai dia berkata jujur padaku dan berusaha menggagalkannya. Namun, alih-alih meyakinkanku, dia justru menerima perjodohan itu dengan senang hati.

"Aku bukan orang yang suka mengambil kembali sampah yang sudah kubuang." Aku menggumpal plastik bekas pembungkus sedotan bersama tisu yang bekas kupakai, kemudian melemparnya ke bak sampah yang tak jauh dari kursiku. "Jadi, aku tidak tertarik dengan rencanamu itu."

"Rencana ini akan sangat menguntungkan satu sama lain."

"Untukmu, tidak untukku. Aku tidak segila itu sampai mau kembali dengan pria yang sudah menghancurkan karierku."

"Kariermu hancur?"

Aku menelan ludah dan membanting punggung ke sandaran kursi. Bola mataku bergulir ke mana-mana demi menghindari tatapan tajamnya. Itu hanya sorot penasaran, tetapi sudah berhasil membuatku menciut. Berbahaya sekali pria ini.

Apa perlu aku memberi tahu tentang bagaimana Jeff memecatku? Tidak. Aku tidak berpikir itu sesuatu yang benar. Mengingat dia pria asing, tindakan itu bisa termasuk dalam kategori pencemaran nama baik sekaligus penyebaran aib-walau Jeff pantas menerima itu atas rumor buruk tentangku yang dia sebarkan di kantor.

Orang-orang tentu akan mempertanyakan kenapa aku sampai berhenti bekerja. Dan demi nama baiknya yang sudah jelek itu, Jeff berlagak sedih harus menerima kepergianku karena berakhir dengannya. Aku benci mengingat itu, dan segera kuraih Iced Latte milikku sebelum aku dikuasai emosi.

"Kau tidak perlu menjawab, tapi aku telanjur penasaran dengan apa yang dia perbuat pada kariermu."

Sorot matanya berubah. Tak ada lagi sensasi seperti dipindai oleh sinar laser dari tatapan tajamnya. Manik abu kehijauan itu menatapku lembut, seperti berusaha meyakinkanku bahwa aku bisa memercayainya.

"Aku bekerja di kantornya," ujarku setelah diam cukup lama. Kupikir tak masalah pria ini tahu, dia tidak terlihat sebocor itu.

"Jadi dia memberhentikanmu? Kekanakan sekali." Alby tertawa, seakan-akan sudah membenarkan tebakannya. Aku tidak tahu bagian mana yang lucu, tetapi kuharap bukan karierku yang berakhir.

"Makanya ... apa pun rencanamu, jangan libatkan aku."

"Tidak bisa kaupertimbangkan lagi? Terserah kauingin kembali pada pria berewok itu atau tidak."

"Maksudmu aku harus repot-repot hanya untuk membantumu kembali dengan Claudia?" Dahiku mengernyit tepat setelah kukatakan itu. Sedangkan itu hanya spekulasi yang terpikirkan olehku.

"Tepat," sahutnya dan membuatku kehabisan kata-kata.

"Apa rencanamu?"

"Berpura-pura bahwa kita adalah pasangan."

He is crazy!

***

Hellooo~ Tuteyoo is back!
Jadi, udah kebaca kan alurnya bakal gimana? Ini tuh ide yang cukup pasaran sebenarnya, tapi jangan langsung tinggalin cerita ini ya, hihi. Dengan ide yang pasaran, aku mencoba membungkusnya dengan keunikan karakter Ava (semoga berhasil hiks).

Dan seperti biasa, aku bakal tetap nanyain "gimana bab ini? Apa ada sesuatu yang mengganggu kalian pas baca? Atau ada sesuatu yang bikin eneg?". Drop on the comment section 'kay?

Sebelum kuakhiri, aku bakal kasih cuplikan dari cerita Slow Motion yang update setiap hari Sabtu karya Tasyayouth, nih.

***

"Manna?"

Suara itu. Manna lupa kapan terakhir kali mendengar suara merdu yang dirindukannya tiap malam. Menyebut namanya dengan indah, masuk dan menetap di hatinya. Entah sudah yang keberapa kalinya ia jatuh cinta hanya karena mendengar suara lelaki itu.

"Maaf saya bikin dapur kacau. Kamu mau makan sereal aja?"

Jika Manna berhalusinasi, maka ia berharap bahwa semua ini nyata. Namun, jika ini adalah mimpi, ia berharap Shea tidak membangunkannya pagi ini.

"O-Okka?"

***

See you on next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
18 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro