38 - Claudia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku akan bertunangan."

Sendokku menggantung di udara ketika mendengarnya berucap demikian. Setidaknya untuk saat ini, tidak ada lagi yang lebih mengejutkan daripada itu. Aku bahkan baru bertemu lagi dengannya setelah dua minggu dan sudah mendapat kabar ini. Sekarang aku merasa seperti kehilangan cara untuk memberikan reaksi yang bagus untuknya.

"Dan untuk pernikahanku nanti, aku ingin kau menjadi maid in honor, Ava." Ah, lihatlah betapa dia sangat bahagia ketika mengumumkannya. Belum pernah aku melihatnya sebahagia ini, bahkan ketika dia berhasil menurunkan berat badannya sampai delapan kilogram. Pencapaian yang luar biasa, tetapi kurasa pernikahan seperti pencapaian seumur hidup untuknya.

Kupaksa kedua sudut bibirku untuk saling tarik-menarik, hingga akhirnya seulas senyum hadir di sana tanpa rasa terpaksa lagi. Aku bukan tidak ingin turut berbahagia untuknya, tetapi keterkejutan membuat bibirku kaku. Ekspresiku sudah tergambar jelas di mata. Aku baru sadar mata yang melotot ini lupa berkedip, sudah agak perih rasanya.

"Dengan siapa kau akan menikah?" Oke, itu hanya ledekan, sekadar untuk memastikan dia tidak mengganti prianya selama kami tidak banyak berkirim pesan.

"What the heck, Ava, memangnya aku sempat mengganti pria?" Dia mendengkus kesal. "Kau saja perlu waktu beberapa bulan sebelum menemukan pria baru."

Ah, dia mulai bicara tentang Alby. Aku harus mengalihkannya sebelum dia mengorek tentang liburan kami. Baru dipikirkan saja, darahku sudah berdesir.

"Hyunjoo! Aku benar-benar senang untukmu!" Walau aku belum benar-benar merasakannya, tetapi itu yang selalu diucapkan oleh seseorang ketika temannya menyampaikan kabar baik--jelas sekali ini menjadikanku bukan salah satunya.

Aku menggenggam erat tangan Hyunjoo di atas meja. Pelukan adalah hadiah yang lebih pantas daripada ini. Namun, aku tidak bisa melakukannya. Saat ini kami ada di rumah makan, dan di jam yang sibuk karena ada banyak pegawai yang sedang makan siang di sini. Salah satunya Hyunjoo, aku hanya menemani. Kalau aku beranjak dari kursi sekadar untuk memeluknya penuh haru, jelas sudah akan menjadi perhatian orang-orang.

"Janji kau bersedia kurepoti, Ava."

Aku tertawa ketika Hyunjoo mengacungkan telunjuknya ke arahku dan berputar-putar.

"Tentu. Hanya jika aku masih menganggur," gurauku, meski tidak bisa dibilang sebagai sesuatu yang lucu.

"Kau akan mendapatkan satu pekerjaan yang membuatmu nyaman, tapi waktunya bukan sekarang. Mungkin setelah aku menikah?"

Aku spontan memukul punggung tangannya tepat setelah aku berhenti menggenggamnya. Dia menyebalkan, tetapi aku tidak bisa meninggalkannya. Hyunjoo bisa sangat baik ketika aku memerlukannya, juga bisa sangat menyebalkan jika aku sedang dalam kondisi yang baik. Aku tidak perlu mencemaskan keputusannya untuk menikah, karena pria itu adalah Dave.

Dave sudah menyukainya sejak lama. Aku adalah saksi betapa perhatiannya pria itu pada Hyunjoo. Tidak akan ada yang percaya kalau dia bersikap demikian karena Hyunjoo adalah temannya. Maksudku, siapa yang akan rela meninggalkan acara makan malam keluarga hanya untuk menjemput Hyunjoo yang saat itu tertinggal dompet saat belanja di supermarket? Waktu itu Hyunjoo mengirim pesan ke grup kami berempat, tetapi aku dan Pete tidak bisa meninggalkan pekerjaan kami. Jadilah Dave yang menemuinya.

"Semoga saja. Lagi pula, aku cukup menikmati kesenggangan ini."

Hyunjoo tersenyum dengan bangganya. "Ya, kau tidak perlu berusaha terlalu keras. Kekasihmu tentu tidak akan membiarkanmu kesusahan, bukan?"

Ah, akhirnya pria itu dibicarakan juga. Meski Hyunjoo teman baikku, tetapi aku belum bisa menceritakan yang sebenarnya. Bukan karena aku terlalu patuh pada kesepakatan yang dirancang Alby, tetapi Hyunjoo akan menceramahiku dan mengutuk keputusan yang kuambil itu. Belum lagi, alasan aku setuju bekerja sama dengan Alby melibatkan utang Dad. Terlalu banyak yang harus diceritakan pada Hyunjoo agar dia mau mengerti.

Aku mendorong piring yang sudah kosong menjauh, agar gelas minumanku bisa berada lebih dekat dengan mulut. Aku menyesapnya beberapa tegukan dan tersenyum pada Hyunjoo.

"Tapi kau tahu aku cukup mandiri dan tidak suka meminta."

Hyunjoo merotasikan matanya dan itu membuatku terkekeh. "Takada salahnya meminta sesekali. Lagi pula, pria suka diandalkan oleh perempuan yang dicintainya."

"Oh, begitukah?" Aku baru tahu soal itu. Kupikir para pria hanya akan melakukannya atas inisiatif sendiri karena mencintai perempuan itu. Dan tidakkah mereka akan merasa risi jika perempuan itu berujung bergantung pada mereka?

"Iya. Lagi pula, uang Alby tidak akan habis untuk membelanjakanmu. Dia lebih kaya dari Jeff, 'kan?" Hyunjoo mencondongkan badan ke arahku dan matanya mengerling seiring alisnya yang naik turun.

"Tentu saja, game-nya diunduh lebih banyak dari penjualan majalah Jeff." Satu hal yang sulit kupercaya, aku mendukung Alby!

"Kau kehilangan satu emas, tapi mendapat satu berlian. Kau beruntung, Ava."

Hanya jika dia tahu kalau beruntung bukan kata yang tepat untuk situasiku. Urusan dengan Claudia saja belum selesai, tetapi aku mulai dihadapkan dengan urusan hati.

Maksudku, ya, aku mulai menyukai Alby dan ponsel yang sejak tadi tidak kusentuh itu berharap menerima pesan darinya.

🎶

Perilisan game untuk server Eropa makin dekat. Sebagai usaha untuk memperkenalkannya ke masyarakat, harus ada yang berangkat ke sana. Alby mungkin akan pergi dan aku akan tertinggal sendirian lagi seperti waktu itu. Seharusnya itu hal baik, tetapi aku mulai khawatir kalau Claudia juga ikut dengannya.

Sudah tiga jam sejak makan siang aku duduk di sofa ruangan Alby sembari memangku iPad. Hari ini cukup tenang, dia tidak banyak bicara dan aku berhasil menyelesaikan empat job. Paypal-ku membengkak ketika ada satu pelanggan yang membayar lebih--nyaris sepuluh kali lipat dan dia memesan dua poster. Baik sekali orang itu. Andai ada kesempatan bertemu aku akan mengucapkan banyak terima kasih.

Aku melepas stylus pen dan melakukan peregangan tangan sedikit. Lelah juga menggambar berjam-jam dan menyusun dengan tata letak yang tepat. Ya, namanya mencari uang, tidak ada yang mudah. Posisi sofa ini menghadap langsung ke meja Alby. Dalam posisi ini, aku bisa memandang wajahnya dengan leluasa. Terlebih lagi wajah serius dan pose duduknya di kursi tinggi itu tampak profesional. Ketampanannya pun meningkat berkali-kali lipat.

Bisakah aku berhenti memujinya?

Dia benar-benar sibuk. Ada dua telepon tanpa kabel di mejanya yang tidak berhenti berdering secara bergantian. Belum lagi dua layar komputer yang menyita konsentrasinya juga. Dia merespons semuanya seolah-olah aku takada di sini. Segala macam umpatan akan dia lontarkan jika sesuatu tidak bekerja sesuai harapannya. Namun, aku tidak peduli kalau ada sesuatu yang membuat Alby pusing atau semacamnya. Itu di luar tanggung jawabku.

"Apa masih lama?" tanyaku setelah menyadari kalau jam pulang kantornya sudah dua puluh menit yang lalu.

Aku mengubah posisi duduk jadi menyamping dan menyelonjorkan kaki di atas sofa, untuk menyamankan posisi tubuhku. Aku tidak peduli Alby akan protes. Lagi pula, aku tidak yakin seseorang akan masuk di jam-jam di mana semua orang seharusnya sudah pulang.

"Sebentar lagi," balasnya tanpa melihatku. Dia sesibuk itu, kurasa karena pekerjaan yang tertumpuk selama dua minggu lamanya.

"Aku punya hal lain yang bisa dikerjakan daripada hanya di sini dan menyaksikan kesibukanmu." Hanya itu yang kuinginkan; pulang. Aku menghela napas karena tahu permintaan yang satu itu tidak akan dikabulkan.

"Aku harus bertemu Claudia setelah ini."

"Oh, ada perlu apa? Bukankah urusan kalian sudah selesai tadi pagi?"

Akhirnya Alby melepas mouse komputer dan menatapku. Dia benar-benar bekerja ekstra dan wajah lelahnya sangat tidak enak dipandang; baru kusadari setelah memujinya yang tampak luar biasa saat terlalu fokus.

"Dia memintaku bertemu."

Aku langsung menegakkan tubuh dan kembali duduk dengan benar. Aku lantas teringat akan rencana Claudia yang ingin menemui Alby dan mengusahakan semuanya. Itu artinya, aku tidak perlu ikut.

"Kurasa dia tidak berharap aku datang juga."

Alby mengernyit, mungkin obrolan ini cukup menarik untuknya. Kalau tidak, untuk apa dia beranjak dari singgasananya dan menghampiriku? Dia juga duduk di sebuah sofa single di sisi kiri sofa ini.

"Kenapa? Apa masih ada yang belum kauceritakan tentang dia?" Tiap katanya penuh penekanan, seolah-olah sedang menuntutku untuk menjawab.

"Tidak ada lagi. Tapi kalau dia tidak ada urusan lain yang perlu kalian bahas bersama, bukankah itu berarti dia mau membicarakan sesuatu yang cukup privasi denganmu. Apa pantas kalau aku ikut dengan kalian?"

Alby mencondongkan badan dan sikunya bertumpu di paha. Dia menatapku lamat-lamat, kemudian berkata, "Justru aku tidak ingin itu terjadi secepat ini, Ava. Aku tidak akan membuat itu terlalu mudah untuknya. Dia mengakui perasaannya lalu apa? Aku bahkan tidak tahu bagaimana menyikapi situasi itu. Dia harus memohon dulu sebelum kuputuskan apa yang akan kulakukan padanya."

"Aku makin tidak mengerti permainan ini. Kukira sudah selesai jika dia mengakui kalau masih mencintaimu." Punggungku terempas ke sandaran sofa dan napasku berembus diiringi suara desahan pasrah.

"Aku akan jadi pria kurang ajar jika pergi menemui mantan kekasihnya tanpa membawa kekasihnya yang sekarang."

Oh, benar juga.

Aku pun bimbang dengan diriku sendiri. Setelah yakin bahwa aku menyukai Alby, ada rasa tidak rela kalau kesepakatan kami akan berakhir. Mungkin dengan kehadiranku saat menemui Claudia nanti akan mengulur waktu. Aku bukannya takut akan berpisah dengan Alby, tetapi aku mendapat keluarga saat bersamanya. Ada Paula yang penuh perhatian, Susan yang penuh kasih sayang, dan Albert yang meski diam, tetapi sangat peduli. Aku seperti menemukan potongan puzzle yang hilang saat bersama mereka.

Namun, aku juga bodoh jika terus terjerumus dalam permainannya. Sudah tahu Alby tidak akan menyukai wanita lain selain Claudia--tidak, maksudku, mungkin suatu saat ia akan jatuh cinta lagi, tetapi orang itu jelas bukan aku. Kami sangat berbeda dalam semua aspek. Satu-satunya kesamaan kami hanya ditinggal sang kekasih.

"Kau melakukannya lagi." Suaranya membuyarkan pikiranku.

"Apa?" Selain aku tidak tahu apa yang dimaksudnya, sejak tadi bahkan aku hanya diam.

"You were spacing out. Kau tahu, aku ada di sini. Ceritakan apa saja padaku. Aku masih kekasihmu, jangan lupakan itu."

Alisku terangkat pada pengakuan terakhirnya. Dia berhasil membuat telingaku dipenuhi oleh suara detak jantung. Lama-lama menimbulkan dengung, hingga akhirnya aku tidak bisa mendengar suara apa pun di sekitarku. Aku berusaha membuat diriku kembali rileks agar ketika dia bicara lagi, aku bisa fokus dan tidak salah merespons. Apakah menyukai seseorang seribet ini?

Namun, kondisiku jantungku makin memburuk ketika dia berpindah menjadi duduk di sebelahku, nyaris tak berjarak seandainya aku tidak bergeser. Sofa ini tidak terlalu panjang dan hanya cukup untuk dua orang.

"Kukira status itu berakhir setelah kita kembali dari Santorini," kataku setelah berhasil menyelamatkan diri sebelum menjadi orang linglung.

"Kesepakatan itu bisa berubah, Ava."

"Dan perubahannya harus disepakati bersama. Kita bahkan tidak pernah membicarakannya. Kau selalu memutuskan sendirian. Seolah-olah aku tidak memiliki peran apa-apa dalam permainanmu."

Belum lagi risiko yang kudapatkan karena terus berada di sekitarnya. Itu hanya sebagian uneg-unegku. Takkan pernah kubiarkan dia tahu kalau aku mulai tertarik padanya. Dia akan besar kepala dan bukan tidak mungkin akan memanfaatkan perasaanku.

"Karena aku tahu kau akan menolak. Jadi kuputuskan sendirian."

Alby beranjak dari sofa setelahnya. Tepatnya ketika ponsel yang dia tinggalkan di atas meja kerjanya bergetar. Dia bicara dengan seseorang di seberang ponsel sambil menatapku dengan tatapan tajamnya. Aku tidak tahu apa maksudnya melakukan itu, tetapi berhasil membuatku merasa tidak nyaman. Oh, dan apakah suhunya naik? Aku mulai merasa gerah karena tatapannya.

"Claudia sudah memberi tahu akan bertemu di mana."

Jadi si penelepon adalah Claudia.

"Aku sungguh harus ikut? Memangnya kau tidak ingin hanya mengobrol berdua dengannya? Mungkin kau akan mendengarkan pengakuannya." Wajah yang tidak terlalu cantik ini mungkin tampak memelas, hanya agar dia membiarkanku pulang.

Alih-alih mengiakan, Alby justru mengulurkan tangan ke arahku. "Sebentar saja. Aku juga tidak mampu menatapnya lama-lama."

🎶

Mobil Alby berhenti di parkiran sebuah rumah makan berkelas di sudut kota. Satu lagi lokasi mewah yang kudatangi dengannya. Kurasa Claudia memang merencanakan sesuatu dan ingin membuat semuanya tampak spesial. Karena untuk berdiskusi, rasanya lebih nyaman di kafe atau kedai kopi.

Lagi-lagi kami berselisih dengan pelanggan yang berpakaian mewah--kalian tahu, gaun-gaun berkilau atau tuksedo yang disetrika dengan sangat rapi, semua orang berada di tempat ini untuk makan malam yang formal. Aku melirik diriku sendiri yang terlalu santai untuk berada di sini; hanya mengenakan sepotong jeans dan atasan kaus yang dilapisi jaket. Namun, aku tidak benar-benar minder karena Alby juga tidak cukup formal untuk berada di sini; hanya setelan kemeja dan celana jeans.

Alby terus menggandeng tanganku sepanjang memasuki rumah makan. Dia bilang, "Kita tidak akan tahu kapan akan menemui Claudia, akan lebih baik kalau kita sudah bersikap sebagaimana mestinya."

Aku mulai suka berada dalam genggaman tangannya, tetapi tidak bisa benar-benar menikmati sentuhannya karena tahu dia melakukan ini untuk Claudia, bukan karena unsur kesengajaan.

"Mungkin kau bisa bertanya dia duduk di mana," ucapku ketika kami tiba di depan penjaga yang biasa menahan pelanggan agar melepas mantel atau jaketnya. Dan aku salah satu yang menitipkan jaket kulitku di sini, hingga membuat penampilanku makin terlalu santai.

"Dia sudah memberi tahuku untuk mencari meja nomor tujuh," balas Alby sembari menyapukan pandangan pada seisi rumah makan.

Aku melihat Claudia lebih dulu, di depan sebuah ruangan yang di pintunya terdapat angka tujuh. Oh, dia bahkan memesan ruang VIP. Aku melihatnya sedang berdiri diam di sana dengan anggun seperti biasa, tetapi dia tidak menyadari kalau kami sudah berada di sini.

"Nomor ruangannya yang tujuh, bukan mejanya."

Kali ini berbalik, aku yang menarik tangan Alby. Karena Claudia akan melihat kami, aku harus berperan sebagai kekasih Alby dengan baik. Oh, lagi pula, aku memang masih kekasihnya.

"Kalian datang." Suara Claudia yang lembut menyapa telinga dengan sopan. Dia benar-benar sangat cantik sekarang. Rambut pendeknya pun ditata sangat rapi dan ada jepit bunga kecil di sisi kanan. Aku tidak harus membandingkan diriku dengannya, 'kan? "Ayo, masuk." Dia mengajak kami memasuki ruangan di belakangnya.

Ketika aku akan masuk, Claudia juga melakukannya. Kami bertemu di ambang pintu dan meski wajahnya tersenyum, aku bisa merasakan kalau kehadiranku tidak benar-benar diharapkannya. Dia mungkin kecewa melihatku ada di sini. Sudah berdandan cantik untuk menarik perhatian Alby, tetapi aku mengacaukan rencananya. Hanya dugaanku, karena jika dipikirkan lagi, untuk apa seseorang mengajak mantan kekasih bertemu dan menampilkan sisi terbaiknya jika bukan untuk kembali?

Tahu apa yang kurasakan? Aku tidak peduli, sungguh. Mungkin semua ini bertujuan untuk mengembalikan hubungan mereka, tetapi di hidupku, pemeran utamanya adalah aku. Aku bisa melakukan apa pun yang kumau dan karena Alby yang memintaku ada di sini, aku akan mencoba untuk menikmatinya.

Ah, tetapi sepertinya aku terlalu baik, karena di situasi seperti ini aku masih tidak bisa tidak memikirkan Claudia. Wanita itu tampak sedang menyimpan sesuatu untuk dikatakan pada Alby, hanya berdua.

Claudia melangkah lebih dulu dan mengambil duduk di seberang Alby. Aku bisa melihat betapa memujanya tatapan Alby saat memandang Claudia. Dan entah bagaimana mereka tampak serasi di mataku, aku sampai mengira akan merusak pemandangan jika bergabung ke sana. Namun, Alby sudah menarik kursi untukku dan menunggu aku segera menempatinya. Dia menatapku setelah puas memandang Claudia.

"Kamar kecil di sebelah mana?"

Dan setelah kupikirkan lagi, kurasa aku perlu ke sana untuk menjernihkan pikiran, sekaligus memberi waktu untuk mereka bicara.

***

Maafkan aku baru update. Bab selanjutnya akan kutulis segera.
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
14 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro