43 - Hate and Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf, mungkin apa yang kulakukan semalam sangat keterlaluan, tetapi aku melakukannya bukan karena memikirkan Claudia.
Soal cemburu, itu serius. Aku tidak tahan melihatmu tertawa bersama pria lain.
Sekali lagi, maaf.

Selain sepotong kertas dengan tulisan tangan yang jauh lebih bagus dariku, Alby juga meninggalkan setangkai bunga mawar merah kecil di atas nampan. Rupanya pria itu menjadi baik setelah melihatku menangis. Lihat saja apa yang memenuhi nakas saat ini; sepiring omelet dan segelas susu cokelat. Ini adalah hal termanis yang pernah orang lain lakukan untukku meski aku benci mengakuinya.

Kuperhatikan kasur Alby yang berantakan. Siapa pun yang melihatnya akan mengira kami baru saja melakukan aktivitas ranjang. Well, itu nyaris terjadi seandainya dia tidak mengatakan sesuatu yang memancing keluar sisi emosionalku. Aku menikmatinya meski tahu itu tidak benar. Baguslah itu tidak terjadi, karena sudah pasti aku akan jauh lebih menyesal daripada sekarang.

Jam di nakas sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Alby pasti sudah berangkat dan aku bisa beraktivitas dengan leluasa di tempat ini. Setelah tadi malam, aku tidak yakin akan tahan memandang wajahnya. Hatiku nyeri meski baru mengingatnya. Aku meraih kertas pesan dari Alby dan meremasnya, disusul mematahkan setangkai mawar di sebelahnya sebelum kulemparkan ke bak sampah; kekesalanku berhasil terlampiaskan sedikit.

Aku menuju kamar mandi, tanpa sempat menyentuh omelet dan susu cokelat yang Alby sajikan untukku. Aku sama sekali tidak bernafsu untuk menyantapnya meski perutku sangat lapar. Dia pikir aku semudah itu, berhasil dirayu hanya dengan setangkai mawar? Nyaris, tetapi aku tidak bisa melupakan yang tadi malam. Aku berusaha untuk membencinya meski di sisi lain juga tersanjung oleh permintaan maafnya.

Perutku bergejolak saat menemukan beberapa ruam kemerahan di sekitar leher. Aku melihat semuanya melalui cermin. Meski membenci bagaimana itu tercipta di sana, tetapi aku tidak munafik kalau menikmatinya. Kesadaranku berhasil direnggut dengan sentuhannya dan aku masih mengingat dengan jelas bagaimana rasanya. Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang senang sekali melakukannya.

Namun, aku tidak bisa pergi ke mana-mana jika tidak memakai foundation atau menutupi leher dengan baju berkerah turtleneck. Walau aku tahu orang-orang mungkin tidak akan peduli dengan penampilanku, tetapi aku peduli dengan bagaimana cara mereka menatapku. Bagian terburuknya adalah, aku tidak membawa satu baju yang seperti itu. Lagi pula, ini musim panas, mana mau aku memakai baju dengan kerah setinggi itu. Soal foundation, aku juga tidak memilikinya. Aku malas membersihkannya ketika sudah menempel di wajah.

Ya ... kuharap ini bisa memudar dengan cepat.

Setelah menghabiskan waktu dua puluh menit, aku sudah membalut tubuhku dengan jubah mandi dan handuk melilit di kepala. Aku keluar dari kamar mandi dan merasa sangat segar. Berendam di bathtub sebentar sudah berhasil mendinginkan kepalaku.

Sayangnya, hal tidak terduga berhasil mengejutkanku. Aku baru memasuki ruang penyimpanan Alby dan sudah dikejutkan oleh keberadaan Paula. Wanita itu sedang membelakangiku dan tampak sibuk mencari-cari sesuatu di antara tumpukan bajuku. Yang kutahu, Paula memiliki kamar sendiri di penthouse ini dan akan sangat lucu kalau maid yang biasa bersih-bersih bisa salah meletakkan pakaian Paula di kamar Alby.

"Aku tidak menemukan baju yang jauh lebih feminin di sini." Tentu saja Paula bicara padaku. Dia bisa melihatku melalui pantulan cermin di hadapannya.

"Untuk apa? Apa rok belum cukup feminin?" balasku sembari melangkah mendekatinya. Pakaianku benar-benar sudah tidak lagi berada di tempat yang seharusnya.

Paula berbalik hingga berhadapan denganku. Wanita yang mulai memiliki kerutan di daerah mata itu mencebik. "Sekarang aku tahu dari mana Alby mendapat ide untuk mengisi distronya. Pertama hanya menjual baju untuk pria, tetapi akhir-akhir ini dia juga meminta bantuanku untuk menambahkan baju wanita."

"Um, aku tidak mengerti." Ya, selain tidak tahu kenapa dia sampai membongkar barang-barangku, aku tambah tidak mengerti lagi kenapa dia mengaitkannya dengan distro milik Alby.

"Edgy style. Hanya kau satu-satunya wanita yang berpenampilan seperti selain mantan-mantan kekasihnya. Kau menampilkan sisi feminin yang berani dan keren. Itulah kenapa aku sangat mencintai seleramu. Alby baru-baru ini memesan jaket wanita berbahan kulit dan denim, lalu ankle boot. Dia bahkan tidak peduli semua itu akan laku atau tidak, tapi aku yakin dia terinspirasi darimu."

Aku tersenyum, dengan terpaksa lebih tepatnya. Aku akan melukai perasaan Paula jika tidak membalas senyumannya.

"Aku baru tahu," balasku. Kukira aku tidak akan senang jika benar aku menginspirasi, tetapi entahlah, jantungku berdebar sekarang. Bukankah itu berarti Alby sempat memikirkanku?

Tidak. Ini bukan waktunya untuk tiba-tiba berubah pikiran dan memaafkan apa yang pria itu perbuat padamu, Ava. Keberadaanmu hanya untuk keperluan misinya, bukan untuk yang lain-lain. Dia tidak peduli padamu. Oh, lagi pula Alby memang sudah berencana menjual baju-baju dengan gaya itu sebelum bertemu denganku—aku ingat saat mendesain poster untuk promosi distronya.

"Hei, Ava, sepertinya kalian benar-benar bersenang-senang, ya, semalam?" Paula tersenyum dengan maksud tersembunyi dan menaikturunkan alisnya. Sekali lagi dia membuatku harus mengernyit kebingungan.

"Apa?"

Paula meraih jubah mandiku dan menurunkan bagian depannya hingga bagian bahwa tulang selangkaku terlihat jelas. "Kurasa ini menjawab kenapa kasur Alby sangat berantakan. Dia benar-benar menyebar tanda kepemilikan di tubuhmu, ya."

Aku tidak bisa lagi menahan mataku agar tidak melotot. Wajahku bahkan terasa panas dan aku yakin pasti sudah sangat merah sekarang. Bagaimana bisa aku lupa kalau Paula bisa menemukan ruam kemerahan itu dengan penampilanku yang seperti ini? Terlebih lagi, dia sangat suka menggodaku. Sekarang, ingin menjelaskan yang sebenarnya pun percuma.

"Alby adalah adikku terkadang aku bertanya-tanya sehebat apa dia, tetapi aku tidak yakin akan sanggup mendengar detailnya. Itu akan seperti membayangkan dia sedang telanjang." Paula benar-benar tidak bisa menahan apa pun yang ada di pikirannya. Aku sampai dibuat kaget berkali-kali pada kefrontalannya. Bahkan aku tidak bisa bereaksi apa-apa selain tertawa hambar.

"Bisa kita lewatkan bagian itu? Aku hanya ingin tahu kenapa kau membongkar pakaianku tadi. Dan aku akan memerlukan bantuanmu untuk menyembunyikan mahakarya saudaramu ini."

🎶

Semenjak mengenal Paula, kurasa dia menganggapku sebagai boneka. Tunggu, mungkin manekin lebih cocok karena boneka terlalu cantik. Dia suka sekali meriasku, memakaikanku dengan pakaian-pakaian yang cantik pula. Namun, kurasa aku tidak cukup merasa nyaman dengan yang kukenakan saat ini. Gaun selutut dengan bagian punggung terbuka dan belahan dada yang rendah. Paula bekerja sangat keras untuk menutupi ruam di leher dan sekitar dadaku dengan foundation. Padahal kami hanya akan makan siang bersama sambil menonton balapan kuda.

Sayang sekali, aku tidak punya alasan untuk menolak. Aku terlalu peduli pada perasaan Paula. Meski saudaranya sangat kurang ajar, tetapi aku tidak bisa melampiaskannya pada Paula. Wanita itu tidak bersalah.

"Hai, Mom." Paula beranjak dari kursi dan segera menghampiri Susan yang tinggal beberapa langkah lagi sebelum tiba di meja yang kami tempati.

Aku dan Paula sudah berada di resto VIP sepuluh menit yang lalu. Lagi-lagi aku harus berada di tempat di mana seharusnya aku tidak datang. Aku tidak bisa berhenti merasa takjub pada gaya hidup pengunjung lain. Bahkan saat ini kami menempati meja yang langsung menghadap lintasan yang akan dilalui kuda-kuda itu nanti.

"Paula, kapan datang? Kemarin kau bilang masih di LA."

"Tadi malam, Mom. Aku tidak bisa melewatkan yang satu ini. Apalagi anggota keluarga baru kita juga datang."

Paula menyentuh lenganku dan itu membuat Susan jadi beralih menatapku. Aku tersenyum dan menempelkan pipiku ketika dia sudah merentangkan tangan untuk meraihku.

"Kau cantik sekali, Ava."

"Terima kasih, Susan, putrimu layak mendapat apresiasi untuk penampilanku."

Aku menatap Paula dan dia segera mengayunkan tangannya seperti mengisyaratkan bahwa itu bukan sesuatu yang besar. Aku bisa mengerti karena mungkin dia sudah terbiasa melakukannya.

"Aku punya relasi kalau kau masih mau berkarier, Ava. Aku bisa merekomendasikanmu pada mereka."

Kami sudah menempati kursi di meja ini saat Susan memulai topik itu.

"Terima kasih, Susan. Aku akan menghubungimu jika memerlukannya. Untuk saat ini, menjadi freelancer sudah cukup untukku. Lagi pula, ada banyak pesanan yang belum kuselesaikan."

Tentu saja aku mengarangnya. Walau sangat memerlukan pekerjaan, tetapi aku tidak bisa menerima tawarannya. Aku akan merasa sangat bersalah setelah kesepakatanku dengan Alby berakhir nanti. Kupikir itu yang akan kurasakan setelah meninggalkan seseorang yang sudah sangat baik padaku. Lebih tepatnya, mungkin aku tidak akan sanggup menemui keluarga ini setelah semuanya berakhir.

"Tentu, kau bisa menghubungiku kapan saja."

Kami mengobrol sebentar selagi menunggu dua pria yang sudah memberi tahu kalau akan datang terlambat karena rapat masih berlangsung. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi Alby, bahkan aku ingin tidak bicara dengannya kalau bisa. Karena memikirkan itu, Paula sampai tiga kali menegurku yang tidak sadar sudah melamun.

Aku membenci Alby sebesar aku menyukainya. Sungguh. Perasaan seperti ini sangatlah menyebalkan. Kenapa perasaan itu justru kurasakan pada seorang pria yang jelas-jelas akan menyakitiku? Kenapa dulu aku tidak bisa menyukai Jeff yang luar biasa perhatian padaku, atau pada Pete yang tidak pernah absen untuk membantuku?

Sekali lagi, kenapa harus Alby?

Dan selagi aku mempertanyakannya, pria itu datang, sendirian. Tidak bersama sang ayah yang sedang rapat bersamanya.

"Dad memintaku pergi lebih dulu karena dia masih ingin mengobrol dengan satu investor dari Arab." Belum ada yang bertanya, tetapi Alby sudah lebih dulu memberi tahu mereka.

Kami duduk bersebelahan dengan kecanggungan yang menyelimuti. Aku berusaha bersikap tenang, tetapi Paula mungkin terlalu peka karena menyadari kalau kami sedang tidak baik-baik saja. Apalagi aku tidak mengatakan apa-apa lagi selain Alby menanyakan bagaimana pagiku.

Akhirnya Paula mengajak Susan pergi. Kurasa dia sedang memberi waktu untuk kami mengobrol berdua saja. Ini buruk karena keinginanku untuk pergi dari tempat ini sangatlah besar.

"Jadi, kau masih marah padaku." Bahkan dari nada bicaranya, pria ini sama sekali tidak merasa bersalah.

"Aku tidak ingin bicara padamu."

Alby berdeham pelan. Aku tidak tahu itu berarti sesuatu atau kerongkongannya memang sedang serak. "Kau membuatku seperti sudah memaksamu melakukannya padahal kau memang menikmatinya."

Kuhirup napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya dengan cepat melalui mulut. Desahan panjang tercipta karenanya. Kulakukan itu demi membuat diriku tetap tenang karena apa yang terlontar dari mulutnya sejak tadi benar-benar membuatku kecewa sekaligus marah.

"Ya. Kuakui aku memang menikmatinya. Terima kasih sudah memperkenalkan perasaan itu padaku, Alby." Aku menghela napas lagi sebelum kembali melanjutkan, "Tapi aku tidak terima kaujadikan pelampiasan untuk rasa rindumu pada Claudia. Aku bisa membantumu agar bisa kembali padanya, Alby. Sungguh."

Cukup lama aku menunggu Alby bicara lagi. Entah apa yang pria itu pikirkan saat ini, tetapi aku bisa merasakan tatapannya tidak beralih dariku sejak tadi. Sedangkan aku tidak tahan menatapnya lebih dari tiga detik dan sudah mengedarkan pandanganku ke sana kemari sejak tadi.

"Aku mulai tertarik padamu."

Aku tertawa miris. "Selagi kau masih melanjutkan sandiwara dan misi balas dendam ini, aku tidak akan bisa percaya pada pengakuanmu."

Semakin aku ingin percaya, semakin sakit pula rasanya.

"Misi itu untuk balas dendam, Ava."

"Tapi kau masih mengingatnya bahkan saat hanya ada aku di hadapanmu. I'm out of your league, Alby. Aku tidak bisa menyetarai mantan-mantan kekasihmu."

Lagi-lagi membandingkan diriku dengan mereka. Aku hanya ingin memastikan kalau Alby bukan sedang berusaha membuatku memaklumi perbuatannya semalam. Walau aku yakin hanya itu yang mungkin terjadi.

"Berhenti merendahkan dirimu sendiri. Kau harus tahu seindah apa dirimu. Beri aku waktu, mungkin aku akan jatuh cinta padamu suatu saat nanti." Alby berusaha meraih tanganku, tetapi aku menepisnya.

"Kaupikir aku menginginkan itu?" Bohong. Aku sudah sangat menyukai Alby dan tentu saja aku ingin tahu bagaimana disukai oleh pria sepertinya. Aku ingin tahu, seperti Alby dengan sisi penyayangnya; dan aku penasaran bagaimana diperlakukan seperti dia memperlakukan Claudia.

"Apa kau tidak sedikit pun merasakan itu saat bersamaku?"

Pertanyaan itu seperti bumerang untukku. Mudah saja berbohong lagi dan berkata tidak. Sayangnya, lidahku kelu. Aku tidak ingin mengakuinya, tetapi juga tidak mampu mengelak. Ada jeda yang lumayan panjang sebelum akhirnya aku mampu menjawabnya.

"Sulit untuk menyukai pria egois sepertimu."

Awalnya kukira begitu, tetapi aku justru mulai merasakannya di saat dia menempelkan bibirnya ke milikku untuk kali pertama. Aku tidak tahu akan menginginkannya sebelum itu terjadi. Dan sentuhannya menjadi candu. Namun, dia juga yang mematahkanku.

"Apa ada cara agar kau mau memaafkanku?"

Ini kesempatan bagus untukku, bukan?

"Akhiri semuanya. Dan aku akan mengganti uangmu yang terpakai untuk membayar utang ayahku." Aku bisa mengatakan itu dengan lantang, tetapi keraguan menyelimutiku. Bahkan hatiku bertanya-tanya, apakah aku memang sudah siap berpisah dengan Alby?

Sekarang aku memberanikan diri untuk menatap Alby. Namun, apa yang kulihat? Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya.

"Aku akan mencari cara lain agar kau berubah pikiran dan memaafkanku tanpa harus mengakhiri kesepakatan kita." Alby mengatakannya dengan tegas, tidak menerima bantahan. Namun, bukan berarti aku akan langsung terpesona karena usahanya untuk mempertahankanku.

"Kau benar-benar senang menyiksaku, ya?"

"Tidak. Tapi aku tidak ingin uangku terbuang percuma. Mulai besok, kita akan atur strategi lagi untuk permainan ini."

Oh, Ava, mari kita lupakan perasaan menyebalkan itu dan kembali membenci Alby sebesar yang kaurasakan padanya dulu.

*

*

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
15 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro