5 - The Contract

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🎶
Ya. Kontrak ini adalah jebakannya, tetapi aku tidak akan terperangkap semudah itu.
🎶

Aku baru keluar kamar ketika kutemukan Nate mengunci pintu di belakangnya. Kemeja yang tadi pagi tampak sangat rapi, kini bagian depannya sudah mencuat keluar dari lingkar pinggang celana. Rambut yang tadi pagi sempat dipoles dengan pomade pun sudah berantakan dan kering. Kupikir dia sudah bekerja keras hari ini. Entah brainstorming macam apa yang membuatnya sampai sekacau itu.

Alby tidak berbohong saat mengatakan bahwa dia meloloskan Nate. Bukan tidak mungkin dia akan memanfaatkan Nate demi meloloskan rencana konyolnya. Ternyata, dia menempati posisi paling berpengaruh di perusahaan; seorang produser game, bahkan Nate mengaku kagum dengan otak cerdasnya. Beberapa game dari perusahaannya sering dimainkan Nate. Padahal kupikir pria sepertinya terlalu modis untuk menjadi seseorang yang bekerja di balik layar. Aku sempat mengira kalau dia juga seorang model seperti Claudia. Porsi tubuhnya sangat pas, dia akan sangat bagus berjalan di panggung catwalk.

"Aku menemukan ini di depan pintu," ujar Nate sembari meletakkan sebuah tas karton berwarna merah muda yang lumayan besar ke atas meja makan.

"Dari siapa?"

"Belum kuperiksa," sahutnya, lalu berjalan menuju kulkas sembari melepas kancing lengan kemejanya sebelum digulung sampai siku. Nate sama sepertiku, tidak tahan memakai kemeja panjang tanpa berakhir menggulungnya sampai siku-satu-satunya kesamaan kami, kurasa.

Aku mendekati meja makan sembari menebak-nebak apa isinya. Siapa pun pengirimnya, pasti tidak mengenalku dengan baik. Pink is not my thing. Dan aku tidak benar-benar menyesal sudah mengabaikan paket itu kedinginan di luar.

"Aku tidak tahu ada seseorang yang mengantarkan ini."

"Mendekam seharian di kamar yang baru didekor ulang dan menyetel EDM dengan volume penuh, aku tidak heran kalau suara bel tidak terdengar." Nate mungkin mengatakan sebuah fakta, tetapi tidak terdengar seperti itu untukku. Aku memutar kedua bola mata diiringi decakan kesal karena tersindir oleh ucapannya. Dia hafal sekali dengan kebiasaanku.

Nate semakin menyebalkan dari hari ke hari, semakin tidak punya waktu untukku, dan ponsel pintar itu tidak pernah lepas dari tangannya-seperti ada lem yang menyatukan keduanya. Padahal dia hanya di rumah, dan keluar jika diperlukan, salah satunya ketika diminta untuk brainstorming di kantor seperti tadi. Ah, membuatku iri saja. Kapan aku mendapat pekerjaan? Mungkin Jeff juga sudah mengutukku menjadi pengangguran saking dendamnya.

"Hm. Ini undangan." Aku mengeluarkan selembar amplop merah muda berkilau yang tebal. Pikiranku langsung tertuju pada Jeff dan Claudia, sudah pasti ini dari mereka. "Dan ... gaun?" lanjutku sembari mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Aku segera membukanya dan mengeluarkan selembar kertas dengan tulisan komputer di sana.

Aku membelikan ini untukmu beberapa waktu lalu, tapi belum sempat kuberikan karena kita telanjur berakhir. Kuharap kau berkenan mengenakannya di acara kami.

Kuraih amplop undangan tadi untuk memastikan bahwa nama yang tertera di sana memang nama Jeff dan Claudia. "Ini dari Jeff." Benar. Aku meletakkan kembali amplop tersebut dengan agak membantingnya ke atas meja. Kukira dia tidak serius mengundangku waktu itu.

Dan lagi, atas dasar apa pria ini memberi hadiah untuk mantan kekasihnya? Kenapa tidak dilimpahkan pada calon tunangannya? Porsi tubuhku dan Claudia tidak berbeda jauh, dia hanya terlihat lebih berisi di beberapa bagian-sesuatu yang menyadarkanku tentang betapa tipisnya tubuhku, tetapi bukan tidak mungkin jika ukuranku tidak pas untuknya.

"Wow, dia masih ingat kau." Nate berkata setelah menghabiskan sekaleng kola dan melempar bekasnya ke bak sampah.

"Dia gila, memintaku memakai ini untuk menghadiri acara pertunangannya. Memangnya aku sudi unjuk muka di sana?"

"Kalau tidak datang justru dikira patah hati dan tidak ingin melihatnya lebih bahagia."

Aku mendelik kesal pada Nate yang berjalan menuju sofa di sisi lain ruangan; sofa yang menghadap TV. Ruang menonton dan ruang makan sekaligus dapur memang jadi satu di ruangan yang panjang. Ruang menonton ada di sisi kanan jika dilihat dari ruang tamu. Apartemen ini bisa dibilang sempit, tetapi lebih dari cukup untuk kami tinggali berdua.

"Aku justru mempermalukan diriku sendiri jika datang tanpa Alby." Aku mendengkuskan tawa remeh-temeh. "Dia akan pamer lagi."

"Kalau begitu ajak dia pergi. Dari ceritamu kemarin, dia pasti perlu pasangan untuk datang ke sana." Nate tersenyum jenaka, seperti hal itu adalah sesuatu yang sangat menghibur.

Aku sudah menolak Alby dua kali, kalau tiba-tiba kuminta dia untuk datang bersamaku, rasanya akan seperti menjilat ludahku sendiri. Menjijikkan.

"Tidak." Aku berucap lugas, tak terbantahkan. "Itu hanya akan menguntungkannya. Aku tidak mendapat apa-apa jika membantunya."

"Terserah. Kau rugi karena menyia-nyiakan pria seperti Alby untuk dipamerkan."

Untuk dipamerkan. Membohongi orang-orang takada bedanya dengan membohongi diri sendiri. Maksudku, aku harus berpura-pura suka, meski sebenarnya tidak. Aku harus mengiakan, meski kenyataannya tidak. Aku tidak bisa memaksa diri untuk menerima sesuatu yang tidak kuinginkan. Berpura-pura itu melelahkan.

Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya sampai sekarang. Bagaimana bisa dia kembali pada Claudia dengan menjadikan aku sebagai pasangannya?

🎶

Ponselku berdering sangat nyaring, sampai aku mengerang karena tidur siangku yang tidak nikmat-tetapi berhasil memberi sedikit tenaga sebelum aku kembali berkutat dengan desain poster-terganggu. Aku langsung menegakkan badan di sofa, karena tadi tertidur dalam posisi bersila dengan laptop di pangkuan dengan kepala mendongak; tengkukku bertumpu pada puncak sandaran sofa. Sekarang leherku terasa nyeri, telapak tenganku mendarat di sana dan aku menelengkan kepala pelan-pelan agar urat-uratnya jadi lebih rileks.

Kemudian ponselku berdering lagi, dalam hati aku mengumpat kesal. Dengan ogah-ogahan tanganku terulur untuk meraih ponsel di atas meja. Namun, karena jaraknya cukup jauh, aku harus mencondongkan badan, dan satu tanganku menahan laptop agar tidak mendarat ke lantai. Demi apa pun, laptop ini adalah aset paling berharga.

Ternyata hanya telepon dari Jeffrey. Aku menyesal sudah repot-repot menghiraukannya. Sayangnya, aku tidak kekanakan untuk memblokir nomor dan memutus komunikasi dengannya. Aku bisa saja memerlukan sedikit bantuannya, atau sebaliknya, suatu saat nanti.

"Aku mengutukmu karena sudah mengganggu tidurku, Jeffrey!" ketusku tepat setelah telepon terhubung.

Sial, dia tertawa puas sekali di seberang sana. "Maaf, maaf, aku hanya ingin memastikan kalau paketnya sudah kauterima."

"Kuterima tanpa cacat. Lalu?"

"Acara minggu depan, kuharap kau datang, dengan pria yang kemarin."

Napasku menghangat karena kesal. Memang apa untungnya memamerkan kemesraan padaku?

"Kinda busy at that time."

"Sayang sekali. Padahal orang-orang kantor akan datang, mereka pasti bertanya-tanya kenapa kau tidak ada di sana. Mereka akan memercayai rumor itu."

Rumor bahwa aku patah hati dan tidak senang melihat Jeff bahagia bersama yang lain. Ancaman yang konyol, memangnya aku akan peduli apa kata orang-orang?

"Dengar, Jeff, terserah mereka akan menganggap aku seperti apa. Manusia akan terus membicarakan manusia lainnya, tapi aku tidak harus menanggapi opini mereka satu per satu. I have more important things to do."

Helaan napas Jeff terdengar olehku. Aku bisa membayangkan dia sedang mengangguk sekarang. Jeff selalu begitu, ada saatnya dia berusaha meresapi apa yang kukatakan padanya. Pria sepertinya terkadang perlu didampingi seseorang yang berpikiran lebih dewasa. Aku bukan menganggap diriku demikian, tetapi pernah berusaha untuk menyadarkannya. Memangnya dari siapa lagi dia akan mendapat semua itu selain orang-orang terdekatnya? Orangtuanya? Mereka terlalu sibuk mengurus bisnis overseas.

"Kau tidak berubah." Kurotasikan mataku kala menerima pujian itu darinya-kuanggap seperti itu karena intonasi bicaranya yang rendah. "Tapi aku tetap mengharapkanmu untuk datang."

"Untuk ap-"

Sial. Dia dengan sangat tidak sopan langsung memutus sambungan telepon, mengakibatkan benda tak berdosa itu terbanting di sofa sebelahku; pelampiasan kesal. Parahnya, aku masih membiarkan Jeff dapat menghubungiku sesuka hatinya. Itu membuktikan kalau dia lebih membutuhkan aku daripada aku membutuhkan dirinya; walau aku tidak tahu atas dasar apa spekulasi ini muncul.

Ponselku berdering lagi dan kali ini aku tidak mengerang kesal seperti tadi. Sebuah nomor tidak dikenal. Biasanya, ini dari pelanggan yang menemukan akunku di situs freelance. Uang tidak boleh ditolak, aku segera menggeser ikon telepon hijau dan telepon pun tersambung.

"Halo? Dengan Ava Clairine di sini."

"Halo, Ms. Clairine. Aku Jacob Sanders dari brand distro baru, Aleo. Aku menemukan portofoliomu dan tertarik dibuatkan desain untuk promosi. Tapi aku perlu bicara langsung terkait konten dari brosur tersebut. Bisa bertemu hari ini?"

Senyumku terkembang kemudian. Meski bukan yang pertama kali menerima job serupa, tetapi jantungku berdebar dengan perasaan menyenangkan. Semangatku meningkat berkali-kali lipat, tak pernah ada yang mampu membuatku berfirasat baik seperti sekarang.

"Tentu. Jam berapa dan di mana?" Aku sampai tidak mampu memikirkan kata-kata lain untuk berbasa-basi.

"Bisa sekarang? Aku sedang berada di Starbucks dekat Times Square. Kita bisa reschedule jika kau sedang ada kesibukan."

"Tidak, tidak, tidak." Aku dengan cepat membalas. Bahkan saat ini aku mulai beranjak dari sofa dan berjalan ke kamar. "Aku akan segera ke sana, kebetulan apartemenku tidak jauh dari sana."

"Akan kutunggu, terima kasih."

Aku melakukan semuanya dengan cepat. Membasuh muka, menyikat gigi lagi-entahlah, sebenarnya aku lupa apa tadi pagi sudah melakukannya atau belum. Lalu mengenakan kaus kebesaran warna putih polos dan dimasukkan ke rok denim biru tua selutut. Aku tak sengaja mengambilnya, sungguh. Tanganku mengambil apa saja yang mampu kujangkau dengan cepat, termasuk jaket kulit hitam yang tergantung di balik pintu.

Rambutku agak berantakan jika diurai, menyisirnya hanya akan membuang-buang waktu. Jadi aku sengaja mengikat satu tinggi-tinggi, dan hanya perlu merapikan bagian rambut di puncak kepalaku. Sisanya, aku tak peduli jika kusut. Terakhir, aku meraih ankle boot hitam dengan sol setinggi tiga senti. Sebelum benar-benar keluar kamar, aku memberi sentuhan dengan Blooming Bouquet dari Miss Dior, menyemprotkannya di beberapa titik, hanya agar wanginya mampu menyembunyikan fakta bahwa aku tidak mandi dulu sebelum bertemu dengan klien.

Sekarang aku siap berangkat.

🎶

Ava Clairine - Aku sudah di depan Starbucks. Bisa beri tahu warna pakaianmu untuk memudahkanku menemuimu?

Aku mengirimkan pesan itu tepat di depan pintu masuk Starbuck sembari mengedarkan pandangan, barangkali ada seseorang yang akan melambai padaku. Si klien seharusnya mengenaliku karena aku memasang foto wajahku sendiri di situs freelance.

Starbucks sangat ramai hari ini, sesuatu yang jarang terjadi di hari kerja. Namun, ini masih termasuk jam makan siang, dan tempat ini dipenuhi oleh pekerja seusiaku. Situasi ini lantas membuatku rindu bercengkerama dengan Hyunjoo dan beberapa rekan kerjaku. Well, hidupku berubah drastis hanya karena seorang Jeff.

+1-646-xxxxxxx - Aku memakai sweter panjang marun.

Itu balasan yang kuterima dan dia masih mengetik lagi. Aku segera melarikan pandanganku ke sekeliling, menemukan beberapa orang memakai sweter marun, dan berhenti pada seseorang yang duduk sendirian dengan ponsel di tangannya. Kupikir dialah yang sedang mengetik pesan untukku.

+1-646-xxxxxxx - Di meja dekat kasir, posisi paling ujung.

Tepat. Dia orangnya. Aku berjalan cepat menghampirinya. Langkahku sangat ringan dan lebar-lebar. Aku ingin segera tiba di sana tentunya. Aroma coffee brewed memenuhi penciumanku, membuat euforia yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Ini kali pertama seorang klien menemuiku langsung. Aku merasa seperti benar-benar memiliki pekerjaan. Itu konyol, tetapi biarkan aku bahagia akan hal kecil ini.

"Good afternoon, Mr. Sanders." Aku menyapanya dengan senyum paling lebar yang kumiliki. Kuharap, aku tidak terang-terangan menunjukkan ketertarikan akan bisnis desain ini.

Dia balas tersenyum dan berdiri dari kursinya untuk berjabat tangan denganku. Sungguh pria dengan attitude yang baik. Garis-garis wajahnya memberi tahuku bahwa dia pria yang ramah dan supel.

"Afternoon, Ms. Clairine. Have a seat, please."

Kami duduk nyaris bersamaan.

"Aku sudah memesan minuman untuk kita, kuharap kau tidak punya alergi apa pun terhadap kopi."

"Aku pecinta kopi. Don't worry."

Kami diam sejenak dan masih tersenyum satu sama lain. Aku ingin bicara, tetapi tak tahu memulainya dari mana. Jacob bisa mengira aku mendesaknya. Beruntungnya, seorang pelayan segera datang ke meja kami.

"Dua caramel frappucino. Ada tambahan lagi?"

"Itu saja. Terima kasih," balas Jacob dan memberi tip pada si pelayan. Dia kemudian mendorong satu cup ke arahku, jari-jari panjangnya melingkar di sana sebelum aku meraihnya.

"Terima kasih."

Dalam sekejap, sisi profesionalnya muncul. Gestur tubuhnya, posisi duduknya, serta jari-jemari yang saling bertaut di atas sebuah map plastik putih bening dengan kertas di dalamnya, menjadikan pertemuan ini terasa formal.

"Jadi, Nona, ini bukan sekadar permintaan satu kali desain. Proyek kami akan berlangsung tiga bulan lamanya. Kami mengajukan kontrak selama berlangsungnya proyek ini. Jadi, dalam tiga bulan, kami akan memintamu untuk membuatkan desain, entah itu brosur, konten untuk media sosial, logo. Untuk fee, kami akan membayar dua kali lipat dari harga tertinggi yang Anda tawarkan per desain yang dibuat. Dan setelah kontrak berakhir, kami juga akan menawarkan bonus. Bagaimana?"

Aku nyaris lupa bernapas ketika mendengarkan penuturannya. Itu tawaran paling luar biasa yang pernah kuterima selama menjadi freelancer. Memangnya aku bisa menolak? Tentu tidak.

"Tawaran yang luar biasa." I'm not a businessman, jadi aku tidak tahu apakah pembawaanku cukup profesional atau tidak untuk mengimbanginya. "Selama tiga bulan itu, apakah aku masih diperbolehkan untuk menerima pekerjaan dari klien lain? Kautahu, penghasilan seorang freelancer biasa sepertiku mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari."

Aku tidak melebih-lebihkan soal itu. Mengerjakan dua pesanan dalam sehari saja rasanya sudah sangat melelahkan.

"Oh, tentu saja. Yang terpenting adalah milik kami diselesaikan tepat waktu."

"Ada kemungkinan kontrak berakhir di tengah jalan? Barangkali kalau ternyata desainku tidak sesuai harapan kalian? Atau ada sesuatu yang tidak boleh kulanggar?"

Tentang orang-orang yang mematok ekspektasi berlebihan pada orang lain, aku harus tahu seperti apa standar yang diinginkannya dari karyaku. Aku tentu senang menerima uang yang lebih banyak, tetapi aku cukup sadar diri jika masih ada orang lain yang lebih bagus dariku dan lebih pantas menerima kontrak ini.

Jacob tampaknya memikirkan jawaban atas pertanyaanku. Sebentar aku meragukan keseriusannya. Jika dia memang seorang pebisnis, seharusnya sudah siap dengan segala pertimbangan yang akan kuajukan kepadanya.

"Sejauh ini, tidak ada. Kami memercayakan sepenuhnya padamu, Ms. Clairine, dan yakin kau tidak akan mengecewakan kami."

Aw, itu beban baru untukku.

"Selebihnya, atasanku yang akan bicara denganmu." Pandangannya lantas turun ke arlojinya. "Seharusnya dia sudah tiba sekarang. Aku tidak tahu apa yang membuatnya terlambat."

"Tak masalah untukku, aku tidak ada rencana hari ini," tuturku sebelum ia mulai gelisah dan merasa bersalah karena membuatku menunggu.

"Baguslah. Mungkin kau bisa menandatangani ini terlebih dahulu." Dia lalu mendorong map bening tadi dan sebuah pena padaku.

Aku mengeluarkan isi dari map tersebut dan membacanya satu per satu. Ada tiga lembar dan isinya sama. Takada detaik khusus di luar yang dikatakan Jacob tadi. Namun, aku tidak berniat menolaknya, jadi segera saja kutandatangani di kolom yang disediakan. Aku anggap ini sebagai tanjakan sebelum aku benar-benar memiliki pekerjaan yang tetap.

"Wah. Kami sangat berterima kasih karena kau menerima pengajuan kami."

"Terima kasih kembali. Aku menunggu atasanmu, dan taksabar untuk membicarakan detailnya. Kapan aku bisa bertemu dengannya?"

"Sekarang bisa."

Itu bukan suara Jacob, melainkan seseorang di belakangnya. Sial. Itu Alby, dengan setelan kerjanya yang mengeluarkan aroma menenangkan itu lagi. Mataku melotot, nyaris keluar. Hidupku benar-benar terasa seperti dikelilingi olehnya. Semangatku untuk mengerjakan desain-desain darinya menguap begitu saja bersama aroma kopi yang menguar di sini.

"Kau terlambat." Jacob memprotes pelan. "Aku ada janji dengan Dinah."

Nada bicara itu terlalu santai untuk ditujukan pada atasan.

"Aku tahu. Sana, kau bisa pergi. Aku akan teruskan dari sini."

Aku tidak bereaksi ketika Jacob memperkenalkan Alby padaku dan pamit pulang. Sementara pena milik Jacob masih di tanganku dan kugenggam semakin erat. Aku mungkin akan menyusul Jacob; pergi dari sini, seandainya aku tidak buru-buru menandatangani kontrak singkat yang dibawa pria itu tadi. Aku bisa bilang, uang dan petaka datang padaku bersamaan. Beruntung dan sial di saat yang sama. Impas.

Alby sudah menempati kursi berkas Jacob tadi, tetapi masih memusatkan perhatian pada ponselnya. Aku memanfaatkan saat itu untuk menyesap minumanku. Kehadirannya sama sekali tak terduga olehku. Beruntung sekali dia, mempunyai banyak uang hingga mampu membuka distro dengan merek dagangnya sendiri.

Dan dia pintar juga menunjuk orang lain untuk menghubungiku. Dia pasti sudah menduga aku tidak akan sudi menemuinya.

"Aku mendapat rekomendasi dari Nate. Dia bilang kau hebat dalam bidang desain," ucapnya setelah menyimpan ponsel. Dia menatapku, tetapi aku buru-buru membuang muka dan mengangguk tanpa minat. Aku yakin, dia tidak akan mengakhiri pertemuan menyebalkan ini tanpa membicarakan tentang rencananya waktu itu.

"Kau bisa membayar orang yang lebih ahli di bidangnya. Langsung saja, katakan tujuanmu yang sebenarnya." Pena yang sejak tadi kugenggam kuletakkan di atas map dan kudorong sampai ke tengah-tengah meja. Alby mengintip map tersebut dan sebelah sudut bibirnya naik. Tanda tanganku yang tertera di sana mungkin membuatnya senang.

"Aku sudah telanjur menandatangani ini." Kali ini aku tersenyum masam ketika mengatakannya. Apa pun rencananya, kuharap kontrak mendesain ini tetap berlaku. Aku tidak ingin dibayar tanpa mengerjakan apa-apa. Jika aku diminta mendesain, aku akan mendesain.

"Pertama, aku serius dengan kontrak tiga bulan untuk mendesain. Kedua, kau pasti sudah menerima undangan dari mereka, 'kan?"

Aku hanya diam memandangnya, tetapi sebelah alisku naik untuk menjawab pertanyaannya.

"Ayo datang ke sana bersama. Aku akan menjelaskan tugas pertamamu setelah acara mereka berakhir."

Tugas pertama. Kedengarannya seperti bukan untuk sesuatu yang akan kudesain. Alby menaikkan sebelah alis dan menyunggingkan senyum paling licik yang pernah kutemui. Dia tahu rencana untuk menjebakku pasti berhasil, karena dia sangat terhibur dengan reaksiku; yang seperti orang pasrah saat ini.

Ya. Kontrak ini adalah jebakannya, tetapi aku tidak akan terperangkap semudah itu.

***

Ketemu mulu, jadinya kapan? Aih :"
I'll keep asking y'all, gimana chapter ini? Lebih absurd dari minggu lalu?
But, aku bakal obati kekecewaan kalian dengan salah satu cerita song series berjudul Slow Motion karya Tasyayouth, berikut cuplikannya:

***

"Okka, kamu percaya perjalanan waktu?"

Seorang Manna bertanya tentang hal konyol, bukankah itu berarti Manna sakit parah? Jika tidak, bagaimana ia bisa berhalusinasi? Begitulah yang dipikirkan Okka. Namun, hal yang dilakukan Okka adalah tersenyum membuat Manna menyadari sesuatu.

Selama ini, Okka selalu tersenyum padanya, tulus. Okka juga selalu memberi tatapan hangat dan perhatian, walau tidak langsung. Namun, kenapa ia tidak menyadarinya? Jika ia tidak tahu apa yang terjadi di masa depan, apakah ia masih berpikir bahwa Okka selalu tidak peduli padanya?

"Sayangnya, saya hanya tahu bahwa cabai bisa menghasilkan benih untuk kehidupan baru, tetapi tidak bisa mengulang kehidupannya lagi. Seperti makhluk yang mati, tidak akan kembali."

***

See you on next chapter~
Salam hangat,
Tuteyoo
2 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro