74 - The Auction

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Matthew."

Alby menyebut nama itu dengan suaranya yang dalam, sarat akan kebencian. Aku tidak tahu bagaimana permainan takdir bekerja untuk kami hingga dunia terasa makin kecil dari hari ke hari. Sebagai satu-satunya yang berada di luar masa lalu mereka, aku berusaha menenangkan Alby. Well, hanya mengusap lengannya sambil berharap itu bisa membantu mengontrol emosinya. Takada unsur magis di tanganku, tetapi aku tahu itu akan membantu membuatnya tetap tenang.

"Selamat malam, Matthew, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini." Tentu aku harus tetap bersikap sopan sebagai karyawannya meski saat ini aku berada di sisi Alby.

"Kau tampak sangat berbeda, Ava. Tadinya aku ragu apakah benar kau, jadi aku mendekat untuk menyapa." Matthew mengabaikan kebencian Alby dan tetap bersikap tenang meski senyumnya tampak menyebalkan.

"Kuharap kau tidak mengganggunya. Atau aku akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari yang pernah terjadi padamu." Alby bersikap defensif. Wajahnya penuh kemarahan, padahal Matthew belum melakukan sesuatu yang berbahaya. Dari sikapnya ini aku benar-benar sadar betapa dia sangat membenci Matthew. Jelas perbuatan pria itu dulu pada Paula sangat fatal dan tidak termaafkan.

Matthew mengangkat tangan, masih mempertahankan senyumnya yang menyebalkan--terkesan mengolok-olok. Dan itu membuatku ingin meremas wajahnya juga. Aku ingin ketenangan, tetapi sikapnya justru makin memancing amarah Alby.

"Aku sangat profesional dalam pekerjaan, Alby Mateo. Selagi Ava melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak melewati batas, aku tidak akan mengganggunya. Dia bersih dari masalah kita di masa lalu."

Alby berdiri dan itu membuat tanganku jatuh ke pangkuan. Dia tersenyum sinis sekarang. Kuharap itu berarti baik, karena tidak mungkin aku mampu melerai mereka jika berkelahi di sini, di depan orang banyak.

"Aku tahu rencanamu. Pria berotak licik sepertimu mudah sekali terbaca."

"Aku tidak tahu rencana apa yang kaumaksud." Matthew mengernyit. Dengan ekspresi seperti itu dia bisa membodohi siapa saja dan orang-orang itu akan percaya dan menganggap dia bersih dari rencana buruk. "Aku berhenti mengganggu keluargamu. Kau tidak perlu khawatir."

Aku ikut berdiri, sekali lagi memegangi lengan Alby dan mengusap punggungnya. Dia sudah menggeram kesal dan menyugar rambut dengan sangat kasar. Kurasa kemarahannya sudah berada di puncaknya sebelum diledakkan. Itu tidak boleh sampai terjadi, apalagi para tamu yang datang makin banyak.

Kurasa usahaku berhasil. Alby kembali menjatuhkan tubuhnya ke kursi dan tidak lagi menatap Matthew. Kendati begitu, tangannya masih terkepal erat di kedua sisi tubuh. Aku ingat tangan-tangan yang sedang timbul urat-uratnya itu mampu meremas apa pun di dekatnya. Termasuk pundak dan pergelangan tanganku dulu.

"Sebaiknya kau pergi, kembali ke meja di mana kau seharusnya berada. Acara ini tercemar karena kehadiranmu." Alby masih sangat kesal dan aku hanya bisa berharap Matthew menurut dan pergi.

"Kau punya tugas berat menenangkan monster buas, Ava," gurau Matthew diiringi tawa yang renyah. "Selamat malam, nikmati acaranya." Setelah itu dia pergi, berjalan ke arah belakang meja kami dan aku tidak ingin repot-repot untuk tahu di mana dia duduk.

"Sekarang kau tahu kenapa aku sangat membencinya, bukan?" Alby menghantam meja dengan kepalan tangannya.

"Ya." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Jadi, beri tahu aku kalau dia mengganggumu."

"Akan kuingat."

Aku tidak ingin berdebat dengannya, jadi kuputuskan untuk menjawab sesuai apa yang dia inginkan. Dan tentu saja aku harus memikirkan sesuatu untuk dibicarakan sekaligus untuk meredakan emosinya.

Seorang pria berdiri di atas panggung, bukan untuk bicara, tetapi memastikan mikrofon yang disediakan di sana bekerja dengan baik. Itu tentu tidak bisa dijadikan topik untuk dibicarakan. Bagaimana dengan orang-orang orkestra yang tidak berhenti memainkan alat musik untuk menghibur para tamu sejak setengah jam yang lalu? Jelas akan aneh untuk dibicarakan bersama Alby. Dia tidak seperti Nate yang akan merespons kata-kata asal yang kulontarkan.

Aku tidak bisa menghabiskan sisa malamku bersama seseorang yang tenggelam oleh kemarahan. Bukan seperti ini malam yang aku harap akan dihabiskan bersama Alby. Sungguh. Selagi aku sibuk memikirkan tentang topik apa yang harus dibicarakan, layar di depan kami menampilkan agenda acara malam ini, tentunya itu memberiku sebuah ide.

"Alby, aku penasaran benda apa yang sangat kauinginkan di lelang nanti."

Dia menoleh padaku sebentar sebelum menyandarkan tubuhnya, kali ini dia tampak sedikit lebih tenang.

"Kau akan tahu nanti. Malam ini mereka hanya akan mengumumkan siapa yang mendapatkannya. Jika namaku disebutkan, itulah yang kuinginkan. Aku sudah mendaftarkan namaku dan nominal yang aku yakin adalah yang tertinggi."

Mungkin sampai berapa kali pun aku bertanya, dia tetap tidak akan menjawabnya. Aku menghela napas, pertanda kalau aku menyerah. Dia selalu punya kebebasan untuk membuat orang lain penasaran, tetapi tidak membiarkan itu terjadi padanya.

Yah, lagi pula apa pentingnya itu? Cepat atau lambat, aku akan mengetahuinya. Namun, apa dia tidak akan bicara lagi dan membuatku mati bosan karena hanya mendengarkan orang di panggung itu berbicara? Lelucon mereka buruk, aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan, atau bertepuk tangan untuk apa. Selera orang-orang kaya benar-benar buruk.

Pada akhirnya tiba sesi mengumumkan hasil lelang. Sudah belasan barang-barang antik yang diumumkan pemenangnya, tetapi tidak satu pun mereka menyebutkan nama Alby. Aku makin tidak bisa memikirkan apa yang Alby inginkan dari lelang itu. Dia tidak menginginkan sebuah kapal pesiar, atau batu antik dari kerajaan-kerajaan lama, atau rumah besar dengan pemandangan yang luar biasa, atau sebuah pulau. Lalu apa?

Aku meliriknya sesekali, sekadar untuk mencari clue untuk rasa penasaranku. Mana tahu salah satu dari barang itu tidak berhasil dia dapatkan dan membuatnya tampak sedih. Namun, wajah itu masih tidak berubah sejak Matthew meninggalkan kami.

"Dan yang terakhir adalah lukisan asli dari seniman Pablo Picasso, yang berjudul 'The Girl Before the Mirror'. Lelang ditutup dengan tawaran tertinggi senilai $122,500,000.00¹. Dimenangkan oleh ... ."

Tunggu, jangan bilang kalau itu--

"Ava Clairine!"

Aku menantikan nama Alby, tetapi namaku yang justru disebutkan. Semua orang bertepuk tangan dengan meriah meski tidak mengenalku, sementara aku tampak seperti orang bodoh yang dijebak oleh teman-temanku sendiri untuk menjawab soal yang sulit di papan tulis. Dan sekarang aku memandang Alby dengan takjub sekaligus tidak percaya. Selain dia, memangnya siapa lagi yang akan mendaftarkan namaku?

Lihatlah pria di sampingku ini. Tidak berhenti bertepuk tangan dengan senyum yang semringah. Sudah jelas terjawab tanya besar di kepalaku. Aku benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang, sampai-sampai apa yang mereka katakan di depan sana tidak lagi bisa kudengar. Tahu bahwa nominalnya sebesar itu bahkan tidak bisa membuatku tersenyum.

"Kuharap tidak masalah kalau hadiah ulang tahunnya kau terima dua minggu lebih awal." Aku tidak tahu kapan dia mendekat, tetapi bibirnya sudah mendarat di pipi kiriku.

"Apa yang kaupikirkan, Alby? Menaruh nominal lelang setinggi itu untuk sebuah lukisan?"

Andai dia berikan uangnya padaku, hidupku jelas akan berubah menjadi lebih baik--sangat baik malah. Maksudku, daripada dibuang-buang seperti itu, kenapa tidak dipakai untuk hal lain saja? Aku jadi pusing karena memikirkan uang sebanyak itu melayang untuk sebuah lukisan. Tunggu, aku bukannya menghargai lukisan itu dengan nilai yang rendah, tetapi lukisan itu bahkan bukan untuknya. Oh, nominalnya bahkan dari tanggal lahirku; Desember tanggal 25.

Ya, Tuhan, permainan orang-orang kaya ini membuatku tidak habis pikir.

"Lukisan itu berarti untukmu, bukan? Kau sangat menyukainya." Alby bicara sangat tenang, seolah-olah tidak pernah khawatir uangnya akan habis. Dari awal aku sudah menduga dia orang kaya, tetapi tidak kusangka akan sekaya itu.

"Kau mengingat itu?"

"Benar. Kencan pertama kita di museum, aku bahkan tidak bisa melupakan betapa senangnya kau saat melihat lukisan itu. Dan untuk uangnya, mereka akan donasikan ke yayasan kanker, bukankah itu bagus?"

Aku tidak cengeng, bukan juga seseorang yang akan menangis karena merasa bahagia. Namun, dia berhasil membuatku ingin menangis karena belum pernah ada orang yang memperlakukan secara spesial seperti ini.

"Apa aku harus berterima kasih padamu?" Aku memegangi dahi sekadar untuk menyembunyikan mataku yang sudah berkaca-kaca sekaligus untuk mencegahnya sampai mengalir.

"Kau bisa lakukan nanti, Ava. Sekarang ayo kita bawa pulang lukisanmu."

Alby mengulurkan tangan, meminta agar aku menyambutnya. Namun, di mataku itu bukan seperti dia sedang ingin mengajakku pergi, tetapi lebih dari itu.

Ya, lebih dari itu. Dan kuharap ekspektasiku tidak terlalu tinggi kali ini, karena aku cukup sadar akan sangat kesakitan kalau terjatuh.

•••

"Kurasa sebaiknya lukisan itu disimpan di tempatmu."

Aku sudah memikirkannya di sepanjang perjalanan pulang, tentang ke mana aku harus menyimpannya. Kurasa meletakkannya di tempat kami yang kecil akan sangat tidak adil bagi lukisan yang bernilai luar biasa. Apalagi dari seniman yang luar biasa hebat. Sebaiknya jangan.

"Kenapa?" Alby melihatku sebentar saja sebelum tatapannya kembali tertuju pada jalanan di depan kami.

"Memangnya ke mana aku harus meletakkannya? Dindingku penuh." Itu bukan alasan, tetapi memang dindingku yang tidak jelas warna cat dan coraknya itu akan mengalahkan keindahan dari lukisan tersebut.

Tawa Alby pecah begitu saja dan sebelah tangannya berada di dahi, memijatnya. "Lalu apa artinya aku membeli itu untukmu tapi disimpan di rumahku? Bagaimana kalau kau mau melihatnya? Kau mau datang ke tempatku?"

"Well ... aku bisa datang kapan saja, bukan? Lagi pula, aku tidak berharap akan melihatnya sepanjang waktu. Hanya jika aku ingin melihatnya."

Membayangkan lukisan itu--yang saat ini dikemas di dalam sebuah kotak dan diletakkan di bangku belakang--juga membuatku memikirkan Mom. Dia orang pertama yang memperkenalkan aku pada lukisan luar biasa itu. Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak akan memiliki passion yang besar dalam bidang seni.

"Kau benar-benar ingin aku yang menyimpannya?" Alby memberhentikan mobilnya di tepi jalan yang sangat sepi. Hanya pepohonan yang mengisi lahan kosong di tepi jalanan itu.

"Apa kau keberatan?"

Alih-alih menjawabku, Alby justru menurunkan kaca jendela di sebelahnya dan menyembulkan kepalanya keluar sana. Tunggu, apa dia merasa mual dan mau muntah? Apa ekspresiku tadi seburuk itu?

"Hei, Alby, kau baik?" Aku mulai khawatir karena dia sangat lama melakukan itu.

Alby akhirnya menoleh ke arahku, tetapi tetap dengan badan yang mengarah ke luar jendela. Namun, wajahnya sarat akan kefrustrasian. "Apa ada yang pernah mengatakan kalau kau juga menggemaskan?"

"Hah?" Sekarang aku benar-benar sangat yakin kalau jiwanya tertukar oleh seseorang di suatu tempat.

Aku menarik tangan dari tubuhnya ketika dia kembali menegakkan badan dan menaikkan lagi jendela di sebelahnya. Dia bahkan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan. Sudah tiga kali dia melakukannya dan aku berusaha untuk tidak bertanya dulu sampai dia merasa tenang.

"Aku menemukan sisi lain dirimu dan itu membuatku terkena serangan jantung kali ini."

Apakah itu rayuan? Karena jujur saja aku bergidik jijik sekarang. "Aku ingin sekali menanyakan ini padamu sejak tadi."

"Apa itu?"

"Apa kau benar-benar Alby?"

Hening menyelimuti kami. Bahkan mesin mobil yang sejak tadi tetap menyala pun seperti sengaja Alby matikan. Dia bisa membunuh kami di mobil ini seandainya kaca jendela di masing-masing pintu sebelah kami tidak diturunkan sebagian.

Soal pertanyaanku itu, aku tidak sedang bercanda. Aku lebih suka menghadapinya dengan emosi yang membara seperti saat dia bertemu Matthew daripada yang sekarang. Meski sikapnya lebih lembut dan menyenangkan, tetapi jauh lebih mengerikan. Aku ingin Alby yang dulu kembali, karena jujur saja aku tidak sanggup menerima seluruh perhatiannya. Kalau sikapnya ini hanya untuk membuktikan keseriusannya, maka cukup sudah. Aku akan memberitahunya kalau aku percaya padanya.

Alby menyugar rambutnya dengan cara yang keren. Inilah Alby yang kunantikan; memberi kesan yang mengintimidasi.

"Lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol diri di depanmu."

Aku tertawa hambar setelah mendengar pengakuannya yang entah sudah ke berapa kali. Belum terpikirkan apa yang mau kukatakan, tetapi ponsel Alby ada di dasbor mobil sudah lebih dulu berdering. Aku sempat melihat nama kontaknya; Jacob yang menelepon.

"Ya?" Alby mengangkat satu telunjuknya ke arahku sebagai bentuk permintaan izin kalau dia harus berbicara di telepon dulu. Padahal tanpa dia melakukan itu pun aku akan mengerti.

Sepertinya Jacob sedang menjelaskan sesuatu sampai-sampai membuat Alby mengeluarkan berbagai reaksi, seperti terkejut, bingung, wajah berpikir. Dahinya yang mengkilap itu beberapa kali berkerut seperti sedang merespons sesuatu yang tidak biasa.

"Baiklah, akan kuperiksa. Kirimkan saja tautannya."

Setelah itu dia mengakhiri sambungan telepon dan beralih ke aplikasi pesan. Dia tampak serius saat melakukan itu, jadi aku menghadap ke luar jendela. Aku berusaha untuk tidak terlihat ingin tahu apa pun urusannya. Angin yang terembus terlalu dingin sampai aku baru menyadari kalau tidak membawa mantel yang lebih hangat untuk membungkus tubuhku. Akhir-akhir ini memang memasuki musim peralihan dari musim gugur ke musim dingin, hingga suhu udara turun beberapa derajat.

"Matthew berulah lagi, kurasa. Tidak, maksudku orang kepercayaannya."

Meski sudah membuat Alby kesal saat di acara amal, tetapi aku justru tertarik untuk tahu apa yang pria itu lakukan. "Kau yakin itu perbuatannya?"

"Claudia lagi-lagi diikuti oleh paparazi itu, dan kali ini langsung ke target mereka." Alby menyodorkan ponselnya agar aku membaca tulisan yang ada di sana. Dan ini menjadi kali pertamaku menyentuh ponselnya setelah dia berkali-kali menyentuh ponselku.

'Model Claudia Avery Bertengkar Hebat dengan Tunangannya di Sebuah Kafe: Kelanjutan dari Hubungan Gelap Sang Model Bersama Mantan Kekasihnya'

Judulnya mengerikan. Siapa pun yang memposting ini secara terang-terangan ingin menghancurkan mereka. Di bawah judul artikel itu terdapat sebuah foto di mana Jeff sedang berjalan keluar dari kafe dan di belakangnya ada Claudia yang berusaha mengimbangi langkah Jeff. Maksudku, itu bahkan tidak bisa disebut sebagai perkelahian. Apa yang kutangkap dari foto itu adalah Jeff tidak menyadari kalau Claudia tersandung dan hampir terjatuh di belakangnya. Namun, orang-orang yang telanjur mengharapkan hal buruk terjadi pada mereka akan menganggap kalau Claudia berusaha mengejar Jeff, tetapi Jeff mengabaikannya.

"Namaku akan dilibatkan lagi, bukankah begitu?" Alby bertanya begitu saat aku mengembalikan ponselnya.

"Sebenarnya apa tujuan Matthew melakukan semua ini? Menyuruh seseorang untuk mengarang kisah fiktif, dia bisa saja terkena pasal pencemaran nama baik."

"Matthew tidak akan seceroboh itu, Ava. Yang jelas dengan merilis artikel-artikel itu akan membuat Jeff terkecoh. Dia harus menyelesaikan masalah itu dan mengabaikan persaingannya dengan perusahaan Matthew. Dia ingin Jeff hancur sepenuhnya."

"Kupikir dia masih ingin membalas dendam padamu karena artikel pertama yang keluar adalah tentangmu dan Claudia." Kalau mengingat tentang itu lagi, aku juga jadi mengingat kemarahan Albert. Pelototan pria itu sukses membuat seluruh tenagaku terkuras habis.

"Karena aku adalah mantan kekasih Claudia. Bisa dibilang, aku dijadikan sebagai properti untuk rencana mereka." Ada kesal yang tertahan di suaranya. Siapa pun tentu akan merasakan itu ketika namanya ikut terseret hingga menjadi masalah besar.

"Kupikir mereka tidak akan hancur semudah itu kalau segera melangsungkan pernikahan."

Lagi-lagi itu membuat Alby tertawa garing. "Tidak semudah itu, Ava. Kontrak yang Claudia ditandatangani memuat syarat kalau dia tidak boleh menikah sampai kontraknya berakhir. Dan itulah alasan kenapa aku tidak bisa memperkenalkan dia kepada orangtuaku dulu. Mereka akan mengira aku bermain-main dengan model lagi kalau tidak segera merencanakan pernikahan dengannya."

Aku hanya mengangguk selagi memproses informasi baru itu di kepalaku. Tentu saja aku tidak pernah paham soal itu meski sebelumnya pernah bekerja di perusahaan majalah.

"Hei, Alby, apa kau tidak pernah terpikir untuk mengambil kesempatan dalam masalah mereka?"

Alby memicing ke arahku. "Kurasa aku paham apa maksudmu."

Sekarang aku meringis, tampak yakin kalau dia juga berpikir bahwa itu ide yang bagus. "Ya, itu akan mempermudah rencana kita, 'kan? Dengan hubungan mereka berakhir, Claudia mungkin saja akan memohon untuk bisa kembali padamu. Kurasa dia sangat ingin melakukan itu, tetapi masih mempertimbangkan keinginan orangtuanya."

"Lalu bagaimana dengan kita?" Baiklah, Alby sekarang tampak terlalu serius untuk membicarakan sesuatu yang sifatnya hanya sementara.

"Ya ... kita jalankan sesuai rencana yang ada di kesepakatan kita?"

"Yang berarti aku menjadi milikmu?"

Eh? Oh, aku lupa menambahkan poin yang satu itu. Menggiurkan, tetapi tidak bisa kuterima.

"Bisa pikirkan yang itu belakangan?"

"Itu juga bagian dari kesepakatan--kalau kau lupa." Alby menaikkan kembali kaca jendela dan menyalakan mesin mobilnya. Aku bahkan tidak sadar kalau kami sudah terlalu lama berhenti di sini. "Dengan memanfaatkan situasi seperti yang kaubilang berarti misi kita akan berhasil. Dan ketika misi itu berhasil, aku harus menyerahkan diriku padamu. Aku yakin kau perlu waktu untuk mempertimbangkan itu mengingat kau sangat ingin pergi."

Sebenarnya dia ingin aku pergi atau tidak?

"Aku bicara seperti ini karena aku peduli pada keinginanmu, Ava. Kalau misi kita selesai lebih cepat dari waktu yang kita perkirakan, aku sangat yakin kau belum sepenuhnya percaya padaku dan akan mencari cara lain untuk tetap bisa pergi. Di waktu yang tersisa ini aku ingin kau terbiasa bersamaku. Misi itu harus berhasil di waktu yang tepat agar kau benar-benar siap menerimaku."

Situasi ini makin rumit saja. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, seharusnya aku tidak mengubah apa pun dari kesepakatan itu. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Kurasa aku akan mengikuti Alby, mengulur waktu sambil berharap apa pun yang terjadi memang adalah yang terbaik untuk kami.

"Ava, apa kau mendengarku?"

"Ya, aku dengar. Tapi aku mengantuk. Tolong bangunkan jika sudah tiba di apartemenku."

Aku menyamankan posisi kepalaku dan menghadap keluar jendela agar dia tidak tahu kalau aku tidak sedang memejamkan mata untuk tidur, tetapi hanya ingin mengakhiri pembicaraan.

"Tidurlah, Ava."

•••

¹) Seratus dua puluh dua juta lima ratus ribu dolar.

Isi otakku kayaknya benang kusut, soale mereka mbulet ae gak kelar-kelar masalah e.
Ehehe.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
19 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro