98 - An Envelope

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjadi orang dewasa berarti aku harus tetap tersenyum meski ada banyak masalah bertumpu di bahu, harus tetap bangkit meski sudah jatuh terperosok di lubang yang dalam, gelap, dan becek, bahkan tanpa ada tangan yang terulur kepadaku. Tidak ada yang mengajarkan tentang bagaimana menghadapi masalah saat aku sudah dewasa. Masalah-masalah itu yang tanpa sadar mengajarkanku bagaimana harus menyikapi hal-hal yang tidak berjalan sesuai harapan.

Memilih untuk tetap waras, atau membiarkan akal sehat terus digoyahkan oleh rasa yang bercokol di dada. Terkadang, akan lebih baik membiarkan banyak hal terjadi begitu saja, membiarkan orang-orang pergi tanpa berusaha menahannya, tidak mencari tahu terlalu banyak penjelasan akan suatu hal, atau mengejar jawaban yang pada akhirnya hanya akan melukai ekspektasi. Pada akhirnya, bukan pengakuan dari orang lain yang kubutuhkan, tetapi bagaimana aku mengatasi semua hambatan agar bisa terus melanjutkan hidup.

Mati bukanlah solusi terbaik ketika duniamu ambruk.

Setelah membiarkan mata ini tidak berpejam hampir semalaman, aku pergi bekerja. Aku terus meyakinkan diri bahwa Alby tidak pantas untuk ditangisi. Dia terlalu berengsek untuk mengalihkan atensiku dari mengerjakan rutinitas keseharian. Sayangnya, aku tidak bisa berhenti memikirkan betapa banyak kesialan terjadi dalam hidupku. Dan ketika aku sudah menaruh harapan pada seseorang yang kupikir akan menunjukkan padaku arti bahagia yang sesungguhnya, dia justru mematahkannya.

Pagi ini, aku sudah dua kali membuat kopi di pantri. Namun, pekerjaan yang tidak terlalu banyak membuat pikiranku masih sesekali diusik oleh apa yang terjadi kemarin. Sakit saja perlu waktu untuk pulih, jadi aku juga akan memberi waktu untuk diriku agar kembali seperti semula. Lalu semangatku kembali ketika Matthew berjalan menghampiri mejaku. Untuk yang pertama kalinya, aku menantikan tugas tambahan.

"Aku ingin bertanya padamu." Tumben dia sangat sopan.

"Silakan."

"Apa hubunganmu dengan Jeffrey Austine?"

Astaga. Aku lupa dengan yang satu itu. Troy mungkin sudah memberitahunya tentang Jeff yang melaporkan Ander-Ads dan sekarang dia akan menuntut pertanggungjawaban lainnya padaku. Aku memijat pelipis sebentar sebelum memutar kursi agar bisa melihatnya tanpa harus menoleh. Tidak perlu repot-repot berdiri, dia tidak pernah menuntut untuk dihormati oleh karyawannya.

"Aku akan mengaku kalau sempat mengatakan sesuatu padanya tentang kecuranganmu. Kau boleh memarahiku sekarang, anggap saja sebagai hukuman karena membocorkan informasi ke perusahaan lawan."

Matthew diam saja, tetapi keningnya mulai berkerut. "Kau baik?"

Wajah ini, apakah terlalu menunjukkan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja? Aku memutar kembali kursi menghadap layar komputer dan mulai bekerja, tidak ingin dia melihat lebih banyak betapa kacaunya aku.

"Ada angin apa sampai kau ... peduli padaku? Seharusnya kau memberiku lebih banyak tugas hari ini. Merapikan gudang, menganalisis tata letak majalah lama, atau mencari bentuk fisik dokumen yang sudah didigitalisasi? Aku siap melakukan apa saja."

"Kau seperti orang sakit. Itu tidak terlihat seperti seseorang yang siap bekerja lembur."

Aku senang ada yang peduli, yang dengan cepat menyadari sesuatu yang tidak biasa pada diriku, tetapi sulit menerimanya dari seseorang yang sebelumnya tidak berhenti melayangkan tuduhan padaku atas hal-hal buruk yang terjadi di perusahaannya, meski untuk beberapa kasus memang bermula dariku. Dia bahkan masih menatapku dengan sorot yang sarat akan rasa iba.

"Aku perlu sesuatu untuk mengalihkan pikiran yang kacau." Aku tersenyum padanya, tetapi itu terlihat mengerikan ketika tanpa sengaja melihat pantulan diriku sendiri melalui pintu lemari kaca di belakangnya. "Tapi kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang Jeff? Apa dia melakukan sesuatu yang lebih buruk dari melaporkanmu? Dia mantan kekasihku, kalau kau penasaran."

Benar-benar ... kenapa pria yang kutemui lebih banyak yang tidak waras?

"Tidak. Dia mencabut laporannya. Dia akan mengawasi pergerakanku dan yang akan bertanggung jawab seandainya aku berulah. Dan kau tahu kenapa dia rela mengambil risiko itu?"

Sejak pagi, otakku rasanya tidak benar-benar bekerja dengan baik, tetapi sekarang dia justru mengajakku bermain tebak-tebakan. Aku hanya mengangkat bahu, menunjukkan ketidaktahuanku.

"Karena kau ada di sini."

"Apa?"

"Dia berpesan padaku agar membuatmu betah bekerja di sini. Jadi kupikir ada sesuatu di antara kalian. Jadi, kau akan kukembalikan ke ruanganmu yang sebelumnya. Kira-kira seminggu lagi." Matthew mengetuk mejaku dua kali, biasanya itu adalah tanda pamit, dia akan kembali ke ruangannya atau pergi ke mana pun dia mau.

"Tunggu." Dia baik sekali mau berhenti melangkah. "Jeffrey sungguhan mengatakan itu padamu?"

"Aku bisa terima dicap sebagai pria yang curang, tapi aku tidak senang dianggap sebagai pembohong. Ya, kami bertemu dua hari lalu. Dia bertanya apakah aku setuju berada di bawah pengawasannya dan itu terlontar dari mulutnya." Tanpa ingin tahu reaksiku setelahnya, dia beranjak pergi, tetapi lagi-lagi dia harus berhenti karena seorang petugas keamanan baru saja menghadang jalannya di depan pintu.

"Nona Clairine ada di sini?"

"Benar. Dia di sini." Matthew yang menjawab pertanyaan itu untukku. Pria ini benar-benar aneh. Apa dia benar-benar menuruti ucapan Jeff sampai bersikap baik padaku? Daripada membuat nyaman, aku justru merasa risi. Dia terpaksa melakukannya, itu pasti.

"Ada titipan dari seorang pria yang tidak ingin menyebutkan namanya."

Aku beranjak dari kursi demi menerima tas karton kecil dari si petugas keamanan. Baru kutilik isinya, aku sudah tahu dari siapa barang ini. "Terima kasih," kataku sebelum kembali ke kursi.

Ada sebuah kotak beludru dan selembar amplop berwarna putih gading di dalam tas karton tersebut. Aku ingat pernah melihat ini di suatu tempat dan ketika kubuka, isinya adalah kalung mistletoe yang kemarin kulemparkan.

"Tidak dibuang?"

Aku mengabaikan Matthew dan menyimpan barang titipan tadi ke laci meja. Pria yang mendadak ramah ini ingin sekali kuusir andai dia bukan atasanku.

"Ini bisa dijual." Aku menyahut asal-asalan.

"Aku serius kali ini. Pulanglah kalau kondisimu sedang tidak baik. Aku tidak ingin sesuatu terjadi karena karyawanku tidak fokus bekerja. Dan ini instruksiku sebagai seorang atasan, bukan karena permintaan Si Austine itu untuk membuatmu merasa nyaman di sini."

Aku baru benar-benar merasa nyaman setelah Matthew pergi. Situasi tadi benar-benar membuatku bimbang. Terlalu banyak perubahan dalam waktu singkat. Aku belum selesai berdamai dengan patah hati, tetapi harus membiasakan diri dengan keramahan Matthew yang tidak biasa. Kenapa semua hal tidak berjalan seperti yang kumau? Misalnya, Matthew tidak memberiku banyak pekerjaan ketika aku sedang membutuhkannya, dan itu membuatku cukup sedih.

•••

"Kau sangat kacau."

"Benar. Ini tidak seperti ketika kau putus dari Jeffrey. Benar-benar sangat kacau. Padahal hubungan kalian baru sebentar."

"Bagaimana dia tidak kacau, pria itu sudah--"

Buru-buru kuremas lengan Pete agar tidak bicara terlalu banyak. Hyunjoo dan Dave tidak perlu tahu seperti apa kebenarannya. Aku tidak membutuhkan lebih banyak rasa kasihan dari orang lain saat ini. Meski situasinya akan berbalik mengingat Pete cenderung lebih suka menyebar kebencian pada si pembuat masalah daripada membuat orang-orang turut mengasihaniku, tetapi Hyunjoo ada di sini. Sebagai wanita, tentu sisi perasanya akan jauh lebih aktif ketimbang ikut mengumpat seperti Pete.

Hari ini kami bertemu di kafe milik keluarga Dave. Ada ruang privat di sana, jadi kami menempatinya. Seringnya kami bertemu di bar, tetapi semenjak Hyunjoo hamil, kami tidak bisa sembarangan membawanya ke tempat yang terlalu berisik, dan tentunya kafe menyediakan menu yang lebih aman untuk wanita-wanita hamil. Sebenarnya pertemuan ini tidak akan terjadi jika bukan karena Pete. Dia bahkan menjemputku di kantor dan langsung ke sini. Sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini sejak pernikahan Hyunjoo dan Dave. Dan aku cukup merasa bersalah karena semenjak berkencan dengan Alby, aku jarang punya waktu untuk menemui mereka, belum lagi Matthew sering membuatku lembur.

"Aku tidak apa-apa, ini hanya efek lelah." Tetap saja, meski sudah tersenyum, gurat-gurat di wajah tidak bisa berbohong. Mereka masih memandangku dengan kerutan di dahi.

Hyunjoo menggenggam tanganku di atas meja. "Pasti sangat berat berpisah dengannya. Kau terlihat jauh lebih buruk daripada saat berpisah dari Jeffrey."

Karena kenyataannya memang begitu, aku tidak punya kata-kata untuk mengelak. Aku akan merasa sangat jahat jika mengakui setelah empat tahun bersama Jeffrey, aku tidak pernah merasakan apa-apa padanya.

"Tidak baik membandingkan dua orang yang jauh berbeda, Sayang."

Dave, aku takjub dia bisa bersikap sangat dewasa semenjak menikahi Hyunjoo. Kurasa mereka adalah bukti nyata dari perubahan seseorang menjadi lebih baik setelah jatuh cinta. Betapa beruntungnya memiliki seseorang yang akan menjaganya dengan segenap jiwa seperti ketika Dave memastikan Hyunjoo tidak mendapat masalah atas apa yang masuk ke perutnya. Kudengar dia lebih sensitif dengan makanan semenjak hamil, padahal di antara kami, dia tidak membatasi apa yang masuk ke perutnya.

Dan adegan itu justru mengingatkanku ketika Alby mengurusku yang kakinya terkilir parah. Aku bahkan tidak percaya kalau itu hanya permainan peran agar aku tetap berada di sisinya. Makin aku memikirkannya, makin memburam pula kebencianku padanya.

Kuatkan dirimu, Ava. Sebaik apa pun sikapnya padaku, tidak akan bisa mengubah fakta bahwa dia hanya memanfaatkanku.

"Aku belum mendengar bagaimana kau menghabiskan hari-hari dengan kehidupan baru dalam perutmu." Aku mengubah topik pembicaraan. Tidak bisa kubiarkan mereka terus membuatku mengingat tentang Alby. Lagi pula, alasan Pete memaksaku untuk datang adalah karena dia pikir aku akan merenung jika dibiarkan sendirian. Sebenarnya aku tidak berpikir akan seperti itu, tetapi bukan berarti tidak akan terjadi.

"Kudengar wanita hamil akan meminta yang aneh-aneh, sudah sejauh apa Hyunjoo membuatmu repot?"

Bagus, Pete bahkan menimpali. Aku tidak harus memikirkan obrolan ini sendirian.

"Mulutmu, Pete. Bisa-bisanya kau mengatakan itu sesuatu yang merepotkan ketika Dave sendiri yang menanam bibitnya di perutku." Hyunjoo yang kesal menghantam tangan Pete di atas meja. Itu pasti menyakitkan, es batu dalam gelas kami bahkan sampai bergerak.

"Apa pria bujangan ini tidak bisa dimaklumi? Aku hanya bertanya." Pete meringis sembari mengusap tangannya.

"Kurasa Hyunjoo masih meminta hal-hal normal." Dave menatap istrinya penuh damba, lalu pelan-pelan mengangkat sebelah tangan wanita itu untuk kemudian dikecupnya agak lama. "Aku tidak masalah kalau harus keliling dunia untuk memenuhi keinginanmu dan anak kita."

Hyunjoo tidak bisa menahan wajahnya untuk tidak mesem-mesem. Lucu sekali melihat dua orang yang dulunya selalu berdebat, sekarang justru memuja satu sama lain. Aku tidak menduga hal-hal seperti bisa terjadi. Dua orang yang saling berjodoh, tidak harus menunjukkan tanda-tanda itu sejak awal.

"Tolong berhenti." Suara Pete sudah serak dan tatapannya agak sinis. "Pacarku ada di belahan bumi yang lain dan melihat kalian seperti itu membuatku merindukannya."

"Kau sendiri aneh, ada jutaan orang di New York, tapi kau jatuh cinta pada wanita di luar itu." Dave memicing, agak kesal setelah momen manisnya diganggu.

"Sebenarnya kalian juga tidak sopan karena pamer kemesraan di depan orang yang baru patah hati." Itu bukan ucapan yang berasal dari hati, aku hanya bermaksud membantu Pete.

"Aa ... maafkan kami." Hyunjoo melepas tangan Dave hanya untuk memelukku yang berada di sebelahnya.

"Pertandingan bisbol minggu depan, Dave, kau datang?"

"Aku harus memastikan istriku juga ikut. Bagaimana, Sayang?"

"Tentu. Satu keinginanku belum tercapai, disorot kamera untuk sesi kiss cam!"

Jeritan Hyunjoo membuatku tersentak, bahkan Pete sampai hampir menumpahkan minuman di tangannya. Itu terlalu sederhana untuk sebuah keinginan.

"Sial. Lalu aku akan menyaksikan kemesraan kalian sepanjang waktu?" Pete protes.

"Kurasa itu gunanya kita juga mengajak Ava." Dave menatapku, tetapi di saat itu juga ponselku berdering. "Bagaimana, Ava, kau ikut?"

Jacob meneleponku. Aku tidak ingat punya urusan dengannya selain rencana untuk menitipkan barang-barang pemberian Alby padanya. Awalnya aku meminta Nate membawanya ke kantor dan memberikan itu pada Jacob, tetapi rencana berubah ketika dia mendapat telepon pagi-pagi sekali dan harus segera berangkat kerja. Itu sebabnya aku masih belum memblokir nomor Jacob di ponselku.

"Sebentar, aku menerima telepon ini dulu." Aku tidak menunggu respons mereka dan segera beranjak pergi, meninggalkan tasku di sana.

Aku baru menerima telepon Jacob setelah berada di teras kafe. "Halo?"

"Ava, maaf mengganggumu. Apa Alby masih bersamamu?"

Sepertinya dia tidak tahu kalau kami berakhir.

"Aku tidak ... kami tidak bersama lagi."

Ada jeda yang panjang sebelum Jacob kembali bicara. Aku tidak tahu apakah berita itu cukup penting sampai dia perlu waktu untuk memproses. "Kalian apa? Serius?"

"Aku tidak akan mengulanginya." Begitu memikirkan betapa buruknya kejadian kemarin, punggungku terempas begitu saja ke dinding bata kafe. Dan rambutku, karena menunduk membuatnya berantakan, aku menyugarnya ke belakang. Benar-benar penampakan orang yang putus asa, dan aku tidak tahu seberapa jelas aku menunjukkannya hingga beberapa pejalan kaki tertarik untuk menoleh ke sini.

"Aku tidak menyangka, padahal dia sudah mem--tidak, dia bilang ingin menemuimu hari ini sebelum kembali ke Inggris."

Padahal dia apa? Kenapa Jacob sampai tidak jadi meneruskan kata-kata yang itu? Dia membuatku penasaran, padahal tidak ingin berurusan apa pun lagi dengan Alby.

"Kenapa tidak meneleponnya?"

"Sudah kulakukan, tapi tidak tersambung. Tadi pagi dia bilang ingin menemuimu dulu. Kalian tidak bertemu hari ini?"

Jacob seperti orangtua yang kehilangan anaknya. Kepanikan terdengar jelas di suaranya. Aku tahu dia bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi pada Alby sebagai tangan kanannya, tetapi aku tidak tahu seberapa besar dia dibayar untuk merasa panik pada pria dewasa yang bisa mengurus dirinya sendiri.

"Tidak. Dia sempat datang ke kantorku, tapi kami tidak bertemu."

"Tapi, apa kalian serius sudah berpisah?"

Aku sempat mengira kalau Jacob mungkin terlibat banyak dalam rencana Alby. Namun, reaksinya membuktikan bahwa dugaanku salah. Lagi pula, dengan uang yang banyak, Alby bisa membayar belasan orang seperti Jacob untuk menjalankan rencananya.

"Sekali lagi, aku tidak tahu Alby ada di mana. Apa pun yang terjadi padanya, bukan lagi urusanku."

Mulutku bisa mengatakan itu dengan tegas, penuh keyakinan, tetapi kenapa aku justru merasa gelisah?

"Baiklah. Aku akan bertanya pada yang lain. Barangkali kau menemuinya nanti, tolong beri tahu aku. Pesawatnya berangkat setengah jam lagi, tapi dia belum datang juga. Padahal ada kolega yang harus dia temui besok pagi di sana."

Aku ingin sekali menolak, menjawab tidak dengan sangat lantang. Namun, yang terucap justru, "Baiklah."

Kupikir aku sengaja mengiakan agar pembicaraan tentang dia segera berakhir. Benar. Aku tidak punya alasan untuk ikut mengkhawatirkannya, dia lebih pantas dibenci, diberi karma atas apa yang diperbuat. Sayangnya, karena kenyataan itu baru terkuak kemarin, lantas apa yang kurasakan padanya belum benar-benar memudar. Masih segar di ingatan tentang hal-hal baik tentang dia. Aku meremas ponselku, menekan betapa menyebalkannya fakta bahwa aku masih peduli.

Namun, kalau dia memang berencana ingin menemuiku, kenapa dia justru menitipkan kalung tadi pada petugas keamanan? Tunggu, amplop itu ... .

Aku buru-buru kembali ke ruangan privat di mana kami berkumpul tadi dan segera mengeluarkan amplop dari tas karton yang kusimpan di dalam tas. Ketiga temanku mulai melayangkan tanya, tetapi aku mengabaikan mereka. Aku ingin buru-buru tahu apa yang tertulis di sana, mungkin bisa menunjukkan clue tentang keberadaannya.

Aku akan menganggap ini sebagai niat baik untuk membantu Jacob, tidak lebih dari itu.

'Dear, Ava

Aku menyesali apa yang kuperbuat padamu. Sangat. Kumohon beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya, aku ingin meminta maaf dengan benar kali ini.

Kalung itu, aku ingin kau menyimpannya, agar kau punya alasan untuk terus mengingatku, tidak peduli itu berarti kau masih membenciku.

Tolong, datanglah ke lantai teratas gedung XX Aleo. Aku akan menunggu di sana dan tidak akan pergi sampai kau datang.

From your lover, Alby'

Ini kesempatanku untuk menemuinya terakhir kali sebelum benar-benar mengakhirinya. Tentu bukan untuk menyisakan kenangan yang baik. Katakanlah aku bodoh karena masih mau menemuinya, tetapi surat di amplop itu ditulis dengan komputer, yang mungkin saja failnya masih tersimpan di sana. Kalau sesuatu terjadi padanya, aku akan menjadi orang pertama yang dicari orang-orang.

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
31 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro