Bonus 3 - Bridesmaid & Groomsmen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tidak punya teman dekat selain Hyunjoo. Apa memang harus dengan beberapa bridesmaid?"

Aku sedang menuangkan krimer ke secangkir kopi ketika kudengar Ava mengeluh. Tatapannya tertuju pada layar iPad yang menampilkan daftar apa saja yang harus dipersiapkan untuk pernikahan kami. Paula yang mengirimkan itu padanya sebagai seseorang yang pernah berpengalaman. Kami selesai makan siang setengah jam lalu dan sekarang memutuskan untuk bersantai di ruang tengah. Ini akhir pekan, kami tidak bekerja.

Baru seminggu lalu kami resmi bertunangan, pernikahannya sudah direncanakan dua bulan lagi, tepat di hari ulang tahunku. Bukan aku yang meminta, tetapi Ava mungkin merasa kasihan denganku karena lahir di bulan berbeda dari keluargaku. Setidaknya mulai tahun ini akan ada dua perayaan penting di tanggal tersebut.

Secangkir kopi tadi, aku membawanya menghampiri Ava yang duduk setengah berbaring di sofa panjang. Kakinya terulur di seluruh badan sofa, seolah-olah tidak memberiku kesempatan untuk duduk di sampingnya. Masih ada sofa lain, tetapi aku tidak bisa jauh-jauh darinya. Jadi, kopi tadi kuletakkan dulu di atas meja, lalu kakinya kuangkat dan aku duduk di bawahnya. Aku memangku kakinya yang cantik sekarang. Dia tidak protes, mengingat ini sudah menjadi hal biasa yang kami lakukan saat bersantai.

"Coba diingat-ingat dulu, siapa saja yang pernah kaukenal?"

Dahinya yang sedang berkerut itu ingin sekali kuhujani dengan kecupan yang banyak. Tidak ada yang salah dari memiliki keinginan untuk terus menyentuh seseorang yang dicintai. Aku juga tidak bisa menyembunyikan betapa aku sangat tergila-gila padanya. Semua aspek dari dirinya begitu sempurna, bahkan gumaman yang tercipta karena otaknya yang sedang berusaha mengingat-ingat itu terdengar seperti alunan yang merdu, sampai-sampai aku tersenyum dibuatnya.

"Di sini dikatakan kalau yang dipilih untuk menjadi bridesmaid adalah orang-orang terdekat. Keluarga atau teman dekat." Akhirnya iPad itu diturunkan dan dia menatapku sekarang. "Bagaimana kalau tidak pakai saja? Lagi pula, aku tidak mau membuat Hyunjoo repot untuk mengurusku."

"Kau sudah mendatangi desainer itu, apa mau dibatalkan?"

"Kau benar. Gaun yang dia tunjukkan padaku semuanya cantik-cantik. Aku sampai bingung memilih."

Aku menyesap kopiku sebentar sebelum dingin. Cairan itu hampir kuabaikan hanya karena terlalu asyik memperhatikan Ava.

"Kau bisa pesan semuanya. Tidak harus untuk bridesmaid, tapi untukmu juga. Bagaimana?" Kalau Ava menyukainya, aku akan berusaha mendapatkan itu untuknya. Itu adalah salah satu cara untuk menghabiskan uang. Meski setelahnya dia akan mengomel, tetapi aku tetap senang melakukan itu untuknya.

"Itu pemborosan."

Aku lantas mengecup lututnya ketika dia memicing. Dia memang lebih menghargai uang daripada aku. Dia bahkan sering mengatakan kalau kertas-kertas itu tidak akan begitu berharga bagi orang sepertiku. Kupikir tidak masalah, Ava sudah berjuang selama ini untuk mencarinya, sudah saatnya dia berhenti dan menikmati apa yang kuberikan untuknya. Namun, dia masih tidak bisa menerima pemikiranku yang satu itu. Bahkan sampai sekarang dia masih bekerja untuk penerbitan Troy.

"Memangnya aku akan memakai itu ke mana? Aku masih nyaman dengan pakaianku."

"Tapi kau akan banyak menghadiri banyak acara amal bersamaku setelah kita menikah, Sayang."

"Ugh. Aku lupa kalian suka menghamburkan uang untuk membuat acara seperti itu."

Aku tertawa begitu keras karena reaksinya. Tidak peduli kalau tunangannya, calon suaminya, adalah bagian dari itu, dia masih akan terus mengejek kebiasaan-kebiasaan kami yang tidak masuk akal baginya. Alih-alih tersinggung, aku justru merasa terhibur.

"Jadi bagaimana tentang bridesmaid?"

Dia menggumam lagi. "Selain Hyunjoo, aku juga berpikir akan meminta Claudia."

Sial. Aku nyaris tersedak kopi karena mendengar nama itu. Sudah tidak ada perasaan lagi untuknya, tetapi karena pengalaman kurang baik berkaitan dengannya, aku tidak bisa tidak terkejut ketika nama itu keluar dari bibir Ava. Sampai sekarang aku masih tidak percaya mereka kembali berteman. Tidak begitu dekat sebetulnya, tetapi sudah sangat luar biasa karena mereka bisa tertawa bersama dalam obrolan lima belas menit.

"Kau pasti bercanda. Malam itu aku hampir kena serangan jantung saat tahu kau dibantunya bersiap untuk pertunangan kita."

"Dia benar-benar membantuku saat itu. Kami mengobrol santai, tidak ada yang aneh." Ava duduk dengan benar sekarang, kepalanya tidak lagi berada pada pinggiran sofa.

"Dengan pengalaman yang tidak menyenangkan tentang dia, mana mungkin aku bisa merasa tenang saat kau tidak kunjung datang ke venue? Aku sudah berpikir dia membawamu kabur dan menyabotase pertunangan kita."

Tawa Ava meledak begitu saja. Aku yakin menceritakannya dengan nada panik, bukan jenaka. Sama sekali tidak ada yang lucu soal itu.

"Aku frustrasi dan kau sangat senang." Aku mengerang setelah mengatakannya.

Butuh waktu tiga menit penuh untuk menunggunya selesai tertawa. Tanganku terulur untuk menyapukan air mata yang keluar dari sudut matanya. Dia tertawa sampai seperti itu.

"Kami hanya mengobrol dan tidak sadar kalau waktu berlalu cukup lama. Saat itu aku sangat gugup dan dia membantu menenangkanku. Tapi sangat lucu saat tahu kau begitu panik. Kami bertemu Paula di lorong dan menuju venue bersama. Tapi dia justru menahanku agar tidak masuk dulu dan menunggu sampai Dad memanggil."

Sialan. Kukira aku bisa percaya pada Paula, tetapi dia justru menjadi pelaku utama yang membuatku nyaris kehilangan akal sehat di depan banyak orang. Namun, di samping itu, aku senang ketika Ava sudah terbiasa menyebut ayahku dengan sebutan yang sama sepertiku. Awalnya kaku, dia akan murung setelah kata itu terucap dari mulutnya, tetapi sekarang dia sudah cukup terbiasa.

"Boleh aku memesan baju untuk Pete dan Dave juga? Um, Troy juga mungkin?" Aku belum merespons apa-apa, tetapi Ava sudah menunjukkan wajah mengerti. "Tadinya kupikir akan bagus untuk berfoto dengan pengantin pria yang hanya punya satu pendamping."

Wajah Jacob seketika muncul di kepalaku dan aku hanya bisa menertawakan diri sendiri. Aku mendesak Ava untuk menentukan daftar pendamping pengantin untuknya, padahal aku juga tidak punya teman dekat untuk dipercayakan terlibat dalam momen penting selama hidupku. Kukira dia juga akan menertawakan kemalanganku, tetapi malah menatapku prihatin.

"Kau tidak mengejekku? Aku merindukan kata-kata sarkasme darimu."

Ava mencebik. Itu menggemaskan sampai aku mencubit pipinya, tetapi apa yang kudapat setelahnya? Dia menepis tanganku dengan kuat sampai menghantam sandaran sofa. Kupikir dia bisa menerimanya, tetapi hal-hal manis seperti itu masih terasa pahit baginya. Dia bahkan menatapku seakan-akan aku baru saja melakukan sesuatu yang menjijikkan.

"Aku lebih ingin mengasihanimu saat ini. Tidak, seharusnya kau juga sama menderitanya denganku. Kenapa hanya aku yang pusing mencari pendamping, sedangkan kau tidak? Kenapa kau memaksaku mengingat siapa saja yang pernah menjadi temanku, sementara kau tenang-tenang saja? Itu tidak adil."

Ava tidak berbohong ketika memperingatkanku untuk siap menerima omelan atau celotehannya. Di masa-masa awal pertemuan kami, aku tidak bisa berhenti berpikir bahwa tidak masalah membuat kekacauan di hidupnya karena dia terlihat seperti wanita yang kuat. Dengan wajahnya yang dingin, pembawaannya yang tegap, serta tutur katanya yang tegas dan cenderung sarkastis, Ava berhasil membuat orang lain percaya bahwa dia hidup dengan baik. Aku pun ikut tertipu, padahal aslinya sangat berkebalikan. Kepribadian luarnya memang keren dan membuatku terpesona, tetapi kepribadiannya yang menggemaskan ini membuatku makin tidak bisa lepas darinya.

Maksudku, siapa yang tidak senang menerima kejutan setiap harinya. Terkadang aku tidak bisa menebak apa yang akan Ava lakukan atau katakan selanjutnya.

"Hei, Alby." Dia menjentikkan jari di depan wajahku. Itu bahkan tidak membuatku terkesiap karena tidak sedang melamun. "Berhenti menatapku seperti itu. Aku merasa seperti daging panggang yang siap kau santap."

Aku tersenyum. Kuraih tangannya dan kukecup cukup lama. "Aku memang ingin menyantapmu sejak lama."

Satu erangan dia keluarkan ketika menarik tangannya dariku. Hal-hal seperti ini terkadang membuatku frustrasi, tetapi aku cukup sadar dan terus ingat untuk tetap bersabar.

"Jangan alihkan pembicaraan. Bagaimana dengan saranku tadi?"

"Aku setuju saja. Kau bisa libatkan siapa pun asal mereka mau, Sayang. Itu akan menjadi momen penting yang terjadi hanya sekali seumur hidup. Lagi pula, Troy harus terlibat karena berkat dirinya, aku bisa menemuimu lagi." Aku tidak menyerah untuk berusaha tetap menyentuhnya meski sudah ditepis beberapa kali. Kali ini sasaranku adalah daun telinganya.

"Hm. Kalau begitu aku juga harus memesan tuksedo, ya? Apa Nona Pereira bisa menjahitnya juga?" Dia fokus dengan iPad-nya lagi, mengabaikanku.

"Kita bisa pesan di tempat lain. Serahkan saja pada Troy, dia pasti tahu tempat yang bagus."

"Dia akan menjadi pendampingmu, seharusnya kau yang mengurus keperluannya."

Mataku berotasi disertai dengkusan yang keras. Seharusnya aku menduga ini akan terjadi. Namun, aku tidak memikirkannya sampai sana. Kalau sudah berkata 'iya' tidak mungkin aku membatalkannya, tidak peduli jika aku suka mendngar dia mengoceh panjang lebar. Ada hal lain yang bisa dilakukan untuk itu selain membuatnya kesal.

"Aku akan menghubungi Jacob nanti."

Ava hampir protes karena ucapanku, tetapi sebelum itu terjadi, aku sudah lebih dulu memindahkan iPad di tangannya ke atas meja dan segera merangkak ke atas tubuhnya. Sejak tadi pagi aku menahan diri untuk tidak menciumnya, apalagi hari ini dia hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong milikku yang kebesaran di tubuhnya. Dengan penampilan itu dia membersihkan rumah kami. Ya, penthouse ini menjadi rumah kami untuk sementara sampai kami menikah. Bayangkan saja betapa tersiksanya aku ketika kaus tersebut sesekali tersingkap karena pergerakannya. Aku yang dipaksa membantu pun kerap kehilangan fokus dengan apa yang kulakukan.

Setiap akhir pekan Ava selalu ingin membersihkan rumah sendiri. Dia memintaku agar meliburkan siapa pun yang kupekerjakan untuk membersihkan tempat ini pada akhir pekan. Aku tidak membantah meski tidak terima melihatnya harus kelelahan membersihkan tempat sebesar ini dan menuruti kemauannya saja. Beruntungnya asisten rumah tangga yang kupekerjakan membersihkan rumah dengan baik hingga pekerjaannya tidak terlalu berat.

"Apa yang mau kaulakukan, Alby?" Ava berusaha mendorong dadaku agar menjauh darinya meski sudah tahu apa yang kuinginkan.

Aku tidak menjawab dan menyerang lehernya terlebih dahulu. Aromanya manis, sangat manis sampai aku tidak bisa berhenti mencium dan menghisap. Terlebih lagi jika itu sampai membuatnya melenguh.

"Aku akan menendangmu kalau itu sampai berbekas!"

•••

Ahoy ...
Bonus ini nggak berarti sesuatu sebetulnya. Tapi aku mau tunjukin sebagus apa hubungan mereka sekarang. Hehe.
Semoga setelah ini akan banyak ide berseliweran untuk nulis lebih banyak bab bonus mereka.

See you~
Lots of Love, Tuteyoo
5 November 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro