Heaven In Your Eyes -4-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Selamat datang di perkebunan teh Java Prasasti, Pak Surya.”

Arun menjabat tangan pak Surya yang datang secara tiba-tiba ke kantornya. Pengusaha yang cukup terkenal itu pernah berencana ingin mengakuisisi perkebunan teh yang sebelumnya ditangani oleh ayah Arun. Arun yang waktu itu sedang menempuh kuliah S2 meyakinkan ayahnya bahwa mereka tidak harus menjual perkebunan sekalipun harga yang ditawarkan sangat menggiurkan. Waktu itu Arun meyakinkan sang ayah bahwa meskipun harga saham Java Prasasti sempat mengalami penurunan tajam, mereka masih mampu memulihkan keadaan tersebut.

“Gagasan kamu membuat areal perkebunan teh menjadi kawasan wisata benar-benar brilian. Saya juga sempat memikirkan hal tersebut ketika berencana membeli perkebunan ini. Tapi kamu mendahului saya.”

Arun merendah. “Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kondisi perkebunan jadi lebih baik.”

Pak Surya mengangguk-angguk. “Tapi bagaimana dengan produksi teh? Ekspor teh masih jalan kan?”

Arun menjawab diplomatis. “Kami masih terus melakukan penelitian untuk menemukan teh yang memiliki kualitas terbaik. Ekspor mungkin belum begitu membaik. Sambil melakukan itu, saya berusaha menambah fasilitas di kawasan wisata kebun teh ini.”

“Sepertinya kamu mau membuat perumahan di tengah perkebunan teh ya?” Pak Surya berceloteh.

Arun tersenyum. “Jika memungkinkan, saya bisa membuat hotel berbintang lima, Pak.”

Ucapan Arun tersebut disambut Pak Surya dengan tawa terbahak-bahak. Berulangkali ditepuk-tepuknya punggung dan pundak Arun.

“Oh, ya. Saya hampir lupa. Saya datang bersama putri saya, Kalin. Hmm, mungkin dia lagi mampir di salah satu vila.”

Arun mengikuti langkah Pak Surya keluar dari kantornya. Pak Surya memandang ke hamparan kebun teh dan vila yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri.

“Papaaa!!”

“Nah, itu dia.” Pak Surya menunjuk ke arah Kalin yang melambaikan tangan dari teras sebuah vila.

                                                            ***

“Teh?”

Sebuah cangkir putih berisi teh panas disodorkan Arun kepada Kalin. Mereka kini sedang duduk di dalam villa yang ditinggali Arun selama dua tahun terakhir ini.

“Terimakasih. Kamu baik sekali.” Kalin menerima uluran cangkir berisi teh panas dengan asap yang masih mengepul. Cocok sekali diminum di tengah udara dingin Puncak.

Arun mengangkat cangkir untuknya dan meniup-niup teh sebelum mulai meneguknya dengan perlahan. Meresapi aroma teh yang dihasilkan dari perkebunan Java Prasasti.

Aroma dan rasa yang sangat sempurna, seperti yang diinginkannya. Teh hijau tanpa gula yang diseduh dengan air panas dalam teko tanah liat.

“Setelah menikah, kita akan tinggal di sini kan?” Kalin tersenyum senang.

Tinggal berdua dengan Arun di villa yang sejuk itu akan jadi salah satu momen paling membahagiakan dalam hidupnya setelah menikah. Kalin tidak pernah menyangka akan semudah ini jalan menuju pernikahan. Tiga bulan lalu dia hanyalah seorang gadis yang menghabiskan waktu berminggu-minggu berkabung karena putus cinta. Dan sekarang dia akan menjadi perempuan paling beruntung karena memiliki sosok calon pendamping seperti Arun.

Papa dan mama sangat menyukai Arun. Dan Kalin masih mengingat dengan jelas bagaimana papa yang begitu menyanjung Arun sebagai calon menantu terhebat yang pernah dikenalnya. Papa yang biasanya begitu keras dengan setiap laki-laki yang dekat dengan Kalin, begitu cepat menyetujui hubungan Kalin dengan Arun.     

“Iya.”

Kalin meletakkan cangkir teh yang dipegangnya dan menarik tangan kanan Arun yang bebas.

“Kalau begitu, tunjukkan aku semua bagian calon rumah kita.” Kalin mengucapkannya dengan semangat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro