Heaven In Your Eyes -6-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perjalanan sampai ke villa memakan waktu hanya sekitar sepuluh menit. Begitu sampai di villa, aroma masakan Bik Sumi sudah tercium sampai ke ruang tamu. Kalin melepaskan coat yang lembab setelah mengeluarkan strobilus dari dalam ke dua kantung depannya. Strobilus yang masih bagus dibawanya ke dapur sementara yang sudah rusak, dibuangnya ke tong sampah di samping villa.

            “Hai, Bik. Udah masak semua ya?” tanya Kalin.

            Bik Sumi yang sedang menggoreng ayam melarang Kalin ketika hendak membantu. “Tinggal ayam gorengnya, Non. Duh, Non. Jangan ke sini. Nanti tangannya kotor.”

            “Nggak pa-pa, Bik. Aku mau juga ngerasain kerja di dapur itu kayak gimana.” Kalin tetap ngotot menyiapkan piring untuk ditata di atas meja. Bik Sumi akhirnya mengalah dan membiarkan Kalin memilih piring dan gelas untuk ditata di atas meja.

            Sambil menunggu Bik Sumi selesai menggoreng ayam, Kalin mengirimkan SMS ke nomer Arun. Menanyakan apakah Arun bisa pulang untuk makan siang atau tidak.

                                                                        ***

           

            Arun menyingkir sebentar dari obrolannya dengan Pram, manajer perkebunan teh yang kini dikelolanya. Dia baru saja akan menyiapkan kata-kata sopan dan mengesankan kewibawaan ketika nama Kalin terpampang di monitor ponselnya. Arun tidak berniat me-reject tapi ia akan cepat-cepat menyudahi percakapan mereka dengan alasan sibuk.

            “Belum tau kapan pulang.” Arun menendang kerikil kecil dengan sepatu hitamnya.

            “……………..”

            “Nggak usah maksa.”

            “………………”

            “Baiklah. Setengah jam lagi saya pulang.”

            “……………...”

            “Just don’t….”

            Arun memasukkan ponsel ke dalam saku celananya dengan ekspresi yang menyiratkan kebingungan. Dia berhadapan dengan seorang perempuan periang yang bahkan belum sadar bahwa pernikahan mereka hanya sebuah pelarian dari masa lalu.

            Masa lalunya.

                                                                        ***

            Kalin tersenyum-senyum saat menutup ponsel. Dia tidak menyangka akan seberani itu.

            I Love you, Arun. Cepat pulang ya…

            Masih dengan tawa yang menghiasi wajahnya, Kalin duduk di teras setelah merapikan diri. Sayangnya, dress-dress lucunya tidak cocok dipakai di udara yang dingin. Kalaupun memaksakan memakainya, dia harus melapisinya dengan sweater atau kardigan.

            Kalin menepuk dahinya. Hmm, bukannya ada pemanas ruangan? Mengapa dia tidak kepikiran ya?

            Suara deru mesin mobil terdengar dari halaman kemudian senyap. Kalin berjalan cepat menuju teras dan pada saat yang bersamaan, Arun turun dari mobil.

            “Hai. Kamu kecepetan lima menit.” Kalin tersenyum. Diikutinya langkah Arun menuju ruang makan. Sikap Arun masih sedingin seperti sebelumnya. Namun Kalin senang karena Arun masih mau pulang untuk makan siang bersama.

            “Aku ambilkan ya.” Kalin menyentuh sendok nasi sebelum ujung jari Arun menggapainya. Arun tidak mengangguk, tapi membiarkan Kalin meladeninya.

            Arun lebih senang makan sendiri. Tanpa mendengarkan Kalin bercerita terlalu panjang lebar. Sepertinya semua hal mudah saja diekspresikan perempuan itu secara verbal. Tentang perasaannya tinggal di villa. Kalin merencanakan akan menulis naskah novelnya dengan mengambil setting di villa dan di sekitarnya. Meliputi perkebunan teh, hutan pinus, dan kemungkinan juga sedikit mengambil setting di Bogor dan Jakarta. Arun mendengarkan. Hanya mendengarkan tanpa memberi satu pun tanggapan.

            Mengapa perempuan yang satu ini tidak bisa diam?

            “Habis ini, kamu mau balik ke perkebunan? Boleh aku ikut?” tanya Kalin dengan wajah pengharapan.

            “Nggak,” jawab Arun singkat. Diteguknya air hangat  di dalam gelas yang digenggamnya sampai habis.

            “Kenapa nggak boleh?”  Kalin akan selalu bertanya untuk hal-hal yang dia pikir mengganjal di pikirannya.

            “Saya nggak mau diganggu.” Arun menjawab. Seperti Kalin yang dengan sukacita blak-blakan dengan kebahagiaannya, Arun merasa juga bisa melakukan hal yang serupa. Untuk alasan yang berbeda. Dia berusaha untuk seminimal mungkin melibatkan Kalin dalam hidupnya, termasuk soal pekerjaan.

            “Kamu nggak mau diganggu? Oleh siapa?”

            Arun tidak menjawab. Sebaliknya, dia lekas menghabiskan sarapannya.

            Kalin menggeleng tidak percaya. Yakin bahwa oknum yang dikatakan mengganggu oleh Arun adalah dirinya.

 “Ya Tuhan. Kamu kok segitunya sih? Aku kan cuma mau liat-liat? Kamu kerjakan saja yang mau kamu kerjakan, aku akan jalan-jalan sendiri. Aku hanya mau numpang di mobilmu.”

Arun tidak bersuara. Terlihat benar-benar bosan dengan percakapan mereka.

“Hanya ada satu mobil kan di sini?” Kalin melanjutkan.

Dalam beberapa detik, keheningan tercipta di ruangan itu. Kalin hanya mendengar helaan napasnya sendiri juga detak jam dinding.

            “Apa ada yang pernah mengatakan kalau kamu cukup menyebalkan?” Arun menekankan nada suaranya pada kata “cukup”.

            Kalin mengangguk. “Hanya cewek-cewek sirik di sekolahku dan beberapa dari sekolah lain yang nggak suka karena aku kaya dan hidupku sempurna.”

            Arun hampir menyemburkan tawa. Selain berisik, perempuan ini juga sangat narsis dan mungkin sedikit angkuh. Tapi ditahannya karena dia tahu. Sekali dia tertawa, Kalin akan mengira Arun menyukai tingkahnya yang sudah dewasa tapi masih bertingkah seperti anak SMA dengan segala sikap manjanya.

            “Kalau saya menilai kamu menyebalkan?” Arun mengunyah potongan apel di piring kecil.

            “Ya itu terserah kamu. Tapi aku akan berusaha jadi isteri yang baik buat kamu.” Kalin berujar mantap. Sejak hatinya tertawan pesona maskulin yang dimiliki Arun, dia akan melakukan apapun untuk membuktikan ucapannya itu.

            “Kamu tahu bagaimana caranya?” Arun mengunyah pir yang terasa segar karena manis, renyah dan  tidak mengandung terlalu banyak air.

            “Melakukan yang kamu suka dan meninggalkan yang kamu tidak suka. Tapi aku bahkan tidak tahu banyak tentang kamu.” Kalin mengingat-ingat seluk-beluk seorang Arundaya Agyana. “Kamu suka ayam goreng tepung yang renyah, iya kan?”

            “Tau darimana?”

            “Dari jumlah ayam yang kamu makan. Kamu makan lima potong.” Kalin memutar ke dua matanya.

            “Saya suka perempuan yang tidak banyak tanya, tidak banyak bicara dan tidak banyak ingin tahu urusan orang lain.” Arun menelan potongan apelnya yang terakhir sekaligus menjadi isyarat baginya untuk menyudahi basa-basi dengan Kalin.

            “Kalau aku bisa jadi seperti yang kamu mau, apa kamu akan menyukaiku?” tanya Kalin datar.

            “Lakukan saja,” tantang Arun sambil meletakkan serbet di sisi piring makannya.

            “Aku akan melakukannya mulai besok. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin tahu, jam berapa kamu mau pulang?” Kalin ikut berdiri ketika Arun mengatakan akan segera kembali ke perkebunan.

            “Saya akan pulang sebelum malam.” Arun mencegah Kalin yang mulai berjalan di belakangnya. Mengikutinya seperti anak kucing. “Saya mau ke kamar mandi. Dan saya belum cukup tua untuk dibantu buang air kecil.”

                                                                        ***

            Hembusan napas Kalin menyatu dengan udara sekitarnya. Pikirannya bekerja lebih keras dari sebelumnya.

Baru dua hari di sana dan kelakuan Arun masih sama saja seperti awal keberangkatan mereka ke Puncak. Keningnya mengerut-ngerut, memikirkan obyek yang sama.

Baru dua hari, ulangnya. Masih banyak waktu untuk mengubah wujud Arun dari patung batu menjadi manusia normal.

            Kalin berbaring di sofa dengan mata yang terpancang lurus ke langit-langit kamar. Dia adalah orang yang penuh inisiatif dan kreatif walau terkadang orang masih menilainya manja dan kurang bisa hidup mandiri.

            Selain menyukai perempuan yang tidak banyak bicara, apakah Arun juga menyukai perempuan yang mandiri? Yang memiliki pekerjaan sendiri? Selama ini Kalin memang tidak banyak aktif di perusahaan keluarga. Dia lebih suka travelling, fotografi, belanja, sesekali mengikuti ibu melakukan aksi sosial bersama yayasan milik keluarga, bersantai, pesta. Semacam itulah. Makanya, keluarganya memang setuju menikahkannya dengan laki-laki yang cerdas dan mandiri seperti Arun dengan harapan, Kalin bisa ikut mandiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro