Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"MAR, lo bilang kalau hubungan kita nggak baik dengan Allah, itu akan membuat kita lebih mudah melakukan hal-hal jahat dan perbuatan yang buruk? Itu maksudnya gimana? "

Aina menatap Maryam yang duduk di sampingnya. Berada di tepi pembatas atap gedung membuatnya lebih nyaman bercerita dan berdiskusi dengan perempuan itu. Ia sedang ingin merenung. Sebenarnya ia sedang bimbang ingin hijrah. Ingin berkerudung seperti Desy atau Maryam. Tetapi ia belum siap. Meskipun ia telah berusaha mengikhlaskan segalanya, tetap saja. Mimpi-mimpi buruk dalam tidurnya sedikit banyak membuatnya belum bisa move sepenuhnya.

Rambut ikal berwarna cokelat Aina berkibar. Maryam tersenyum. Menatap Aina yang kini tampak lebih segar. Beberapa minggu lalu, ia terkejut menemukan tubuh Aina yang berlumuran darah di dua lantai lebih rendah dari atap gedung. Untungnya, Aina tidak sampai terjun bebas ke dasar gedung dan masih bisa ia selamatkan.

"Anggap saja ada tiga lingkaran perisai kehidupan kita, Ai. Lingkaran pertama, lingkaran paling luar adalah perisai agama, keimanan kita. Semakin tebal iman seseorang, semakin kuat dan bijak kita menghadapi permasalahan hidup.

Contohnya adalah Rasulullah. Kita tentu tahu bagaimana keimanan Rasulullah yang begitu sempurna dan luar biasa. Ingat bagaimana kisah Aisyah R.A yang cemburu dan justru memecahkan piring?"

Aina mengangguk. Ia pernah dengar cerita itu.

"Suatu kali, ada pesta besar di rumah Rasulullah. Beliau sebagai pemimpin negara tentu mengundang orang-orang besar. Ya sama seperti seorang presiden yang mengundang mentri, pejabat negara, atau tamu agung dari luar negeri. Di sanalah Nabi Muhammad seolah dipermalukan oleh Aisyah, ia cemburu karena ada seorang istri Nabi lain yang mengiriminya makanan. Aisyah yang cemburu kemudian melempar piring itu hingga menyebabkannya jatuh berantakan. Bisa dibayangkan betapa malunya beliau di depan para koleganya?"

Aina mengangguk, ia membayangkan ceritanya.

"Tetapi, akhlak Rasulullah memang luar biasa. Ia justru tersenyum, membereskan pecahan piring yang dilempar Aisyah dan berkata dengan lembutnya, Ibu kalian sedang cemburu," Maryam tersenyum.

"Satu lagi, Nabi Ibrahim. Kamu tahu kan cerita rencana penyembelihan Nabi Ismail?"

Aina kembali mengangguk.

"Kalau saja Nabi Ibrahim tak punya keimanan yang begitu tebal, begitu juga Nabi Ismail, tentu mereka akan menolak mentah-mentah perintah Allah. Tetapi lihatlah, karena keimanan mereka begitu tebal, mereka justru percaya tanpa bertanya mengapa terlebih dahulu. Padahal resikonya, Nabi Ismail mungkin saja akan meninggal. Untuk itulah Allah kemudian menggantinya dengan domba."

Cuaca sore itu tidak terik. Aina menatap gedung-gedung pencakar langit di depannya. Berbeda dengan sebelumnya, ia tak merasa takut atau khawatir yang berlebihan.

"Perisai kedua adalah logika. Ketika perisai pertama tak cukup kuat dan tebal untuk menghalau masalah hidup, kebanyakan dari kita akan mempertanyakan mengapa Allah begitu tega memberi masalah berat pada kita, mengapa kita yang harus mengalami kesedihan sepahit ini, dan mengapa-mengapa lain. Lebih ekstremnya, mereka akan menyusun logika tentang ketidakbergunaan agama dalam hidup kita. Makanya kita sering melihat orang-orang yang menolak perintah Allah karena mereka pikir tidak ada gunanya menjadi orang yang taat. Lalu mereka akan berbuat sekehendaknya. Melakukan kejahatan, mengingkari perintah Allah dan menghalalkan segalanya atas dasar pembenaran logika. Padahal salah, seperti kata Mas Opin, Allah--Sang Pencipta tentu lebih tahu bagaimana caranya hidup yang sesungguhnya," kata Maryam. Sedikit menjeda.

"Lalu, perisai ketiga. Ketika keimanan dan logika tidak mampu membuat seorang manusia kuat menghadapi hidup. Maka pertahanan terakhirnya adalah fisik. Makanya tak jarang kita lihat orang yang begitu frustasi, kemudian ingin bunuh diri. Karena keimanan dan logika sudah tak mampu merangkai kekuatan atas permasalahan hidupnya."

Aina menatap Maryam. Tersentak, itu... seperti dirinya?

"Maaf, Ai. Bukan maksudku untuk menyinggungmu."

"Its oke, Mar. Gue nggak tersinggung, hanya saja... ya, gue jadi sadar alasan kenapa gue melakukan hal-hal bodoh kemarin. Setidaknya pertanyaan besar di kepala gue terjawab. Thanks, by the way."

Maryam tersenyum. Memeluk Aina hangat. "Jadi bagaimana, sudah mantap mau menerima cintanya Allah belum?"

Mata Aina panas, hatinya bergemuruh. Satu tetes air matanya luruh. Ia menangis.

Allah, kenapa Engkau begitu baik padaku padahal aku telah berhianat sedemikian rupa?

▫️▫️▫️

"Bu, tapi... Aina lupa bagaimana caranya sholat."

Ibu terdiam, mengerjap-ngerjapkan matanya. Ada aura ketakutan dan kekhawatiran dalam tatapan matanya.

"Kamu yakin, Ai?"

Aina diam. Membuat Ibu semakin ketakutan. Tetapi, satu menit memandangi wajah Ibu yang kebingungan, Aina justru tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu karena berhasil mengerjai Ibunya.

"Ainaaa! Kamu bikin Ibu takut!" Ibu mencubit pinggang Aina. Membuat gadis itu menghindar seketika.

"Abisnya, Ibu rese sih. Aina lagi capek banget, Bu. Tadi ngerjain banyak laporan di kantor."

"Tapi kan hampir maghrib. Udah, ayo bangun!"

Ibu menarik lengan Aina, yang mau tak mau dituruti.

"Oh iya, Bu. Aina punya sesuatu yang ingin Aina tunjukan." Ia ingat barang yang tadi siang dibelinya. Aina bergegas membuka lemari, memperlihatkan barang yang dibelinya.

"Kerudung?" tanya Ibu tak percaya.

"Sebentar." Aina mematut dirinya di depan cermin. Mencoba kerudung berwarna biru muda yang dibelinya. "Gimana, Bu? Aina cocok nggak sih pakai ini?"

Ibu mengangguk cepat, "Cocok banget. Cocok. Ibu suka. Kerudungnya panjang, menutupi dada. Kamu jadi kelihatan lebih ngademin dan anggun."

Aina tersenyum, manis sekali dengan kerudungnya.

"Aina juga beliin buat Ibu. Warnanya sama. Nanti kita pakai buat ikut kajian masjid dekat rumah, ya?"

"Kamu mau ikut kajian?"

Aina mengangguk semangat.

"Rencananya Aina juga mau berkerudung, Bu. Bukan ketika hadir kajian aja. Tapi setiap keluar rumah. Doakan istiqomah, ya?"

Mata Ibu berkaca-kaca, mengangguk. Ia tersenyum senang dan terharu dengan perubahan Aina.

▫️▫️▫️















📝SELESAI
23 November - 20 Desember 2018.
Pukul 18.48 WIB

Ditulis di Pemalang dan Merangin, Jambi.

Story by eniristiani.

Happy reading :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro