Heks

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

sususkadaluarsa and DeadChuu  collaboration

Heks

Chainsaw Man © Fujimoto Tatsuki
Warning: a little bit ooc, typo (s), latar waktu perang dunia kedua (lebih tepatnya pengeboman Nagasaki), untuk siapapun yang punya trauma dengan bom jangan baca ini, dll

Dua orang pemuda terlindungi semak-semak yang bertaut. Melalui celah, mereka menonton beberapa orang gadis yang berendam dan saling tertawa di sungai.

“Ck, di mana Makima-san?

Makima, kembang desa yang digilai para pemuda. Selain diberkahi wajah yang elok, tubuhnya pun membuat berpasang-pasang mata tertuju padanya. Eksistensinyalah yang dinanti dua taruna beda warna kepala tersebut.

“Sabarlah, Denji-san. Mungkin dia sebentar lagi akan datang bersama teman-temannya. Dia 'kan punya kelompok pertemanan yang berbeda. Orang-orang kasta atas.”

“Aku tak bisa menunggunya lagi, Beam. Belum tentu besok aku akan libur.”

“Mencariku?”

Suara lembut memasuki gendang telinga. Sontak Denji dan Beam menolehkan kepala ke belakang. Bibir Makima melengkung ke atas, ia melangkah tenang ke depan dua pemuda itu.

Wajah Denji merona. Tak ia sangka anak tukang kayu seperti dirinya di dekati langsung oleh putri konglomerat seperti Makima. Biasanya, ia hanya memandang dari jauh putri pejabat itu. Apa ini pertanda baik?

Baka Denji! Akan kulaporkan kau pada ayahmu!”

“Oi, Power!”

Efek berbunga-bunga dan seakan melambung ke lapis langit tertinggi runtuh karena suara melengking teman kecil Denji—Power—yang suka sekali mengganggunya mendekati gadis-gadis cantik di desa.

Menyebalkan.

***

“Denji, ini camilan.”

Nampan yang ditempati sepiring mochi dan dua gelas teh hijau ditaruh di engawa. Tak ada respons dari sosok pria yang memandangi pucuk pohon sakura di depannya.

Si wanita mendekat. Suaranya yang lantang menyebut nama si pria, “Denji!”

Denji sedikit tersentak. Segera ia alihkan kepala ke wanita paruh baya di sebelahnya. Walau ada corak kerutan karena usia di wajahnya, Power tetap terlihat sama di sepasang manik kuning kecokelatan itu. Sinar mata dan rambut lurusnya yang berombak kecil tetap berkilau baginya. Walau tulang-tulangnya tak sekokoh dulu, Power masih enerjik dan bersemangat. Sesuai namanya, Power yang memiliki arti kekuatan.

“Kau ini tidak takut kerasukan arwah pohon sakura, ya?”

“Harusnya kau yang takut, Powy.”

“Huh? Aku wanita pemberani, hantu pun takut.” Power mendongak, cahaya matahari merambat melalui sela-sela kelopak sakura. Ujung yukata-nya ditiup lembut oleh angin musim panas, bersama rambut merah muda kepirangannya yang memutih di beberapa bagian.

“Hantu suka wanita cantik seperti dirimu.”

Baka Denji!”

“Ow ow, aku tidak salah.”

Pasang suami istri berusia setengah abad itu tertawa kecil bersama. Tidak ada yang berubah sejak mereka berusia kanak-kanak. Mereka masihlah Denji dan Power yang gemar mengusili juga meledek satu sama lain. Kendati status mereka tak lagi sebatas teman masa kecil, melainkan teman hidup hingga akhir hayat.

Mochi yang kenyal digigit, diselingi obrolan ringan mengenai masa lalu. Denji di masa mudanya kerap kali menggoda para gadis. Sering Power melaporkannya kepada sang ayah. Akibatnya, jam kerja Denji ditambah sebagai hukuman.

Tak jarang Power datang ke rumahnya hanya untuk meledeki pemuda itu saat sedang dihukum ayahnya, tetapi ia juga turut membantu agar pekerjaan Denji cepat selesai dan ia bebas menyeret laki-laki itu ke tempat yang diinginkannya.

Ne, Denji,” Power memanggil setelah tawanya surut. Ia tatap langit biru muda dan awan yang berombongan sebagai corak, mirip dengan yukata yang ia kenakan.

“Hm?”

“Aku punya firasat buruk.”

“Itu hanya firasat, belum tentu akan terjadi. Memangnya tentang apa?”

“Aku berpikir apa kita akan bertahan untuk selanjutnya? Kita sangat beruntung hidup sampai sekarang di tengah rusaknya perang dunia ini, Denji.”

Ekspresi usil atau cengiran sang wanita lenyap dari wajahnya, digantikan kecemasan yang kentara di sana. Jemarinya saling terikat, memperlihatkan kecemasan akan firasat yang muncul. “Namun, aku tidak ingin pergi dari rumah ini.”

“Kenapa?”

“Rumah ini saksi segalanya, Denji.”

Power benar. Mereka memulai segalanya dari rumah kayu ini. Tempat bangkit setelah terpuruk dari masalah. Tempat segalanya bermula.

Pernikahan Denji dan Power tidak ditentang sebenarnya. Namun, setelah tahu Power tak mampu mengandung, ayah Denji memaksa mereka bercerai. Di kampung halaman mereka, wanita yang mampu menghasilkan keturunan adalah segalanya. Bagi yang tak berkemampuan akan dicaci maki, bahkan diusir.

Alih-alih membiarkan Power dipisahkan darinya, Denji membawa wanita itu bersamanya ke tanah baru, Nagasaki. Bukan sesuatu yang mudah memulai hidup baru di sana. Mereka tinggal terlunta-lunta di daerah baru, melakukan beragam pekerjaan demi terisinya perut, dan tak jarang menerima perlakuan tak mengenakkan dari orang lain. Setelah mempunyai cukup uang, mereka pun membangun rumah.

Kehidupan keduanya mulai membaik. Terlindung dari kejamnya sinar mentari dan dinginnya rembulan dalam rumah nyaman milik mereka seorang, kebutuhan tercukupi, dan tetangga-tetangga baru pun berlaku baik. Ditambah seekor anak kucing yang meramaikan rumah. Jangan lupakan Nayuta, anak terlantar yang mereka adopsi.

“Titik balik kehidupan kita di sini. Kau, aku, Nayuta, dan Nyako berkembang bersama di sini. Apapun yang terjadi, rumah ini tak bisa aku tinggalkan.”

“Kita, Powy. Aku tak akan pergi tanpamu, tanpa rumah ini juga,” koreksi Denji.

“Rumah tak bisa dibawa pergi, Denji.”

“Aku tahu, karena itu aku tak 'kan pergi.”

Denji menarik tangan Power dan mengikat jemari wanita itu dengan miliknya. Walau tak lagi kencang, bibirnya mendarat di kulit punggung tangan wanita miliknya.

Memang bukan kali pertama koneksi hati mereka meningkat, tetapi sensasi kupu-kupu beterbangan di perutnya selalu Power rasakan. Begitu pula reaksi alami tubuhnya berupa corak kemerahan di pipi dan detak jantung yang meriah di balik dadanya.

“Terima kasih. Terima kasih untuk segalanya, Denji.”

***

Halaman depan selesai disapu. Power mengusap keringat. Ditatapnya pohon sakura di hadapannya yang mengingatkan Power pada Nayuta kecil yang merengek ingin adik.

Nayuta tanam dan rawat dengan sungguh-sungguh bibit pohon sakura pengganti adik yang tak dapat ia miliki, beranggapan bahwa pohon sakura itulah saudaranya. Gadis kecil itu kini sudah tumbuh besar dan belajar ke negeri asing.

Si wanita masuk ke rumah. Dapat ia hirup aroma lezat kare yang dimasak Denji. Sejak awal pernikahan bukan Power yang memasak, melainkan sang suami. Itu sudah jadi kesepakatan mereka bersama.

“Makanlah. Kau pasti lelah bersih-bersih.” Di meja makan sudah tersedia nasi dan kare. Mereka makan siang lebih awal. Mungkinkah karena Denji tahu Power lelah?

“Terima kasih, Denji.”

“Jangan lupa sayurnya dimakan.”

Inilah masalah Power. Ia benci sayur. Denji terkekeh dan menarik pipi yang dikembungkan sebelah oleh wanita itu. “Ingat, umurmu sudah tua. Kau tak mau Nayuta kerepotan mengurusmu karena sakit-sakitan 'kan?”

Ha'i, ha'i.”

Denji sudah memotong sayuran di dalam kare jadi bentuk-bentuk lucu seperti kucing, ayam, bahkan anjing peliharaan Denji yang sudah lama mati dulu. Mau tak mau, Power harus memakannya. Selain ia ingin terus sehat hingga akhir hayatnya, ia juga menghargai kerja keras Denji.

“Di mana Nyako?”

“Oh, tidur di kamar. Baru kusadari Nyako menua bersama kita.”

“Sayang sekali anaknya banyak yang mati, dia pasti kesepian.”

“Nyako punya kita.”

“Dan aku memiliki juga dimiliki olehmu, Denji.”

Denji tertegun sesaat, kemudian ia alihkan wajah ke pintu pembatas ruang makan dan ruang keluarga. “Wanita usil!”

Power tertawa renyah. Ia memasukkan sepotong wortel ke mulut Denji begitu pria itu kembali mengarahkan kepala kepadanya. “Jangan malu-malu. Mari makan,” ajak wanita itu.

“Huh? Siapa yang pemalu?”

“Denjiiiii.” Power semakin terkikik usil. Pria di sebelahnya menyuap nasi dengan wajah semerah ringo ame di festival musim panas.

Obrolan hangat mengalir di antara Denji dan Power, walau hati dipenuhi cemas dan takut yang tak tahu muaranya dari mana. Takut inilah kali terakhir mereka saling menatap dan mendengar suara satu sama lain.

“Denji, aku mengantuk,” ucap Power. Ia sandarkan kepala ke bahu Denji yang mencuci peralatan kotor usai kegiatan makan siang mereka.

“Kita baru makan, Power. Tidak bagus tidur setelah makan.”

“Aku ingin tidur. Aku benar-benar mengantuk.”

“Biar aku selesaikan terlebih dahulu mencuci ini semua.”

“Hu'um.” Power perhatikan tangan Denji yang mengusap benda-benda kotor. mengapa momen sederhana ini ingin ia rekam baik-baik di memorinya? Bukankah ia bisa melihat Denji mencuci piring lagi nanti? Mungkin nanti sore maupun malam.

Tak dapat menolak, Denji membimbing Power yang kesadarannya tinggal separuh ke kamar mereka. Selagi Denji menggelar futon, Power menggamit lengan pria miliknya.

Keduanya berbaring di futon dan Power memeluk Denji erat. Kepalanya ia sembunyikan di bahu sang suami. Denji sudah biasa menghadapi Power yang bertingkah manja, bahkan di usia mereka yang kini tak lagi muda.

Nyako yang tadinya terlelap di sudut kamar pun pindah ke sebelah Power. “Denji ... aku takut, tapi tak mau pergi dari rumah ini.”

“Aku tak akan pergi. Kita hadapi ketakutan ini bersama.”

“Takut, Denji. Takut. Takut,” rengek Power parau. Denji mengusap rambut panjang wanitanya yang terurai, juga menepuk-nepuk pelan punggungnya agar ia tenang.

“Aku ada di sini.”

“Miaw.” Nyako menggesekkan kepalanya ke punggung sang pemilik. Insting hewannya juga berkata masa hidupnya di dunia fana ini tak lama lagi akan berakhir.

Getaran tubuh Power berkurang, bersama isakannya yang kian pelan. “Selamat malam, Denji.”

Pelukan Power mengerat, seakan tak ingin lepas darinya. Denji turut mengalungkan kedua tangan pada tubuh teman hidupnya.

Tanpa mereka sadari, bermeter-meter di atas sana melayang kendaraan udara yang akan melepas bom mematikan. Mereka menghitung mundur dan siap melepas rasa kemanusiaan agar ribuan makhluk hidup di bawah tewas. Inilah yang disebut perang. Siapapun yang terlibat tak lepas dari kata keji.

“Selamat malam, Power. Semoga mimpi indah.” Denji tak tahu mengapa ia membalas ucapan Power yang aneh didengar di pukul sebelas siang ini.

Bukankah bumantara belum menghitam dengan candra dan kartika sebagai rekan? Mengapa pikiran dan lisannya terpengaruh ucapan ‘selamat malam’ Power?

Belum sempat otak Denji menemukan jawaban, Kota Nagasaki telah dijatuhi bom berkekuatan 20 kiloton. Puluhan ribu sukma meninggalkan raganya seketika, tanpa satu orang pun yang menduga.

Manusia takkan pernah menebak kapan dan bagaimana cara mereka meninggal 'kan?

THE END

Eits, belum benar-benar end, masih ada extra scene di bawah :D
.

.

.

.

.

“Denji-san! Bangun! Kau terlambat di hari pernikahanmu!”

Denji terperanjat. Segera pria itu melompat dari ranjangnya dan berlari menuju toilet.

“Sial! Kenapa tidak membangunkanku lebih awal!”

“Aku sudah membangunkanmu! Tapi, kau meracaukan hal aneh seperti 'selamat malam' dan sebagainya!”

“Ah! Sudahlah! Tak ada gunanya aku mengandalkanmu, Beam!”

Setelah bertengkar dengan Beam dan kuro-montsuki-nya, akhirnya Denji sampai di tempat berlangsungnya proses pernikahannya. Jantung Denji berdebar empat kali lebih kencang dari biasanya.

“Sudah lihat mempelaimu?” tanya Beam sambil mengunyah sepotong semangka.

“Diamlah, Beam! Aku sedang menahan rasa gugupku saat ini!”

“Dia sangat cantik.”

“Diam!”

Acara dimulai. Denji tak dapat diam di tempat akibat rasa penasarannya. Ketika mempelainya memasuki ruangan, semua kata-kata pujian yang harusnya ia sampaikan lenyap begitu saja. Kalimat apapun tak dapat mengekspresikan bagaimana perasaan Denji saat melihat Si Mempelai dengan hiasan di wajahnya. Tanpa Denji sadari, air mata mengalir.

Cantik.

Hanya kata itulah yang terlintas dalam benaknya. Sungguh, Denji kehilangan kemampuan untuk bicara di hadapan dara elok yang akan menjadi pasangan hidupnya.

“Ada apa? Apa aku terlihat seburuk itu sampai-sampai kau menangis, Denji?”

Ia seka air matanya. “Tidak. Kau terlihat sangat cantik, Power. Bahkan, lebih cantik dari kata cantik itu sendiri.”

Power mendengkus. “Ketika aku sudah tua dan rambutku tak lagi berwarna, pujian itu tak akan terdengar lagi darimu, Denji.”

Denji hanya tersenyum seraya memandangi wajah elok wanita tercintanya.

Sampai kapanpun, aku akan selalu mencintaimu. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Power.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro