#11 (C)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 11
Casey's Special Gift

(part 3 & 4)

Setelah mengambil beberapa senjata terbaik, Arbyl keluar dari toko.

Deindree duduk di tengah lapangan di ujung jalan. Matanya memandangi hamparan pemandangan alam yang terbentang luas di hadapan dirinya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai berantakan ditiup angin.

Dia asyik memandangi pegunungan yang begitu jauh. Kenampakan alam itu tidak lagi sedap dipandang mata dengan nuansa hijau. Semuanya bisa begitu gara-gara ulah manusia dengan peradaban yang semakin maju.

Sekitar dua puluh tahun terakhir, alam sudah jauh tak bersahabat dengan kehidupan manusia yang semakin parah saja merusaknya.

Arbyl mengamati senjata-senjata terbaru miliknya. Ada satu yang membuatnya penasaran -- jadi ingin sekali mencoba benda ini. Tapi tidak ada sesuatu di sekitar situ yang bisa dijadikan sasaran yang tepat.

Amat tidak mungkin melakukan percobaan menembak ini pada manusia normal biasa. Lalu, tahu sendiri kalau daerah ini benar-benar steril dari zombie. Senjata super canggih ini dikenalnya dengan daya yang sungguh amat mematikan.

Entah dari mana asalnya terlintas pikiran bahwa Deindree tentu saja pasti bisa selamat. Sekaligus dapat mengerjai perempuan hasil eksperimen di ujung sana itu dengan mengagetkannya.

Segera Arbyl membidik dengan tepat. Tak lama kemudian, sebuah sinar laser hijau -- bukan lagi biru -- memancar secepat kilat dari ujung senjata, dan berhasil mengenai Deindree yang terjungkal ke samping.

Sang korban keisengan itu tidak bersuara. Awalnya seluruh badannya merasakan efek sengatan yang tersisa lama -- cukup sakit, tapi berangsur-angsur pulih.

Arbyl berlari menghampiri dengan rasa kuatir. Sekaligus berniat memamerkan senjata barunya itu. Dilihatnya Deindree terbaring cukup lama.

"Maaf, Deindree. Kau tidak apa-apa kan?" tanya Arbyl merasa agak bersalah.

Deindree segera beranjak berdiri setelah kira-kira setengah menit ditembak. Dilihatnya senjata yang menembak dirinya tadi itu.

Menyadari sahabatnya baik-baik saja, Arbyl nyengir lebar, "Kaget ya?"

Tanpa kata pembuka, Deindree merampas senjata itu dengan satu tangan, dan membuangnya sejauh mungkin. Tangan yang satunya lagi membelit leher Arbyl.

"Maafkan aku, Deindree. Tolong lepaskan (tercekat) aku dapat menjelaskan...."

"Dengarkan aku! Kau bisa kubunuh saat ini juga. Pulanglah sendiri -- aku tidak bertanggung jawab lagi atas keselamatan dirimu!"

Dilemparkannya Arbyl begitu saja seperti layaknya membuang sampah saja. Meski dipenuhi amarah, Deindree mengusahakan agar sahabatnya itu tidak terluka parah ketika menghantam tanah. Dan dia lari dari situ secepat kilat.

Cara Deindree berlari kencang seperti seekor cheetah -- menggunakan tangan juga sebagai fungsi kaki. Meninggalkan Arbyl sendirian di situ.

Arbyl bangkit sambil memegangi lehernya. Dikumpulkannya semua senjata yang berserakan di tanah. Rasa sesal menggelayut di hati karena satu senjata terbaik telah hilang -- Deindree melemparkannya jauh sekali.

Dia tidak mau mengambil resiko mencari dan mengambilnya. Siapa tahu ada banyak zombie di kejauhan sana.

Akhirnya Arbyl pulang sendirian.

Daerah ini sungguh aman dari zombie -- tak ada satu sosok pun.

Sekarang yang dihadapi Arbyl justru kemarahan Deindree yang ternyata memang susah untuk surut.

                                                                     ☆☆☆☆☆

John mengobati dan menutupi luka-luka Casey di dalam rumah. Mereka membahas apa yang telah terjadi pada ketiga zombie tadi itu.

Tak henti-hentinya Casey mengucapkan terima kasih kepada John yang telah menjadi pahlawan baru bagi dirinya dari potensi menjadi zombie.

Mereka sudah sama-sama menyadari kalau saling menyimpan rasa suka dan sayang.

"Untunglah ada kau, John. Kalau tidak, sekarang aku pasti sudah menjadi zombie. Kau sungguh baik sekali terhadapku, meski saat-saat pertama kita bertemu, akulah yang memojokkan dirimu," ucap Casey tersenyum mengenang.

"Aku sudah melupakannya kok. Untuk apa juga diingat-ingat lagi. Itulah gunanya seorang laki-laki di sampingmu. Kau sudah merasa baikan?"

Casey mengangguk pelan.

Mereka mengobrol sambil saling memandang dengan tatapan mesra. Dilengkapi senyuman manis yang selalu menghiasi wajah keduanya.

"Oh iya, aku ingin tahu sewaktu kau melumpuhkan ketiga zombie itu -- kalau kau tidak keberatan... eh..."

Casey mengulang kembali kejadian tadi itu dalam pikirannya.

"Aku merasa terpojok, dan kau masih ada di luar...."

"Maafkan diriku ini kalau tadi aku tidak selalu menjagamu ya," potong John, merasa sangat bersalah.

"Kau sudah menyelamatkan nyawaku, terutama dengan berusaha mencongkel daging bahuku ini. Seandainya aku cuma sendirian, aku tidak sanggup melakukannya. Jangan salahkan dirimu, memang itulah yang harus terjadi. Jika tidak sampai begitu, aku tak akan tahu kelebihanku ini."

Mereka saling menatap cukup lama dalam diam.

"Jadi kau juga belum tahu kemampuanmu ini sampai detik akhir kejadiannya tadi?" tanya John memecah keheningan.

"Kau sungguh ingin tahu, John?"

"Dan kau sama sekali tidak ingin tahu penjelasan dari kemampuan alamimu? Kukira aku dapat memecahkan misterinya."

Lalu Casey menjelaskan apa yang telah dialaminya tadi. Begitu pikiran yang menghendaki zombie itu hancur muncul di otaknya, sedetik kemudian benar-benar terjadi di hadapan dirinya. Setelah keinginannya menjadi kenyataan, dia merasa bingung kenapa yang ada dalam benaknya bisa terwujud menjadi kenyataan.

John mencerna penjelasan singkat itu. Membuat sebuah ide terlintas di pikirannya.

Kedua matanya mengelilingi ruangan -- mencari-cari sesuatu yang ada di situ. Tidak sampai lama, matanya menemukan sebuah vas bunga di meja di sudut ruangan.

"Kau lihat vas bunga yang di ujung itu?" dengan telunjuknya, John mengarahkan pandangan Casey ke sana.

Casey melihatnya dan mengangguk.

"Apa yang ada di pikiranmu? Kau mau itu pecah atau terangkat?"

Casey melongo -- tidak mengerti.

"Cobalah, pikirkan saja apa maumu. Terserah apa pilihanmu, dan lakukan!" John berusaha membangkitkan semangatnya.

Casey ingin vas itu terangkat.

Satu detik kemudian, benda yang ditatapnya itu benar-benar terangkat ke udara. Padahal jarak dirinya dengan vas sekitar lima meter.

Dia tercengang. Tidak ingin jadi pecah, Casey berusaha mengendalikannya lagi dalam pikiran -- menurunkan benda itu pelan-pelan hingga seperti semula.

John menyaksikan semuanya itu. Dia mengerti kemampuan sosok perempuan yang sedang bersama dirinya ini.

"Kau dapat menggerakkan dan mengontrol sesuatu dari jarak jauh maupun dekat hanya dengan pikiranmu," katanya menjelaskan, "--itu namanya telekinesis. Kau sungguh beruntung karena jarang orang yang punya kemampuan ini. Berminat mencobanya lagi?"

Casey menjadi lebih bersemangat. Dilakukannya lagi pada lampu gantung, meja, buku, lukisan, dan apapun di situ yang bisa dipindah-pindahkan dengan mudah.

Kebahagiaan mereka semakin merekah.

Tiba-tiba jam dinding di ruang tamu berdentang mengagetkan. Sudah tengah hari.

John mengajak Casey merayakan sebentar keberuntungan mereka di rumah yang cukup mewah ini. Sekaligus mencoba tinggal beberapa jam saja di dalamnya, sebelum mengajak teman-teman mereka yang lain.

                                                                             HF #11
                                                                    Created in 2010

Begitulah ternyata Casey punya kemampuan telekinesis.
Kalau kalian cari di internet, khususnya konsul sama Mbah Gugel, ada artikel yg membahas macam-macam telekinesis.
Sewaktu saya menciptakan HF hampir 10 tahun yg lalu itu, belum kepikiran serius untuk mendalami hal ini.
Juga ada beberapa artikel di situ yg baru ditulis setelah lewat tahun 2011.
Jadi, maafkan kalau nantinya kemampuan telekinesis Casey tidak termasuk ke dalam salah satu pengelompokannya 🙏

Apa yg bakal diceritain di chapter terakhir Chaos ya?
Gimana kelanjutan persahabatan Arbyl dengan Deindree?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro