d u a p u l u h d u a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah tiga puluh menit Andra memandangi layar ponselnya, tanpa berbuat apa pun. Matanya membola, alisnya sedikit mengerut, bibirnya terkatup namun tak rapat. Benar-benar mematung. Kalau ia bergerak, itu pun hanya berkedip dan menghela napas panjang. Terkadang Andra mengetikkan pesan kepada Bia, meskipun ia tahu akan berakhir sia-sia. Sungguh, Andra mati kutu. Bisa-bisanya Bia memblokir WhatsApp Andra.

Cowok itu tersentak kala ponsel yang dipandanginya tiba-tiba berbunyi nyaring, tombol hijau di layarnya bergerak naik turun dan sedikit berkedut meminta agar Andra segera mengangkat telepon, atau menolaknya.

Dilihatnya foto Esmeranda pada layar panggilan, dua detik kemudian akhirnya Andra mengangkat teleponnya.

"LO PUNYA PACAR KOK GAK BILANG GUE?!"

Andra meringis, refleks ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Kurang ajar, Ran hampir membuat gendang telinganya pecah!

Dari jarak 30cm Andra masih bisa mendengar ponselnya menyuarakan omelan sang kembaran, Ran bicara cepat dengan berapi-api. Tentu, yang dibicarakannya adalah gosip tentang pacar Andra.

"HEH, ANDRA, JAWAB LU!"

Saat lengkingan kalimat tersebut terdengar, kembali Andra menempelkan ponsel di telinga kirinya. Sambil waspada, takut-takut lawan bicaranya berteriak lagi.

"Itu cuma gosip, anjir! Lo tahu dari Bia, ya? Demi seluruh warga Bikini Bottom, abang lo ini gak pacaran sama siapapun!" bantah Andra.

"Berani bayar berapa lo kalo bohong?"

"Gue bayarin lo holiday seminggu full ke Bali, termasuk tiket tempat wisata; jajan; dan oleh-olehnya."

"Bali doang!"

"GUE BAYARIN LO KELILING EROPA, PUAS?!"

Terdengar suara kekehan dari Esmeranda. Sejujurnya, gadis itu tahu kalau sang kembaran tidak berbohong. Hanya saja, membuat orang kesal disaat panik baginya adalah kegiatan yang menyenangkan.

"Gak usah ketawa!" tegur Andra.

Yang ditegur malah mengeraskan tawanya. Astaga, sudah kesal ditambah jengkel. Setidaknya, Andra jadi meminta ampun pada Tuhan dan meminta ia dianugerahkan kesabaran berlebih.

"Kalo lo gak pacaran, terus kenapa … ada tag di Instagram lo ke postingan cewek yang galau?" tanya Ran dengan suara yang tenang.

Berbalik dengan Esmeranda, Andra lagi-lagi berteriak kaget. Bahkan, cowok itu refleks bangkit dari posisi duduknya. "HAH?!"

"Gak usah 'hah, heh, hoh!' lo punya hape, cek sendiri di akun Instagram lo!"

Tanpa menutup sambungan teleponnya, Andra mengecek Instagramnya. Benar, banyak dari teman-teman satu ekstrakulikuler-nya menuliskan komentar di posting-an Ismi sambil menyebut namanya.

"BANGSAAAT!!!"

"Ngumpat, ngumpat, ngumpat!!" Ran justru menyemangati Andra agar terus mengumpat, suaranya yang riang menggaung di telinga Andra. Untung, cowok itu tak terpancing emosi lagi. Ia berusaha tenang, sambil membaca seluruh komentar di posting-an Ismi.

"Ini cewek napa, sih?! Apa yang dia cari dari gue coba!" gerutu Andra.

"Selesain deh, masalah lo sama cewek itu. Gue percaya, Ndra, lo gak mungkin bohong. Cuma …."

"Bia ngambek anjir, gue diblokir. Padahal, gue emang lagi pusing banget sama nih cewek. Haaaahhhh! Kambing!"

"Kambing?"

"Gue ngumpat, Badak!"

Di seberang sana, Ran mati-matian menyembunyikan tawanya agar tidak terdengar Andra. Dengan sisa-sisa tawanya, Ran berkata, "Udah, selesain dulu masalah lo sama cewek galau itu. Baru, jelasin ke si Bia. Gue mau tidur, ah. Bye, goodnight."

"Hm, night."

Kembali, Andra memandangi layar ponselnya. Kali ini ia terus menatap posting-an Instagram Ismi dengan caption galau. Kolom komentar pada posting-an tersebut dipenuhi oleh ucapan teman-teman Andra, yang seolah-olah menyudutkan Andra sebagai lelaki yang hobi menyakiti hati.

Tidak mau citranya buruk, Andra membuka Instagram-nya di web. Cowok itu menonaktifkan akun Instagram-nya untuk sementara, kemudian menghapus aplikasi media sosial tersebut dari ponselnya.

Bibir tipisnya yang senantiasa bertutur kata lembut, kini kembali mengumpat. "Persetan!"

°°°

"Bia, lu udah berapa taun kagak makan?"

Sontak gadis yang rambutnya diikat satu itu mendelik pada sang penanya, Nurida—Mami-nya menatap Bia penasaran, dan sedikit menyorot kesal. "Makan pelan-pelan nape, kayak yang gak dikasih makan dari SD aja lu."

"Bia laper!" sahutnya tak mau kalah.

"Iye, pelan-pelan. Keselek tau rasa!"

"Bia mau makan orang! Gak kesampean, jadi begini, nih."

Terkadang Nurida bingung, mengapa putri bungsunya ini selalu memiliki jawaban yang out of the box, alibinya kalau ditegur atau dimarahi selalu tak pernah terlintas di kepala Nurida. "Serah lu aja dah. Piringnya cuci lagi ntar, Mami mau ke kamar."

Bia tak menjawab, ia kembali melanjutkan makannya. Piringnya berantakan, sebab gadis itu makan dengan tergesa. Bahkan, ada beberapa nasi yang menempel di pipinya karena ia terlalu banyak memasukkan nasi ke mulutnya, dan mengunyahnya dengan penuh tenaga.

"Mi goreng, pake nasi, pake kentang balado, ditambah ayam goreng potongan paha atas. Ini udah jam sepuluh, lo gak takut gendut?"

Kedua kalinya, Bia mendelik. Sang kakak yang menghujamkan tanya menatapnya ngeri, sedang Bia tak acuh akan ekspresi kakaknya.

"Takut tuh sama Tuhan! Bukan sama gendut!"

"Ya itu karbo semua, Bia. Lo tuh harus jaga kesehatan, biar badan lo ideal juga! Kalo dikasih tau bacot mulu, heran!"

"Sorry to say, gue banyak makan, banyak olahraga, banyak bacot yang berguna juga. Gak kayak lo, makan dikit olahraga kagak, sekalinya bacot, nyari ribut!" Bia lantas bangkit dari meja makan sembari membawa piring untuk dicuci, Dea yang tengah memasukkan air mineral ke dalam kulkas—di samping meja makan hanya melongo melihat Bia yang benar-benar diliputi emosi.

Ucapan Bia kali ini, benar-benar membuat Dea bungkam. Kalimat terakhir yang dilontarkan Bia, seperti menggema dalam kepalanya.

Benar. Setiap Dea bicara kepada sang adik, pasti selalu sinis dan mengundang keributan.

02.43, di kamar Bia.

Sudah lima tulisan dibuat Bia, isinya adalah review tentang makanan kekinian yang dicobanya. Tulisan-tulisan tersebut nantinya ia publikasikan di laman web pribadinya. Ya, Bia mengelola blog yang membahas soal makanan, atau hal-hal kepenulisan lainnya.

Blog yang sangat jarang ia buka, sebenarnya. Dan, kali ini gadis itu produktif sekali dengan memublikasikan lima review untuk mengisi blog-nya.

Meski ia sudah melakukan hal tersebut, tetap saja Bia tidak merasa sibuk. Gadis itu justru merasa hampa. Ya, hampa.

Hampa karena bertengkar dengan sahabat yang selalu ada di sampingnya kapanpun, dan apa pun keadaannya. Siapa lagi kalau bukan Andra?

"Anjir, belom tidur?" Suara Dion tiba-tiba menyapa telinganya, menyudahi pikiran Bia tentang Andra yang menurutnya kini mengabaikannya, dan lebih memilih "sang pacar" yang disembunyikannya dari Bia.

"Lo sendiri? Oh iya, gue lupa. Setan, kan, tidurnya siang."

"Kampret!"

Bia membereskan meja belajarnya, membuang kertas yang berisi coretan tak penting, dan mematikan laptopnya yang sedang diisi daya baterai. Setelah itu, ia memilih untuk mendaratkan bokongnya di kasur.

"Ciee, roman-romannya ada yang lagi galau, nih!" ejek Dion. Cowok itu melayang, kemudian duduk di sebelah Bia yang wajahnya terlihat sangat lelah. "Gimana? Lo udah nanya soal pacarnya Andra?"

"Gue … gak peduli, Ong," jawab Bia lesu.

"Halah, bilang aja lo cemburu!"

Gadis itu hanya menoleh, lalu mengembuskan napas panjang sambil kembali membuang pandangannya dari Dion. Rasanya, tak ada tenaga hanya untuk membantah ucapan Dion.

"Eh, Bi, masa tadi gue ketemu si Olip lagi. Lo inget, gak?" tanya Dion tiba-tiba.

Bia kembali menoleh pada Dion, siap mendengarkan cerita dari sahabatnya yang tak kasat mata.

"Akhirnya, Bii. Dia kepincut sama hantu lain! Fyuh, gue ngerasa tenang banget!!" Dion berseru.

"Berarti, lo gak punya fans lagi dong?"

"Eh, iya juga. Yah, sayang banget fans gue ilang satu. Eh, Bi! Napa gue jadi galau kehilangan si Olip?!"

Bia tertawa pelan, bisa-bisanya Dion narsis hanya karena kuntilanak. Lambat laun, keduanya mengobrol tentang hal-hal yang lucu. Lebih tepatnya, Dion yang menceritakan pengalamannya sebagai makhluk tak kasat mata. Dengan bersemangat, Dion bercerita, menuai tawa dari Bia yang ia tahu kalau gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

"Ong, cara manggil lo supaya dateng, gimana sih?" tanya Bia tiba-tiba.

"Dion ganteng tiada bandingan. Lo ucapin itu tiga kali, sambil like foto gue di Instagram."

Gadis itu tertawa lagi. "Serius, kampret!"

"Gue juga gak tau, Bi."

"Yee, setan gadungan!"

Dion terkekeh. Entah kenapa ia merasa tak nyaman dengan raut wajah Bia saat ini. Ekspresi datar dengan sorot mata yang sendu. Bukan raut Bia yang biasa.

"Besok, gue kesini deh. Ada misi buat lo," ujar Dion.

"Sekarang udah besok, ogeb!"

"Oh, iya. Maksud gue, nanti siang. Lo tidur dulu, Bii, jangan sampe sakit gara-gara galau! Hahahaha!"

Belum sempat Bia menjawabnya, Dion sudah menghilang. Tepat saat itu, senyum yang terpatri di wajahnya memudar. Bia … kesepian.

Dilihatnya layar ponsel yang menampilkan waktu bahwa hari sudah pagi. Gadis itu menunggu azan berkumandang, lalu menjalankan kewajibannya. Tak lama, kantuk menyambanginya. Saatnya Bia melelapkan diri ke alam mimpi.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro