s e m b i l a n

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua hari berlalu sejak insiden yang mencederai kepalanya, Bia dan si kembar—Ran & Andra akhirnya kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Dion.

Tubuh Dion terbaring di ruang perawatan intensif. Sementara, arwahnya terlihat bahagia ketika Bia, Ran, serta Andra menginjakkan kaki di ruangannya.

Kedatangan mereka bertiga disambut hangat oleh Mama Dion, meskipun wanita bernama Aisyah itu sedikit terkejut karena kedatangan ketiga sahabat kecil putra semata wayangnya yang tiba-tiba.

"Waktu hari Jum'at katanya Andra sama Bia mau dateng, kenapa nggak jadi?" pertanyaan itu terucap oleh Aisyah sesudah dirinya menyambut tiga orang itu.

"Hehe, Bia mendadak sakit, Tante," jawab Bia dengan seringainya.

"Walah Bia, makanya jaga kesehatan."

Aisyah memberi waktu kepada ketiga sahabat Dion untuk berbicara pada putranya, sebab Aisyah percaya jika Dion mendengar apa-apa yang dikatakan orang disekelilingnya, dan ia percaya hal tersebut mempercepat pemulihan kesadaran Dion.

Meskipun, para dokter telah meragukan kondisi Dion yang belum mengalami perkembangan setelah tiga bulan.

Andra yang maju pertama mendekati brankar Dion, cowok itu memperhatikan banyaknya alat yang menunjang kehidupan Dion saat ini. Andra menggenggam tangan Dion dan berkata, "Lo kuat, Ong. Kita bakal bantu lo sebisanya, lo harus bangun, Ong. Demi nyokap lo."

Dion yang ada di samping Bia tersenyum melihat Andra menyentuh raganya, ia dapat merasakan hangat pada tangan kanannya. "Thanks, Ndra," ucap Dion tanpa sadar.

Bia peka dengan situasi saat ini, ia mengulang apa yang Dion katakan supaya Andra mendengarnya. Andra tersenyum kepada Bia, maksud senyumannya adalah untuk Dion.

Setelah Andra, Ran juga ikut mendekati raga Dion yang berbaring tak berdaya. Sedangkan Bia masih berdiri agak jauh dari brankar, memerhatikan raga Dion yang kini diriung oleh si kembar.

Ran mengusap kepala Dion sambil menyunggingkan senyum, Dion jadi salah tingkah dibuatnya. "Ayo, bangun, kita hang-out bareng lagi. Kali-kali kek kalian bertiga samperin gue ke Malang, kita ke Bromo," ucap Ran, sambil sesekali melirik Andra yang terus melihat wajah Dion.

Dion menggigit bibirnya melihat Ran sedekat itu dengan raganya, kalau saja Bia bisa menyentuh Dion sudah pasti gadis itu akan memukul Dion dengan tenaga dalamnya. "Ran, gak usah deket-deket gitu. Jijik gue liat si arwah si Dion yang salting," ujar Bia.

Dasar perusak suasana. Andra serta Ran yang semula sedih melihat kondisi Dion, kini malah terkekeh-kekeh sambil menggelengkan kepala.

"Ong, sekarang kita musti bantu apa?" tanya Bia pada akhirnya. Meski dirinya terlihat acuh akan kondisi Dion saat ini, dalam lubuk hatinya ia sungguh ingin melihat Dion tenang, tidak berkeliaran lagi rohnya.

Ia ingin nyawa Dion kembali bersatu dengan raganya, ia tak tega melihat Aisyah bersedih karena musibah yang dialami putranya. Apalagi Dion adalah anak tunggal, Ayah Dion juga sudah meninggal. Aisyah hanya punya Dion, jika Dion pergi, dengan siapa lagi wanita itu akan tinggal?

Dion seperti sedang berpikir, ia ragu mengatakan hal yang ada dalam pikirannya.

"Gue juga bakal usahain bantu, Ong. Tapi lo harus sembuh," ucap Ran, sengaja supaya Dion termotivasi.

Dion melirik Ran yang memandangi Bia, kemudian ia mulai menceritakan suatu hal yang berkaitan dengan permintaannya.

"Nyokap gue udah jadi janda tujuh tahun, dan selama itu gue nggak pernah liat dia deket apalagi jalan sama cowok lain," tutur Dion yang kemudian diucapkan kembali oleh Bia. Cerita terus berlanjut dan Bia terus mengulangi apa yang Dion katakana supaya Andra dan Ran juga bisa mendengarnya. "Belakangan ini nyokap gue deket sama cowok, managernya sih lebih tepatnya. Pak Andy namanya. Nah, pak Andy ini baik banget orangnya. Dia juga duda anak empat yang ditinggal mati istrinya, pak Andy tuh sosok Ayah yang hebat sih menurut gue."

Ketika Dion ingin melanjutkan ceritanya, Bia mengangkat tangan kanannya ke arah Dion sambil berkata dengan lantang, "Stop!" Otomatis Dion menghentikan ceritanya, Andra dan Bia merasa aneh dengan tingkah Bia. Sedetik kemudian saudara kembar itu tersadar jika Bia sedang berbicara pada Dion. "Gue capek kalo musti ngulang omongan lo yang panjang banget. To the point aja lah, Ong," Bia bersungut-sungut.

Dion hanya menghela napasnya, padahal ia sedang asyik bercerita. "Intinya, gue pengen Mama nikah sama om Andy dalam waktu dekat ini, Bi. Tapi sebelum itu gue pengen tau dulu gimana perasaan om Andy yang sebenernya ke nyokap gue, bisa kan Bi?"

Bia yang semula melipat tangan di dada kini menurunkan kedua tangannya, wajahnya ia palingkan ke sembarang arah asalkan tidak melihat Dion. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam, terlihat sekali ia mengambil ancang-ancang untuk meluapkan emosinya.

"LO KIRA—Hmmph!" Andra bertindak dengan cepat, cowok itu membekap Bia sebelum dirinya mengomel sambil berteriak. Dion tertawa terbahak melihat Bia diperlakukan demikian oleh Andra. Sementara, Ran hanya bisa menahan tawanya demi menjaga kedamaian di ruang intensif Dion.

"Lo nggak boleh teriak, Bi, ini rumah sakit, bayangin kalo nyokapnya Dion denger lo ngomelin anaknya yang lagi koma. Tahan, Bi, tahan," ucap Andra dengan penekanan di setiap katanya. Bia sedikit lebih tenang dari yang tadinya meronta, perlahan Andra melepaskan bekapannya dari mulut Bia.

Dion masih tertawa, membuat Bia ingin menendangnya, tapi apa daya. Berteriak pun saat ini Bia tidak bisa. Bia melirik Andra yang menatapnya seperti sedang berkata "kendalikan emosimu." Akhirnya Bia hanya bisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

"Dion yang bangsat, pertama lo terkutuk banget udah ngetawain gue sampe bunyi elektrokardiograf yang nganuin jantung lo, bunyinya nggak nyelow. Kedua, lo emang bibit unggul setan jahanam banget, ya! Lo minta gue cari tahu tentang om Andy terus comblangin dia sama nyokap lo? Bangsat lo! Gue aje kagak tahu nyokap lo kantornye dimane!" cerocos Bia dengan volume suara yang pelan serta raut wajahnya yang menahan amarah.

Ran terkejut bukan main mendengar permintaan Dion kepada Bia, bahkan cewek itu nyaris memekik kalau saja ia tidak menutup mulutnya sendiri. Sementara Andra membulatkan matanya tidak percaya, ia menatap Bia dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Nggak usah ketawa!" sungut Bia pada Dion. "Lo juga, Ndra, nggak usah liatin gue seolah-olah gue nyuruh lo jadi babi ngepet, deh! Kalo mau protes, cabut aja infusan si Dion!" Kali ini, Andra yang menjadi pelampiasan amarahnya. Setelah itu Bia melangkah mendekati Ran sambil sedikit menghentakkan kakinya, "Esmerandaaa! Gue stres kalo kayak gini caranyaaaaa!"

Bia duduk, dan mengacak rambutnya. Bia mencoba menimpuk Dion dengan apel yang tersedia di keranjang buah di atas nakas. Beruntung Andra sigap menangkapnya.

Melihat tubuh Dion yang terbaring tak berdaya, Bia malah menjewer telinga Dion dan menyempatkan diri untuk menjitaknya. Dion meringis, seketika Bia terkejut karena roh Dion merespons apa yang terjadi pada tubuhnya.

"Ih anjir, Ran. Si Dion kesakitan gue jitak, apa gue siksa aja kali, ya? Kan ntar dia capek tuh gentayangan, terus masuk lagi ke dalem badannya, terus sembuh, deh!" ujar Bia riang.

"Ya nggak gitu juga, ogeb! Lo kira orang koma bakal sadar karna disiksa?!" sahut Ran. "Yang lo omongin soal om Andy sama nyokapnya Dion itu, Dion sendiri yang minta?"

"Ya lo kira? Nyokapnya Dion curhat ke gue gitu? Ih Andra kembaran lo napa sih!"

Kenapa selalu Andra yang menjadi pelampiasan emosi Bia?

"Ong, lo kira-kira aja kalo minta tolong. Masa iya kita ikut campur hubungan nyokap lo, sih?" ucap Ran pada Dion, pandangan matanya seperti menyisir ruang intensif ini. Berharap bisa melihat keberadaan Dion.

Dion menggaruk tengkuknya, membuat Bia berpikir apakah arwah gentayangan juga bisa merasa gatal?

"Ya lo sih motong cerita gue, jadi pada bingung, kan?!" sahut Dion tak terima. "Intinya, gue nggak mau pas gue meninggal terus nyokap gue sendirian kurang belaian!"

Setelah menegaskan hal tersebut, Dion menghilang seperti yang dilakukannya di kamar Bia tempo hari. Dion pergi seperti cahaya yang meredup, meninggalkan Bia yang masih ternganga sebab permintaan Dion.

Detik berikutnya pintu ruangan terbuka, menampakkan wajah Mama Dion yang nampak sendu, namun mencoba untuk tetap tersenyum.

"Tante tau kalian masih pengen disini sama Dion, sayangnya jam besuk udah abis," ujarnya seraya menyunggingkan senyum, terlihat keriput halus di sisi matanya yang sendu. Ran yang pertama menghampiri Aisyah, menggenggam kedua tangan wanita paruh baya itu dan berkata, "Yang tabah ya Tante, Dion kuat kok, dia pasti sembuh."

Iye si Dion kuat, saking kuatnya nyuruh gue yang ngadi-ngadi, batin Bia mengomel.

"Makasih ya, Ran, Andra, Bia, udah nyempetin kesini jengukin Dion. Jarang-jarang Dion dijengukin temen-temennya," kata Aisyah.

Kali ini Andra yang menghampiri Aisyah, mengecup punggung tangan kanan wanita tersebut. "Andra pamit ya, Tante," katanya, singkat.

Terakhir Bia, dengan perasaan yang jengkel ia mengecup punggung tangan Aisyah sama seperti yang dilakukan Andra. "Tante jangan ngerasa kesepian, ya," ucap Bia, dengan maksud supaya Dion merasa tenang dan tidak perlu meminta Bia menjadi 'Mak Comblang' untuk ibunya dan pria yang bernama Andy.

Aisyah tersenyum, kali ini jauh lebih tulus. Mungkin benar kata Dion, wanita yang sudah berkepala empat itu kesepian. Kedatangan tiga sahabat Dion membuatnya sedikit berenergi, mungkin dengan begitu ia merasakan kehadiran Dion disisinya.

Padahal Dion selalu disisinya, mengikuti setiap langkah ibunda tercintanya.

Disisi lain Dion tersenyum bahagia melihat ibunya tidak bersedih lagi. Pada waktu yang sama juga, ia merasakan sakit pada dadanya.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro