Kepingan Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setengah jam sudah langit membentangkan jubah hitamnya. Di kamar Petty harap-harap cemas sebab Dinar belum kembali. Tadi siang memang Dinar dan Tante Merry berniat ke event organizer yang mengurusi pernikahan. Mungkin mereka singgah di tempat lain. Petty mondar-mandir mirip anak bebek yang mencari induknya. Dia takut jika nanti terlambat membawa Dinar ke lokasi dinner. Apalagi saat ini Rishi sudah menunggu.

Bosan bolak-balik wanita itu berhenti di depan cermin. Sejenak Petty mengamati riasan wajahnya. Sapuan make up-nya tampak natural, namun cukup mencuri perhatian. Rambutnya tergerai rapi. Wanita itu mengenakan gaun malam berwarna hitam. Potongannya sederhana dan tidak bermotif, ada sentuhan bunga lili di bagian pinggang. Gaun tersebut panjang menutupi mata kaki. Lima menit mematut diri, Petty sukar menjelaskan bagaimana bisa berpenampilan seolah-olah dialah yang akan menjadi tamu penting. Pelan-pelan Petty menuju lemari, dan hendak mengganti gaun. Wanita itu mengacak baju-baju yang terlipat. Begitu sebuah kaus melekat di tangannya, wanita itu berpikir lagi, bukankah ada banyak orang yang mengunjungi rooftop untuk dinner ini? Mereka pasti mengenakan pakaian terbaik demi menyesuaikan suasana. Perlahan Petty meletakkan kaus, dan menutup kembali lemari.

---

Malam ini Rishi luar biasa sibuk di rooftop. Dia memastikan semua properti diletakkan sesuai rancangannya. Meja-meja, peralatan makan, lampu-lampu, dan panggung. Rishi berdiri di depan meja paling tengah, dia memutar tubuhnya melingkar. Meneliti inci demi inci kondisi di rooftop. Sempurna. Meja-meja diberi jarak, susunannya rapi, seolah terbagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan, dan satu meja spesial yang dibekali dua kursi menjadi pemisah. Lampu-lampu memancarkan kilau sinar, dari tiang ke tiang, dari tembok ke tembok. Bendera-bendera yang ditempelkan di tembok juga memberi warna tersendiri.

Sementara itu di panggung, Starlight sedang mengecek alat sekaligus latihan. Lagu yang terdengar sekarang adalah lagunya Kahitna, Cantik.

Selain personel Starlight malam itu rooftop juga disesaki teman-teman Rishi. Mereka datang berpasang-pasangan. Sekitar lima puluh lebih sudah tiba. Mereka mayoritas tercengang usai mendapati konsep dinner di atas gedung. Beberapa pengunjung wanita bahkan setengah menyesal karena datang tanpa kamera, atau lupa berdandan ekstra, mereka mengira ini dinner biasa. Lalu sebagian pengunjung pria salut dengan perjuangan Rishi, mereka tidak menyangka Rishi luar biasa mati-matian mengadakan dinner lengkap dengan live music plus panorama seratus persen pemandangan kota.

Malam itu Rishi tampak gagah. Rambutnya klimis dan kelihatan basah. Banyak gel dia sapukan untuk mendapatkan kilau yang menawan. Pria itu berbalutkan tuksedo hitam, potongannya yang pas menonjolkan otot-otot tubuhnya yang atletis. Dasi kupu-kupu yang menempel di leher kemeja dalam semakin menambah kesan perlente. Sepatunya pun licin dan kilau menandingi permainan cahaya lampu dari properti dinner.

Rishi naik ke panggung. Dia merebut mik dari vokalis Starlight. "Perhatian, semua... tolong nanti selama dinner sering-seringlah pasang wajah ramah," Rishi mengumumkan. Dia sedang mengajarkan skenario kepada seluruh kawan-kawannya. "Dan juga nanti ketika calon istri saya datang, kalian wajib memberikan tepuk tangan, mengerti?"

"Mengerti!" kor semuanya.

"Oke, silakan nikmati dulu suasananya."

Turun dari panggung, Rishi membariskan pelayan-pelayan dari restorannya. Dia mewanti-wanti agar pelayanan yang diberikan nanti harus benar-benar istimewa. Toh, primadona acara ini kan ada di makanannya. "Jangan biarkan satu dari kalian kerjanya tidak becus. Pastikan semua makanan tertata baik di setiap meja," Rishi memberi peringatan. "Kalau tidak, saya akan mengusulkan kepada Ayah untuk mengurangi gaji kalian bulan ini," ancam Rishi.

"Baik, Pak Alf!" seru pelayan-pelayan kompak.

"Oke kembali ke tempat kalian!"

---

Nyaris satu jam Petty menanti akhirnya dari kamarnya dia menangkap derap langkah Dinar. Terdengar gegas melintasi koridor di depan kamar. Buru-buru Petty meraih high heels di rak sepatu dan mengenakannya cepat. Terakhir dia merebut clutch dan mengempitnya di ketiak lalu kabur dari kamar. Secepat kilat Petty menerobos pintu kamar Dinar, sebab dia tahu perjalanan ke perusahaan asuransi nanti akan memakan waktu, apalagi di sana seorang pangeran tengah menunggu.

"Din," sapa Petty ngos-ngosan. Dia bisa membaca Dinar berekspresi bingung.

"Kenapa kau mengenakan gaun?" tanya Dinar.

"Tidak usah banyak tanya, ayo ganti bajumu. Cari yang terbaik," papar Petty to the point. "Aku punya sesuatu untukmu, kejutan!"

"Kenapa harus sekarang? Aku capek. Aku baru pulang dari tempat EO."

"Sudah, ikut saja," bujuk Petty.

"Tapi!?"

Petty menyela cepat, "Please...."

Dinar luluh akhirnya, tapi kelelahan jelas menyandera seluruh raganya. Seharian dia bareng Ibu menghabiskan waktu berdiskusi bersama pemilik EO. Untuk penyelenggaraan pernikahan ini, dari segi konsep keseluruhan haruslah matang. Jadi kepergiannya tadi merupakan pembicaraan final untuk segala tetek-bengek susunan acara pernikahan. "Ya sudah kita pergi sekarang," putus Dinar.

"Masa kamu tidak dandan dan mengganti baju?" Petty heran. Tidak masuk akal, mana mungkin untuk acara spesial sebagai putrinya Dinar ogah tampil brilian. Petty mengerutkan dahi sembari memegang baju Dinar. Wanita itu mengenakan baju atasan biasa warna merah yang tak berlengan dan rok mini. Bau wanginya bahkan sudah memudar karena dilahap udara seharian. Rambutnya agak ikal, sedikit acak-acakan. Lalu riasan di wajahnya tidak menonjol, kemungkinan sudah luntur ditelan keringat. Yang terlihat hanya eye shadow yang masih kentara dan blash on yang masih meninggalkan jejak merah di dua belah pipi. "Yakin tidak mau dandan dan ganti baju? Ini kejutan loh!" aju Petty lagi.

"Aku capek, tidak usah, begini sudah cukup."

Petty berpikir sesaat lalu mengatakan, "Baiklah, kalau itu maumu." Wanita itu kemudian merogoh sesuatu dari clutch-nya. Dia mengeluarkan kain hitam panjang, yang sudah dilipat-lipat lebarnya kira-kira tujuh sentimeter. "Karena ini kejutan, maka matamu harus aku tutup." Petty mengibas kain hitam itu.

"Astaga, benarkah?" pekik Dinar, dia merasa dihargai.

Petty menemukan rona di balik pipi Dinar. Pasti wanita itu sudah membayangkan sesuatu yang indah. Petty lekas-kelas menutup mata Dinar. Mengikatnya kencang.

"Aw, gelap," keluh Dinar.

"Sekarang semua gerak langkahmu, aku yang menentukan," ujar Petty. Wanita itu menggamit lengan kanan Dinar. Hati-hati Petty menuntun Dinar meninggalkan kamar. Mereka menuruni tangga setahap demi setahap. Petty bekerja keras agar keseimbangan Dinar terjaga dan tidak oleng.

Petty terus menggiring Dinar hingga keluar rumah. Mereka mendekati mobil milik Dinar. Petty membuka pintu mobil dan menyilakan Dinar duduk di balik dasbor. Selanjutnya Petty beralih ke pintu lain dan masuk menyelinap di belakang setir. Malam ini dia bertugas mengganti Mang Andi. Cepat lambatnya kendaraan kendalinya ada di tangan Petty.

"Kira-kira kejutannya apa ya?" Dinar penasaran begitu mobil sudah melesat jauh meninggalkan Nusa Permai.

Petty berkonsentrasi ke jalan, dia tak menjawab.

"Sejak kapan kau menyusun rencana ini?" tanya Dinar tidak puas.

Lagi-lagi Petty tak bersuara.

"Kau kenapa diam. Aku makin deg-degan nih," keluh Dinar. "Apa tempatnya masih jauh?"

Sepanjang perjalanan Dinar banyak memberondongi pertanyaan seperti polisi yang mendera peluru berkali-kali kepada penjahat. Namun sebanyak itu pula, Petty membungkam mulut. Dia pantang membocorkan hal apa pun sampai mereka tiba di rooftop perusahaan asuransi. Jika dia bocorkan tujuan mereka, ini namanya bukan kejutan! Saat menyetir, Petty sesekali melirik Dinar. Sahabatnya itu tidak henti-hentinya melebarkan bibir, mimiknya antusias, gerakan tubuhnya sering gairah, seolah kesabarannya untuk cepat sampai tujuan hampir habis.

---

Setelah menempuh jarak yang lumayan jauh, mobil yang dikemudi Petty menepi juga di pelataran parkir perusahaan asuransi. Sebelum turun Petty mengambil ponsel di tasnya, dan mengirimkan sebuah pesan singkat ke ponsel Rishi. Kami akan segera naik ke atas. Petty menyimpan kembali ponselnya. Dia turun dari mobil lalu bergerak ke pintu sebelah dan menuntun Dinar.

Mereka bergerak ke lobi perusahaan, dan mencari lift. Lift itu membawa mereka melewati lantai demi lantai.

"Apa kita masih lama?" Dinar terus menembakkan pertanyaan.

"Dikit lagi, bersabarlah," Petty menenangkan.

Pintu lift terakhir melebar otomatis. Siap-siap Petty menggenggam kembali lengan kanan Dinar. Mereka seiring bergerak meninggalkan lift. Mereka lantas menyusuri lorong yang membelok, lalu berhenti di sebuah tangga. Petty sesaat berdiri di hadapan anak tangga, dan mulai menghitung. Ada sekitar lima belas anak tangga yang harus mereka lalui sebelum menjumpai rooftop. Sesantun mungkin Petty membawa Dinar naik, menjejakkan kaki di tangga, setahap demi setahap.

Sampai di atas napas keduanya kompak sengal. Petty lantas lanjut menggiring Dinar beberapa meter.

Dan....

Gelap. Di rooftop menjadi pekat. Sesuai skenario Rishi sengaja mematikan semua lampu. Sedangkan semua orang yang berada di tempat itu dapat melihat bayangan dua orang yang datang dari kejauhan. Petty melepaskan cekalan tangannya dari Dinar, dan kemudian bergerak di belakang punggung sahabatnya. "Kau siap?" Petty melepaskan kain penutup mata.

Dinar mengerjap-ngerjapkan mata. "Lah, kok gelap?" kepala Dinar celingukan. Pertama yang ditemukannya adalah gedung-gedung, beserta rumah-rumah yang jauh di sana. Lalu setelah mampu menerawang dan menyadari kalau sedang berada di gedung tinggi, dia menangkap bayang-bayang orang yang tengah duduk di depan meja-meja, tak jauh dari posisinya.

Serentak, lampu-lampu yang dililitkan sepanjang tiang-tiang dan tali, menyala. Diikuti lampu yang berada di tembok dan pohon-pohon. Dinar memelotot heran, mulutnya menganga. Wow! Cahaya lampu-lampu ini meriah sekali. Sungguh, seumur-umur dia belum pernah menyaksikan aneka warna lampu yang ditata ciamik. Selain itu dengan jelas Dinar menemukan kursi-kursi yang ditata dan orang-orang yang sudah mengelilingi meja makan. Mereka semua melemparkan keramahan kepadanya dan juga Petty. Di ujung sana dia juga melihat sekelompok orang yang berada di atas panggung. "Oh My God, dalam seminggu aku melihat dua surga," Dinar memandang sekilas ke arah Petty, benar-benar tidak menyangka.

Sayup-sayup terdengar petikan gitar.., mengalunlah sebuah tembang milik Kahitna dari vokalis Starlight.

Cantik
Ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu.

Sekian detik kemudian Dinar menjumpai pria kekar yang selama ini menemaninya. Rishi berdiri di meja paling tengah. Pria itu gagah sekali berbalut tuksedo. Potongan rambutnya berbeda, lebih kilau dari biasanya. Pria itu merentangkan tangan ke depan seolah meminta Dinar berlari ke arahnya.

Petty mendorong tubuh Dinar dan membawanya menuju meja paling tengah. Kompak tepuk tangan langsung riuh terdengar. Kencang dan berirama. Sayang, begitu mendekati meja paling tengah, tatapan orang-orang berganti memusat pada Petty. Tajam sekaligus membingungkan. Petty agak linglung. Perlahan dia memperhatikan diri, apa ada yang salah denganku? Rasanya... Petty berhenti sejenak. Astaga, ternyata busana yang dikenakannya terlalu memikat. Gaun hitamnya lebih istimewa dari baju Dinar. Bahkan jika disandingkan, sangat serasi sekali dengan tuksedo milik Rishi.

Kini rasa kikuk menyerang Petty secara brutal setelah sadar bahwa hanya dirinyalah satu-satunya wanita yang mengenakan gaun dan yang paling modis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sementara pengunjung lain berpenampilan seadanya. Wanita-wanita di sini, hanya mengenakan kaus, blazer, dan jeans bahkan masih ada yang mengenakan pakaian kantor. Tidak jauh berbeda, para pria pun demikian, hanya mengenakan kemeja, kaus bahkan ada berbalut jersey dari klub bola kesayangan mereka.

Sementara itu langkah Dinar sudah merapat ke meja paling tengah.

Cepat-cepat Rishi mendekati calon istinya, "Welcome to our special dinner...!"

"Ini untukku? Untuk kita?" sebut Dinar.

"Ya," jawab Rishi sungguh-sungguh, lalu pria itu mengambil seikat bunga mawar di meja. Dia menyerahkan bunga itu.

Dinar menerima dan memeluk mawar.

Sesuai yang direncakan Rishi kemudian menarik kursi dan menyilakan Dinar duduk. Setelah memastikan Dinar nyaman, Rishi kembali ke kursinya. Di belakang Petty mulai berani mendekati mereka. Dengan langkah yang mendadak berat dia berusaha bergerak. Sayang begitu sampai di samping meja, Petty hanya berdiri, sebab di meja spesial itu hanya dibekali dua kursi.

Dari panggung, Starlight mengubah lagunya. Kini yang terdengar adalah lagu milik Raisa, Jatuh Hati.

"Kenapa kau berpakaian seadanya?" tanya Rishi. "Tuh liat, Petty saja maksimal," tunjuknya pada wanita yang sedang berdiri.

Petty kagok.

"Aku tidak sempat," ungkap Dinar.

"Padahal aku sudah menyuruh semuanya berpakaian apa saja, asal tidak serapi aku," sesal Rishi. "Apa aku buka saja tuksedonya?" Rishi hendak melepas jas.

"Jangan, kau tampan dengan pakaian ini."

Kuterpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu
....

Begitu lirik lagu milik Raisa makin jauh berkumandang, Petty baru menyadari dia tak layak berada di samping meja paling tengah-meja yang ditata lain dari meja di sekitar, bahkan meja satu-satunya yang diterangi dua buah lilin cantik. Begitu appetizer diantar pelayan, Petty mulai menyingkir. Kurang baik berada di antara dua manusia yang sedang berkencan. Petty memantau, mencari kursi. Dia mengembuskan napas dan seketika lemas. Nyatanya tidak ada satu pun kursi yang kosong. Bagaimana ini? Dengan kepala yang setengah tertunduk dia melangkah ke deretan pria dan wanita yang mengenakan baju seragam berwarna putih-orang-orang itu adalah pelayan dari restoran milik Rishi. Di meja-meja yang menyediakan makanan, Petty berkerumun di tengah pelayan-pelayan. Sekilas dia laksana seorang putri yang dikelilingi dayang-dayang. Putri yang tidak mendapat tempat dan tersingkirkan dari perjamuan pesta.

Di meja paling tengah, Rishi sedang mengulurkan sendok yang berisi makanan ke arah Dinar. Petty tidak jelas melihat makanannya apa. Yang pasti kini Dinar membuka mulutnya dan membiarkan Rishi mendorong makanan. Dinar kemudian tertawa dengan posisi mulut tertutup. Karena porsi makanannya terlalu besar, mulut Dinar menggembung.

Menyaksikan adegan itu, Petty ikutan tersenyum. Namun anehnya leher gaunnya mendadak terasa kekecilan, agak sesak.

Begitu main course-nya tiba, sebuah lagu milik Marcell dan Andien menggema di seluruh rooftop.

Aku bersamamu selalu
di sampingmu
Untuk menjadi teman hidup
dalam sempurna cinta kita

Petty menatap loyang-loyang berisi makanan, lantas secara sembunyi-sembunyi menoleh lagi ke meja Rishi dan Dinar.

Kini Dinar melayangkan serbet ke mulut Rishi. Sepertinya karena terlalu banyak melahap, saus tertinggal di ujung bibir Rishi. Dinar mengelap perlahan jejak saus. Rishi menahan tangan Dinar, sehingga wanita itu berhenti menyeka. Kedua orang tersebut lantas mengobrol kecil, Petty sulit mendengar pembicaraan mereka karena jarak yang jauh, lagi pula suara pengunjung dan band Starlight terlalu mendominasi bunyi di rooftop.

Adegan barusan menurut Petty sangat romantis. Tapi ganjilnya pelan-pelan hatinya merapuh. Apakah tepat aku berada di sini? Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul mirip peluru yang menembakinya berkali-kali. Sepuluh menit Petty tidak kunjung mendapatkan jawaban. Wanita itu kemudian mencari kesibukan dengan jalan-jalan tak bertujuan di sekitar meja, entah apa maksudnya. Untuk mendapat belas kasih agar diberikan tempat duduk? Rasanya tidak, bahkan gaun yang dikenakannya tidak dapat membantunya untuk mendapatkan satu kursi pun.

---

Di kursinya Dinar meletakkan sendok. "Kau pasti pusing menyiapkan semua ini," wanita itu berkomentar sambil melihat ke lampu-lampu yang menyilang di atas kepalanya. "Kau mengundang live music, menyewa properti, mendekor segalanya, dan orang-orang ini...."

"Petty membantuku," Rishi menjawab cepat. Pria itu lalu menoleh ke arah Petty. Di barisan pelayan, wanita itu sedang menata piring-piring. Sesaat roman wajah Rishi berubah cemberut. Dia mengembalikan kepalanya ke posisi semula. "Dia yang memiliki rencana ini."

"Oh aku harus berterima kasih pada Petty," jeda Dinar sebentar. "Dan juga kamu," Dinar mendaratkan tangannya di punggung tangan Rishi. "Malam ini, kau benar-benar menunjukkan kesungguhanmu menikahiku."

Menu dessert tiba, seorang pelayan membawakan potongan-potongan kue di dalam piring dan dua buah gelas minuman warna-warni. Dinar setengah berteriak mendapati brownies-brownies di dalam piring. "Astaga, kau?" ucapnya takjub. Ini adalah kue favoritnya. "I love you so."

Rishi tak membalas, malahan dia kembali menoleh ke arah Petty yang kini membawakan piring ke salah satu meja.

Dinar memegang dagu Rishi, dan mengembalikan posisi kepala calon suaminya.

"Apa dengan keramaian ini kau merasa nyaman?" tanya Rishi kemudian.

"Sebetulnya tadi aku agak khawatir, namun setelah beberapa menit duduk, kurasa orang-orang di sini memberikan senyum dan keramahan. Dan aku sangat merasa nyaman." Dinar menggigit kue pertamanya.

Mengalunlah lagu milik Glenn yang dipesan khusus dari Rishi. Vokalis Starlight benar-benar lihai memaniskan lagunya.

Di malam yang romantis ini
Tuk kau dan aku
Tetapi dikau bagai air yang membeku...

"Oh bahkan lagunya kini seolah sedang mendukung kita," tutur Dinar berbunga-bunga. "Apa kau yang memintanya?"

Rishi hanya tersenyum.

Aku cinta padamu, sungguh
Aku cinta padamu, sungguh
Mestikah kuulangi dari mulutku sendiri
Aku cinta padamu, kasih

"Aku mau ke panggung, ingin nyanyi dikit," putus Dinar. Buru-buru dia meneguk minum dan bangkit dari kursi.

Dinar melangkah cepat melewati karpet merah. Gegas dia naik ke panggung dan menghentikan lagu yang sedang dimainkan Starlight. Wanita itu kemudian merebut mik. Di belakang stand mic, wanita itu menegak, sehingga seluruh pasang mata menghujaninya. Tingkahnya itu pula yang memaksa Petty datang dan bergabung bersama Rishi di meja. Posisi Rishi dan Petty lurus secara vertikal ke panggung.

"Izinkan aku menyanyikan sebuah lagu," ucap Dinar di mik. "Lagu spesial untuk calon suamiku, Alf."

Serempak, terdengar riuh tepuk tangan dari pengunjung.

Di atas panggung, Dinar meminta para pemegang instrumen memainkan lagu Train, Marry Me. Empat orang pria tersebut mulai membunyikan instrumen. Dinar menghela napas, Forever can never be long enough for me. Feel like I've had long enough with you, forget the world now we won't let them see, but there's one thing left to do. Di tempatnya, Petty dan Rishi menangkap rona bahagia dari wajah Dinar. Bahasa tubuhnya begitu lepas. Seolah selama ini terkungkung dalam ketakutannya. Tidak tanggung-tanggung saat masuk ke chorus lagu, wanita itu lenggak-lenggok, dari ujung panggung ke ujung panggung. Seolah menujukkan 'this is me, wanita bertalenta'. Seolah dia adalah penampil sejati. Rishi tersenyum ke panggung. Senyum karena Dinar berhasil mengalahkan ketakutannya selama ini. Senyum karena sukses menjalankan misi ini dengan baik. Senyum karena Dinar menemukan sifat sejatinya yang periang.

Aksi Dinar belum berakhir. Saat menukil lirik yang sedikit digubah, wanita itu makin ekspresif. Marry me, Today and every day, marry me, and I always get say 'love you' in this rooftop, say you will... mmm-hmm, say you will... mmm-hmm.

"Dia kelihatan bahagia," pekik Rishi. Pria itu akhirnya ikut terhipnotis aksi Dinar, sampai-sampai tak sadar bergoyang-goyang. Tersenyum-senyum kegirangan, lalu refleks mendekap tubuh Petty erat, saking senangnya. Dia juga menambahkan ciuman di pipi Petty, menyalurkan keberhasilan yang telah dia torehkan malam ini. "We made it."

Petty seketika kaku. Mendadak dia merasa semua suara di rooftop hilang. Apa yang barusan Rishi lakukan?

Seiring detik yang berlalu, Rishi kagok, pelan-pelan. Dia mengerti kejadian tadi tidak patut dia lakukan.

Di panggung Dinar tetap membagi suaranya.

"Dia sangat menikmatnya," ujar Rishi kemudian. Suaranya terdengar rendah dan malu.

"Kita tidak sia-sia melakukannya," balas Petty.

Keduanya menjadi canggung sesaat. Sebuah momen di Bandara Pattimura setahun lalu kompak menyelinap di kepala keduanya. Momen di mana Rishi merebut bibir Petty dengan tiba-tiba. Segalanya terasa manis, bahkan pada saat itu Rishi tahu persis bagaimana membuat Petty melayang dengan lumatan-lumatannya. Tunggu, tapi bukankah di atas panggung tadi Dinar melihat mereka?

Rishi meluruskan tubuhnya ke panggung. Berusaha menikmati penampilan Dinar. Sial, semakin dia fokus menikmati, semakin dirinya memikirkan wanita yang kini berbalut gaun hitam. Rishi lantas dilema, sebenarnya dia melakukan ini untuk menghilangkan ketakutan Dinar, atau hanya untuk menunaikan tugas dari Petty.

Tanpa diundang butir-butir air menempel di baju Rishi. Pria itu lantas melihat ke langit. Gelap. Ternyata gerimis mulai turun. Orang-orang berlarian dan menepi ke ruangan yang terhubung langsung dengan tangga. Rishi melepas tuksedo. Begitu jas hitam itu terlepas, pria itu dihadapkan dua pilihan, siapakah yang pantas ditudunginya? Petty yang hanya sekian senti darinya, atau Dinar yang jauhnya sekian meter di atas panggung? Sepuluh detik berpikir, Rishi akhirnya memilih lari ke atas panggung.

Petty meletakkan tangan di atas kepala, berusaha melindungi diri dari hujan. Dia memonitor Rishi. Pria itu dengan santun menudungi Dinar dari guyuran hujan. Mereka berlarian meninggalkan panggung. Aksi Rishi ini mau tak mau mengingatkannya pada kenangan pertama mereka di tepi pantai Tanjung. Saat itu Rishi memayunginya dengan tikar demi melihat sunset saat makan. Kenangan itu indah, manis sekali.

"Petty ayo cepat berteduh," teriakan Dinar di tempat berteduh membuyarkan ingatan Petty.

Petty menggerakkan kepalanya ke sekeliling, meja dan panggung sudah kosong orang. Bajunya telah kuyup oleh guyuran hujan yang semakin membesar. Mau tak mau dia bergerak meninggalkan meja paling tengah.

***

Pukul 00.05 [Petty]

Hujan di luar tak menyurutkan serangannya dari langit. Dingin menusukkan hawanya ke tubuh Petty meski wanita itu sudah berbusana tidur lengkap. Dia lantas membuka lemari mencari hair dryer. Usai memperoleh barang tersebut, Petty menghadap jendela berbahan kaca yang kini kabur karena percikan air. Sembari menatap butiran air wanita itu mengurai rambut dan siap dikeringkan. Satu per satu helai rambutnya beterbangan di udara.

Saat melakukan aktivitas ini sejujurnya pikiran Petty masih melayang ke rooftop perusahaan asuransi. Beberapa menit sebelum hujan turun Rishi mentransfer kehangatan padanya lewat pelukan. Bukan saja itu, Rishi juga memberikannya kelembutan lewat ciuman refleks yang mengagetkan. Petty menurunkan posisi hair dyer dan mundur dari jendela kamar. Dia menumpukkan bokong ke ranjang, bernapas resah. Wanita itu meletakkan tangan di atas dada. Debaran jantungnya bergerak-gerak aneh. Meski demikian Petty yakin, ini adalah perasaan yang sama. Seperti dulu. Cinta.

Tanpa pikir panjang Petty bangkit. Dia menarik payung hitam yang tergantung di dinding. Buru-buru Petty keluar kamar. Koridor di lantai dua sudah gelap, semua orang pasti sudah tidur. Wanita itu terus memompakan kaki menuruni tangga. Di lantai satu lampu sudah dimatikan. Petty tetap harus pergi, pergi untuk menemui Rishi. Karena dialah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan apa arti pelukan dan ciuman tadi.

Petty membuka pintu rumah. Hawa dingin yang teramat sangat menyapanya. Tiupan angin membuat piamanya melambai-lambai. Dia bergerak ke teras. Saat membuka payung dan melangkah lagi, Petty berhenti mendadak. Rasanya kakinya berat diajak jalan. Dia tahu alasannya mengapa tiba-tiba kakinya susah bergerak, sulit berlari dari rumah ini, sukar melanjutkan niat hatinya, sebab di rumah ini ada wanita lain yang mencintai Rishi. Selain itu dia yakin langkahnya nanti pasti tak bertujuan, karena dia tak pernah tahu alamat rumah Rishi.

---

Di waktu yang sama, pukul 00.05 [Rishi]

Di ranjang Rishi sulit memejamkan matanya meski sebenarnya bunyi hujan yang menerpa atap rumah biasanya jadi obat mujarab pengantar tidur. Apalagi persendiannya lumayan capek setelah melewatkan hari yang panjang. Normalnya orang dengan kondisi ini akan mudah terlelap. Rishi menarik selimut lebih ke atas sampai menutup dagu. Lantas merem lagi, tetap tidak berhasil. Dua detik kemudian dia menurunkan selimut sampai dada. Alhasil posisi tidurnya menjadi tidak menentu, telentang salah, berbaring miring salah­.

Rishi bangun, menjauh dari ranjang. Dia menuju meja kecil. Sembari menghela napas, pria mengambil bungkus rokok dan pemantik api. Rishi meraih sebatang rokok dan menjepitnya di bibir. Dengan sekali memantik dia menyalakan ujung rokok. Isapan pertama dia lakukan. Entahlah baru kali ini dia merasa insomnia begitu menggerogoti sejak perhatiannya tersedot ke rooftop perusahaan asuransi puluhan menit yang lalu. Bukan karena kesuksesannya menciptakan kebahagian untuk Dinar, melainkan bahasa tubuh Petty yang seolah 'menyendiri' di antara pelayan-pelayan di restoran sepanjang dinner. Malah saat panjang rokok semakin berkurang, Rishi teringat jelas dengan pelukan dan ciuman refleks yang dia lakukan. Dia yakin, cinta yang tak bertuan selama setahun, kini menemukan jalannya.

Rishi menggosokkan puntung rokok tersisa di asbak. Dia melangkah mundur, dan mengambil jaket di gantungan. Buru-buru dia keluar kamar. Di ruang keluarga dia menemukan ayah yang masih menonton televisi. Rishi berlalu tanpa menyapa, hanya senyum seulas. Dia setengah mengencangkan gerakan menuju garasi. Siap-siap untuk menyalakan mesin mobil.

Sejurus kemudian Rishi menjalankan mobil. Dia harus menuju rumah bernomor 12 di Nusa Permai. Begitu mobil meninggalkan garasi, Rishi jadi setengah ragu menambah kecepatan. Menuju rumah itu, dia harus bertemu siapa? Petty atau Dinar. Rishi menepikan kendaraan-masih di jalan dekat rumah. Tiba-tiba suasana menjadi hening.... Dan dia kemudian sadar, nanti ketika sampai di rumah itu dan berlaku sebagai pria bernama Rishi, ada wanita lain yang benar-benar menginginkannya sebagai Alf.

Rishi berteriak, "Arrrrrrgh!" sembari memukul-mukul setir. Lelah bertingkah di luar kendali.

Rishi membiarkan dirinya terpaku memandang butiran hujan yang jatuh di kaca mobil.

.....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro