Kepingan Tiga [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bunyi ombak terdengar samar-samar di telinga. Petty terbangun. Untuk pertama kali selain alarm, ada bunyi lain yang membuatnya bangkit dari ranjang. Petty mengambil ponsel di meja rias, melihat jam digital di layar. Pukul enam pagi. Ternyata lumayan lama dia terlelap, barangkali ini efek perjalanan Jogja - desa Tanjung yang memakan hampir 24 jam. Pagi itu, Petty menikmati matahari terbit dari jendela kamar. Cahayanya menembus pokok-pokok pohon yang rimbun. Beberapa burung endemik laut melintas di udara. Sekian menit berada di jendela Petty menyadari perkataan Rishi kemarin benar—bahwa kejadian-kejadian menakjubkan akan kita temukan ketika memutuskan keluar rumah.

Sebelum pukul tujuh Petty menyibukkan diri di dapur. Beberapa alat seperti kulkas, wajan, dan rice cooker mendukungnya untuk masak. Petty sendiri memutuskan menanak nasi. Dia juga mengeluarkan roti dan kotak susu yang dibeli kemarin. Roti-roti itu dia olesi selai.

Dari ruang depan Rishi nongol. Wajahnya masih tampak kantuk. Rambutnya kelihatan acak-acakan. Pria itu menguap. "Wah, makan enak nih!" Pandangan Rishi tertuju pada tumpukan-tumpukan roti.

Petty yang sementara mengoles roti terakhir, membalas, "Pergi sana ke kamar mandi, kau bau."

Rishi mengarahkan kepalanya ke ketiak. Bau asam langsung menyerang hidungnya. "Jarak kita kan jauh, mana bisa kau mencium bau badanku?"

"Aku ini bisa mengendus bau tak sedap!"

Rishi mendekati meja. Pria itu meraih gelas susu, hendak minum.

"Taruh!" hardik Petty. "Ke kamar mandi dulu sana!"

"Belum juga minum," Rishi menggerutu.

Pria itu terpaksa menuju kamar mandi. Kamar mandi rumah ini tak memiliki shower, apalagi wastafel. Kelengkapannya termasuk standar, hanya ada bak mandi, kloset duduk, tempat sabun dan cermin kecil. Rishi sudah biasa dengan hal ini, sering bepergian membuatnya familiar akan penginapan-penginapan berfasilitas minim. Sementara itu, di dapur Petty lanjut menggoreng beberapa telur. Dia juga menggunakan wajan yang sama untuk mengolah nasi goreng.

Keluar kamar mandi Rishi memantau Petty diam-diam. Wanita itu tampak gesit membolak-balikkan nasi. Lantaran malu hati, Rishi memutuskan turun tangan membantu. Pria itu merebut spatula dari tangan Petty.

Meski tak terbiasa, Rishi berusaha memasak dengan benar. Sebagai orang yang menumpang dia cukup tahu diri. Mungkin dengan membantu, Petty bisa menilai kalau dirinya tak gratis tinggal di sini.

Petty menaburkan penyedap rasa ke dalam wajan, "Ini bukan tugas ke empatmu ya."

Rishi tersenyum, "Aku ikhlas membantu."

Bau harum tercium dari wajan. Nasi goreng siap dihidangkan. Rishi langsung menuangkan semuanya ke dalam cawan besar. Petty mengatur peralatan makanan, termasuk roti-roti tadi. Mereka duduk bersisian di meja. Rishi lagi-lagi jadi orang pertama yang memasukkan nasi ke dalam mulut. Pria itu tak sungkan-sungkan menambah ketika nasi goreng ludes di piring. Petty tersenyum melihatnya.

"Eh, apa kita sudah bisa disebut sahabat?" celetuk Rishi, dia berhenti mengunyah.

"Sepertinya begitu."

"Oke, kita friend." Rishi terkekeh.

Petty menyeruput minum. "Tapi itu tidak berarti tugas-tugasmu ditiadakan."

"Aku ingat janjiku."

"Oke, kalau begitu makanlah cepat. Karena setelah ini kau harus melakukan tugas keempatmu."

Tugas lagi? Rishi seketika lemas.

***

Petty mengeluarkan kembali kertas yang dia simpan dalam saku. Wanita itu memperhatikan setiap huruf yang tercetak. "Mes Perusahaan Fishfood," rapalnya dalam hati. Tempat inikah lokasinya membayar rindu? Rindu yang setahun ini sudah menggunung. Jujur sejak memutuskan keluar rumah detak jantung Petty sedikit kurang tenang. Bayang-bayang sesosok pria bertama sipit bermain di benak. Petty ingat, setahun lalu dia masih bisa menggenggam tangan pria itu, memeluk lengannya, bahkan bisa mengajaknya mengobrol setiap hari. Namun pagi ini saat memutuskan keluar rumah, rasa-rasanya motivasinya lebih dari sekadar memegang tangan atau pun memeluk lengannya.

Rishi yang berada di samping Petty, agak penasaran dengan perjalanan mereka. "Kenapa kita harus ke Mes Fishfood?"

Petty melipat kertas alamat di tangannya.

"Apa kau sedang ingin melamar pekerjaan di perusahaan itu? Atau kau ini dewan pengawas yang sedang ditugaskan kemari? Atau, kau ini utusan perusahaan lain yang hendak mengajukan kerja sama dengan pihak Fishfood?" banyak tebakan yang disampaikan Rishi.

"Kenapa kau berpikiran begitu?"

"Soalnya kau sangat-sangat rapi."

Petty memperhatikan diri. Memang hari ini dia menghabiskan waktu setengah jam berdandan ekstra. Baju yang dia kenakan termasuk pakaian favorit ke kantor, berupa sheath dress biru. Sebagai penambah rasa percaya diri dia memakai high heels warna senada. "Apa dandananku berlebihan?"

"Tidak juga sih, tapi—," Rishi memegang bibir. "Lupakanlah," Rishi urung membahas lanjut soal dandanan Petty.

Mereka memutuskan melewati susuran sepanjang pantai desa untuk mencapai kompleks Fishfood. Jejak-jejak sepatu mereka tercetak di pasir. Petty beberapa kali kesusahan berjalan lantaran ujung haknya tertanam, wanita itu bahkan harus mencari tempat berbatu untuk memudahkan gerakan jalan. Tiupan angin lebih kencang saat mereka tiba di deretan pohon-pohon kelapa yang tumbuh berjarak.

Petty berhenti tiba-tiba, seekor ketam melintas. Warnanya putih bercampur merah. Tertarik dengan ketam ini, Petty berinisiatif menangkap. Kebiasaan ketam yang mendadak diam kala dikejar predator memudahkan Petty memegang cangkangnya. "Aku belum pernah melihat langsung jenis ketam ini." Petty memutar-mutar cangkang ketam yang mirip trompet dengan ujung runcing namum bergerigi. "Biasanya hanya kusaksikan lewat televisi atau kulihat setelah cangkangnya menjadi suvenir."

Rishi tertawa. "Kau seperti orang pedalaman yang baru turun gunung."

"Jangan mencibir. Aku memang jarang ke mana-mana." Petty mengembalikan lagi ketam ke dasar. "Ngomong-ngomong setelah kuperhatikan, desa ini ternyata lumayan cantik. Harusnya orang-orang di sini bersyukur, mereka serasa berlibur setiap hari."

"Orang-orang di sini belum tentu berpikiran demikian. Bagi orang desa, berlibur adalah saat jalan-jalan ke kota. Sebaliknya bagi kita yang tinggal di metropolitan, mengunjungi desa atau pegunungan, sering dianggap sebagai liburan," Rishi berpendapat. "Makanya ada yang bilang, sesuatu yang jauh dari keseharian itu menyenangkan."

"Bener juga sih. Tapi mereka beruntung hidup tanpa tekanan sosial. Tak ada fashion, gadget terbaru, apalagi kendaraan mewah."

Petty dan Rishi akhirnya tiba jalan utama kompleks Fishfood. Di depan berdiri sebuah gedung berlantai tiga. Sepertinya ini gedung utama perusahaan. Halamannya dipenuhi taman khas perkotaan—kontras dengan geografis desa Tanjung. Terdapat air mancur di tengahnya. Tumbuhan kerdil ditempatkan di beberapa sudut. Yang paling mencolok adalah patung ikan setinggi dua meter, yang berada tepat di bagian sisi kiri teras gedung.

"Apa yang sebenarnya kita lakukan di sini?" tanya Rishi, penasaran masih menganggu.

Petty menyerahkan kertas di tangannya.

Rishi mengerutkan kening. Pria itu menerima kertas yang diberikan, lalu membuka lipatannya. Sebuah alamat. "Mes Fishfood, nomor 17?" ucap Rishi seperti monolog. "Apa ini alamat yang tempo hari, hampir hilang?"

"Benar, hampir hilang saat kau menabrakku."

"Sepertinya penting," Rishi anggut-anggut. Pria itu lantas mengarahkan pandangan sejauh lima meter dari lokasi mereka saat ini. Dia membidik sebuah pendopo kecil yang besarnya dua kali boks telepon umum. Di sana terdapat seorang pria berotot, dengan kulit gelap. Dari seragamnya Rishi dapat menebak kalau pria itu sekuriti.

Rishi mengajak Petty menemui sekuriti.

Sekuriti berseragam hitam-hitam itu menyambut mereka dengan ramah.

Tanpa membuang waktu, Rishi to the point menanyakan letak mes karyawan Fishfood.

"Letaknya di belakang gedung ini," jelas satpam. "Apa ada yang bisa dibantu lagi?"

"Tidak. Hanya itu saja," jawab Rishi, lalu berterima kasih, hendak meninggalkan pos satpam.

Sesuai petunjuk sekuriti, Rishi dan Petty menyisir sisi gedung Fishfood sebelah kiri. Ukiran-ukiran berbentuk ikan menghiasi sepanjang sisi gedung. Petty sesekali menyentuhnya. Tepat di belakang gedung, tampak rumah-rumah yang memanjang dengan satu atap, mirip kamar indekos namun setingkat lebih mewah. Sebuah beton setinggi satu meter menjadi penyekat antar rumah. Ada taman mini di depan serambi. Sepertinya inilah mes perusahaan Fishfood. Mes dan gedung utama dipisahkan aspal lebar.

Petty dan Rishi menyortir tiap rumah yang berderet. Hingga arah kaki membawa mereka di depan rumah nomor 17. Pintu rumah tersebut tertutup rapat. Di dinding dekat pintu terdapat sebuah papan nama berhuruf algerian. Warnanya biru dan lumayan besar, bertuliskan Danu Aditama. Petty menyemat senyum menatap papan nama. Dari semua rumah yang mereka sortir, tak ada tulisan yang berwarna biru kecuali di rumah Danu. Pria yang dikenal Petty ini memang cinta berat dengan warna tenang ini, tak heran jika papannya beda sendiri.

"Yang kau cari namanya Danu?" tanya Rishi.

"Iya Danu," sahut Petty.

"O," Rishi maju lebih dekat ke pintu. "Aku ketuk ya?"

"Boleh."

Rishi mendekatkan buku jari dan mulai mengetuk. Pria itu menunggu sembari mengentak-entak kaki. Tak ada tanda-tanda pintu melebar. Sekali lagi Rishi mengetuk, kali ini disertai salam. Hasilnya tetap sama. Rishi menengok Petty yang berada di belakang punggungnya. "Bagaimana ini?" Rishi bertanya. "Kayaknya tak ada orang di dalam."

"Mungkin dia sedang kerja."

"Bisa jadi, ini kan masih jam kantor," timpal Rishi. "Apa kita harus ke gedung utama?"

"Sepertinya."

---

.....bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro