IV. Apa Kabar?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini pukul 06.30 Cara sudah selesai dengan seragamnya dan duduk manis di mobil Navya. Di tangan kanannya terdapat sebuah roti yang ujungnya sudah tergigit, dan tangan kirinya sibuk berselancar di layar ponsel, membaca pesan-pesan masuk di aplikasi Whatsapp.

NYOLOT UNTUK BACOT

Shuwan

Hai hai hai ... Selamat pagi semuanya. Jangan telat ke sekolah. Teruntuk Nata, bajunya hari ini dirapiin. Teruntuk Cara, kakak cantiknya jangan lupa dibawa untuk menyelesaikan masalah kita.

Nata

BACOT

Shuwan

Kenapa sih, Nat? Masih pagi udah naik tensi? Nggak ada yang masakin ya di rumah? Mampir di rumahku aja. Mami tadi masak banyak. Atau mau aku bawa aja ke sekolah?

Nata

Bungkus!!! Banyakin ikannya.

Shuwan

Giliran makanan aja bagus lu respon. Dasar kucing!

Nata

Bodo amat. Pokoknya ikan yang banyak. Aku lagi hemat duit. Akhir bulan. Nggak mau jajan di kantin. Kecuali kamu traktirin.

Shuwan

Akhir bulan apaan? Ini baru tanggal 12, Nat. Kamu beli narkoba, ya, makanya duit bulanan habis?

Nata

Sembarangan. Ku kasih jepitan jemuran juga nanti tu mulut biar nggak asal nyerocos.

Shuwan

Jepitan itu, kan, untuk pakaian, bukan untuk mulut. Hahaha, ada-aja aja. Udah mau coba ngelucu ya, Nat, sekarang?

Nata

SIAPA YANG NGELUCU WOY???

CARA MANA? TOLONG MUTILASI INI MAKHLUK.

Carabella

MAAF, AKU SALAH MASUK GRUP!!!

Nata

Si Alan

Shuwan

Si Alan (2)

Cara kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah merasa bahwa membaca grup itu tidaklah penting. Sangat tidak ada faedahnya. Isi grup ini hanya seputar pertengkaran ringan antara Nata dan Shuwan. Entah kapan Nata dan Shuwan bisa saling mengimbangi dengan baik dalam hal percakapan.

"Tumben jam segini udah nangkring di mobil Kakak?" tanya Navya yang masuk ke mobil dengan tumbler di tangan kirinya. Ia tampak modis dengan penampilannya sekarang. Celana panjang abu bermotif kotak kecil, kemeja putih dengan lipitan kecil di bagian leher, serta blazer dengan warna senada yang bertengger di lengannya. Tidak lupa, rambut panjangnya yang bergelombang melengkapi kesempurnaan wajah cantik itu.

"Tumben Kakak berpakaian formal?" tanya Cara memperhatikan Navya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Iya dong. Kakak sekarang mau ke sekolahan, ngurus si adik yang suka bikin onar. Bukan mau ke pesta dansa. Jadi harus berpenampilan seperti ini."

"Tapi Kakak terlalu cantik kalau seperti ini," keluhnya.

"Lho, bukannya bagus Kalau kakak terlihat cantik? Setidaknya kamu nggak perlu malu di hadapan teman-temanmu."

"Nggak perlu cantik-cantik juga dong, Kak. Teman aku juga nggak akan peduli, kok. Pakai daster juga nggak masalah kalau ke sekolah doang."

"Hellow Adikku, si biang kerok, dengar ya. Penampilan itu poin utama dalam hidup seseorang. Karena dengan bagusnya penampilan kita, maka akan meningkatkan kepercayaan diri dan bagus pula orang memandang kita. Kalau kakak pakai daster ke sekolah kamu, jangankan masuk ke ruang BK, berdiri di depan gerbang aja udah diusir. Disangka pengemis. Lagian kamu kenapa, sih? Tumben banget komplain penampilan Kakak, biasanya juga bodo amat."

"Kalau nanti Pak Reynand suka sama kak Navya, gimana? Kak Navya, kan, cantiknya melebihi aku. Dia juga model. Bisa diembat nih incaran adiknya sendiri," ucap hatinya.

"Nanti nggak usah genit. Udah jalan sana. Ntar aku telat lagi." Cara tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Navya. Ia menyilangkan tangan di dada dengan headset yang bertengger di telinga, menikmati perjalanan menuju sekolah.

------------------

Shuwan dan Nata sudah tiba terlebih dahulu di ruang BK—menunggu Cara dan Navya, juga Reynand yang masih belum tiba. Penampilan Nata tidak ada bagus-bagusnya, baju yang terbuka—menampakkan kaos putih di dalamnya, ransel yang hanya disangkut pada satu bahu, dan dasi yang tidak diketahui keberadaannya.

"Nata, kenapa pakaianmu seperti ini? Ini akan membuatmu tidak mendapat keringanan. Sini aku rapikan," seru Navya begitu tiba di dalam ruangan.

Nata yang tadinya berdiri santai sekarang menjadi tegak lurus tanpa suara, bahkan napasnya pun tak terdengar. Ia tampak gugup dengan mata yang tidak jelas ingin menatap ke arah mana. Navya mengancing satu per satu kemeja Nata. Mengambil dasi dari tasnya dan memasangkan pada kerah baju Nata. Ia selalu menyiapkan sebuah dasi di dalam tas, karena ia mengetahui kebiasaan sahabat adiknya yang satu ini. Ia tidak hanya menjadi kakak untuk Cara, tapi juga harus menjadi kakak untuk Nata dan Shuwan.

"Udah cukup, Kak. Kasihan itu Nata nggak bisa napas," ujar Shuwan cekikan.

"Tapi bajunya belum masuk celana itu," jawab Navya seadanya.

"Ng-nggak. Nggak apa, Kak. Aku bisa lakuin sendiri," jawab Nata gelagapan. Sementara kedua temannya masih cekikikan melihat tingkah Nata sekarang.

Derap langkah mulai terdengar dan memasuki ruangan. Orang yang paling dinantikan akhirnya tiba dengan empat siswa lain di belakangnya. Langkahnya terhenti begitu melihat Navya. Mata mereka saling beradu—lumayan lama—membuat Cara kesal hingga berdeham untuk menghentikan tatapan mereka. Cara sangat risih. Navya tersenyum penuh makna, sementara Reynand menutupi senyumnya dan berjalan ke arah mejanya.

"Jadi ini wali kalian?" tanya Reynand menunjuk pada Navya.

Cara tidak menjawab apapun. Ia hanya memandang kesal ke arah Navya. Seharusnya Alvredo yang datang, sehingga ia tidak perlu menyaksikan hal ini. Siapa coba yang tidak tertarik dengan kecantikan yang dimiliki seorang Navya? Bisa gagal kali ini dia mendapatkan target hati.

"Apa Anda tahu apa yang dilakukan mereka?" tanya Reynand.

"Tentu saja aku tahu. Mereka ini pembuat onar. Apa lagi yang bisa mereka lakukan selain itu?" jawab Navya santai.

"Anda memakluminya?"

"Tentu. Mereka anak-anak di usia belasan yang harus menikmati perjalanan usia. Masa remaja tidak harus melulu dilalui dengan belajar. 'Bertingkah' itu sedikit diperlukan agar mereka lebih siap untuk menghadapi kehidupan yang sangat mengerikan."

Reynand menghela napas berat.

"Tapi ini sekolah. Tempat mereka menuntut ilmu. Bukan tempat untuk membuat masalah."

"Lalu apa mereka harus membuat masalah di jalanan? Nanti bukankah pihak sekolah juga yang akan dipermalukan? Maka itu, anak-anak ini pintar dan memilih belajar membuat masalah di lingkungan sekolah. Setidaknya ketika mereka salah, maka akan ada guru yang menegur dan memperbaiki kesalahan mereka. Bukan begitu, adik-adik?" respon Navya yang disetujui anggukan Cara dan teman-temannya.

"Hey, Runako. Kamu juga disini? Apa kabar? Lama tidak bertemu," sapanya begitu melihat Runako yang berdiri di sudut ruangan.

Runako tidak menjawab apapun. Ia hanya tersenyum canggung. Bagaimanapun, Navya adalah kakak dari mantannya. Navya tidak pernah mempermasalahkan hubungan mereka, sekalipun ia sudah menyakiti hati adiknya. Navya memiliki sudut pandangnya sendiri,

"Tapi—"

Angkatan tangan Navya menghentikan kalimat Reynand.

"Tunggu dulu. Inikah perempuan yang menggantikan posisi adikku? Uh, sangat tidak sebanding," ucapnya sambil mengabaikan Valerie yang geram.

"Apa kita bisa membahas kembali permasalahan ini?" tegur Reynand.

"Oh, maaf. Aku terbawa suasana. Sangat sayang jika dilewatkan. Tapi, apa lagi yang mau dibahas? Bukankah cukup dengan kedatangan saya maka mereka bisa masuk kelas? Maka, persilahkan saja mereka masuk kelas."

"Kita harus menunggu wali dari Valerie, Aijaz, dan Firaz."

"Saya yakin, orang tua mereka tidak akan datang. Jadi, anggap saja saya yang mewakili mereka semua. Saya akan merangkap," jawab Navya tersenyum manis.

"Tidak bisa demi—"

"Semua bisa demikian. Kalian semua, cepat masuk kelas, atau aku akan membuat kalian semua tidak bisa sekolah lagi disini!" Kali ini Navya menggunakan nada tinggi, hingga membuat para siswa itu bergegas lari menuju kelas mereka masing-masing.

Navya memang tipikal perempuan cantik, anggun, dan terlihat santai. Namun, jika sudah menggunakan nada tinggi dalam bicaranya, itu pertanda ia akan serius dengan apa yang diucapnya. Baginya, perkataan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan, melainkan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan.

Terlepas dari kepergian Cara dan teman-teman, Navya bangun dari duduknya, berjalan mengambil minuman dan duduk dengan santainya. Seakan ia punya kuasa di tempat ini. Senyumnya mengembang sempurna.

"Apa kabar, Navya? Kamu terlihat semakin cantik," tanya Reynand.

"Aku memang selalu cantik, Kak."

Mereka tersenyum bersama sambil menikmati secangkir teh yang manis dan hangatnya begitu terasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro