X. Senyumanmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jarum jam menunjukkan angka 06.30. Ini adalah jam yang sangat pagi bagi seorang Cara. Namun, sekarang ia sudah berada di sekolah tercinta. Tidak lupa, dua sahabatnya juga ikut ditarik untuk pergi ke sekolah sepagi ini. Banyak mata yang menatap ke arah mereka. Sangat wajar. Tiga manusia yang biasanya datang telat dan suka membolos, hari ini datang lebih awal, meski dengan penampilan yang setengah kacau. Rambut Shuwan masih kusut karena tidak sisiran. Dasi Nata-seperti biasa-masih tidak tahu keberadaannya di mana, dengan seluruh kancing baju terbuka menampakkan kaos hitamnya. Sementara Cara, ia memakai kaos kaki yang berbeda warna antara kiri dan kanan.

"Ngapain, sih, Car, masih pagi-pagi udah ke museum?" tanya Nata masih memejam matanya. Ia berjalan dibopong oleh Shuwan.

"Siapa yang bilang kita di museum, Nat? Kita ini di sekolah," jawab Shuwan.

"Emang apa bedanya sekolah dan museum? Sama-sama tempat menyimpan sejarah, kan?"

"Kalau di museum, sejarah kita bertiga nggak akan diterima. Nggak ada yang niat untuk museumkan sejarah kita." Cara menanggapi pernyataan Nata. Dia sedari celingukan, mencari seseorang.

"Udah, kalian lanjut tidur aja di kelas, atau di kantin, atau di perpustakaan, atau di gudang sekalian. Aku mau ketemu pacar dulu," ujar Cara sambil berjalan cepat menuju sebuah ruangan yang baru saja terbuka.

"Jadi dia nyuruh kita pergi cepat gunanya untuk apa? Yang mau ketemu pacar dia, kenapa yang harus sekolah pagi buta itu kita?" Nata benar-benar kesal. Ia berjalan menuju perpustakaan untuk melanjutkan tidurnya karena gangguan Cara.

"Cara punya pacar? Kenapa aku nggak tau? Apa jangan-jangan dia balikan dengan Runako? Hei, Nata, tunggu aku!" Shuwan berlari mengejar Nata yang meninggalkannya akibat kelamaan berpikir.

Sementara kedua temannya mencari tempat yang aman untuk tidur, Cara berdiri tegak di depan pintu berwarna coklat dengan sebuah papan gantung bertuliskan 'Ruang Konseling'. Menarik napas panjang seraya merapikan rambutnya yang tergerai, kakinya mantap melangkah memasuki ruangan.

Di dalam, seorang lelaki sedang menyemprot kaktus yang tertata di atas meja. Ada tiga kaktus dalam pot berbeda. Masing-masing dari kaktus tersebut memiliki bentuk yang berbeda. Sambil menyemprot si kaktus, lelaki tersebut menarik kedua sudut bibirnya, menampilkan sebuah senyuman hangat yang belum pernah ia tampakkan pada siapapun di sekolah ini.

"Waaah, ternyata Pak Reynand kalau senyum ganteng banget," gumamnya berusaha pelan.

Meski ia mencoba memelankan gumaman, tetap saja telinga Reynand dapat menangkap suaranya. Dalam sekejap wajahnya kembali menjadi datar; tanpa ekspresi apapun.

"Ada keperluan apa kamu sepagi ini di sini? Kamu membuat masalah lagi dan berniat langsung mau mengakuinya? Sebentar ...." Reynand melihat arloji di tangannya, "Sejak kapan kamu mulai datang ke sekolah di jam segini?" tanya Reynand keheranan.

"Eh, ternyata Bapak perhatian ya sama saya. Tahu aja saya baru hari ini datang awal," jawab Cara malu-malu.

"Bukan saya perhatian. Tapi, semua orang di sekolah ini juga tahu kebiasaan kamu dan dua kawanmu itu," elak Reynand mematahkan semangat Cara.

"Bodo amat, saya nggak peduli dengan orang lain, yang penting di mata saya Bapak perhatian sama saya."

Reynand tidak mengacuhkan pernyataan Cara. Ia melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena gumaman Cara.

"Bapak suka bunga, ya? Mau saya beliin yang banyak nggak, Pak? Biar nanti ruangan Bapak penuh dengan bunga. Bisa jadi lebih wangi. Nggak perlu lagi pakai pewangi ruangan," saran Cara.

"Kamu pikir saya perempuan!" cetus Reynand.

"Ih, galak banget, sih, Pak. Gitu doang."

"Sebenarnya apa tujuan kamu pagi-pagi ke ruangan saya?" tanya Reynand mulai risih dengan Cara.

"Mau lihat Bapak," jawabnya polos dengan bibir melebar membentuk senyuman.

Reynand memperhatikan siswinya yang satu ini dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia memperhatikan secara detail di bagian wajah, membuat Cara malu-malu. Pipinya memerah hanya dengan tatapan Reynand.

"Apa kamu demam? Pipimu memerah," tanya Reynand.

Cara memegang kedua pipinya. Panas. Ia tidak bisa menurunkan suhu pipinya seperti semula. Gawat. Ia kelimpungan tidak tahu bagaimana harus menormalkan diri.

"Are you okay?" Reynand kembali bertanya melihat gelagat Cara seperti cacing kepanasan. Ia berlari ke seluruh ruangan seperti mencari sesuatu. Ia mengobrak abrik berkas yang baru saja dibereskan Reynand. Reynand ikut kebingungan dengan tingkah Cara.

Cara menarik taplak meja Reynand dan menutup sebagian wajahnya hingga yang tampak hanyalah matanya saja.

"Bapak nggak boleh lihat wajah aku sekarang," ucapnya.

"Saya sudah duluan lihat sebelum kamu larang."

"Lupain. Pokoknya Bapak nggak boleh ingat tentang wajahku pagi ini."

"Kenapa?"

"Bapak nurut aja. Jangan banyak nanya."

Cara bergegas meninggalkan ruangan Reynand. Reynand tidak mencoba ambil pusing dengan tingkah anak muridnya itu. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti. Ia berniat kembali melanjutkan aktivitasnya sebelum lima belas menit lagi harus masuk kelas untuk mengajat. Namun, belum sempat ia memegang kemoceng, ponsel dari sakunya berdering.

Senyumnya mengembang hingga menampakkan kedua lesung pipinya. Matanya berbinar bahagia melihat nama yang tertera di layar.

"Halo, sayang ...." sapanya pada orang yang menelepon dengan senyum sumringah.

Cara, yang ternyata masih bersender di dinding luar ruang Reynand, mendengar suara Reynand yang bersemangat saat berbicara via telepon. Rona merah di pipinya menghilang dengan segera. Deg-degan karena malu ditatap Reynand berubah menjadi rasa nyeri yang menyesakkan. Telinganya sakit mendengar kalimat yang tidak ingin didengar. Dengan paksa, ia mengangkat kaki setengah berlari mencari kedua temannya untuk melampiaskan apa yang sedang dialaminya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro