30 - Harapan Semu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mataku terbuka paksa akibat cahaya terang yang menyinari tepat ke wajah. Sial. Pagi-pagi aku sudah mengumpat. Pasti semalam aku ketiduran sampai lupa menutup tirai seluruhnya.

Kemarin Takiga niat sekali merawatku. Dia tidak segan menggelontorkan uang untuk membeli makanan-makanan hotel buatku, yang aku yakin harganya pasti tidak murah. Dan juga kemarin, aku sempat hampir tidak sengaja bicara terus terang mengenai pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala. Untungnya, panggilan dari salah satu orang penting yang akan ditemui Takiga hari ini, membatalkan rencana nekatku.

Ya, ampun! Sekarang jam berapa?!

Buru-buru kusingkap selimut yang membalut hampir seluruh tubuh, lalu berjalan cepat menuju meja tempat di mana ponselku sedang diisi daya. Dengan sedikit gemetaran, aku mengetuk layarnya dua kali hingga ponselku menyala.

APA? Udah jam sebelas? Mampus! Fashion show-nya mulai jam sepuluh, pula!

Setelah mencabut kabel pengisi daya, aku berlari lagi ke arah pintu kayu berwarna cokelat gelap yang menjadi penghubung kamarku dan Takiga. Tiga ketukan tercipta, tapi tidak ada jawaban. Aku baru ingat ada dua notifikasi chat di ujung atas layar. Masih dalam keadaan terburu-buru, aku membuka kunci layar dan memeriksa semua pesan yang masuk sejak kemarin siang.

Puluhan panggilan tidak terjawab dari Faris, yang paling menyita perhatian. Lelaki itu masih belum menyerah menghubungiku. Bahkan, panggilan tak terjawab yang terbaru terjadi beberapa saat sebelum aku bangun tidur.

Hah... Sudah cukup, Mehira. Mau berdoa sebanyak apa pun juga, Faris tidak mungkin tiba-tiba berbalik memilihmu.

Kuputuskan untuk memblokir nomor Faris untuk menjaga ketentraman hati yang masih rapuh. Setelahnya, baru aku beralih membuka aplikasi WhatsApp, dan membuka pesan dari Takiga. Hanya ada satu pesan yang dia kirim. Berisi pertanyaan apa aku sudah bangun dan harapannya supaya aku cepat sembuh.

Ah, ya. Takiga juga memintaku fokus istirahat di kamar hari ini. Tidak ada huruf kapital yang tidak seharusnya. Namun, untuk berjaga-jaga aku tetap mencoba menghubungi Takiga. Sekadar memastikan, bosku itu marah atau tidak.

Dua kali nada sambung terdengar, sampai suara yang mampu membuat sekujur tubuhku menegang berganti mengisi gendang telinga.

"Halo, Mas Takiga."

"Ya, Mehira. Baru bangun?" tanyanya tanpa emosi berlebih. Jantungku masih berdetak sangat cepat. Betul-betul takut, atasanku mengamuk karena aku—asisten yang seharusnya menemani ke mana-mana, malah baru bangun tidur dan masih memakai piama di kamar hotel.

"Iya, Mas. Maaf banget, Mas. Obat penurun demamnya bikin tidurku terlalu nyenyak. Mas udah di venue? Fashion show-nya udah mulai, Mas?" tanyaku cepat.

Takiga menghela napas. "It's okay. Fokus aja sama kesehatanmu. Udah dulu, ya. Sebentar lagi acaranya mulai."

Lalu, Takiga memutuskan panggilan tanpa menunggu jawabanku. Bagaimana bisa aku tenang? Kata-katanya memang normal, tapi nada bicaranya sedingin es di kulkas. Apa aku coba susul ke sana, ya? Seharusnya, letak hotel tempat diadakannya acara fashion show tidak begitu jauh dari sini, sih. Minimal setor muka, deh. Masa sudah jauh-jauh ikut ke Bangkok, kerjaanku cuma istirahat di kamar karena alasan sakit. Mana penyebabnya patah hati pula. Memalukan banget.

Aku harus bisa fokus sama tugasku sebagai asisten Takiga. Tinggal dua minggu lagi, kok. Setelah itu, hidupku bisa kembali normal. Ya, pasti bisa. Aku yakin.

***

Berkali-kali aku mengeluhkan kecerobohanku yang tidak membawa setelan untuk dipakai ke acara-acara resmi. Sewaktu menyiapkan baju-baju untuk dibawa ke Singapura, aku hanya membawa beberapa kaus, kemeja, juga tunik dan tiga potong celana panjang yang dua di antaranya terbuat dari jins. Bisa-bisanya aku lupa kalau menjadi asisten seorang desainer itu, memiliki kemungkinan diajak ke acara-acara seperti ini.

Oh, aku ingat sekarang. Waktu itu di kepalaku hanya terpikirkan Faris seorang. Aku lebih serius memikirkan bagaimana cara mendapatkan hati Faris, dibanding bagaimana menjadi seorang asisten yang baik.

Daripada mendapat kesan ingin terlihat berkelas tapi aneh, aku putuskan untuk berdandan maksimal dengan apa yang ada di koper. Aku yang biasanya hanya memulas wajah dengan make up tipis, kini memberanikan diri untuk lebih menebalkan lapisan foundation juga bedak. Tidak lupa memakai eyeshadow cokelat keemasan yang wadahnya masih baru, lalu memakai blush on secukupnya. Yang terakhir, menyapukan pemulas bibir berwarna oranye gelap yang sangat serasi dengan pakaianku.

Aku memilih kemeja lengan panjang warna putih dan memadukannya dengan sweter tanpa lengan berwarna cokelat sedang yang memiliki aksen pita di sisi kiri dan kanan. Sebagai bawahan, aku memilih celana jins berwarna hitam pudar. Hijab cokelat muda dan sepatu converse berwarna krem, akhirnya melengkapi penampilanku siang ini. Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin besar yang terletak di dekat pintu kamar. Secara keseluruhan, penampilanku terlihat kasual dan keren. Cukup menjadi bekal percaya diri jika nanti harus berdiri di sisi Takiga, yang pasti tampil elegan hari ini.

Saddle bag cokelat tua yang belum pernah kupakai selama di Singapura, akhirnya keluar juga dari dalam koper. Namun, baru keluar beberapa langkah dari dalam kamar, aku baru ingat kalau lupa membawa undangan fashion show-nya. Padahal itu krusial sekali. Tanpa itu, percuma saja aku berangkat ke sana.

Setelah mengambil amplop undangan berwarna emas gelap dari dalam koper, aku kembali memacu ayunan langkah untuk mencapai lift yang akan mengantarku ke lantai lobi. Untungnya, taksi yang dipesan oleh resepsionis hotel datang tidak lama setelah ditelepon. Begitu mendengar nama hotel yang kutuju, supir taksi berkepala plontos ini segera menekan pedal gas cukup dalam.

Perut yang baru sempat diisi oleh sisa roti yang kubeli di bandara kemarin, mulai bergejolak ketika taksi berbelok masuk ke area hotel. Semoga saja di dalam ada makanan gratis. Akibat serba buru-buru, aku jadi lupa belum meminum obat, dan hasilnya sekarang suhu tubuhku agak menghangat lagi. Namun, begitu melihat penampakan sebuah air mancur super besar yang menyambut kedatanganku, rasa lapar dan tidak enak yang tadi terasa, langsung hilang.

Aku dibuat terpesona dengan betapa luasnya halaman hotel ini. Ada dua buah bangunan terpisah yang tersusun melingkari air mancur. Keduanya mengusung gaya arsitektur yang sangat berbeda. Bangunan yang kuyakini adalah gedung utama hotelnya bergaya modern. Tipikal hotel mewah dan mahal yang bikin aku langsung menelan ludah begitu melihatnya. Semacam berangan-angan, kapan bisa menginap di sana.

Ada lambang huruf W sebesar dinding hotel yang sekarang menjadi pusat perhatian. Sementara gedung yang kedua, terlihat lebih tradisional. Seperti bangunan lama yang dipugar kembali untuk mengikuti perkembangan zaman, tapi tetap dijaga keasliannya. Aku masih terus mengagumi sekitar selama taksi mengantre untuk tiba di depan pintu lobi. Hingga akhirnya sedan yang kutumpangi betul-betul berhenti.

Setelah membayar ongkos taksi dengan uang tunai, tubuhku meliuk keluar dari dalam kendaraan. Ramai sekali di sini. Banyak wartawan berjaga di luar pintu. Mereka bersiap-siap mengambil gambar dari para tamu penting acara. Aku memilih untuk berjalan agak di pinggir. Tidak cukup percaya diri untuk berjalan di tengah mereka.

Seorang petugas keamanan yang berjaga tepat di luar pintu masuk hotel, menyapa dan menanyakan tujuanku datang kemari. Undangan mengkilap yang menjadi tiket masuk satu-satunya, segera kukeluarkan dari dalam tas. Begitu mendapatkan persetujuan petugas, akhirnya aku bisa bernapas lega.

Ayunan langkah kakiku mulai tercipta lagi meski masih diiringi keraguan. Aku tidak menyempatkan diri untuk mengagumi interior lobi luas ini. Yang ada di kepalaku hanya ingin cepat-cepat tiba di ballroom dan menemui Takiga untuk memohon ampun. Namun, begitu melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka, gerakan kaki ini mulai memelan. Hingga akhirnya benar-benar berhenti sebelum tiba di tujuan.

Kedua mataku membola diikuti dengan mengepalnya kedua telapak tangan. Dia ada di sana. Lelaki yang kemarin begitu menaruh perhatian padaku, kini tengah berdiri berhadapan dengan seseorang yang tampak asing. Wanita berpenampilan modis dan cantik yang jauh berbeda denganku. Keduanya tengah terlibat pembicaraan seru. Aku menilai dari senyum dan tawa yang bergantian muncul di wajah mereka berdua setiap kali selesai berbicara.

Seketika aku lupa pada semua keramaian ini. Aku lupa dengan tujuanku kemari. Juga sudah masa bodoh dengan nilaiku nanti. Yang kuinginkan sekarang hanya menghilang. Menyendiri untuk mengatur ulang isi kepala dan hati. Juga membuang semua kesimpulan sesaat yang ternyata ... hanyalah harapan semu.

Faris dan Takiga. Sepertinya ... mereka berdua sama saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro