열살 (Ten)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berjalan masuk ke gedung sekolah sambil menyumpah-nyumpah kesal. Kutampar pipiku berkali-kali, tidak memedulikan tatapan orang-orang yang memandangku dengan aneh. Perlakuan Taehyung sialan itu membuatku sebal.

Jangan membuatku kembali lagi!

Saking sibuknya aku berkutat dengan pikiranku, aku tidak memerhatikan jalan. Kurasakan tubuhku menabrak seseorang. Ketika orang itu berbalik, aku bernapas lega.

"Seokjin?"

"Ya, Sowon? Kenapa kau terburu-buru sekali? Jam pelajaran baru dimulai setengah jam lagi," kata Seokjin sambil memandangku heran. "Dan pipimu merah."

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku lupa aku ada jadwal piket hari ini," kataku asal.

Seokjin menaikkan sebelah alisnya. "Piket? Harusnya kalau piket kau harus berangkat pukul setengah tujuh. Ini sudah jam setengah delapan."

Aku menyumpah dalam hati, mengutuk otakku yang tidak terlalu pandai dalam hal ini. Berbohong mendadak.

"Ah... Itu...," kataku sambil memikirkan jawaban. "Maaf, tapi kurasa kita tidak bisa membicarakannya saat ini." Kuharap Seokjin bisa mengerti.

Betapa leganya aku ketika Seokjin hanya mengangguk diiringi dengan menggedikkan bahu. "Baiklah. Aku tahu semua orang berhak memiliki rahasia. Dan aku yakin rahasia itu pasti rahasia besar."

"Yeah... Begitulah," kataku sambil menggedikkan bahu.

Kami berjalan bersisian. Ketika sampai di jalan menuju gedung kelas, kudengar perutku bergemuruh. Aku belum sempat makan cornflake dan susu tadi pagi. Sepertinya gemuruh itu terdengar sampai ke telinga Seokjin. Aku tahu karena Seokjin seketika mengeluarkan tawa kecil. Sial. Alarm sial.

"Mau makan?" tanyanya setelah tawanya reda.

"Maunya begitu. Tapi kan kafetaria belum dibuka," jawabku. "Semua anak diwajibkan makan di rumah."

"Aku punya roti isi. Ada beberapa dan aku tidak akan makan semuanya," ucap Seokjin. Ia memindahkan posisi tasnya menjadi di dada, kemudian membuka ritsleting.

Disodorkannya dua bungkus roti isi keju dan vanila ke wajahku. Aku sampai harus menjauhkan wajahku agar tidak bertumbuk dengan bungkusan itu. Kulihat di setiap bungkusan terdapat dua roti. Pantas saja.

"Baiklah. Terima kasih banyak, Seokjin," kataku sambil menerimanya.

"Tidak masalah. Aku sudah makan," ujarnya sambil mengembalikan posisi tasnya.

Aku menepi untuk duduk di bangku yang diletakkan sepanjang jalan menuju gedung. Seokjin mengekor di belakangku. Aku duduk, kemudian langsung membuka bungkus roti itu. Roti di dalamnya tebal sekali. Kukira aku bisa kenyang hanya dengan memakan satu roti saja. Kugigit roti itu. Enak sekali.

"Ini enak!" kataku.

"Yah, berarti Seok Han memang tidak salah membelikannya," celetuk Seokjin.

"Siapa Seok Han?" tanyaku.

"Sepupuku. Dia bilang roti itu paling enak. Awalnya aku tidak percaya. Tapi ketika kau makan dan bilang enak aku jadi percaya," jawab Seokjin.

Aku mengangguk-angguk, fokus memakan rotiku. Satu potong roti telah kutelan, dan kami memutuskan untuk mengobrol sebentar sampai bel.

"Apa kau sudah mulai ambil les?" tanya Seokjin.

"Belum. Aku baru akan ambil les akhir kelas dua," jawabku.

"Tapi nilaimu tidak pernah dibawah rata-rata," katanya.

"Aku tak tahu. Aku hanya belajar apa yang harus kupelajari," ucapku.

Seokjin tidak menanggapi, namun ia tersenyum. Kemudian matanya menatap lurus ke arah murid-murid yang sedang berlalu lalang.

"Apakah kau tahu, Sowon?" tanya Seokjin tiba-tiba.

"Tidak. Kan kau belum memberitahu apa-apa kepadaku," kataku polos.

Seokjin tertawa. "Ada orang yang kusukai saat ini."

Mataku terbelalak, tidak percaya. "Benarkah? Wah kalau begitu pasti orang itu beruntung sekali. Jadi siapa?" tanyaku penasaran.

"Aku tidak bisa menyebutkan nama. Itu rahasia," jawabnya sambil menempelkan telunjuk di bibirnya.

"Aish... Baiklah. Kalau begitu ciri-ciri atau sifatnya saja," kataku sebal.

"Uhm... Ciri-ciri... Dia cantik. Sifatnya.... Dia pintar, cerdik, dan dewasa. Namun orangnya sedikit tertutup. Banyak sekali rahasia yang dia sembunyikan. Aku terkadang berpikir untuk menyatakan perasaanku ketika di dekatnya. Tapi sampai sekarang tidak bisa. Dan juga dia punya sifat-sifat lain yang sulit ditebak," jelas Seokjin, masih memandang murid-murid.

"Oh ya? Apa kau sangat menyukainya?" tanyaku.

"Mmm... Mungkin. Karena dadaku berdebar lebih kencang ketika aku di dekatnya," jawabnya.

"Itu artinya kau mencintainya! Sayang sekali aku tidak bisa mengetahui namanya," kataku sambil menghela napas lesu.

Seokjin menatapku, kemudian berbicara. "Apakah kau juga sedang menyukai seseorang?"

Aku menggeleng cepat-cepat. "Tidak. Kalau dulu, iya," kataku datar.

"Dulu? Kenapa dulu?"

"Yah, karena sekarang aku membencinya. Em... Bukan membenci lebih tepatnya aku tidak menyukainya. Sangat tidak menyukainya. Dia mengakhiri hubungan tahun lalu, tanpa alasan. Dulu, itu dulu ... Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Malah aku dulu terlalu percaya diri. Tapi kurasa perasaan itu---oh, sudah bel." Aku menghentikan penjelasanku lalu menggendong tasku di punggung karena bel masuk sudah berbunyi.

Seokjin juga ikut berdiri. Aku menoleh ke arahnya, kemudian aku tersenyum. "Sampai jumpa."

Seokjin mengangguk, kemudian melambaikan tangannya sambil tersenyum. Aku berbalik, masuk ke dalam gedung. Aku menyadari satu hal sebelum memasuki gedung.

Yaitu tatapan Seokjin yang meredup.

*****

Entah kenapa hari ini aku sangat malas. Aku terus melirik jam dalam lima menit. Aku menekuk tanganku diatas meja, kemudian aku meletakkan kepalaku diatasnya. Aku menghela napas. Penjelasan guru pun tidak kudengarkan. Aku melirik jam lagi. Masih lima menit, dan aku merutuk kesal. Aku bertaruh pasti lima menit itu pasti seperti lima tahun.

"Masih lama sekali," gumamku pelan.

Kupikir bagus kalau aku keluar dari kelas dan tidak kembali sebelum bel. Akhirnya aku berdiri dan mengangkat tangan, sambil mengatakan alasanku untuk keluar. Toilet, sudah pasti.

"Baiklah, lima menit."

Aku bersorak dalam hati, sambil menyumpahi Ms. Hwang karena tidak memerhatikan jam. Aku berjalan keluar kelas. Tujuanku sekarang adalah perpustakaan utama. Aku berbelok ke arah perpustakaan utama, kemudian memasuki ruangan besar itu.

"Jam kosong, Sowon?" tanya penjaga perpustakaan tepat setelah aku memasukinya.

"Begitulah," jawabku asal.

Aku memilih buku novel, kemudian mencari tempat duduk. Sebenarnya banyak sekali tempat duduk yang kosong. Aku sedang mengedarkan pandangan ketika kulihat Taehyung duduk di bangku paling pojok dengan secangkir cafe latte di depannya. Memangnya boleh makan snack ketika harusnya jam pelajaran? Pikirku heran.

Jarakku dengan Taehyung sekarang tidak terlalu jauh. Namun sepertinya cowok itu tidak menyadari eksistensiku disini. Taehyung sedang membaca buku bersampul pink coral dengan judul Endless Love.

Buku cinta dan romantisme, eh? Aku sama sekali tidak menyangka Taehyung membaca buku seperti itu.

Aku hendak berbalik ketika Taehyung menegakkan lehernya, mengarahkan matanya kearahku. Sial, aku tertangkap basah. Ketika ia menyadari keberadaanku, kulihat dia melambaikan tangan. Aku menoleh, mencoba mencari orang lain di belakangku. Tapi tidak ada siapapun, hanya aku dan dia sekarang.

"Apa kau tengah mencoba menjadi orang bodoh? Tidak ada yang akan berminat keluar kelas tiga menit sebelum bel bukan?" tanyanya sambil menaikkan satu alisnya.

Aku menggedikkan bahuku, kemudian berbalik. Maksudku agar aku bisa duduk di bangku lain. Tapi Taehyung memanggilku.

"Duduk saja disini." Dia menunjuk kursi yang ada di depannya.

"Aku tidak punya alasan untuk menerima penawaranmu."

"Kau juga tidak punya alasan untuk menolak penawaranku."

Aku mendengus sebal, malas berdebat. Aku berjalan ke arah bangkunya, kemudian duduk di salah satu kursi di depannya. Aku mulai membaca bukuku yang ternyata berjudul Fake Love. Buku bersampul ungu tua itu rupanya menarik Taehyung.

"Cinta palsu, eh? Kau membaca buku seperti itu?" katanya sambil menyeruput cafe latte-nya.

"Aku hanya asal ambil," kataku datar dan mulai membaca buku itu. Isinya tidak terlalu membosankan seperti ekspektasiku.

Semenit setelah aku membaca buku itu, aku mendengar bel istirahat berbunyi. Beberapa anak mulai ribut dari luar, dan penjaga perpustakaan mulai menutup pintu besar yang semula terbuka lebar kedua daunnya.

"Kenapa kau bolos pelajaran? Bukannya itu dilarang?" tanya Taehyung tiba-tiba.

"Berkacalah dulu," kataku datar. "Aku bosan."

"Kalau begitu kita sama," katanya.

"Terserah katamu saja," kataku, bosan mendengar suaranya yang jelek.

"Apa kau selalu suka membaca?"

"Itu pertanyaan macam apa? Kau sudah sering sekali menanyakannya, sampai aku bosan dengan suara jelekmu."

"Kurasa aku ingat kau pernah mengatakannya sekali... Eh bukan... Dua kali... Sepanjang semester ini..."

"Tutup mulutmu, atau aku akan menyumpalnya dengan boks tisu."

SUNGGUH AKU BENCI DIA!

*****

Jam pulang sangat kutunggu. Dan ketika itu terjadi, aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan sampai aku berdiri terlebih dahulu untuk keluar kelas. Namun itu semua berakhir dengan memalukan karena semua orang menertawaiku dan berkata "Sowon, Ms. Jung belum menutup pembelajaran!" sambil terbahak.

Aku berjalan menuju lokerku untuk mengambil beberapa jaket dan syal yang sengaja kutinggal. Aku memencet pin lokerku, kemudian aku membukanya. Aku melirik pintu, bermaksud untuk bercermin sebentar namun sebuah kertas menghalangiku.

Kertas sticky note berwarna kuning itu tertempel di cermin dengan tulisan tangan. Aku menjambret kertas itu, lalu membaca tulisannya.

Temui aku di gedung olahraga sepulang sekolah, ruang basket. Ada yang ingin kubicarakan denganmu. -KTH

K

TH? Aku bertanya dalam hati. Wajah Taehyung langsung muncul di otakku. Aku tahu Taehyung suka menyingkat namanya dengan julukan KTH. Tapi setan jenis apa yang menyambarnya hingga membuatnya berpikir untuk membuat surat ini?

Aku menggedikkan bahu, membuang sticky note itu. Tidak ada salahnya menuruti permintaannya sekali lagi. Aku berjalan menuju gedung olahraga bagian ruang basket.

Aku berhenti di depan ruang basket, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi, tidak ada siapapun. Apa mungkin Taehyung ada di dalam? Aku membuka pintu ruang basket yang besar, lalu masuk. Kuedarkan kembali pandangan, namun tetap tak ada siapapun.

Aku mendengus, mulai sebal. "Hei, Kim Taehyung! Aku tak punya waktu untuk bermain-main denganmu! Cepat keluar dari tempat persembunyianmu dimanapun itu!" seruku. Suaraku sampai menggema di ruangan kosong yang luas itu.

Aku mendengus lagi, kemudian berbalik, berniat meninggalkan ruangan itu sekarang. Namun handle itu tidak berfungsi. Pintu terkunci. Aku mengerutkan kening marah, kemudian menggedor-gedor pintu.

"KIM TAEHYUNG!!! BERHENTI BERCANDA DAN BUKA PINTUNYA!!!"

Namun hening. Tidak ada jawaban. Aku menggedor berkali-kali dan mencoba menarik handle, dan tentu saja itu sia-sia. Perlahan perasaan takut dan marah melebur jadi satu dalam hatiku. Aku mencoba berteriak, berharap seseorang yang lewat mendengarnya. Lagi-lagi itu sia-sia.

Aku terlonjak kaget ketika lampu yang menyala untuk menerangi ruangan itu padam dengan sendirinya. Aku mengedarkan pandangan. Gelap, hanya ada sedikit cahaya perak yang menembus ventilasi. Itu artinya malam sudah tiba, dan seharusnya sekarang aku ada di tempat les untuk mempelajari materi ujian.

Kurasakan udara dingin menusuk tubuhku. Aku melihat ke arah AC. Aneh, AC itu menyala. Padahal seharusnya kalau mati listrik AC juga ikut mati, dan AC itu menyala dengan suhu sangat rendah. Pikiran akan usilnya Taehyung mulai memenuhi kepalaku lagi.

"Kim Taehyung...! Ini bukan hal yang bagus untuk dijadikan bahan candaan..." Suaraku bergetar karena kedinginan.

Setelah itu aku tidak bicara lagi. Aku hanya terduduk lemah sambil menyandar ke daun pintu, dengan tangan mendekap lutut, berusaha mengumpulkan kehangatan. Aku semakin mengeratkan dekapanku ketika jam arlojiku menunjukkan pukul 8 malam. Harusnya aku sudah dalam perjalanan pulang ke rumah.

Ketika dingin semakin menusuk, aku mendengar suara derit dari atas. Ketika aku mendongakkan kepala, secara bersamaan aku merasakan air es mengguyur kepalaku, mengalir membasahi badan dan kaki.

Seketika itu pula dingin semakin menusukku. Seluruh tubuhku serasa ditusuk jarum. Aku ketakutan dan marah. Aku ingin marah tapi juga ingin menangis. Aku merasakan mataku panas dan bulir bening hangat mulai menurun pipiku.

Aku tidak tahan lagi. Dengan sepenuh tenagaku, aku meraih handle dengan susah payah. Seluruh tubuhku mati rasa dan terasa berat. Aku berhasil meraih gagang pintu itu, kemudian memutarnya. Pintu terbuka lebar. Tubuhku terkulai, bahkan tanganku pun tidak kuat menyangga tubuh. Aku terjatuh di lantai yang dingin.

Dengan suara bergetar, aku berkata lirih, nyaris tidak terdengar. "To-tolong.... T-t..." Susah payah aku mengucapkannya. Aku kembali mengerahkan seluruh tenaga.

"Kim... T-Taehyung..."

Setelah itu aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Seluruh tubuhku mati rasa, panca inderaku mulai kehilangan fungsinya. Cahaya perlahan terenggut dari pandanganku. Dengan keadaan setengah sadar, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Namun aku mendengar sebuah suara memanggilku dengan kaget dan ketakutan.

"SOWON!"

Kupejamkan mata, tidak tahan lagi. Sebelum aku kehilangan kesadaran sepenuhnya, kudengar orang itu berkata kepadaku.

"Ini aku...."

Telingaku berdenging, tak bisa mendengar. Akhirnya kesadaran hilang dari tubuhku.

Aku pingsan.
























Hai maaf lama nggak update. Kuota seret banget sebelll!!! 😑😑😑Chapter berikutnya bakal bahas masa lalu Sowon yg berhubungan dengan Mina dan Taehyung. Loh? Mina siapanya Taehyung? Ehehe... Kita tunggu ya sampai chapter berikutnya update.

See you next chapter! Poi poi~~👋👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro