7. Cowok Manipulatif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah kejadian tersebarnya foto Haruna, tidak ada gunanya tetap mendekam di rumah jika toh orang yang ingin Haruna hindari sudah mengetahui keberadaannya. Jadi dia memutuskan untuk masuk kuliah, meskipun itu dilaluinya dalam harap-harap cemas karena kapan saja dia akan bertemu Adrian. Sejak hari pertama, Haruna telah mempersiapkan diri untuk itu.

Tapi anehnya, sampai hari ketiga, Haruna belum juga bertemu Adrian. Cowok itu tak kunjung menampakkan diri di hadapannya seperti yang Haruna perkirakan. Mestinya Haruna merasa senang dan tenang karena mungkin saja Adrian sudah menyerah. Namun di balik kelengangan ini gelembung kecemasan itu justru terus membesar. Tampak menakutkan.

Sementara Haruna sama sekali tidak berencana menemui Adrian, apalagi untuk membahas sikap semena-mena cowok itu yang menyebarkan fotonya. Haruna tahu pasti apa yang akan cowok itu katakan, dan bisa jadi, membuat Haruna pergi menemuinya adalah bagian dari rencana licik cowok itu.

Lihat, betapa Haruna begitu mengenal Adrian, bukan?

Jadi, Haruna bertekad tidak akan membuat Adrian membusungkan dada dengan muncul di depan cowok itu. Tapi bukan berarti menahan amarah terhadap Adrian hal yang mudah. Haruna mati-matian menjaga diri dan hatinya tetap tenang dan berpikir jernih. Apalagi setiap hari, meski tak berwujud, Adrian terus mengirimkan intimidasi-intimidasi meresahkan kepadanya.

Setiap masuk kelas, masih saja ada teman-temannya yang membahas soal foto Haruna, menciptakan kehebohan yang tidak perlu. Masih banyak isu-isu bertebaran di kampus yang lebih berguna dibicarakan ketimbang foto itu.

Kalau tidak ingat dia berhadapan dengan Adrian, Haruna pasti sudah menyumpal mulut mereka dengan sepatu kedsnya.

"Gue kira selama ini lo beda, Na. Ternyata lo sama aja kayak cewek-cewek tukang khayal, terpesona sama mulut buayanya Adrian."

Haruna menoleh, hanya untuk melihat wajah orang yang barusan berbicara padanya itu. Tentu saja kalimat itu terlontar setelah basa-basi mengenai fotonya dibahas.

Jelas, Haruna tidak terima! Semua tidak seperti apa yang terlihat di foto yang disebarkan Adrian.

Sekarang Haruna memutar tubuhnya menghadap dua gadis yang sejak tadi membicarakan soal fotonya.

"Gue sebenarnya males ngebahas ini, tapi perlu gue tegaskan, gue nggak pernah ada hubungan apa-apa sama Adrian," ujarnya penuh tekanan.

"Masa? Tapi gue dengar hal yang sebaliknya tuh."

"Lo dengar dari mana?" Haruna mendengus pada Sania, gadis yang terlihat paling ngotot ingin memberi label gadis tukang khayal kepada Haruna.

Sania memandang Haruna dengan kening berkerut dan ekspresi seolah ingin menguliti isi pikiran Haruna. "Dari Adrian langsunglah. Dan, bukan cuma ngomong, dia bahkan nunjukin kalau dulu kalian dekat banget."

Gadis itu langsung mendapat perhatian penuh dari Haruna.

"Apa aja yang udah dia bilang ke kalian?" tanyanya mulai sedikit emosi.

"Banyak. Masa harus gue jabarin satu-satu."

Haruna sontak mengepalkan kedua tangannya. Hanya Tuhan yang tahu ilusi apa yang cowok itu koarkan kepada orang-orang.

Haruna sudah mencoba menahan diri berhari-hari. Tapi kian hari gangguan Adrian semakin tidak masuk akal. Berita-berita bohong mulai bertebaran di intern fakultasnya dan tidak menutup kemungkinan akan sampai ke luar gedung fakultasnya juga. Dan demi mencegah hal itu terjadi, Haruna tidak bisa lagi mengabaikan masalah ini berlarut-larut. Karena nyatanya, Adrian memang sengaja menciptakan masalah baru ini untuk menganggunya.

Belum lagi keresahannya juga sudah mulai terbaca oleh Paras. Haruna tidak ingin cowok itu terlibat di antara masalahnya dengan Adrian.

Hari itu dengan langkah cepat, Haruna menuju gedung fakultas Kedokteran, sebagai tempat yang dia yakini, bisa menemukan Adrian di sana, meskipun sebenarnya nama cowok itu terdaftar di fakultas lain.

Haruna sudah bisa melihat seringai menyebalkan Adrian, bahkan ketika dia baru menginjakkan kaki di pintu masuk kantin. Kantin fakultas kedokteran mengusung konsep semi terbuka, jadi tanpa harus bersusah payah, Haruna bisa menemukan cowok dengan tinggi 170 cm itu di antara hiruk-pikuk kantin. Ah, tidak, sejak dulu, selalu mudah bagi Haruna menemukan Adrian di tengah keramaian. Pasalnya keberadaan cowok itu selalu mencolok.

Adrian sepertinya tidak menyadari kedatangannya karena playboy cap ikan teri itu sedang begitu asyiknya merayu gadis yang bergelayutan seperti lintah di sampingnya. Yang lebih dulu menyadari kedatangan Haruna adalah Abid, sahabatnya. Cowok itu bahkan langsung beranjak dari duduknya untuk menyambut atau lebih tepatnya menghadang langkah Haruna. Tapi maaf, saat ini Haruna tidak datang untuk beramah tamah dengan mereka. Dan tekadnya untuk melabrak Adrian sudah tidak bisa disurutkan.

"Permisi, Kak," ujar Haruna bahkan sebelum Abid mengucapkan apa-apa. Dia langsung menyelipkan diri di antara kursi dan tubuh Abid.

Abid tak menghalanginya lagi, karena sekilas mata dilihatnya gadis kurus tinggi yang tadi duduk di sebelah Abid, menahan cowok itu.

Ketika Haruna berdiri tepat di depan kursi panjang yang Adrian duduki, cowok itu sama sekali tidak terkejut. Cowok itu menoleh pada Haruna dengan mimik tenang, seakan cowok itu sudah lama menunggu Haruna mendatanginya, atau sebenarnya sejak dia memasuki kantin tadi Adrian sudah menyadari keberadaannya, tapi bersikap pura-pura. Apa pun itu tetap saja tidak mengubah fakta bahwa Adrian tetap sumber kejengkelannya.

Sesaat setelahnya, Haruna langsung melempar gumpalan kertas yang sedari tadi dia cengkeram erat di kepalan tangan ke wajah Adrian. Tepat sasaran. Gumpalan kertas itu mendarat persis di tempat yang dia inginkan. Meskipun itu sebenarnya belum cukup, setidaknya Haruna cukup merasa puas, berhasil melampiaskan apa yang sejak berhari-hari ini berusaha dia tahan.

"Nice to meet you too!" seru Adrian menyambut seraya tersenyum lebar, mengabaikan wajah Haruna yang terasa panas karena menahan emosi.

Tidak terlihat raut bersalah. Tidak juga ada permintaan maaf. Cowok ini tidak berubah sama sekali!

"Padahal gue berharap dapat sapaan yang lebih manis daripada gumpalan kertas tadi," gumamnya, lalu berdiri, memasang badan tepat di hadapan Haruna. "Sebuah pelukan, misalnya."

Haruna mendecih. "Lo masih aja bersikap kurang ajar, setelah bikin masalah sama gue. Astaga! Lo emang beneran bukan manusia, ya."

Adrian terkekeh. "Terima kasih untuk pujiannya."

Haruna sungguh takjub dirinya masih berdiri tegak tanpa berniat melempar kepala cowok itu dengan sepatu kedsnya.

"Dia siapa, Ad?"

Sekilas Haruna melirik gadis lintah yang tadi duduk bersama Adrian. Haruna memberi tatapan iba pada gadis itu, merasa kasihan karena hanya tinggal menghitung hari Adrian pasti akan mendepak gadis itu dan menggantikan posisinya dengan gadis lain.

"Bukan siapa-siapa, tapi mungkin sebentar lagi bakal jadi cewek gue," cowok itu berkelakar ke arah Haruna yang segera ditanggapi Haruna dengan mengernyit jijik.

"Gue mau bicara sama lo, empat mata," lontar Haruna langsung ke tujuan, tidak lagi mau mendengar bualan konyol cowok itu.

"Nice. Kita memang perlu bicara. Banyak hal yang harus kita bahas, mengingat..."

Tanpa menunggu sampai ucapan Adrian selesai, Haruna berbalik dengan buru-buru. "Kita bicara di luar."

Melalui sudut mata, Haruna mendapati Adrian berjalan mengikutinya. Haruna mengayun langkahnya menyusuri taman kantin yang bertembusan langsung dengan gelanggang olahraga. Haruna tidak akan bertindak bodoh dengan mencari tempat sepi untuk bicara dengan Adrian. Setidaknya ada puluhan mahasiswa di gelanggang olahraga yang akan turun tangan jika cowok itu bertindak macam-macam.

"Take down foto-foto gue yang udah lo sebar di kampus dan berhenti bikin cerita bohong tentang lo sama gue," tanpa merasa perlu berbasa-basi, Haruna langsung ke pokok masalah. Selain foto yang sudah Paras singkirkan, Haruna yakin, di suatu tempat masih ada foto-foto lainnya.

Bukannya segera merespon ucapannya, cowok itu malah menyandarkan sebelah tubuhnya di pohon besar di dekat mereka berdiri. Lalu bersedekap tenang sambil menatap Haruna dengan mulut menjepit sebilah tusuk gigi. Entah mulai kapan benda itu di sana karena pada saat di kantin tadi, tidak ada apa-apa di mulut cowok itu. Mungkin baru dijejalkan saat mereka dalam perjalanan menuju gelanggang olahraga tadi. Kebiasaan itu ternyata belum juga hilang.

"Lo tahu nggak kalimat apa yang harusnya diucapkan waktu bertemu dengan orang yang udah lama nggak dijumpai?" katanya tanpa mau repot-repot mengeluarkan tusuk gigi dulu selagi bicara.

Haruna nyaris ingin menjerit pongah, melihat tingkah Adrian ini. Bisa-bisanya cowok itu mengeluarkan kata-kata bualan dengan suara lembut yang dimanis-maniskan seperti itu. Memangnya Haruna gadis-gadis bodoh yang selama ini berkencan dengan Adrian!

"Kalau lo nggak tahu, biar gue contohkan. Mungkin bisa lo mulai dengan yang paling sederhana seperti, 'Hai Ad, gimana kabar lo, setelah berhasil dikelabui selama tiga tahun?'"

Haruna menyentuh pelipisnya. "Di bagian mana dari kata-kata gue yang lo nggak pahami?"

Adrian tersenyum. "Oke, oke, calm down, Haruna. Itu baru foto lho. Dan foto itu nggak menunjukkan apa-apa."

Apa katanya? Cuma foto? Bisa-bisanya Adrian bicara begitu, sementara foto itu berisi gambar mereka yang berjalan beriringan, dengan Haruna yang mengenakan pakaian kedodoran milik Adrian dan Adrian yang hanya mengenakan celana pendek. Catat. Hanya celana pendek. Dengan melihat bagaimana trademark Adrian selama ini, seantero kampus pastilah akan berspekulasi macam-macam ketika melihat foto itu.

Haruna kehabisan kata-kata.

"Lo jahat banget, tahu nggak!" Akhirnya hanya seruan itu yang bisa dia lontarkan.

Adrian melepas punggungnya dari tepi pohon, tubuhnya kini berdiri tegak di depan Haruna. "Lo sendiri yang nggak ngasih gue pilihan. Yang kabur waktu pertama kali gue lihat siapa? Kalau aja lo hadapi gue seperti sekarang, gue nggak akan pakai cara begini, Runa."

"Lo cowok paling manipulatif." Napas Haruna naik turun, ternyata bicara dengan Adrian masih terasa begitu melelahkan, sama seperti dulu.

"Ingat kata-kata gue sebelum gue lulus dari SMA Nusa Bangga?" Manik pekat yang dinaungi alis tebal itu menatap Haruna lurus-lurus.

Tentu saja. Bahkan dia ingat setiap detail kata yang cowok itu ucapkan. Bagaimana suara Adrian ketika itu, seperti apa intonasi dan ekspresi Adrian ketika mengatakannya, Haruna masih mengingatnya dengan begitu jelas. Untuk alasan itulah dia bersembunyi selama hampir tiga tahun ini.

"Gue nggak akan lagi berusaha mencari tahu tentang lo. Tapi... Sekali aja gue lihat lo meski itu nggak sengaja, akan gue kejar lo sampai dapat," seakan suara Adrian dulu saja belum cukup bergaung di dalam kepalanya, sekarang cowok itu menyuarakannya ulang.

Haruna membeku sesaat. Suara, intonasi hingga ekspresi cowok itu persis seperti tiga tahun lalu. Mendengarnya lagi membuat jantung Haruna serasa hendak melesak jatuh. Dulu kata-kata itu bagai teror yang menghantui, sekarang di sisi lain, juga muncul perasaan aneh yang sulit dia pahami.

"Apa sebenarnya lo sengaja kuliah di kampus ini buat ketemu gue?" pertanyaan itu muncul tiba-tiba dan membuat Haruna ingin tersedak.

"Kalau gue tahu lo di sini, gue pasti akan cari kampus lain."

Adrian terkekeh, "Kalau begitu berarti Tuhan aja mau lihat kita bersatu."

Haruna meneleng malas. "Balik ke masalah awal deh. Jadi lo bakal take down foto-foto itu, kan? Karena kalau nggak, lo juga yang bakal rugi."

"Soal take down-take down foto gampang," balas Adrian sambil menggigit tusuk gigi dengan gigi bagian depannya.

"Ya udah kalau gampang, cepat lo kerjain."

"Tapi sebelum itu gue mau ngebahas hal penting sama lo."

"Selain soal foto gue yang lo sebarkan seenaknya itu, gue nggak melihat ada urusan penting lain menyangkut lo sama gue."

Dengan gerakan cepat Adrian mencabut tusuk gigi dari mulutnya dan melemparnya ke sembarang arah. "Jawab pertanyaan gue, Runa," tanpa mengubris kata-kata Haruna, Adrian mendekati Haruna dan kembali membalas. "Apa lo masih percaya kalau gue yang sembunyikan pakaian lo waktu itu?"

Tubuh Haruna kembali membeku. Ke mana arah pertanyaan Adrian, Haruna tahu maksudnya. Itu pasti mengacu pada kejadian di hari terakhir saat kegiatan naik gunung anak-anak OSIS. Karena pertanyaan itu mengenai hal yang begitu sensitif dan masih meninggalkan bekas yang menyakitkan, Haruna tidak mau membicarakannya. Lagipula dia mendatangi Adrian tidak untuk membahas masalah itu.

"Dari dulu bicara sama lo, emang nggak pernah ada gunanya, ya," sentak Haruna, kesal, sedih sekaligus kecewa.

"Siapa bilang?"

Sekarang energi Haruna benar-benar sudah terhisap habis oleh sikap dan tatapan cowok itu. Baiklah, Haruna sudah selesai. Jika cowok itu memang tidak mau mengubris permintaannya, biarlah nanti Paras yang turun tangan. Haruna sudah tidak peduli.

Sekarang tidak ada yang bisa diselesaikan di sini, jadi Haruna putuskan pergi dari tempat itu. Namun, baru hendak membalik tubuh, Haruna merasa lengannya dicekal.

"Ngomong sama gue, bukan malah kabur," ujar Adrian menyambut tatapan tak suka Haruna. "Gue selalu bilang, menyelesaikan kesalahpahaman akan membuat benang kusut di antara kita membaik. Tapi lo nggak pernah bersedia. Jadi sebenarnya yang bikin masalah ini berlarut-larut adalah lo sendiri."

Haruna langsung meradang. "Kesalahpahaman lo bilang? Jelas-jelas lo salah! Lo biang kerok kejadian di gunung waktu itu."

Entah hanya perasaan Haruna saja, mimik wajah Adrian tiba-tiba berubah.

"Kalau soal kejadian waktu itu, gue minta maaf, oke? Tapi gue perlu meluruskan apa yang selama ini udah salah lo kira."

Haruna menutup telinga. "Gue nggak mau dengar. Lo salah. Titik."

"Oke, gue emang salah karena gue yang punya ide. Tapi demi Tuhan, Runa, gue sama sekali nggak pernah nyuruh mereka sembunyikan pakaian lo."

Kedua tangan Haruna terkepal. "Kenapa lo selalu menimpakan kesalahan ke orang lain untuk menyelamatkan diri sendiri?"

"Karena itu yang sebenarnya. Gue perlu membersihkan nama baik gue."

Haruna tertawa masam. "Lo berusaha menjelaskan apa pun, buat gue, lo tetap salah."

Setelah melontarkan kata-kata itu, Adrian tidak lagi mendebat. Mata cowok itu memejam, dan bahunya sedikit terangkat seiring dengan suara tarikan napasnya.

"Oke, gue benar-benar minta maaf," lalu suara cowok itu terdengar melunak.

"Setelah ini, lo akan take down semua foto itu?" desak Haruna lagi. Sebenarnya penting baginya untuk memastikan hal itu agar masalah ini selesai sampai di sini saja.

"Iya."

"Oke, gue pegang kata-kata lo."

"Haruna, gue tanya lo sekali lagi, sampai sekarang apa lo masih percaya gue yang sembunyikan pakaian lo?"

Haruna mendengus jengah mendengar pertanyaan yang sama itu. Tentu saja. Kalau cowok itu bisa punya ide mengurungnya di toilet umum, Haruna sama sekali tidak ragu, ide mengambil pakaiannya juga berasal dari kepala yang sama.

"Nggak ada alasan buat gue untuk nggak percaya."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Haruna mendapati Adrian menatapnya untuk waktu yang cukup lama. Lalu Adrian membuka resleting salah satu bagian di ransel hitamnya, mengeluarkan sebuah kertas dan menunjukkannya pada Haruna. Sebelum Haruna sempat melihat dengan jelas, Adrian kembali memasukkan kertas atau lebih tepatnya foto itu kembali ke dalam tas.

"Kalau begitu, jangan salahkan gue kalau besok foto tadi yang akan tersebar di kampus."

Sebelum Haruna berhasil mencerna seluruh informasi baik di foto maupun kalimat cowok itu, Adrian sudah angkat kaki dari hadapannya, membawa pergi sebuah foto yang....

Haruna ingat, itu foto saat acara api unggun. Tepatnya ketika Haruna tidak bisa menyelesaikan tantangan dan Adrian.... Astaga! Haruna tidak berani menduga kalau itu memang foto yang dia maksud. Haruna mengatup mulut dengan telapak tangan dan keringat dingin langsung membanjiri keningnya.

Tidak mungkin itu foto yang sama. Haruna sudah menghapus filenya dan membakar foto cetaknya di album kegiatan OSIS. Lalu bagaimana bisa Adrian punya foto cetaknya?

***

Btw selamat liburan yaaa...
Mari berkesal-kesal ria bersama Haruna 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro