Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


                Kening Arsen mengerut menatap foto yang ditunjukkan Nivriti. Susah untuk ditarik benang merahnya, bagaimana bisa ada tulisan Jepang terukir di dinding goa Belanda? Keduanya saling bertolak belakang bahkan bertentangan. Tidak mungkin bisa berada dalam satu frame secara bersamaan pada masa itu.

"Kamu ngerasa nggak sih, sejak kita pulang dari Bandung itu banyak hal-hal aneh? Aku ngerasa ada orang lain di apartemen, terus foto-foto yang kuambil di sana sering muncul tiba-tiba. Nah, terakhir kemarin banget Bang Dewa juga aneh. Makanya aku telepon kamu waktu di Bogor itu," sahut Nivriti.

"Iya, tadi pagi pun waktu aku ketemu Dewa mukanya pucat gitu. Kayak orang sakit. Ah, padahal kita sudah menerapkan prosedur standar sebelum datang ke tempat-tempat itu." Arsen menghela napas panjang lantas melirik Nivriti yang bersendang dagu, "kamu nggak ambil barang aneh-aneh dari goa kan, Vi?"

"Hah? Barang apaan? Ngawur," protes Nivriti memberengut.

Arsen tertawa. "Aku nggak paham masalah beginian Vi. Aku bukan cenayang. Makanya kamu ibadahnya yang rajin jangan males-malesan, biar nggak jadi sasaran kayak gini."

"Iya, sih. Tapi aku bukan orang yang religius, Sen."

"Nggak perlu religius banget yang penting kamu harus waspada. Makan, yuk. Kamu nggak laper?"

Makan siang bersama Arsen cukup menenangkan pikiran Nivriti. Apa pun yang terjadi setiap berada di dekat pria itu, dia merasa aman. Makanya Nivriti sering mengekori Arsen dan berusaha tetap di dekat pria itu. Bahkan Dewa yang duduk di seberang tidak berani menoleh ke arahnya. Hari ini Dewa masih aneh, tapi tidak seaneh kemarin.

Usai jam kerja berakhir, Nivriti menghampiri Arsen di ruang kerjanya. Beberapa orang sudah meninggalkan kantor membuat Nivriti merasa tidak nyaman berada di kubikelnya. Padahal dia tidak pernah merasa sejanggal ini sebelumnya. Sedangkan potret tulisan dalam dinding goa itu terus berputar di kepalanya. Tapi Nivriti berusaha tidak memedulikannya.

"Sen, ke Kota Tua, yuk," ajak Nivriti sambil memainkan pena di atas meja Arsen.

"Hm, sekarang?"

"Iyalah. Udah lama nggak main ke sana malam-malam. Pasti seru, deh. Makan kerak telor enak kali, ya."

Arsen mendongak. Menatap wanita yang duduk di depannya. Nivriti balas menatapnya. Matanya bersinar berharap Arsen mengiyakan. Tetapi malam ini Arsen memiliki rencana sendiri.

"Gimana kalau ke rumahku aja? Hari ini Mama ulang tahun sekalian kita makan malam bareng. Aku lupa bilang sama kamu ya, kalau Mama minta aku supaya ajak kamu ke rumah malam ini. Jadi, ke Kota Tuanya besok aja. Oke?"

Seketika raut wajah Nivriti berubah. Bibirnya mencebik.

"Kenapa baru bilang sekarang kalau Mama kamu ulang tahun? Masa aku tiba-tiba datang ikut makan terus nggak bawa hadiah gitu? Nggak sopan banget," omel Nivriti melengos.

"Kamu datang ke rumah aja udah jadi kado terindah buat Mama, lho. Mau, ya? Sorry, aku lupa banget mau bilang sama kamu," bujuk Arsen seraya beranjak mendekati Nivriti. Berdiri di samping Nivriti sementara tangannya menepuk pucuk kepala wanita itu.

"Iya." Nivriti mengangguk pelan.

Bertemu dengan orang tua Arsen bukan hal baru bagi Nivriti. Tetapi setiap kali bertatap muka dengan mereka selalu membuatnya insecure. Bukan apa-apa, hanya saja dia merasa segan saat bertatap muka. Nivriti hanya merasa kurang percaya diri. Dia tidak banyak bicara selama perjalanan ke rumah Arsen.

"Kenapa bengong? Ayo masuk," tanya Arsen.

"Aku bingung mau ngomong apa. Tiba-tiba ke sini tapi nggak bawa kado buat Mama kamu," jawab Nivriti sambil meremas jemari.

"Kenapa, sih? Mama aku kan Mama kamu juga, Vi. Ayo." Arsen menggenggam tangan kekasihnya.

Ada sebuah kehangatan saat jemari keduanya bertaut. Nivriti tidak merasakan ketakutan, kekhawatiran, tapi ketenangan. Seolah semua energi negatif yang akhir-akhir ini berkeliling di sekitarnya tidak dia rasakan. Untuk pertama kalinya Nivriti merasa tenang menginjakkan kaki di rumah Arsen.

Angin berembus pelan ketika keduanya masuk ke dalam rumah. Sepintas Arsen menoleh, memantau sesuatu yang sejak tadi dirasakannya aneh. Benar saja, rupanya sekelebat bayangan itu berputar-putar di luar gerbang kemudian hilang. Sudah pasti bayangan misterius itu tidak bisa mengikutinya lebih jauh.

"Hai, Cantik. Kamu kok nggak pernah main ke sini lagi, sih?" sambut Mama Arsen sambil mencium pipi Nivriti.

"Eh, iya maaf Tante," sahut Nivriti kikuk.

"Ya ampun kamu ini masih aja malu-malu. Sini-sini, Tante masak banyak makanan loh." Mama Arsen menarik tangan Nivriti membimbingnya ke ruang makan. Namun, dia sempat berbisik kepada Arsen. Samar-samar Nivriti mendengar. "Kamu bawa apa lagi, Sen? Itu pada ngapain ramai banget."

Arsen menggeleng seraya mengangkat kedua tangan. "Arsen nggak tahu, Ma."

"Awas kamu bikin ulah macem-macem, ya. Bikin repot mulu, ah," cetus Mama Arsen sambil memilin telinga putranya.

"Sumpah, Arsen nggak tahu," sahut Arsen, meringis.

"Kamu hati-hati kalau sama Arsen ya, Vi. Mama sudah sering kasih tahu dia, tapi anaknya suka bandel."

Nivriti hanya menyengir. Dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan di sini seakan-akan hanya Arsen dan mamanya yang tahu. Mereka berdua berbincang dengan istilah masing-masing. Tapi setidaknya Nivriti merasa sedikit tenteram di kediaman kekasihnya ini.

Sambutan keluarga yang hangat serta nuansa kekeluargaan yang tercipta membuatnya betah. Situasi yang tidak pernah dia dapatkan lagi. Keluarga ini tidak memiliki anak perempuan sehingga kehadiran Nivriti memberikan aura tersendiri di dalam rumah ini.

"Mama cuma nggak pengin kamu kenapa-kenapa. Ini udah malem banget, lho. Yakin nggak mau nginep aja?" tanya Mama Arsen saat Nivriti pamit.

"Nggak apa-apa, Tante. Kan dianter Arsen jadi pasti aman," jawab Nivriti.

Mama Arsen berulang kali melirik ke arah gerbang rumah seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Raut wajahnya memang tampak cemas, tapi Papa Arsen mengatakan tidak ada apa pun untuk menenangkan. Nivriti semakin bingung. Arsen memang pernah cerita kalau mamanya memiliki perasaan yang peka.

"Iya deh, tapi itu jangan dibiarin terlalu lama. Arsen, kamu harus cari tahu. Jangan jauh-jauh dari Nivriti, ya. Perasaan Mama nggak enak."

"Tenang, Ma. Pa, Ma. Arsen anter Nivriti dulu, ya."

Pasti Mama Arsen merasakan keanehan yang akhir-akhir ini terjadi. Sejak kembali dari hunting foto di goa Belanda, satu per satu hal janggal mulai muncul. Arsen semakin yakin ini ada hubungannya dengan perjalanan waktu itu. Pun dengan bayangan hitam yang sering ia jumpai. Objek tersebut seolah ingin mendekati Nivriti. Namun, Arsen tidak tahu kenapa objek itu mengincar Nivriti.

Ketika berkendara, Arsen mengintip spion tengah. Gumpalan kabut tipis menggulung di belakangnya. Dia memerhatikannya hingga kabut itu menghilang. Sementara di sebelahnya, Nivriti asyik bermain ponsel. Wanita itu tentu saja tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Arsen menatap Nivriti dari samping.

"Kenapa?" tanya Nivriti begitu menyadari dirinya tengah diperhatikan.

"Nggak apa-apa," cetus Arsen seraya kembali memusatkan pandang ke jalanan di depan.

Nivriti mengedikkan bahu, tapi matanya membola saat Arsen tiba-tiba menggenggam tangannya. Dia menoleh dan Arsen hanya tersenyum.



23042022 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro