HMY 7 - Marahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mau tahu cara cepat biar dikejar balik sama doi? Tikung di sepertiga malam dan teror dengan doa."

🏐🏐🏐


Sebenarnya rumah itu biasa sepi karena pemiliknya rata-rata sibuk kerja di luar. Namun, kali ini ada yang berbeda. Selain karena bertambah satu penduduk baru, terjadi konflik kecil juga antar saudara.

"Asalamualaikum!" Vina masuk sambil mengucap salam. Namun, dia tak fokus pada seisi rumah karena sibuk mengibas-kibaskan jas hujan. Hari ini dia terjebak hujan sehingga pulang lebih telat.

"Eh, anak Mama kok gak jawab salam?" Wanita berkemeja pink polos itu lalu menghampiri Rica yang asyik scroll beranda Instagram sambil tiduran di sofa.

"Waalaikumsalam!" Rica akhirnya jawab meski dengan nada ketus.

Vina memandangi putri kesayangannya itu. "Eh, anak Mama kenapa ini? Kok cemberut?" Dia mengelus-elus kepala Rica dengan tangannya yang dingin gara-gara bawa motor sambil hujan-hujanan.

"Syafa mana?" tanya Vina lagi karena Rica tak jua menjawab pertanyaannya.

"Gak tahu!" jawab Rica ketus.

Vina mengernyit dalam, sadar ada sesuatu yang tidak beres. Dia paham perangai anaknya ini bagaimana, jadi tak usahlah lanjut bertanya karena ujungnya pasti diabaikan. Wanita itu pun memilih mencari Syafa sendiri. Ternyata sepupunya itu tengah fokus mengaji di dalam kamar.

"Aku tidur di kamar Mama, ya!" celetuk Rica tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Lho? Terus Papa gimana?" jawab Vina sambil beranjak ke dapur.

Rica berdecak. "Tinggal usir!" Dia menjawab enteng, mengabaikan reaksi Vina yang buka mulut lebar-lebar.

Pasti ada yang terjadi dengan anaknya ini sampai badmood begitu. Apa ada kaitannya dengan Syafa? Namun, Vina perlu bersih-bersih dulu untuk sekarang. Badannya sudah kedinginan, perlu sentuhan air hangat lalu dibungkus pakaian tebal.

Beberapa menit berikutnya, saat azan Isya berkumandang, suara mesin mobil yang merapat ke halaman depan rumah terdengar. Itu pasti mobil Reyhan. Ternyata memang benar, tak lama kemudian, pintu depan dibuka diikuti salam.

"Eh, anak Papa kok gak jawab salam?" tegur Reyhan yang pulang dengan wajah semringah.

"Ck!" Rica jelas sadar kalimat itu ditujukan padanya. "Lebay deh! Biasanya sebelum ada si Syafa aku gak jawab salam juga gak apa-apa," sambungnya bete.

"Eh, eh, apa itu?" Reyhan mendekati putrinya yang belum juga beranjak dari sofa. Masih sibuk scroll beranda Instagram sambil membalasi komentar yang meramaikan unggahannya.

"Dah, Papa sana! Mandi dulu, bau acem ih!" usir Rica, menghalau tangan kanan ayahnya yang terulur hendak menyentuh kepalanya.

"Ih, Papa diusir," protes Reyhan, masih ingin menggoda putrinya. "Syafa di mana?" Dia bertanya tanpa merasa curiga.

Mendengar pertanyaan itu, kedua mata Rica langsung teralih dengan tatapan galak. Dia menatap tajam pada ayahnya. "Ih, kenapa sih Syafa mulu yang ditanya? Mama juga! Aku lho yang anak kalian! Syafa itu cuma numpang di sini!" semburnya dengan emosi.

"Astagfirullah, Nak!" Reyhan kaget mendengar reaksi Rica yang di luar dugaan. Dia lalu melirik ke arah kamar putrinya. Pintu ruangan itu sedikit terbuka dan memang Syafa tak sengaja mendengarnya dari dalam sana. Namun, cewek itu hanya beristigfar dan lanjut murojaah-nya.

"Apa? Mau ngomelin aku?" Sebelum diomeli, Rica jelas lebih dulu memperlihatkan taringnya.

Hal itu jelas membuat Reyhan hanya bisa beristigfar. Dia berusaha menahan emosinya meski mendapati hal ini sepulang kerja dengan tubuh lelah merupakan sebuah tantangan.

"Papa mandi dulu, ya," pamit pria itu. Dia kemudian beranjak pergi, meninggalkan Rica yang dongkol sendiri.

"Apa sih? Dikit-dikit Syafa, dikit-dikit Syafa. Gak Mama, gak Papa, gak Kiki. Ayangku ... huhuhuuuu." Dengan mudah air matanya merembes, menyusul berubah menjadi anak sungai yang membasahi pipinya.

Sejak tadi dia memang menangis. Hatinya nyaris gosong habis terbakar api cemburu yang makin menjadi setiap mengingat dialog dengan Eri tadi. Apalagi ketika membayangkannya.

Syafa berduaan dengan Kiki. Terjadi hal apa di antara mereka? Ya meski cuma di masjid, tetap saja kesempatan bisa diciptakan, kan?

Tidak, tidak! Rica benar-benar sakit hati membayangkannya.

@riang.syaqueela_ 'Ada yang gosong tapi bukan sate. Ada yang patah tapi bukan ranting. Ada yang pecah tapi bukan kaca. Coba tebak apa? :('

@im.dewa commented: Mana yang sakit? Biar aku obatin, hmm. :)

@arii_ru.ok commented: Siapa yang udah nyakitin bidadari cantik ini? Bilang ke Aa. Nanti Aa santet pake ajian paling sakti.

Melihat Dewa berkomentar di postingan Instagram-nya, Rica langsung DM cowok itu. Tak kunjung lama, pesannya langsung dibalas.

Dewa
Tahu gak apa yang lebih indah dari langit senja?

Rica
Apa, tuh?

Dewa
Senyuman kamu.
Apalagi kalau kamu senyum tepat di depanku. :)
Runtuh duniaku rasanya. :)

"Dih!" Rica salah tingkah sendiri baca chat dari Dewa.

Dewa
Lanjut WA sabi, sih.
Pengin VC, hehe. :)

Rica
Eh, boleh.


Rica lalu memberikan nomor ponselnya pada cowok itu. Beberapa saat kemudian, ada nomor baru yang masuk ke WhatsApp. Lalu, panggilan video menyusul setelahnya.

"Hai." Dewa menyapa dengan senyum simpul yang tampak manis.

Melihatnya, Rica salah tingkah duluan sebelum menjawab, "Hai juga." Sambil menutupi wajah dengan bantal.

Obrolan mengalir begitu saja. Rica juga terbawa suasana dan merasa nyaman dengan bagaimana cara Dewa mengajaknya berbicara. Padahal mereka baru kenalan tadi sore, tetapi obrolan pertama ini bisa dengan natural.

"Syafa, Nak, sini."

Rica berhenti bicara dan mengintip pada ayahnya yang berdiri di ambang pintu.

"Iya, Pa, sebentar," jawab Syafa dari dalam kamar.

Dia memang diminta untuk memanggil pamannya dengan sebutan papa, atas permintaan—paksaan—Vina.

Jantungnya berdebar lebih kencang begitu saja, seolah-olah memberi aba-aba bahwa akan ada pembicaraan serius. Reyhan tampak menunggu dengan sabar di ambang pintu.

"Ayo, ke ruang tamu!" ajak Reyhan begitu melihat Syafa mendekat.

Syafa mengangguk pelan. "Baik, Pa."

Keduanya lalu beriringan menuju sofa yang diduduki Rica.

"Nak, apa kamu sedang bicara penting?" Reyhan bertanya baik-baik.

Rica pun bangun dan duduk. "Enggak, Pa," jawabnya. Dia lalu beralih pada layar ponsel yang masih menampilkan wajah Dewa. "Eh, udahan dulu, ya. Ada Papa."

"Oke, Ca."

Telepon pun diakhiri. Rica melempar tatap penuh selidik pada ayahnya yang duduk dengan rapi di sofa sebelah, disusul Syafa yang duduk dan menunduk dalam diam. Beberapa saat kemudian, Vina juga bergabung ke ruangan sambil sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.

"Sayang, Papa mau bicara serius sama kamu," kata Reyhan mengawali rapat keluarga malam ini.

Di luar hujan mulai kembali turun, sepertinya lebih lebat dari tadi sore, terdengar dari bisingnya yang sesekali diselingi sambaran petir.

"Jujur Papa tidak suka dengan ucapanmu yang tadi, terkait Syafa," Reyhan menatap lembut Syafa yang hanya menunduk, "Papa memang belum tahu apa masalahnya, tapi mengucapkan kalimat seperti itu tidak baik, Nak. Syafa itu saudara kamu. Kalian sesama saudara harus saling menyayangi."

"Ck!" Rica mulai menunjukkan sikap berontaknya. "Kirain mau bahas apa," sambungnya seraya membuang muka.

"Sayang," tegur Vina sambil menyentuh lutut putrinya itu. Dia memang duduk di sebelah Rica.

"Ma ...," Rica menatapnya serius, "emang aku salah ngomong gitu? Kan, aku wajar cemburu kalau kalian apa-apa lebih ngeduluin Syafa. Kan, anak kalian itu aku, bukan Syafa!"

"Nak!" Reyhan beristigfar lalu menatap Syafa yang hanya menunduk sambil terus memilin-milin jemari tangannya. "Kalian berdua itu anak Papa sama Mama sekarang. Gak ada kasih sayang yang dibeda-bedakan, gak ada yang didahulukan. Papa tadi nanyain Syafa karena Papa lihat kamu sendirian, padahal kan biasanya kamu selalu sama Syafa."

"Iya, Nak." Vina menimpali. "Pas Mama tanya juga kamu jawab ketus. Terus kamu juga minta tidur di kamar Mama, kesannya kayak lagi hindari Syafa."

Rica menghela napas. "Terserah, deh."

"Sayang, anak Mama yang paling cantik, ada apa? Sini cerita sama Mama, biar masalahnya bisa diberesin cepat-cepat," bujuk Vina. Kali ini dia menempeli anaknya dan memeluk tubuh cewek itu dengan sayang.

Akhirnya Rica berdecak lagi, tetapi kali ini dia siap untuk bercerita. Vina memang jago kalau soal membujuknya yang lagi ngambek.

"Aku tuh cemburu sama Syafa! Gak di sekolah, gak di rumah, dia terus yang jadi pusat perhatian." Rica mencerocos dengan pedas. Dia menatap sepupunya yang terus menunduk. Kalau dipikir-pikir iya juga, kasihan Syafa kalau terus-terusan dimusuhi olehnya. Apalagi sekarang cewek itu hidup sebatang kara.

Rica tak bisa membayangkan bagaimana kalau dia harus hidup tanpa orang tua. Untuk sosoknya yang manja, jelas hal itu lebih dari mimpi buruk dikejar-kejar pocong sementara kedua kaki kita terikat kuat.

"Masa ya, Ma, tadi dia berduaan dengan Kiki!" sambung Rica, mengungkapkan pemicu kekesalannya dengan gamblang.

Vina refleks menatap Syafa, tetapi dia tak memiliki pikiran buruk karena percaya penuh pada sepupunya itu. "Benar, Sya?"

"Di masjid, Ma, Pa," jawab Syafa dalam suaranya yang pelan dan lembut.

Mendengar jawaban itu, Vina menghela napas lalu menatap putrinya yang masih bersungut-sungut. "Sayang, emang orang berduaan di masjid ngapain coba? Pasti ibadah, kan? Lagian Syafa gak mungkin gitu, ya kan, Pa?" Dia menatap suaminya yang langsung merespons dengan anggukan.

"Iya, Sayang. Kamu ini pasti mikir yang aneh-aneh, ya?" imbuh Reyhan.

Rica melepaskan pelukan mamanya. "Ih, tapi kan tetep aja, Pa. Kiki tuh kalau sama Syafa jadi kayak cowok normal. Sama Syafa dia kalem, ngerespons, bahkan ngomong panjang lebar. Sama aku mah boro-boro!" cerocosnya dengan kedua mata memanas. Air matanya siap keluar, menandakan seberapa bergolak emosi di hatinya saat ini.

"Ta–tapi aku gak pernah ajak Kiki ngobrol, Ca."

Vina langsung menelan kembali kata-katanya begitu suara pelan Syafa terdengar. Sepertinya cewek yang hari ini memakai kerudung panjang biru dongker melengkapi gamis cokelat mudanya itu berusaha menjelaskan dari sudut pandangnya.

"Masa?" tanya Rica nyolot.

"Pa–pas di masjid, Kiki duluan yang sapa. Dia kasih salam, jadi aku jawab," jawab Syafa jujur. Tangannya masih sibuk memilin-milin tali gamis. "Terus Kiki tawarin bantuan buat hubungi kamu."

"Ha? Kiki tadinya mau chat aku?" terka Rica kepedean.

Syafa mengangguk sangsi. "Mungkin."

"Ih, kenapa gak kamu iyain aja! Bakal jadi rekor lho kalau Kiki chat duluan! Karena selama ini chat-ku tuh gak pernah dibalas, apalagi ada momen dia chat duluan. Kalaupun ada perlu, pasti dia sampein melalui temennya. Ck, Kiki, mah!" Rica mencerocos sendiri.

Vina dan Reyhan saling pandang, sepertinya suasana hati Rica sudah membaik, sudah bisa diajak ngobrol serius.

"Lagian aku gak akan rebut Kiki dari kamu, Ca," sambung Syafa sungguh-sungguh.

"Kenapa?" Rica melempar pertanyaan disertai tatapan yang membuat Syafa kembali menunduk, padahal cewek kalem itu baru ada keberanian buat mengangkat pandangan.

Pertanyaan itu tak langsung mendapat jawaban karena Syafa hanya menunduk dalam diam. Ternyata cewek itu tengah menyusun kata-kata, dia ingin jujur tetapi tak boleh sampai membuat Rica hilang rasa percaya padanya. Berbohong juga bukan pilihan baik.

"Karena ... aku udah suka sama orang," sambung Syafa setelah menguatkan hatinya.

"HAH? MASA, IH?" Rica jelas kaget dan tak percaya mendengar pengakuan mengejutkan sepupunya itu. "Emang cewek sealim kamu bisa jatuh cinta?"

Vina melirik Reyhan saat mendengar pertanyaan polos putri mereka.

Syafa mengangguk pelan. "Dia ... dia anak Pak Kiai, tapi ... sekarang lagi belajar di Al-Azhar, Kairo," sambungnya.

Kali ini dia memang jujur. Selama di pesantren, ada satu sosok yang selalu mengganggu rutinitas normal hariannya. Hal itu berawal dari sebuah ketidaksengajaan sampai akhirnya Syafa mulai menyadari ada yang tidak beres dengan hatinya setiap mendengar nama sang pujaan hati.

Yah, meski mereka tak pernah bertemu lagi, Syafa sering mendengar gosip yang disebarkan oleh teman-temannya saat waktu senggang. Hanya mendengar nama atau kabarnya saja sudah membuat hati Syafa senang, apa itu bukan cinta namanya? Lalu disebut apa?

"IHHH, TERNYATA KAMU UDAH NEMUIN CINTA PERTAMA KAMU?" Rica heboh sendiri. Dia sudah pindah duduk jadi di samping Syafa yang masih menunduk gugup.

Syafa mengangguk kaku, tampak lucu di mata Rica.

Lalu, tanpa kata, Rica langsung menghadiahinya dengan pelukan erat sambil terus mengucapkan kata 'selamat'. Seolah-olah Syafa baru saja mendapatkan pencapaian memuaskan.

"Terus sekarang gimana?" tanya Rica setelah melepas pelukan.

"Gi–gimana?" Syafa salah tingkah, juga kebingungan.

Rica mencubit gemas pipinya. "Ck! Ya kamu masa gak nyatain perasaan kamu, sih?"

Dengan polosnya Syafa menggeleng, bikin Rica langsung buang napas mode jengkel.

"Nih ya, sekarang tuh sudah era kemerdekaan bagi para wanita, jadi kalau kamu ada rasa sama cowok, ya nyatain duluan, lah. Daripada nunggu kelamaan, diembat yang lain kan nyesek!" ujar Rica panjang lebar.

Apa Syafa akan sepakat dengan ucapannya? Jelas tidak. Cewek itu jelas merasa pendapat Rica terlalu brutal.

"Masa gitu, Ca?" Syafa natap Rica dengan ngeri. Membayangkan dia menyatakan perasaan pada lawan jenis? Jangankan begitu, bicara biasa saja dia sudah kesusahan. "Tapi aku punya cara yang lebih ampuh, lho."

"Cara lebih ampuh?" tanya Rica penasaran.

Sementara itu, Vina dan Reyhan memilih untuk menyimak karena dua putri mereka sepertinya sudah baikan. Salah, Rica yang sudah melupakan kemarahannya.

"Apa itu?"

"Jalur langit," jawab Syafa mantap.

"Oh, kamu pakai jalur langit?" beo Rica.

"Enggak." Syafa menggeleng polos.

"Lah, gimana sih?" tanya Rica, garuk-garuk pelipisnya yang tidak gatal.

"Jalur langit emang paling manjur, cuma takdir Allah lebih baik dan indah dari apa pun." Syafa memberi jawaban yang membuat Rica langsung berpikir keras.

"Entah deh." Cewek itu kemudian merapikan duduk, mode kalem. Lantas menatap kedua orang tuanya yang hanya memberi senyum manis. "Intinya kamu gak akan rebut Kiki, kan?"

Syafa mengangguk meyakinkan. "Enggak, kamu tenang aja," jawabnya sungguh-sungguh.

"Janji, ya?" Rica menyodorkan kelingkingnya.

Syafa menerima itu dengan enteng. "Iya, janji."

"Sip!"

Vina berdeham. "Jadi, udahan nih marahannya?" tanyanya menyela.

Namun, tak ada jawaban, selain Rica yang mengangguk sambil pura-pura sibuk dengan ponsel. Hal itu membuat senyum Vina dan Reyhan melebar. Mereka merasa lega karena konflik antar saudara ini lebih cepat selesai.

Ternyata masalahanya gara-gara cowok. Vina sampai heran, kenapa putrinya ini begitu terobsesi dengan cowok yang bernama Rezky Chairil Ramadhansyah. Padahal dia belum pernah sekali pun bertemu cowok itu, selain melihat fotonya karena Rica suka banget pamerin Kiki sebagai pacarnya.

"Ekhem, tapi kayaknya belum selesai, deh," sela Reyhan yang pasang muka galak pada Rica.

"Apa ih, Pa?" tanya Rica, pura-pura bingung.

"Kamu lupa tadi kamu bilang apa?" Reyhan hanya memberi pelototan, tetapi hal itu cukup untuk Rica sampai bisa menyadari kesalahannya.

Cewek itu pun meletakkan ponsel sambil mengembuskan napas, kemudian beralih pada Syafa. "Sya," dia menggenggam kedua tangan dingin Syafa, "aku minta maaf atas ucapanku tadi. Maafin ya, kata-kataku terlalu nyakitin hati kamu."

Tanpa ragu, dia langsung memeluk Syafa yang langsung mendapat balasan dari sepupunya itu. Keduanya berpelukan cukup lama. Rica bisa merasakan tubuh Syafa sedikit gemetar. Ah, dia memang jadi sepupu yang jahat.

"Nah, karena anak Papa sudah baikan, Papa mau kasih hadiah. Tapi kali ini buat Syafa dulu, karena Syafa lebih membutuhkan. Sebagai gantinya, Rica nanti bebas mau minta apa sama Papa dan Mama." Reyhan menyelesaikan ucapannya dalam satu kali percobaan, agar tak menimbulkan kesalahpahaman lagi, atau malah sampai memantik amarah Rica lagi.

"Serius, Pa?" tanya Rica bersemangat.

Vina yang mengangguk. "Iya, Sayang. Kan, waktu itu kamu bilang lagi pengin beli sesuatu," jawabnya.

"Sip!" Rica mengacungkan jempol dengan senyum melebar. "Ya udah, aku nanti minta sama Mama dan Papa, yaaa."

Cewek itu kelihatan happy, bikin Vina dan Reyhan sedikit lega untuk memberikan benda ini pada Syafa. Sebelumnya, mereka memang telah berdiskusi untuk membelikan Syafa ponsel. Hal itu karena mereka kasihan melihat Syafa yang hanya bisa mainin ponsel jadul, sudah gitu sering rusak lagi sehingga tak bisa dibawa ke mana-mana.

"Sayang, diterima ya, biar kamu makin semangat belajar," kata Reyhan sambil menyodorkan kotak ponsel.

Rica meliriknya sekilas dan kembali cuek saat melihat merek ponsel untuk Syafa tak semahal ponsel miliknya.

"Gak boleh nolak atau sungkan," imbuh Vina.

"Iya, biar nanti kita bisa saling follow Instagram, TikTok, Twitter, dan yang lain." Rica juga menambahkan dengan nada ramah.

Syafa menatap ketiganya dengan mata berkaca-kaca. Kebaikan ini terlalu berlebihan untuk "orang luar" sepertinya. Namun, menolak juga tak bisa, karena hal ini akan menyakiti hati Vina dan Reyhan. Keduanya pasti sudah berjuang untuk membelikannya benda ini.

"Te–terima kasih, Ma, Pa," kata Syafa patah-patah sambil menatap boks ponsel putih itu.

"Sama-sama, Sayang. Biar kamu makin semangat belajar, ya," balas Vina.

"Udah tahu cara bikin Instagram, kan? Kalau gak tahu, sini aku bikinin!" Rica menyerobot, memisahkan Vina dari Syafa. Dengan cekatan dia memberi tutorial pada Syafa tentang cara buka ponsel, melakukan pengaturan dasar pada ponsel baru, lalu bikin akun Gmail dan antek-anteknya.

"Emm, kayaknya aku gak perlu pakai Instagram deh, yang lain juga. Cukup WhatsApp aja," kata Syafa ragu-ragu.

"Ih, tenang aja, ada masternya di sini," Rica bersikukuh, "aku bakal ajarin kamu sampai bisa. Sebagai gantinya, kamu harus ajarin aku gimana cara untuk mendapatkan doi via jalur langit."

Syafa menoleh, menatap serius pada sepupunya. "Perbanyak Tahajud, perbanyak doa, mohon sama Allah," jawabnya.

"Nah, ajarin aku, lah." Rica berkata enteng, bikin kedua orang tuanya melongo.

"Kamu mau belajar salat Tahajud?" tanya Vina, kaget sekaligus terharu.

Rica mengangguk dengan cuek.

Vina langsung menatap Syafa dan memberi anggukan semangat.

"Boleh, nanti aku ajarin amalan lain juga, lho!" kata Syafa yang bikin senyum Rica makin melebar.

Sip, deh. Kalau aku gak bisa dapatin Kiki jalur ngejar-ngejar dengan brutal, mungkin bakal beda cerita kalau jalur langit, batin Rica yakin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro