9. Rainy Night

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Harusnya aku tidak gegabah! Berengsek!

Altair masih sempat mengumpat saat mengambil jaket karena di luar sedang hujan. Hal pasti yang akan dia lakukan saat ini adalah turun ke lantai bawah dan menanyakan pada sekuriti tentang kepergian Shitara. Tidak ingin membuang waktu, Altair segera berlari menuju lift. Tiba di lobi, seorang pria berkulit kecokelatan menghampirinya. Altair yang tadinya sedang menengok kanan dan kiri-mengira dapat menemukan Shitara-kini membalas tatapan sang pria.

"Tuan Altair? Ada yang bisa aku bantu?"

"Samir, kamu melihat Shitara? Gadis yang tinggal bersamaku di sini."

"Oh, aku melihatnya. Kira-kira dua jam yang lalu Nona Shitara keluar. Aku bertanya apa perlu dipanggilkan taksi. Nona menolak, katanya hanya ingin pergi ke minimarket di seberang gedung."

Bodoh, Altair! Dia pasti kabur!

Siapa yang pergi ke minimarket di tengah malam selama dua jam? Dan minimarket itu hanya perlu ditempuh kurang dari sepuluh menit, memangkas kemungkinan butuh banyak waktu untuk kembali pulang. Pun mustahil Shitara berbelanja kebutuhan rumah. Baru semalam mereka berbelanja bersama. Segala makanan ringan telah tersedia. Seharusnya tidak ada yang kurang. Shitara tidak memiliki alasan pergi di tengah malam demi mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutnya. Kecuali ... dia benar-benar melarikan diri saat Altair terlelap.

"Jadi, sejak dua jam lalu dia tidak kembali sama sekali?"

"Tidak, Tuan."

Bodoh!

Napas laki-laki itu terasa nyaris habis. Sejujurnya Altair ingin meninju Samir untuk meluapkan kekesalan. Jika pria itu tahu Shitara tidak kembali padahal sudah pergi lama, seharusnya dia melapor. Perempuan dengan niat apa yang pergi sendirian saat hari gelap? Semestinya Samir sedikit berpikir dan curiga jika terjadi sesuatu pada Shitara.

Hah! Berengsek!

Sekali lagi Altair mengumpat karena emosi dan tak bisa pula menyalahkan Samir. Pening laki-laki itu bertambah. Segala kemungkinan buruk telah berlarian di kepalanya. Altair kira selama lima bulan tinggal bersama, gadis itu telah benar-benar menjadi miliknya. Selama ini Shitara tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberontak. Namun, apa ini? Gadis itu menghilang begitu saja.

Samir undur diri setelah diperintah Altair. Laki-laki itu kemudian menatap ke luar dinding kaca yang menampakkan betapa derasnya hujan di sana. Altair mencoba bersikap tenang agar pikirannya jernih dan dapat mengambil tindakan.

Setelah menarik napas panjang dan membuangnya, laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Nomor pertama yang dia hubungi adalah Lion. Titah untuk menemukan Shitara segera meluncur. Selanjutnya ... Geraldine. Ini hanya perkiraan Altair, tapi sungguh dia tak akan memaafkan kakaknya jika benar terlibat dalam menghilangnya Shitara.

Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai enam kali, panggilan Altair tak dijawab sama sekali. Laki-laki itu menggenggam erat ponselnya, marah dan sekaligus curiga. Geraldine memiliki pendengaran yang baik. Ketika ponselnya berdering walaupun perempuan itu sudah terlelap, maka dia akan kembali terjaga. Altair sangat hafal bagaimana kakaknya. Dan yang terjadi saat ini semakin mengarahkan dugaan bahwa Geraldine memang ikut campur dalam urusannya.

Tidak mungkin Shitara ada di minimarket, tapi demi pembuktian, Altair menerobos hujan untuk ke seberang gedung. Benar saja, hanya ada dua orang yang berjaga di kasir. Sisanya tak ada siapa pun di dalam sana. Lagi, dia menghela napas panjang. Malam ini seperti mimpi buruk yang telah lama tak mendatangi Altair.

Keluar dari minimarket, Altair bergegas ke basemen. Ke mana pun akan dia cari Shitara. Gadis itu akan dia temukan tak peduli bagaimana dingin mulai membuat giginya gemertak.

Hujan masih deras dan masih tak menyurutkan niat Altair untuk mencari Shitara. Nyaris setiap inci jalanan yang sepi serta remang-remang tak luput dari pandangannya. Sialnya, laki-laki itu tidak juga mendapati Shitara.

Setelah semua yang dia berikan dan lakukan untuk gadis itu, Altair tidak bisa menerima fakta bahwa dia ditinggalkan. Karena bukan begitu alur yang Altair rencanakan. Seharusnya bukan seperti ini kisahnya.

Langit tidak menunjukkan tanda akan menghentikan curah hujan, sedangkan pikiran laki-laki itu kian kalut dan tak fokus menyetir. Perasaannya kacau balau. Dia sama sekali tidak memiliki ide tentang ke mana tujuan Shitara. Selama ini dunia gadis itu hanya diisi Altair, Altair, dan Altair saja. Sejak Shitara menolak menjadi model dan memilih bersantai saja sepanjang hari, lelaki itu telah memastikan bahwa tak ada orang luar yang berhubungan secara langsung dengan Shitara. Sesekali saja Geraldine bertandang, selebihnya tidak ada siapa pun yang gadis itu temui. Perihal keaktifan Shitara di media sosial, Altair pun telah mengetahuinya. Semua aman dan terkendali. Maka dari itu Altair melonggarkan penjagaan, memberikan kepercayaan penuh pada gadis cantik itu.

"Geraldine, apa kamu sungguh ikut campur?" gumam Altair, lalu menepikan mobil.

Akan dia coba untuk menghubungi sang kakak. Laki-laki itu berharap kali ini panggilannya diangkat. Dan Dewi bermurah hati padanya, tak menunggu lama seseorang di seberang sana menyapa lebih dulu. Namun, Altair yang sudah habis kesabaran langsung menaikkan intonasi.

"Jangan berbasa-basi, Geraldine! Ke mana kamu membawa Shitara?"

"Bukankah dia gadismu? Seharusnya kalian sedang tidur bersama. Lalu kenapa bertanya padaku?"

Dia berpura-pura, pikir Altair.

Mereka telah menghabiskan 28 tahun untuk hidup sebagai saudara. Tidak ada yang bisa menyembunyikan rahasia pada satu sama lain.

"Jangan main-main denganku, Geraldine! Katakan di mana Shitara! Aku tahu kamu terlibat!"

Terlalu emosi, Altair memukul setir dengan keras. Rasa sakit pada telapak tangannya tak lagi berarti jika dibandingkan dengan bayangan semua rencananya berantakan.

"Aku tidak bisa melihatmu menghancurkan kehidupan seseorang, Altair."

Itu jawaban yang Altair tunggu. Geraldine telah jujur, tapi sialnya menambah berkali-kali lipat kemarahan Altair.

"Sialan! Apa yang kamu katakan pada Shitara?! Ke mana kamu membawanya, Geraldine?! Kamu benar-benar menghancurkan rencanaku!"

Meski di luar sana dingin tak tertahankan, tapi saat ini Altair merasa seluruh tubuhnya panas. Kepala serta dadanya berdenyut keras.

"Aku mencegah kegilaanmu, Altair. Sadarlah. Kamu sedang tidak berpikir jernih."

"Diam! Kamu tidak tahu apa pun tentangku! Katakan saja di mana Shitara sekarang!"

"Aku tahu segalanya dan aku sudah memberi tahu Shitara. Bukankah kamu menginginkan dia terluka kemudian akan kamu usir? Tenang saja, aku sudah mewakilimu untuk melakukannya."

"Kamu berengsek, Geraldine!"

Altair melempar ponselnya, tidak peduli panggilan masih tersambung. Darahnya terasa mengalir cepat, kemudian seperti mendidih, hingga dia kepanasan tak terkendali. Laki-laki itu kembali menyetir, kali ini selayaknya orang tak waras. Ada satu tujuan yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Dua bulan lalu Shitara pernah mengatakan ingin pergi ke sana.

"Aku ingin pergi ke sana, lalu mengulang adegan itu. Bedanya, aku akan menerima pernyataan hatimu. Bagaimana, Altair? Apa kamu mau pergi denganku?"

Hanya butuh 25 menit untuk Altair sampai di tempat itu dari waktu normal 45 menit. Untungnya jalanan sepi, sehingga dia tidak menciptakan kekacauan di jalan sebab mengemudi seolah-olah tak ada rem di mobilnya.

Melewati gedung universitasnya dulu, kini mobilnya melaju pelan setelah melihat seseorang berdiri di depan sebuah kafe yang sudah tutup. Gadis itu berdiri di bawah derasnya hujan tanpa perlindungan apa pun. Dari samping terlihat sedang menatap saksama gedung di hadapannya.

Altair bernapas lega. Gadis itu benar-benar ada di sana, sesuai perkiraannya. Dia segera turun dari mobil, berlari mendekati Shitara, kemudian melepas jaket untuk menutupi kepala gadis itu. Shitara yang hanya memakai dress hitam selutut tampak tidak terpengaruh pada cuaca. Dia fokus menatap bangunan yang tak bercahaya tanpa menghiraukan Altair. Laki-laki itu seolah-olah tidak terlihat.

"Hei. Apakah kamu tidak waras, Shitara? Ayo ke mobil!"

Altair memegang kedua lengan Shitara, tapi hanya suara hujan yang jadi jawaban untuk laki-laki itu.

"Shitara! Aku di sini! Apa yang kamu lihat?!"

Karena hujan yang benar-benar deras, Altair mengeraskan suara. Dia khawatir Shitara tidak mendengar, maka dari itu hanya diam saja. Namun, tidak. Ternyata Shitara mendengarnya dan sengaja tidak menuruti ajakan laki-laki itu untuk ke mobil.

"Altair," panggil Shitara pelan.

"Ya, ini aku. Ayo kita berteduh."

"Tidak."

"Tidak?" ulang Altair tidak paham.

Beberapa kali Altair mengusap wajah karena pandangannya terhalangi. Saat meraih telapak tangan Shitara, Altair terkejut merasakan bagaimana mengerutnya kulit sang gadis. Bisa dipastikan Shitara telah berdiri cukup lama di sana.

Altair menghela napas panjang. Perasaannya mengatakan segalanya memang telah berantakan.

"Altair, apakah enam tahun lalu kamu sangat patah hati?"

Laki-laki itu punya jawaban, tapi memilih untuk diam.

"Seberapa sakit hatimu saat itu?" tanya Shitara lirih.

Ada air yang meluncur dari sudut mata Shitara. Bukan, bukan air hujan, melainkan air mata. Altair masih terdiam meski tahu betapa Shitara menginginkan jawaban langsung. Laki-laki itu bergeming meski sudah melihat bagaimana merah mata gadis itu dan bibirnya yang telah pucat.

Shitara terluka, sama seperti yang Altair harapkan.

"Kenapa diam, Altair? Bukankah kamu punya banyak keluhan padaku? Katakan saja. Aku akan mendengarnya."

Shitara menyentak genggaman Altair. Kedua telapak tangannya kini menutupi wajah, kemudian dia teriak. Di antara suara alam yang hampir menyita seluruh fokus, Altair dapat mendengarnya. Laki-laki itu mendengar isak patah hati Shitara.

"Seberapa banyak yang kamu tahu, Shitara?"

Gadis itu terisak makin keras. Tubuhnya kemudian luruh. Melihat pemandangan itu, harusnya Altair bersorak. Yang dia inginkan sudah tercapai. Namun, sial. Hatinya malah berdenyut keras.

"Aku tahu semuanya, Altair! Aku tahu semuanya! Aku tahu bahwa ternyata kamulah yang menyuruh ibu dan kakak tiriku untuk mengurungku! Aku tahu kamu sengaja menyuruh mereka menyiksaku! Aku tahu semuanya, Altair! Aku tahu kamu mau mendukungku menjadi model, karena merencanakan skandal untukku! Setelah aku terhina di publik, kamu akan membuangku! Kamu ingin membalas sakit hatimu karena aku tolak di depan teman-temanmu dulu! Kamu ingin membalas sakit hatimu! Aku tahu semuanya, Altair!"

Gadis itu menangis tidak terkendali. Hatinya seperti dicabik-cabik. Dia telah sangat bergantung pada Altair, sulit baginya untuk percaya bahwa dia akan sengaja dilukai. Rasanya mustahil laki-laki itu bisa merencanakan kejahatan tak masuk akal. Shitara ingin menolak fakta yang telah dia ketahui sejak dua hari lalu. Akan tetapi, Altair sama sekali tidak berniat menyangkal. Lalu apa lagi yang bisa Shitara harapkan?

Shitara mendongak, menatap Altair yang masih berdiri. Gadis itu meraih telapak tangan Altair, kemudian berkata, "Tolong katakan semua ini hanya imajinasiku saja. Tolong katakan aku telah selah. Tolong katakan kamu adalah penyelamatku. Kumohon, Altair."

Sejenak Altair memejamkan mata. Lalu dia mengambil dua langkah mundur, membuat genggaman Shitara terlepas. Gadis nelangsa itu kembali terisak, tahu semuanya sudah terjawab.

"Kamu benar. Aku yang merencanakan semuanya. Aku sengaja ingin membuatmu mencintaiku, lalu kubuang setelah aku puas bermain. Kamu benar, Shitara. Aku memang ingin membalas rasa malu yang saat itu aku dapatkan."

Seringai Altair membuat Shitara tak berdaya. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya saat Altair menuju mobil tanpa kata lainnya.

Mereka berpisah, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kata sampai jumpa, tanpa janji akan bertemu lagi.

🔥🔥🔥

To be continued? Yes, tapi di KaryaKarsa ya. 😆.

Nggak panjang, hanya sekitar 10 bab lagi selesai cerita ini. Karena puncak konflik udah kita masuki.

Kenapa sih pindah ke KK? Karena aku mau cepat-cepat istirahat makanya mau cerita ini segera tamat.

Ada novelnya? Nggak.

Ada ebooknya? Ada, nanti.

Kapan tayang lanjutannya di KK? Kalau nggak ada halangan besok ya.

Btw, mau bilang apa sama Altair?😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro