14. Barbie dan Suling Sunda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Titik Merah ditemukan!]

Dalam film pun, Alexa mengkhianati Barbie.

Sampai sekarang, aku masih kepikiran apa alasan Talia tidak langsung memberitahuku siapa nama korban selanjutnya. Padahal, selama ini petunjuk yang ditinggalkan selalu berhubungan dengan orang yang sama-sama kami kenal semasa SMP. Kadang, aku berpikir bisa saja sosok itu bukan Talia, tetapi orang lain, dan orang itu memanfaatkanku.

Tak habis pikir, bagaimana bisa Talia mau membantu orang-orang yang sudah menyakitinya dulu, menyakiti kami. Meski sekarang aku tetap ketar-ketir menelpon Alexa berkali-kali, bukan berarti aku kepingin anak itu tetap hidup tanpa penyesalan. Enak saja.

Namun, dalam perjalanan keluar dari kawasan Pertamina, Illxa bilang padaku, "Punya dendam itu nggak baik. Hatimu bakal kotor—padahal kan itu tempatku."

Aku berakhir menggetok helmnya meski diam-diam membenarkan perkataan anak itu. "Iya, tapi kalo nelpon berkali-kali nggak diangkat juga rasanya mau kutikam anaknya."

"Kau yakin kalo selanjutnya Alexa? Paling dia lagi sibuk." Illxa tak menoleh, melainkan melirikku dari spion kiri sambil terus berusaha fokus pada jalanan.

Tidak diragukan lagi. Di antara Nora, Alexa, dan Reno, hanya anak itu yang mendekati kriteria Barbie dan Suling Sunda di sub misi. Namanya sama-sama Alexa, dan di film Barbie yang menyangkut tentang suling, Alexa nyaris mati tenggelam. Talia dan Alexa dulunya memang sahabat dekat seperti Barbie dan Alexa, sampai mereka berpisah gara-gara rebutan Fauzi. Mengingatnya lagi membuatku merinding karena drama cringe anak SMP.

Putus asa tak kunjung mendapat jawaban menelponnya, aku membuka Instagram. Instastory-nya hanya satu: separuh gambar gaun beserta kertas dan tangan di atasnya. Anak itu sedang menghadiri acara apa? Aku berusaha mengingat-ingat kemungkinan acara apa saja yang bakal dihadiri anak itu di hari Sabtu pagi.

Acara keluarga? Kondangan juga tidak harus membawa kertas yang dilaminating. Dia jelas membawa acara. Alexa bukan OSIS atau anggota ekskul penting. Namun, sejenak aku melupakan bahwa anak itu pernah mencalonkan diri sebagai duta anti narkoba Balikpapan.

Aku berselancar dengan cepat di Instagram, mencari akun forum itu. Seminar bersama duta anti narkoba Balikpapan. Cukup mudah mendapat informasi anak itu, mendadak aku bersyukur Alexa lumayan tenar.

"Gran Senyiur," kataku. "Alexa di sana."

Peduli amat dengan pakaian, aku dan Illxa mulai menjelajahi lorong utama hotel bintang lima yang megah. Baru saja datang, kami langsung dicegat bapak-bapak berseragam hotel itu. "Cari siapa?" tanyanya.

Kubilang kami mencari seminar duta anti narkoba, dan bapak-bapak berkumis tipis itu bilang acaranya sudah selesai. "Iya, Pak. Kami nyari panitianya. Masih ada, 'kan? Mau nganter sesuatu."

Waktu bapak itu bersikeras dia yang akan mengantarkannya, aku berkelit dan berbisik, "Ini pembalut. Bapak nggak malu ngasih ini ke anak cewek?" Dan bapak itu langsung mempersilakan kami naik ke ballroom lantai dua.

Illxa mengangkat ibu jarinya. "Badass!" desisnya kala kami menaiki tangga spiral beralas karpet merah tebal.

Ruangan luas berlantai marmer menyambut kami begitu menginjak anak tangga terakhir. Seluruh dinding terjauhnya dilapisi cermin, membuatku dapat melihat kontras pakaian antara aku dan Illxa yang mengenakan hoodie bercelana jeans, dengan tamu undangan berpakaian semi formal.

Acaranya baru saja selesai. Ballroom masih ramai oleh orang-orang yang lalu-lalang keluar dari sana. Kami segera menyusup masuk dan celingukan mencari Alexa.

"Dia pake gaun merah selutut, harusnya nyentrik di sini," kataku disusul anggukan Illxa.

Dari ambang pintu, bisa kulihat panggung beserta spanduk besar wajah Alexa sebagai pemateri di kanan kirinya. Orang-orang bergaun dan tuxedo berkumpul di satu sisinya bersama orang lain berseragam hitam putih ala pelayan hotel. Tanpa disuruh pun, kami melesat ke sana, berkelit melewati tamu undangan berpakaian bagus.

Semakin dekat, salah satu dari orang berpakaian hitam putih menyadari keberadaanku. Alisnya terangkat. "Apa yang bisa dibantu, Kak?"

Semua pandangan lingkaran kecil mereka tertuju padaku. "Cari Alexa, Mbak. Anaknya ada?" tanyaku mencoba sopan.

Mereka saling tatap dan celingukan juga. "Kayaknya udah balik ke kamarnya, Kak. Siapanya, ya?"

Illxa maju dan tersenyum manis. "Kami temannya Alexa. Emm, kalo boleh tau, kamarnya yang mana, ya? Kami mau ngasih kejutan buat dia."

Perempuan bersetelan hitam putih itu gelagapan mendapat tatapan dari Illxa. "Kamar 410, lantai 4, Kak. Bisa lewat lift sebelah sana." Tangannya mengarah ke pintu tempat kami datang, pandanganku lurus melewati ratusan orang dan menyadari apa yang sebenarnya perempuan itu tunjuk.

Sekali lagi, Illxa tersenyum menawan dan berterima kasih, kemudian menarik tanganku untuk berlari. Dari samping, bisa kulihat wajahnya berubah serius ketika kami cukup jauh dari jarak pandang mereka.

"Kita berpencar, oke?" Aku mengangguk. "Kau ke kamarnya, aku cari di kolam renang. Cuma dua tempat itu yang berpotensi buat jadi tempat pembunuhan." Illxa sejenak dan menggenggam tanganku erat-erat di tengah-tengah kerumunan. "Pelaku nggak mungkin bawa Alexa ke kamarnya, dia bakal langsung dicurigai. Nah, apapun yang kau temuin, cepet telpon aku, oke?"

Aku mengangguk lagi sebelum balik kanan dan lari masuk ke dalam lift. Nuansa emas segera menyiram mataku setelah pintu ditutup dan Illxa lenyap dari jarak pandangku. Kamar 410, kamar 410, batinku mengingat-ingat.

Begitu pintu lift terbuka, aku berusaha tetap tenang dan tampak normal, bukannya seperti orang yang sedang dikejar waktu menyelamatkan nyawa seseorang. Lorong panjang menyambutku dengan karpet tebal. Kuamati petunjuk nomor kamar berwarna emas yang tertempel di dinding dan mengikutinya.

Lorong itu lenggang, nyaris tak ada orang yang melintas di sini. Satu persatu kuamati betul-betul nomor kamar yang kulewati. Sebentar lagi. Harusnya tepat di depan sana, sebelah kiri di bagian nomor genap. Namun, yang kudapati justru pintu kamar yang terbuka sedikit. Gelap tanpa cahaya dari dalam.

Langkahku semakin pelan, berusaha mendengar dengan saksama setiap detail kecil. Namun, seberapa besar usahaku menguping, tidak ada suara yang terdengar kecuali riuh rendah dari kejauhan yang tak ada hubungannya dengan ini. Kamarnya kosong kah? Atau Alexa ketiduran?

Ah, mana mungkin. Pasti susah, tidur dengan gaun mengembang itu merepotkan, dan dia harus membersihkan makeup kalau tidak mau kulitnya rusak—juga mengotori sprei hotel dengan riasan tebal.

Semakin dekat, aku mengendap. Tiba di depan pintu, aku mengintip. Pintu kamar mandi di sisi kanannya terbuka sedikit, memberi celah untuk cahaya keluar. Hening, pandanganku menembus lebih jauh. Gordennya tertutup sempurna menghalangi sinar matahari. Meski remang, aku tahu Alexa tidak ada di sana. Kasurnya masih rapi dan tidak ada tanda-tanda gadis itu di sana.

Jadi, aku memberanikan diri untuk menyelinap masuk tanpa menimbulkan suara. Meski tidak ada orangnya, perasaan waspada di dadaku tetap tak mau hilang. Seperti ada yang ganjil di sini.

Aura di dalam sedikit berbeda dari lorong. Lebih dingin dan sunyi, seakan seluruh dunia diam beberapa saat. Bau khas Alexa menyapa hidungku, seperti kasturi mungkin, entahlah mirip sabun mandi ibu.

Aku mulai merayap masuk lebih jauh, mendekati tengah ruangan sebelum berhenti dan mematung. Mataku terbelalak pada sosok berjubah hitam di satu sudut nakas sisi ranjang. Sebelumnya bagian itu memang terhalang kamar mandi dari sudut pandang lorong masuk.

Sedang apa orang itu? Apa dia orang yang sama yang membakar gudang marching band? Haruskah aku menghabisinya di sini?

Tapi kemudian aku teringat ke mana Illxa pergi saat malam kebakaran itu: mengejar orang ini, yang artinya bukan dia yang menyebabkan kebakaran.

Siapa sebenarnya orang ini?

Mendadak orang itu menoleh, terkejut melihatku berjongkok mengendap di tengah ruangan. Tidak ada topeng plague doctor, hanya masker hitam. Sempat kudengar dia terkesiap dengan suara yang sedikit terdistorsi masker. Sedetik kemudian, dia memasang kuda-kuda.

Kabur pun tak ada gunanya. Sudah terlanjur, serang saja!

Aku berdiri mengimbangi gerakannya dan memasang kuda-kuda. Dalam remang aku mencoba meneliti orang di depanku. Tidak ada senjata, pisau, atau pistol, aku lumayan aman. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, lebih besar dan tampak lebih berotot.

"Siapa kau?" Aku masih belum bergerak begitu pula dengannya. "Apa urusanmu dengan Alexa?!" Tanpa kusadari, suaraku meninggi dan terkesan menggertak.

Alih-alih menjawab, kaki kirinya maju lebih dulu. Gawat, kalau orang ini benar-benar mau menghabisi anak remaja sepertiku, artinya dia berkemungkinan menyerang Alexa juga.

Tak sempat menghindar, kusilangkan kedua tanganku di depan wajah. Kuda-kudaku nyaris goyah dibuatnya.

Bugh!

Sial, tendangannya kuat banget!

Tulang hastaku berdenyut. Tendangan itu tidak main-main. Sekali kena titik vital di kepala, aku bisa pingsan.

Gerakannya cepat sekali, mataku bahkan tak sempat berkedip saat orang itu memutar pinggang dan menyerangku dengan kaki kirinya.

Bugh!

Sial sial sial!

Aku bahkan bisa merasakan tubuhku melayang beberapa detik sebelum mendarat dengan kuda-kuda di dekat jendela. Aku berhasil melompat, salto ke belakang menghindari pendaratan kasar. Pinggangku berdenyut-denyut, rasa sakit yang tak sebanding dengan terhantup sudut meja.

Sosok itu melangkah perlahan, membuat posisi kami sejajar di bawah kasur. Matanya nyalang menatapku, ada kegetiran di sana. Aku bersiap dengan kuda-kuda membaca setiap gerakannya. Namun, sosok itu justru memasang tubuh seperti hendak kabur ketimbang menghabisiku.

Kabur?!

Belum sempat kakiku melangkah mendekatinya ketika sosok itu sudah balik kanan menerjang ke arah pintu keluar. Sial! Pokoknya, jangan sampai dia lolos!

Kakiku langsung mengikutinya, membanting pintu ke belakang dan berbelok ke arah yang sama. Di antara lorong yang sepi, debuman langkah kami menggaung samar dengan helaan napas kasar.

Larinya cepat sekali, tak heran kalau Illxa kewalahan mengejarnya.

Setelah dua kali belokan tajam yang hampir membuat kakiku tersandung, lorong-lorong berganti ruangan luas dengan lampu gantung raksasa. Orang-orang lebih banyak di sana, aku tidak peduli. Mataku fokus memprediksi ke mana langkahnya akan pergi.

"Hoi! Berhenti!"

Aduh, kenapa sekarang malah main kucing-kucingan, sih?!

Tanpa menoleh pun aku tahu ada petugas hotel yang mengejar. Peduli amat, aku tetap berderap mengikuti sosok berjubah itu. Lorong panjang menunggu kami di depan, dan aku semakin dekat dengannya.

Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi! Tanganku berusaha menggapainya, hanya tinggal sejengkal!

Kepalanya tertoleh padaku, bisa kulihat matanya tersenyum sebelum jubah hitamnya terlepas dan membuatku gelagapan tak bisa melihat. Sialan! Langkahku semakin pelan sampai berhasil kulempar ke belakang jubah sialan itu.

Telingaku menangkap bunyi tubrukan kain, mungkin mengenai penjaga yang mengejar, tetapi aku tak menoleh. Sosok serba hitam itu nyaris hilang dari pandanganku. Lekas kususul dia dan berbelok ke tempat terakhirnya kulihat. Tangga darurat.

Ketika aku mendobrak pintu, bunyi kelontang menyambutku dari lantai atas. Betisku merasakan sensasi terbakar beberapa saat setelah aku menaiki pilihan anak tangga. Sosok itu mulai terlihat lagi, dengan celana panjang abu-abu dan manset hitam, aku bisa melihat lekukan tubuhnya. Perempuan, seperti dugaan Illxa.

Remangnya tangga darurat mendadak digantikan dengan cahaya terang dari pintu yang terbuka. Kami mencapai lantai teratas, tidak ada lagi tempatnya untuk kabur.

Ketika akhirnya gema tepak sendalku berakhir, udara lembab khas tepi laut menyapaku. Napasku terengah, dan kini aku benar-benar mandi keringat mengejarnya. Tidak ada lagi hawa dingin pendingin ruangan seperti di dalam hotel. Matahari membakar kami tanpa lapisan seperti genteng atau atap yang menaungi.

Sosok itu berhenti sekiranya sepuluh meter di depanku, tepat di tengah-tengah ruangan terbuka. Dia berdiri menghadapku, menatap dengan mata cokelat terang dan rambut lurus panjang kuncir kuda yang sewarna.

Tanganku mengepal, tetapi dia sama sekali tak menunjukkan ketertarikan untuk menyerang. Malah, dia seperti terkejut melihatku berdiri tak jauh darinya.

"Siapa kau?" Aku mulai mendekat, melangkahkan kaki waspada. "Apa urusanmu di kamar Alexa?"

Dia bergeming, menyamakan langkahku untuk mundur selangkah demi selangkah. Sorot matanya tenang sekali, tidak ada ketakutan di sana.

Mendadak kurasakan sesuatu bergetar di sakuku. Ponsel, Illxa pasti menelponku. Tidak, aku tidak bisa mengangkatnya sekarang. Kalau aku tidak bisa menangkapnya, aku juga tidak akan mendapat informasi penting darinya.

Aku terus bergerak maju, menyudutkannya hingga ujung sepatunya menyenggol besi pengaman di sisi terluar gedung hotel. "Siapa kau," ulangku, "apa urusanmu dengan Alexa?"

Meski tersudut dan tak lagi bisa bergerak menjauh dariku, raut wajahnya tetap tenang. Apa dia menyembunyikan senjata untuk menyerangku? Tidak, tangannya tak menggenggam apapun dan tampak tak ada barang yang bisa dimasukkan ke kantong celananya.

Jarak kami semakin kecil, aku sudah selesai mengatur napas. Ketika jarak kami tinggal beberapa langkah lagi, dan aku harus sedikit mendongak untuk menatap matanya, dia akhirnya membuka suara.

Mataku terbelalak mendengar perkataannya. Jantungku seakan berhenti berdetak dan lututku rasanya mau cepat-cepat pergi dari sana. Namun, sebelum itu terjadi, tanpa kusadari sosok serba hitam itu sudah berdiri di atas pagar pembatas.

Aku meringsek maju untuk menangkap tangannya sebelum dia jatuh, tetapi jarak kami rupanya masih terlalu jauh. Tanganku menggapai udara kosong.

Pada detik yang sama, ponselku bergetar lagi. Kali ini buru-buru kuangkat panggilan masuk itu.

"Er, kau di mana, bah?!" Nada suaranya terdengar panik.

Aku melongok ke bawah, mencari mayat atau sisa-sisa kematian sosok tadi. Namun, yang kudapatkan justru dirinya dibawa terbang sebuah parasut mini dari setelannya dan mendarat di pepohonan pekarangan warga belakang hotel. Sial!

"Ersa!"

"Di roof top." Kubuang napasku kasar. "Sialan!" pekikku frustrasi. Sudah sedekat itu, dan aku tetap tidak bisa mendapatkannya!

Baru kusadari napas Illxa terengah-engah di seberang sana. "Kita berhasil." Jeda sebentar yang membuat pikiranku melayang pada hal positif. "Aku sama Alexa, nyaris tenggelam, tapi masih waras."

Harus kuakui aku cukup senang mendengar suara Illxa. "Kau di mana?"

"Kolam renang, cepet ke sini." Aku baru mau bergerak ketika Illxa tiba-tiba melanjutkan. "Ada yang aneh. Hati-hati, Er."

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro