Bab 3: Terima Kasih Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada hari-hari berikutnya setelah peristiwa matinya Ariel, aku disibukkan dengan perdebatan panjang tentang jadi-tidaknya aku bersekolah di Britania Raya. Ibu masih bersikukuh, tapi aku sebagai darah-dagingnya yang memiliki gen serupa, sama kerasnya. Pendirianku tetap teguh untuk bersekolah di Amerika.

Beralih topik dari kegalauan rencana masa depanku, kini pikiranku kembali tersita oleh perkara ANC, orang-orang kulit hitam yang terus berjuang demi kemerdekaan di negerinya sendiri. Tampaknya usaha ANC kian menemui ujung pun juga kepelikan. Pihak putih dan hitam sama-sama menjadi korban dalam kerusuhan negeri yang merebak begitu cepat. Orang-orang dari kedua pihak mati bergelimpangan di jalan-jalan. Malang dan tragis.

Melodrama yang terjadi ini membuatku teringat pada Chanya. Dara itu belum kelihatan juga sejak terakhir kita berpisah. Aku tahu berpamitan seperti waktu itu sama sekali tidak sopan. Tapi, jika laki-laki yang memanggil Chanya adalah benar ayahnya, aku sangat mengkhawatirkan nasib Chanya sekarang.

Ibu mengurungku di rumah supaya jera dan menuruti aturannya. Hukuman begini tak akan mampu memenjarakanku.

Omong-omong, sekarang rumahku sedang sepi karena Ayah bekerja dan Ibu pergi ke toko baju untuk membeli baju baru karena dia merasa badannya semakin besar saja.

Aku melangkah hati-hati. Kubuka pintu keluar yang berdekatan dengan dapur sepelan mungkin. Pelayan rumah sedang mengupas kentang di dapur, ia tidak melihatku. Sementara pelayan lainnya berada di bagian berbeda yang tidak penting aku ketahui.

Baiklah, sekarang aku sudah berhasil kabur. Dan kini tujuanku sama seperti kemarin-kemarin; menemui Chanya dan bertanya kabarnya.

Aku duduk di atas batu besar pada jalur yang memisahkan deretan kios-kios pasar dan pelabuhan. Menanti hal serupa seperti kenarin-kemarin. Sebenarnya menunggu begini membosankan sekali, terlebih lagi tidak ada yang menarik dari memerhatikan orang-orang berlalu lalang dengan tingkah sok sibuk.

Nyaris tiga jam manakala kurasa bokongku mulai nyeri. Chanya tak kunjung datang, padahal horizon sudah berwarna jingga. Kemudian, aku memilih bangkit.

Di tengah jalan pulang yang penuh keputusasaan, kakiku tiba-tiba berbelok. Batinku teringat pada rumah mewah yang dulu diam-diam pernah kudatangi, rumah majikan Chanya. Barangkali aku bisa bertemu dengannya di sana.

Rumah bercat putih itu tampak sepi. Letaknya seperti eksklusif. Terasing dari rumah-rumah kecil sekitarnya. Aku memberanikan diri mendekati pagarnya yang menjulang. Seorang wanita paruh baya memerhatikanku dari balik semak-semak yang kuyakini habis dibabat.

"Mencari siapa?" tanya wanita itu yang setelah berhasil melihat wujud utuhnya, barulah kuyakini ia adalah Ibu Chanya yang waktu itu pernah kulihat.

"Anda ... Ibu Chanya?" tanyaku memastikan. Dia tidak menjawab, digantikan oleh tatapan sayu yang tidak kumengerti.

"Boleh aku bertemu Chanya? Dia tidak pernah datang ke pasar lagi. Ke mana perginya anak itu?" Masih dalam nada sopan, aku bertanya.

Sikap yang tidak kubayangkan sebelumnya. Ibu Chanya meraih besi pagar, menunduk dalam untuk kemudian terisak tanpa bisa dicegah oleh sebelah tangannya yang membekap mulut. Aku jadi takut.

"Ada apa?"

Pertanyaanku baru dijawab beberapa saat setelah Ibu Chanya berhasil mengendalikan emosinya. "Chanya telah meninggal."

***

Di sinilah aku sekarang, atap mercusuar pelabuhan. Duduk memeluk lutut dengan perasaan mau-tak mau untuk menangis.

Ibu Chanya bilang padaku bahwa Chanya menjadi korban bom bunuh diri yang terjadi di kantor pemerintahan. Pelakunya diduga ayahnya sendiri yang merupakan antek-antek garis keras ANC.

Detik itu juga lututku melemas (bahkan sekarang juga). Jutaan duri kaktus menancap dalam pada palung hati. Rasanya tremor menjalar di tubuhku tanpa bisa berhenti. Seolah menyuruhku diam dan menikmati perih ini.

Kuulangi lagi, di sini aku sekarang. Membasahi diri dengan kerlip bintang yang terpantul pada kaca lautan. Kuabaikan dulu kekhawatiran Ibu yang pasti mencariku. Aku ingin hampa ini menyelimuti sejenak. Semalam saja tak apa.

Menyadari posisu dudukku terlalu di ujung lantai inj, aku beranjak agak ke tengah supaya orang-orang di bawah tidak bisa melihatku. Aku menggeser batu yang memonopoli tempatku, lalu sebuah kertas muncul di baliknya.

Bukan, bukan. Itu surat!

Untuk Jeslyn,

Terima kasih Jeslyn, berkatmu aku sadar dunia bukan dikhususkan sekadar bagi hitam dan putih. Baik dan buruk. Kamu membuatku tidak takut lagi dengan kulitmu. Dan kamu membuatku tidak marah lagi terlahir sebagai orang berkulit hitam dan bisu.

Tertanda:
Chanya, temanmu.

Kini, kertas itu telah menjadi gumpalan. Emosiku yang tak tertahan tumpah sudah, remuk serupa kertas di genggamanku.

Musim dingin menyambangi hatiku begitu cepat. Tiada mampu kucegat. Aku seakan terlempar pada ranjau berduri tajam. Diriku berdarah.

Dalam sesak yang mengimpit dada seiring air mata meleleh, aku bergumam, "Terima kasih kembali, Chanya...."

Hanya itu yang bisa kukatakan.

_THE END_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro