05.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Varel menyelipkan rambutku yang berjuntaian ke belakang telinga.

"Jadi, apa yang terjadi denganmu? Apa kamu kabur lagi dari rumah? Apa kamu bertengkar dengan adikmu? Apa mantan pacarmu mengganggumu? Atau mungkin kamu cekcok dengan ayahmu, ibumu?" Ia bertanya beruntun.

Aku menatapnya pasrah. "Bisa nggak sih kamu nanya satu persatu?"

"Enggak," ia menjawab cepat.

"Aku khawatir sekali sama kamu. Tiba-tiba aja kamu datang menemuiku sambil menangis. Aku takut hal buruk menimpamu," lanjutnya.

"Kamu mengkhawatirkanku?"

"Tentu aja," ia tampak emosional.

Aku tersenyum, menatapnya dengan lembut.

"Maaf karena telah membuatmu khawatir. Aku hanya ---" kalimatku terhenti.
"Ah, sudahlah. Tak usah dibahas lagi. Sekarang aku sudah merasa lebih baik."

Varel menatapku penuh selidik. "Kamu yakin?"

Aku mengangguk mantap.

"Nggak apa-apa kalo kamu ingin kabur dari rumah. Kamu bisa menginap di apartemenku lagi kok," ceplosnya. Pemuda itu tersenyum lebar.

Aku tergelak. Lalu menggeleng.
"Suasana hatiku sudah membaik. Jadi---" Kalimatku tertahan karena ponselku berbunyi.

Aku meminta waktu sebentar pada Varel untuk menerima telpon. Setelah melihat layar ponsel, aku sempat merasa enggan menerima telpon tersebut. Tapi toh akhirnya aku tetep mengetuk tanda 'ok'.

"Halo," sapaku.

"Aku ingin menjemputmu. Ada yang harus kita bicarakan. Penting. Soal Ami." Suara David terdengar dari seberang sana.

Aku terdiam sesaat. Mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi mendengar ia ingin membicarakan tentang Ami, aku tak punya pilihan.
Akhirnya aku mendongak dan menatap sekelilingku, demi untuk memberi tahu David di mana ia bisa menjemputku.

"Baiklah, jemput aku di ..."
Varel membantuku dengan menunjuk papan nama jalan berikut nama kafe yang berada di seberang kami.
Setelah itu, aku segera menutup pembicaraan di telpon.

"Siapa?" Varel bertanya dengan antusias.
"David," jawabku jujur.
Pemuda itu mengernyit.
"Mantan pacarku," ucapku lagi.

Kedua mata Varel membulat. "Kamu berencana kabur dengannya?!" ia nyaris berteriak.

Aku kembali tergelak lalu cepat-cepat menggeleng.
"Enggak. Dia hanya akan menjemputku lalu mengantarkanku pulang."

"Biar aku aja yang nganterin kamu pulang," ia merengek.

"Enggak. Aku akan ikut dengannya. Ada yang harus kami bicarakan. Tentang adikku."

Bibir Varel mengerut. Dia kelihatan kesal. Demi untuk menghilangkan kekesalan di wajahnya, aku mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasku lalu menyodorkan ke arahnya.

Pemuda itu sempat ternganga.

"Apa ini?" Ia menerima bungkusan itu dengan antusias. Astaga, ia lucu sekali seperti anak-anak.
Aku sempat tertawa dalam hati.

"Hadiah, untukmu. Anggap aja sebagai ungkapan terima kasih karena selama ini kamu baik sama aku," ucapku.

Kekesalan di wajahnya menghilang seketika.
"Woa, kamu ngasih aku hadiah? Aku terharu sekali," ia memeluk bungkusan itu dengan erat.

"Ngomong-ngomong, jangan lupakan acara besok," aku mengingatkan.

Pemuda itu menyipitkan matanya, seolah lupa akan sesuatu. Dan ganti aku yang kesal.

"Varel! Kamu 'kan udah janji mau ngajak aku nonton pameran lukisan," gerutuku.

Varel mengulum senyum, ia beringsut mendekatiku, lalu mencubit pipiku dengan gemas.
"Aku ingat kok. Jangan khawatir. Besok aku akan ngajak kamu ke sana," ucapnya.

Merasa dikerjai, cubitanku segera bersarang di pinggangnya.

***

Dan malam itu, semenjak aku putus dengan David, untuk pertama kalinya aku pulang dijemput olehnya.

Jujur, jika saja bisa aku lebih memilih diantarkan Varel seperti tawarannya tadi. Tapi karena David mengatakan ada hal penting yang ingin ia bicarakan, akhirnya aku menurutinya. Bukan karena aku ingin berkonflik lagi dengannya, ataupun dengan Ami, justru aku sedang  menghindarinya.

"Jadi rupanya kamu udah punya pacar baru ya?" David membuka suara, tetap dengan tangan di atas kemudi dan pandangan lurus ke jalan raya.

"Hanya teman," sahutku pendek tanpa melihat ke arahnya.

Kudengar David tertawa sinis.
"Teman? Omong kosong," ujarnya. "Kalian mengobrol dengan mesra. Ia bahkan memperlakukanmu dengan intim, mencubit pipimu, mengelus rambutmu, woa, teman macam apa itu?" bibirnya berdecih sinis.

Aku memutar bola mataku dengan kesal. "Apa? Apa kamu cemburu? Itu bukan urusanmu, kan? Aku bukan pacarmu lagi. Jadi, aku berhak punya hubungan intim dengan lelaki manapun, kamu nggak punya hak untuk mengomeliku." Kali ini aku menatapnya jengkel.

"Sejak kapan kamu banyak omong seperti ini?" Pemuda bermata indah itu sempat balas menatapku sekilas, sebelum ia kembali berkonsentrasi pada kemudi.

"Aku memang banyak omong sejak dulu, kamu aja yang terlambat menyadarinya. Oh, aku lupa. Kamu keburu berpindah ke lain hati sebelum sempat menyadarinya," bibirku ganti berdecih sinis.

David mendesah kesal. "Kenapa kamu terus membahasnya? Apa kamu akan terus menerus mengingat dosaku?" nada suaranya meninggi.

"Lalu kenapa kau harus membahas tentang teman lelakiku?"

"Nana, sebenarnya kamu atau aku yang masih dilanda cemburu?"

"David!" teriakku jengkel.

Aku nyaris saja memukul kepalanya dengan tongkat.

Membahas siapa yang cemburu? Lancang sekali dia!

Hening sesaat.

“Vid...” Panggilku kemudian.
“Hm?” Ia menyahut pendek.
“Apa kamu tahu tentang buta warna?”

Pria itu mengangguk. “Buta warna, kondisi di mana mata hanya mampu mengenali warna-warna tertentu. Kenapa?”

“Apa bisa disembuhkan?”

“Buta warna adalah kelainan genetik, bukan penyakit. Jadi setahuku sih nggak bisa sembuh,” ia melanjutkan.
“Kenapa kamu nanyain itu?”

Aku menggeleng. “Enggak,” jawabku. "Ngomong-ngomong, apa yang ingin kamu bicarakan tadi? Bicara aja apa yang ingin kamu bicarakan. Sebentar lagi kita sampai rumah. Aku nggak mau Ami ataupun orang tuaku tahu bahwa kamu menjemputku. Kamu bisa menurunkanku di perempatan depan," ucapku lagi.

"Nggak ada," sahut David pendek.

Aku kembali menoleh ke arahnya.
"Maksudnya?" Aku memastikan.

"Nggak ada yang ingin kubicarain. Aku berbohong sama kamu. Kalo nggak gitu, kamu nggak akan mau kujemput," jawabnya enteng.

Aku melotot. "DAVID!!" Aku menjerit. Meneriakkan namanya dengan jengkel.

Dan dia tetap saja menyetir dengan santai, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Oh astaga.
Ada apa dengan lelaki ini?

***

Sesuai janji Varel, kami menikmati sabtu malam minggu dengan menonton pameran lukisan. Tak hanya sampai di situ, setelah puas memanjakan mata di galeri, ia mengajakku makan, duduk-duduk di taman sebentar untuk sekedar mengobrol, lalu mengajakku ke toko sepatu.

Awalnya aku bingung, tapi ia bilang ia ingin membelikanku sepatu baru.
"Apa kamu gila? Itu sepatu bermerk, dan harganya mahal," protesku.

"Kamu pikir aku nggak mampu membelinya?" Varel ikut protes.

"Untuk apa? Lihatlah, sepatuku masih bagus. Jika butuh, aku bisa membeli sepatu dengan gajiku sendiri."

"Kalau kamu mau beli dengan gajimu sendiri, beli aja. Aku akan tetap membelikanmu."
"Enggak," sahutku.
"Aku hanya ingin membelikanmu sepatu, ribet amat sih," ia berujar sengit.

Dan aku tetap ngotot menolak ajakkannya untuk masuk ke dalam toko tersebut. Kami bahkan sempat bersitegang di pinggir jalan.

"Kamu mau masuk, atau aku terpaksa menggendongmu ke sana?"

Aku mendelik. "Coba aja kalo berani?" tantangku.

Bukannya menyerah, Varel malah tersenyum puas, dan hanya dengan sekali gerakan ia mengangkat tubuhku, lalu membopongku masuk ke dalam toko di depan kami.

"Apa-apaan sih kamu?" Aku sempat menjerit lirih. Sementara Varel hanya terkikik geli tanpa mempedulikan banyaknya pasang mata yang menatap kami dengan tatapan tersipu. Aku menggigit bibirku sambil menutup mukaku dengan tangan kemudian menyurukkan wajahku di dada lelaki tersebut.

Ah, ini memalukan sekali.

***

Varel mendudukkanku dengan sempurna di sebuah kursi kayu kecil.
"Kamu tinggal pilih yang kamu inginkan, akan kubelikan," ucapnya bangga.

"Sungguh? Walau harganya mahal?" tanyaku.

Ia mengangguk mantap.

"Awas jika kamu bohong. Jika suatu saat tiba-tiba saja kamu nagih hutang sama aku, tamat riwayatmu," peringatku.

Varel menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan.
"Nggak akan. Percayalah padaku, tabunganku masih cukup," jawabnya.

"Oke, kamu yang minta." Aku menatap sekelilingku.

Dan pilihanku jatuh pada sepatu flat warna coklat tua di rak paling ujung.
"Itu, yang warna coklat tua di ujung, bisa ambilkan untukku," ucapku.

Varel menoleh ke arah rak paling ujung. Dan seketika aku menangkap kebingungan di kedua matanya.
Seolah dihempaskan dari ketinggian, tiba-tiba saja aku tersentak.
Dan aku ingat, Varel tidak tahu warna coklat ...

"Ah, biar kuambil aja sendiri. Kamu tinggal bayar," aku meraih tongkatku dan bangkit.

Varel tersenyum kaku dan menahanku.
"Nggak usah, tunjuk aja padaku dan aku akan mengambilkannya untukmu," ucapnya lembut.

Ia baru saja akan beranjak ke rak yang kumaksud ketika seorang ibu-ibu meminta bantuannya.

"Anak muda, bisa kamu bantu aku ngambilin sepatu anak yang berwarna pink itu? Tanganku nggak bisa menjangkaunya," ia menunjuk ke arah rak paling atas.

Aku melirik sepatu yang ditunjuk ibu tersebut. Dan sebelum Varel berkata-kata, aku menjawab, "Nomer dua dari kanan," beritahuku padanya.

Varel menatapku sekilas, lalu menjangkau sepatu kecil nomer dua dari kanan, kemudian menyerahkannya pada ibu tersebut.

"Varel, aku ingin yang ini aja. Bisa kamu bantu aku memakaikannya," buru-buru, aku menjatuhkan pilihanku pada sepatu warna putih yang letaknya dekat denganku dan mudah kujangkau.

Varel kembali tersenyum kaku ke arahku.
"Oke," jawabnya pendek.

Ia meraih sepatu dari tanganku, dan setelah aku duduk kembali di kursiku, ia membantuku memakaikannya.

Ketika tengah mencoba sepatu tersebut, aku menangkap tatapan miris dari sepasang muda mudi yang tengah berdiri tak jauh dari kami. Sesekali tatapan mereka jatuh pada kakiku yang terkulai. Mereka bahkan menatap dengan iba ke arah Varel yang tengah sibuk membantuku memakaikan sepatu tersebut, termasuk pada kakiku yang cacat.

Dan seolah tahu bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian, Varel bangkit dan menatap mereka dengan kesal.
"Kenapa? Apa kalian nggak pernah ngelihat orang cacat membeli sepatu? Pacarku memang cacat, tapi dia nggak perlu dikasihani!!" bentaknya.

Aku menarik lengannya.
"Varel, udahlah," ujarku lirih.

Pemuda itu mangumpat lirih lalu kembali berlutut untuk membetulkan sepatuku.
Dan aku menatapnya dengan pilu.

Membayangkan bagaimana ia kebingungan memilih warna sepatu, lalu tatapan belas kasihan yang ditujukan padaku, hatiku trenyuh.

Alangkah tidak menyenangkanya jadi orang cacat.

"Varel..." panggilku lirih sambil meremas pundak lelaki tersebut.

Ia mendongak. Dan seketika air mataku berjatuhan ketika kulihat kedua matanya berkaca-kaca.

"Ayo pulang ..." bisikku, lirih.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro